2. Purnama Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Note:

Purnama Terakhir adalah cerpen yang saya buat bulan Januari 2014 lalu, menjawab tantangan tema yang diadakan oleh Kastil fantasi di goodreads. Cerita ini terinspirasi dari cerita-cerita mengenai makhluk halus yang menyukai manusia. Ketika membuat cerita ini, saya membayangkan desa ayah saya yang ada di pelosok kota Ngawi, di mana sawah-sawah masih membentang dan kami dapat melihat gunung Lawu dari sana.

Sebenarnya, saya juga membuat versi novel dari Purnama Terakhir, tapi... sepertinya tidak akan saya upload ke wattpad dalam waktu dekat :D

=================================================

Jawab bila kau mendengarku,

beri aku petunjuk mengenai keberadaanmu

Aku ingin bertemu denganmu,

melepas kasih, berbagi cinta...

Kabut muncul di sekitar danau. Suasana malam yang dingin makin bertambah menggigit ketika kabut itu menebal. Bulan yang bersinar cemerlang di atas sana tampak remang-remang di tengah kabut seperti ini. Kemudian, muncul bayang-bayang di dalam sana. Bayangan seseorang bertubuh tinggi berjalan mendekati tepi danau. Suara langkahnya tak terdengar, begitu tenang seperti suasana hutan saat ini.

Gadis itu menunggunya dengan sabar. Seiring dengan mendekatnya orang itu, kabut pun perlahan-lahan menipis. Ketika orang itu berdiri persis di hadapan si gadis, kabut benar-benar lenyap dari danau. Suasana di tempat ini kembali seperti semula. Lelaki berkulit pucat itu menyunggingkan senyum hangat kepada gadis di hadapannya.

"Kau memanggilku," kata-katanya lebih terdengar seperti pernyataan. Jari-jarinya yang panjang menyentuh wajah gadis itu. "Kenapa baru sekarang kau memanggilku lagi?" tanyanya lembut sambil menyelipkan rambut gadisnya yang terurai dari kepangan.

Rhaya, gadis berambut hitam, memandang lelaki itu sendu. "Aku ingin bersamamu."

Senyum lelaki berambut perak sebahu itu makin melebar. "Kapan pun kau bisa bersamaku," dia melangkah ke daratan, membuat Rhaya mundur.

"Waktuku tinggal sebentar," kedua mata Rhaya berkaca-kaca. "Aku tak akan bisa menemuimu lagi."

Dahi lelaki itu mengernyit. "Ada apa sebenarnya?" tanyanya heran. "Apa yang terjadi padamu?" dia merengkuh Rhaya dan mengusap punggungnya perlahan.

Hawa dingin dari tubuh lelaki ini sama sekali tak membuat Rhaya takut. Sebaliknya, dia justru merasa nyaman berada dalam rengkuhannya.

"Mereka akan memasangkanku," bisiknya lirih. "Aku akan segera menikah."

***

Haris merupakan lelaki yang baik, Rhaya tahu itu. Selain periang dan hangat, dia juga seorang pekerja keras. Kebun-kebunnya membentang subur dan seluas sepuluh rumah penduduk desa. Lelaki itu jarang bermasalah dengan penduduk lainnya. Bila pun ada masalah, hampir selalu bisa diselesaikan dengan baik. Wajahnya pun bisa dikatakan elok. Namun sayang, segala kebaikannya tak membuat hati Rhaya terketuk. Kesempurnaan Haris sama sekali tak menarik perhatiannya.

Sementara dia sendiri? Walau orang tuanya tidak sekaya Haris, tetapi mereka memiliki kebun yang cukup menghasilkan untuk semua keluarga. Dirinya sendiri dan adik-adiknya hampir selalu dimanjakan kedua orangtua mereka, apalagi setelah panen di kebun. Begitu Ayahnya pulang dari menjual hasil kebun di kota sebelah, satu per satu dari mereka pasti akan mendapat hadiah. Secara materi dia berkecukupan. Wajahnya pun lumayan manis, meski tak bisa mengalahkan bunga desa yang tinggal tiga rumah dari rumahnya. Ada banyak lamaran yang datang kepadanya, tetapi hampir selalu ditolak karena dirinya atau Orang tuanya tidak cocok dengan si pelamar.

Namun, dengan berlalunya waktu, usia Rhaya semakin bertambah dan orang tuanya pun mulai resah karena gadis itu belum juga menikah. Hampir semua gadis-gadis seusia Rhaya telah menikah dan mempunyai anak, tetapi putri sulung mereka belum juga memutuskan calon suaminya. Karenanya, saat Haris melamar Rhaya, mereka sangat bahagia dan berupaya agar Rhaya pun menerima Haris sebagai suaminya.

"Jangan menolak untuk yang satu ini," ujar Priam, ketika melihat putrinya tak antusias dengan lamaran Haris. Pria itu menatapnya tajam. "Ingat usiamu, Rhaya. Teman-temanmu yang lain sudah menikah, bahkan punya anak. Kau sendiri malah belum memiliki calon suami. Haris lelaki yang sangat baik, kau akan rugi kalau tidak mau menerimanya."

Rhaya merengut. "Tapi aku tidak ingin menikah dengannya, Yah."

"Lantas kau ingin menikah dengan siapa?" pertanyaan Priam tak pelak membuat Rhaya bungkam.

Aku ingin menikah dengan dia, Rhaya membatin dalam diamnya.

"Kalau tidak ada calon yang bisa kau sebutkan, Ayah akan menikahkanmu dengan Haris," Priam beranjak dari kamar putrinya.

"Ayah!" Rhaya memprotesnya.

Priam berhenti di ambang pintu, lalu menoleh ke arah anaknya. "Dewa akan mengutuk kita kalau kau sampai menolak lamaran Haris," ucapannya membuat Rhaya membeku.

***

Berbagai macam hadiah datang begitu Priam menerima lamaran Haris. Pertunangan pun segera dilaksanakan sebelum pernikahan. Usai pertunangan, berbagai hal dipersiapkan untuk pernikahan mereka. Selama masa itu, keduanya dipersilahkan untuk saling mengenal. Rhaya tidak terlalu nyaman ketika Haris mulai tinggal di rumahnya selama beberapa waktu. Dia berusaha bersikap biasa, tetapi tetap saja kecanggungannya terlihat saat berinteraksi dengan calon suaminya.

"Kau tidak suka bersamaku?" tanya Haris pada suatu hari, ketika mereka berjalan bersama menuju kebun.

Rhaya sedikit gelagapan mendengar pertanyaannya. Dia membenahi letak selendang yang menutupi kepalanya dan berusaha tidak melihat Haris. "Pertanyaanmu aneh," ucapnya kikuk.

Haris tertawa lirih. "Kenapa kau selalu canggung bersamaku?" nada suaranya lebih lembut. Mereka berjalan bersisian di jalan hutan.

"Aku...," Rhaya sedikit ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Kalau dia mengatakan dengan jujur perasaannya pada Haris, lelaki ini bisa merasa terhina dengan ucapannya. Pada akhirnya, keluarganya terutama ayahnya, pasti akan menanggung malu dari sikapnya. "Aku tak pernah berinteraksi dengan lelaki sebelumnya," dustanya gugup. "Di rumah biasanya hanya ada orang tua dan adik-adikku, ketika kau bergabung dengan keluarga kami, aku bingung harus bersikap seperti apa padamu."

Haris mengentikan langkah kakinya, sehingga Rhaya ikut berhenti. Dia menatap calon suaminya tanda tanya. Tatapan Haris memaksanya untuk kembali menundukkan pandangan.

"Karena itu kah kau selalu menolak laki-laki lain?" Haris memiringkan kepala. Dia cukup terkejut karena calon istrinya ternyata pemalu terhadap laki-laki. "Padahal, selama aku memperhatikanmu, kau selalu luwes bergaul dengan kaumku."

Pipi Rhaya memerah. Dia bahkan pernah adu tangkap ikan dengan salah satu kawan Haris beberapa waktu lalu. "Mereka hanya teman, berbeda denganmu," jawaban malu-malunya memancing cengiran di wajah lelaki itu.

"Senangnya...," katanya setengah bernyanyi. "Itu artinya aku istimewa," Haris mendekati Rhaya. Tangannya yang kuat dan besar mengangkat wajah gadisnya dengan lembut. "Terima kasih, kau mau menerimaku sebagai suamimu." Ia menunduk untuk mencium kening Rhaya.

Setelah itu, sepanjang perjalanan menuju kebun, Haris selalu menggandeng tangan Rhaya. Hatinya terasa ringan dan luas di tengah cuaca sangat terik hari ini. Dia sama sekali tak melihat perubahan air muka Rhaya di belakangnya.

***

Lelaki berambut perak itu diam termangu mendengar cerita Rhaya. Mereka duduk bersisian di pinggir danau, di bawah salah satu pohon yang tumbuh di sekitar sana. Jadi itu alasannya, selama beberapa minggu ini Rhaya tak pernah lagi datang ke danau. Itu karena dia terhalang oleh calon suaminya.

"Kapan kau menikah?" Kafah memandang muram air danau.

"Dua minggu lagi," jawab Rhaya sambil memeluk kedua kakinya.

Lelaki itu menoleh ke arahnya. "Kenapa kau baru menemuiku sekarang?"

"Aku tak bisa keluar malam sejak Haris tinggal di rumah," jelasnya. "Dia selalu tidur larut malam dan pendengarannya juga tajam. Aku tak berani keluar kamar kalau dia ada di rumah. Sekarang dia kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan pernikahan kami, karena itu aku bisa menemuimu kembali." Tatapannya terlihat hampa, tak bersemangat.

Kafah mengusap kepalanya, kemudian menyandarkan Rhaya ke tubuhnya. "Apa dia... Apa dia sudah menyentuhmu?" suaranya terdengar bergetar.

Gadis itu mendadak merasa tidak nyaman. Dia merasa malu mengingat kejadian itu. "Hampir," jawabnya lirih. "Tapi aku berhasil menolaknya dan dia mau mengerti."

"Syukurlah," Kafah mendesah lega mendengar jawabannya.

"Apa kau tidak bisa menyelamatkanku?"

Kafah diam sesaat. Tatapannya beradu dengan tatapan Rhaya. Menyelamatkannya? Itu bukan hal yang mustahil. Dia bisa, bahkan sangat berkuas. Itu mudah dilakukan. Hanya saja..., sulit untuk bisa mewujud tanpa panggilan Rhaya di sini.

"Aku bisa, tetapi aku terikat di tempat lain," Ia menunduk untuk mencium pipi Rhaya. "Hanya jika kau mau bernyanyi di tepi danau ini, keterikatanku bisa lepas. Kau tahu sendiri kan, waktuku bersamamu juga hanya sebatas malam, begitu pagi tiba aku akan menghilang."

Rhaya mendecak pelan. "Apa tidak ada cara lain supaya kita bersama?"

"Ada," jawab Kafah ringan. "Saat hari terakhir malam purnama datanglah kemari memakai pakaian pengantinmu. Aku akan membawamu ke tempatku."

Mata Rhaya berbinar mendengarnya. "Kita bersama?" tanyanya tak percaya.

"Selamanya," imbuh Kafah sebelum mencium bibir gadis itu.

Pelukan Rhaya padanya makin kuat. Keduanya sama sekali tidak sadar bila Haris melihat dan mendengar semuanya dari balik salah satu pohon. Wajah lelaki itu memucat, tetapi dia hanya diam tak bergerak di tempatnya. Amarah menggelora di hatinya melihat calon istrinya bercumbu dengan lelaki lain. Namun, akal sehatnya masih berjalan. Sosok bernama Kafah itu..., rasanya dia pernah melihatnya. Selain itu, lirik yang dinyanyikan Rhaya pun rasanya dia pernah mendengarnya.

Kedua tangannya terkepal kuat. Tadi, setelah memastikan rumahnya siap untuk tempat tinggalnya dan calon istrinya, dia buru-buru pulang ke rumah Rhaya untuk tidur di sana. Namun, saat memasuki halaman, dia mendengar suara berisik dari samping rumah. Dia kira ada hewan liar masuk ke pekarangan. Tak disangka, ternyata diam-diam Rhaya keluar rumah dan masuk ke dalam hutan untuk bertemu lelaki lain.

***

"Dipercepat?" semua orang yang ada di dalam rumah tampak terkejut mendengar keputusan Haris, tak terkecuali Rhaya yang sedang menjahit gaun pernikahannya.

Lelaki itu meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Semuanya sudah siap," katanya. "Dari pada menunggu sampai dua minggu, lebih baik upacara pernikahannya diadakan besok."

"Ayah bingung kenapa kau memutuskannya buru-buru seperti ini," Priam mengernyit heran. "Apa Iksook sudah kau beri tahu?" tanyanya. Iksook merupakan panggilan dari pemimpin agama di desa ini.

"Gaunku belum jadi," imbuh Rhaya, memperotes keputusannya. Besok merupakan malam terakhir purnama. Kalau dia menikah dengan Haris, otomatis dia tak bisa pergi ke danau. "Undurlah beberapa hari lagi."

"Kau bisa memakai gaun ibuku," Haris tersenyum ke arahnya. "Hanya tinggal mengepaskannya, supaya kau lebih nyaman memakainya. Untuk Iksook, aku akan memberitahunya sekarang."

"Semoga dia tidak sibuk besok," Priam menyeringai. "Ayah tidak tahu, kau ingin cepat bersama Rhaya."

Lelaki itu nyengir, "Aku akan pergi ke tempat Iksook sekarang," Dia segera keluar sebelum keluarga calon istrinya menggodanya. Suasana hatinya masih buruk mengingat kejadian semalam. Dia memikirkan hal ini matang-matang sebelum datang ke rumah Rhaya. Dia tak akan membiarkan siapa pun merebut calon istrinya!

Haris mempercepat langkahnya, hingga sampai di ujung desa. Dia membuka pintu pagar kayu, lalu masuk ke areal rumah Iksook Inarha. Rumah Iksook ini tidak seperti rumah-rumah yang lain. Walau sama-sama terbuat dari kayu, tetapi setiap papannya dihiasi tulisan-tulisan dengan berbagai warna seperti merah dan biru.

"Kamayan emari Iksook Inarha," lelaki itu mengucapkan salam setelah mengetuk pintu.

"Kamari anati," balas seseorang dari dalam, mempersilahkan Haris masuk.

Lelaki itu membuka pintu dan menemukan sesosok pria tua kecil tengah menumbuk sesuatu. Ruang tamu rumah Iksook Inarha tak ubahnya seperti toko obat. Berbagai macam tumbuh-tumbuhan tergantung di dinding. Ada yang kering, ada pula yang masih basah dan diletakkan di dalam wadah-wadah yang diatur rapi dalam sebuah lemari kayu. Di tengah-tengah ruangan, terhampar sebuah tikar lusuh tempat Iksook Inarha menumbuk dedaunan kering.

"Haris putraku, ada apa kau datang kemari?" lelaki tua itu tersenyum lebar ke arahnya, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang tak lagi utuh.

Haris membungkuk dalam-dalam ke arahnya. Dia lalu duduk di dekat Iksook Inarha. "Saya ingin mempercepat pernikahan saya dengan Rhaya, Iksook. Dua minggu terlalu lama. Saya ingin besok hubungan kami diresmikan."

Inarha berhenti menumbuk dedaunan. Dia menatap Haris tanpa berkedip. "Apa yang menyebabkanmu ingin mempercepat pernikahan?"

"Saya...," Haris tak berani menatap matanya. Keresahannya makin terlihat jelas. "Saya hanya ingin bersama istri saya."

Senyum kembali di wajah Inarha. Lelaki tua itu menggeleng pelan sambil menuang hasil tumbukannya ke dalam mangkuk kosong. "Dulu, aku pun tak sabar untuk bersama mendiang istriku. Namun, aku tidak memajukan hari pernikahan secepat dirimu. Apa yang kau resahkan, Nak?" Inarha bisa menangkap kegelisahan Haris.

Haris diam sesaat, tetapi pada akhirnya dia tak bisa untuk tidak menceritakan masalahnya kepada pemuka agama mereka. Dia pun menceritakan semuanya, dari awal sampai akhir dengan lancar pada Inarha. Lelaki tua itu mendengarnya dengan sabar sampai Haris terisak geram di akhir cerita.

"Bagaimana menurut Iksook?" tanyanya usai menceritakan masalahnya.

Inarha diam. Dia mengingat-ingat lirik yang tadi disampaikan Haris. Lirik itu pernah didengarnya, tetapi tidak dalam upacara atau perayaan mereka. Lagu itu terlalu pribadi, diperuntukkan dari seseorang kepada seseorang. Itu hanya akan dinyanyikan dalam ritual seorang diri. Selain itu, lelaki yang ditemui Rhaya..., alis Inarha menyatu. Dia agak tidak yakin dengan dugaannya, tetapi merasa ngeri juga bila ini benar.

"Iksook?" Haris melihat perubahan ekspresi Inarha.

"Lebih baik kau melangsungkan pernikahan usai purnama," ucapannya tak pelak membuat Haris kebingungan.

"Tetapi lelaki itu akan membawa istri saya pergi di malam terakhir purnama," protes Haris.

Inarha tersenyum. "Kita akan menyelamatkannya dari lelaki itu," jawabnya.

"Iksook?" Haris makin tidak mengerti dengan pria ini.

"Haris putraku, jika aku tidak salah, lelaki yang ditemui Rhaya adalah iblis pemikat. Dia bisa berubah menjadi laki-laki maupun perempuan, tergantung siapa pemanggilnya," penjelasan Inarha membuat Haris terdiam beku. "Aku tidak tahu dari mana Rhaya bisa mengetahui mantera pemanggil iblis itu. Namun, bila iblis itu sudah berniat membawa calon istrimu pergi, itu artinya Rhaya sudah siap untuk dipetik."

***

Rhaya mematut dirinya di depan cermin. Rambut hitamnya yang panjang kini tergerai dan dihiasi sepasang pita berwarna merah menyala. Kalung emas menggantung di lehernya. Sepasang gelang menghias pergelangan tangannya. Setelah malam tiba, dia masuk ke dalam kamarnya dan mempersiapkan dirinya untuk pergi ke hutan nanti. Gaun pernikahan ibu Haris pun telah dikenakannya. Gaun itu panjang hingga menutupi kedua kakinya. Warnanya merah marun dan tepiannya dihiasi bordiran emas yang membentuk burung ankhsok, burung keramat dalam kepercayaannya.

Dia berdiri dari depan cermin dan melihat kalau dandanannya telah sempurna. Perhiasaan terakhir, gelang kaki perak, yang harusnya dia pakai di pergelangan kaki kanan, dia simpan lebih dulu di dalam sebuah kain dan diselipkan ke sabuk yang mengikat pinggangnya. Tak mungkin dia pergi dengan gemerincing di kakinya, bisa-bisa keluarganya tahu kepergiannya. Rhaya lalu mengambil topi kain lebar yang sewarna dengan gaunnya. Dalam pernikahan resmi, harusnya ada penghalang yang menutup dirinya antara calon suaminya, tetapi karena ini hanya dihadiri olehnya dan lelaki yang dicintainya, kain itu tidak diperlukan.

Usai mempersiapkan diri, Rhaya pun keluar diam-diam melalui jendela kamar. Bergerak menggunakan gaun pengantin ternyata bukan hal mudah. Selain agak berat, panjang gaun serta lengannya melebihi pakaian biasa. Gadis itu menjaga agar lonceng yang terselip di sabuknya tidak berbunyi. Setelah itu, dia menutup jendela dengan hati-hati. Seperti hari-hari yang lalu, dia mengambil lentera yang selalu disembunyikannya di balik semak-semak. Begitu masuk ke dalam hutan, dia baru menyalakannya dan berjalan seorang diri menyusuri jalanan setapak menuju danau.

Iksook Inarha tidak merestui pernikahan mereka yang terlalu cepat. Beliau menyarankan pada Haris untuk melangsungkan pernikahan paling tidak tiga hari lagi. Itu merupakan waktu yang paling cepat dan Haris tak bisa membantahnya. Rupanya dewa memihak padanya, sehingga Iksook Inarha tak menyetujui keinginan calon suaminya.

"Imaka Eri Nua, renesha Thuri Nua," bibir Rhaya berulang-kali menggumamkan pujian pada dewa Nua, dewa takdir.

Dia sama sekali tidak sadar bahwa ada sepasang pria yang diam-diam membuntutinya di belakang. Langkahnya makin cepat begitu mendekati danau. Sesampainya di sana, Rhaya memasang gelang perak di kakinya dan membiarkan bunyinya memecah kesunyian hutan dekat desanya. Di balik pepohonan, Haris dan Inarha mengamatinya. Mereka menyiapkan perlatan yang berguna untuk melawan Humakin, si iblis pemikat.

Malam telah datang,

waktu untuk para kekasih dimulai

Di antara kesenyapan petang,

mari memulai pertemuan berkasih-sayang

Jawab bila kau mendengarku,

beri aku petunjuk mengenai keberadaanmu

Aku ingin bertemu denganmu,

melepas kasih, berbagi cinta...

Kedatangan Kafah ditandai dengan munculnya kabut. Bulan tampak lebih besar dari biasanya dan kabut itu pun lebih tebal dari sebelumnya. Malam ini merupakan malam dari puncak kekuatannya, waktu di mana Kafah bisa membawa apa yang diinginkannya masuk ke dalam dunianya. Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini dia mengenakan setelan hitam dengan keliman keemasan. Langkahnya di atas air setenang biasanya. Aura berwibawa sekaligus berkuasa membuatnya terlihat agung.

Rhaya tak mampu mengalihkan perhatiannya dari lelaki itu. Pesonanya benar-benar membuat dirinya bertekuk-lutut. Saat Kafah akan menggapainya, gerak tangannya terhenti.

"Kenapa?" Rhaya mengernyit heran sata Kafah tak jadi memeluknya.

"Aku tak bisa menyentuhmu," ia memiringkan kepalanya sedikit. "Kau mengenakan sesuatu yang membatasi kita."

Seketika Rhaya kebingungan.

"Lepaskan perak yang ada di tubuhmu," pinta Kafah.

Barulah gadis itu memahami, apa yang membuat Kafah tak bisa menyentuhnya. "Kau tidak suka perak?" ia membungkuk untuk melepas gelang kakinya. "Padahal, dalam pernikahan suku kami, kedua pengantin diharuskan memakai perak sampai keduanya saling menyentuh."

Lelaki itu tersenyum miring menanggapi ucapan gadisnya. "Perak membuatku merasa panas. Karena itu aku tidak menyukainya." Matanya memperhatikan Rhaya membuang gelang peraknya.

"Sekarang, apa kau bisa memelukku?" Rhaya tersenyum kepadanya.

"Tentu saja," dia merengkuh gadisnya dalam pelukannya yang dingin.

Haris makin geram melihat keduanya berciuman. Dia ingin sekali mencekik iblis itu. Sayangnya Humakin tidak bisa mati. Dia hanya bisa diusir. Inarha memasukkan beberapa tumbuh-tumbuhan ke dalam lentera sehingga menimbulkan wewangian yang sedikit menusuk. Perlahan-lahan, wewangian yang ditimbulkannya pun makin tajam.

"Ayo, ikut denganku," Kafah mengajaknya untuk berjalan di atas danau. Namun, matanya membelalak saat mencium bau ini. Dia segera merenggut Rhaya ke sisinya sambil menutupi hidung dengan lengan baju.

"Ada apa?" tanyanya heran saat lelaki itu tampak waspada memandang suatu arah.

"Kita harus cepat pergi, Rhaya," tukas Kafah, buru-buru memanggil kabut kembali. Namun, sebelum kabut datang, doa seseorang menghalangi kekuatannya untuk keluar.

"O mina Eri Tadakhua, O nayan Thuri Muan. Kayam rimanis anaku o bian," Inarha keluar dari tempat persembunyiannya sambil membawa lentera yang dipenuhi asap.

Kafah makin menjauh dari tepi danau. Matanya memicing ke arah kedua lelaki yang berdiri di tepi danau. Rhaya sendiri tercekat melihat kedua orang yang dikenalnya. Wajahnya tampak pias karena takut.

"Iksook Inarha, Haris," gumamnya pelan.

Iksook? Kafah menatap lelaki tua di sisi si lelaki pemuda. Pantas dia mengetahui doa lama untuk membatasi kekuatannya. Taring-taring Kafah memanjang. "Apa yang bisa kalian lakukan? Dia sudah memilih untuk bersamaku," senyumnya mengembang sinis ke arah Haris. Dia butuh waktu untuk memanggil kabut. Gara-gara doa tadi, aliran kekuatan di sekitarnya jadi tertekan dan kabutnya tak bisa datang secepat saat dia datang.

"Gerinaya Humakin! Lepaskan gadis itu, Iblis!" seru Inarha lantang. "Biarkan dia kembali pada calon suaminya!"

Rhaya terpana mendengar seruan Inarha. Iblis? Kafah sama sekali bukan iblis.

"Dia bahkan tak mencintai lelaki itu!" Kafah tertawa mengejek ke arah Haris. "Sebelum berikatan dengannya, dia sudah lebih dulu berhubungan denganku!"

Muka Haris memerah membayangkan hal yang tidak-tidak antara Rhaya dengan Humakin ini. Sementara itu, Inarha tetap tenang menghadapinya.

"Iblis itu hanya ingin membuatmu tak percaya pada Rhaya, sehingga dia bisa membawanya pergi," bisik pria tua itu. "Humakin tak bisa menyentuhnya lebih jauh sebelum gadis itu matang untuk dipetik."

Haris tak terlalu mengerti dengan kata-katanya. Sebenarnya, matang apa yang dimaksud Iksooknya?

"Jika Rhaya tak lagi suci, burung Ankhsok pasti tak akan mau menaunginya," balas Inarha. "Aku masih bisa melihat Ankhsok mengitarinya, tanda bahwa kesuciannya masih terjaga. Kau hanya menghasut saja! Tinggalkan dia, Humakin! Kau berbeda darinya! Lepaskan dia atau nyanyian para dewa akan membakarmu!"

Kafah kembali tertawa. Ia bisa merasakan kabut mulai datang kepadanya. Sebentar lagi..., sebentar lagi dan dia bisa menikmati gadis ini.

"Apa yang bisa diperbuat seorang Iksook padaku?!" air danau bergerak menyerang ke arah Inarha dan Haris.

"Amoyan Eri Tadakhua," satu kalimat lirih keluar dari mulut Inarha. Seketika, air yang menyerangnya membelah dan membanjiri sekitarnya.

Kafah membelalak melihatnya bisa melakukan itu. Iksook ini sakti! Perasaan lelaki itu mulai gentar saat Inarha maju selangkah dan berdiri di atas air sama sepertinya. Dewa-dewa memberkatinya. Dia tahu seperti apa kekuatan orang-orang pilihan para dewa ini. Mereka tidak sembarangan bisa dikalahkan, serta nyanyiannya bisa sampai langsung pada dewa-dewi.

"O mina Eri Tadakhua, O nayan Thuri Muan. Kayam rimanis anaku o bian," Inarha mengulang doanya tadi. Semakin majunya dia, semakin mundur pula Kafah. Rhaya sendiri terlihat makin tidak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. "Lepas atau aku akan membakarmu?" ancam Inarha.

"Bila kau membakarku, gadis ini akan terbakar juga," Kafah memeluk Rhaya makin erat.

"Dusta!" mata Inarha menyipit ke arahnya. "Doa tak akan bisa melukai orang." Lelaki itu kembali menyanyikan doanya. "O mina Eri Tadakhua, balakhu amanim enariya. O hisam Tadakhua, riama una aleyarim. Ananam anaku o biane Rhaya, lirase tarakh biane Rhaya." Mendadak udara di sekitar mereka berubah menjadi panas menyengat.

Haris sendiri sampai mengeluarkan keringat karena udara sepanas ini.

Kafah masih tak mau melepas Rhaya meski tubuhnya mulai mengeluarkan asap. Kabut muncul di bawah kakinya. Pintu penghubung antara dunianya dengan dunia ini mulai terbuka. Tapi tentu saja tidak. Inarha tak membiarkan pintu itu terbuka. Humakin ini tak boleh membawa manusia ke alamnya!

"Ina aruyan Eri Tadakhua. Kukhulam usi amalin," doanya terdengar makin lirih.

Langit bergemuruh menjawab Inarha. Awan-awan mendung bermunculan di atas danau dan menghalangi sinar bulan yang memberi kekuatan pada Kafah.

"O sakai ima Rhaya. O sakai rua Rhaya," suara Inarha makin pelan, tetapi jawaban langit justru makin keras. Kemudian petir menyambar tubuh Kafah, membuat lelaki itu terbakar.

Rhaya menjerit ketakutan saat Kafha melepaskannya hingga iat tercebur ke dalam danau.

"Haris!" Inarha berseru ke arahnya meski pandangannya masih tertuju pada Kafah yang melolong kesakitan di atas danau. Lelaki itu langsung terjun ke dalam air dan berenang ke arah Rhaya yang mulai tenggelam. Gaun yang dikenakannya menyulitkan gerakan Rhaya untuk berenang.

Sementara itu, di permukaan danau, Kafah berupaya menarik air untuk memadamkan api yang membakarnya. Namun, tanpa sinar rembulan dia sama sekali tak berdaya.

"Bita aruna muad!" makinya dalam bahasa lama yang dimengerti Inarha.

"Khayan Eri Tadakhua," jawabnya tenang, bersiap untuk melantunkan doa lagi untuk menyakiti si Humakin.

Iblis itu mundur, kemudian berlari masuk ke dalam hutan dengan takut. Berpuluh tahun dia menghadapi berbagai macam Iksook, bagaimana mungkin masih ada seorang Iksook seperti itu?! Dia menggeram pelan, berusaha mencari sinar rembulan. Suatu saat dia akan membalas Iksook yang mempermalukannya ini.

***

Haris memeluk Rhaya erat-erat dan menariknya ke tepi danau. Mereka berdua terbatuk-batuk, kemudian tangis Rhaya pecah. Gadis itu menjerit histeris sambil berusaha menceburkan dirinya ke dalam danau kembali.

"Rhaya!" Haris menjauhkannya dari danau.

"Kenapa kalian mengusirnya?!" serunya marah. "Kafah! Kafah!" jeritnya, memanggil-manggil nama kekasihnya.

Haris terlihat miris melihat keadaan calon istrinya. Dia menoleh ke arah Inarha dengan tatapan memohon.

"Inilah yang kumaksud dengan memetik," ujar Inarha prihatin. "Jiwa gadis ini sudah sepenuhnya terperangkap dalam jerat pesona Humakin. Karenanya, saat si iblis dijauhkan darinya, dia akan bersikap tidak waras seperti ini." tangannya yang keriput menyentuh dahi Rhaya. "Jiwa merupakan makanan paling nikmat bagi iblis-iblis sepertinya. Saat bisa menjerat satu manusia, kesombongannya pun akan bertambah."

"Apa tidak ada cara untuk menolongnya, Iksook?"

"Ada," lelaki itu tersenyum. "Karena itu aku memintamu untuk melangsung pernikahan tiga hari lagi."

Haris tertegun.

Inarha lalu berbisik ke telinga Rhaya, seketika gadis itu jatuh pingsan dalam pelukan Haris.

***

Tiga hari kemudian...

Seruan selamat dan puji-ujian terdengar di luar pelataran rumah Haris. Si pengantin wanita, yang wajahnya tertutup kain merah masuk ke dalam rumahnya dibimbing oleh ibunya sendiri. Hari masih siang, tetapi kini waktunya dia berada di kamar bersama istrinya. Di luar kamarnya, saudara-saudaranya menyambut para tamu yang hadir dan memuat sedikit keributan dengan canda-tawa mereka.

Kamar Haris tampak berbeda dengan berbagai macam hiasan berwarna mencolok. Lelaki itu duduk berhadapa dengan istrinya di tepi ranjang. Di pergelangan tangan mereka sama-sama terikat gelang perak, yang dihadiahkan oleh Iksook Inarha. Haris menarik napas dalam-dalam. Sejak peristiwa malam itu, dirinya dilarang bertemu dengan Rhaya. Calon istrinya ini secara khusus dipingit di dalam rumah Inarha. Keluarga Rhaya, yang diberitahu mengenai apa yang dialami putrinya, tak pelak merasa malu sekaligus sedih dengan keadaan putrinya. Setelah sepakat untuk merahasiakan masalah yang terjadi, Ibu Rhaya pun menemani Rhaya di rumah Iksook Inarha. Mereka berasalan pada para tetangga yang heran, bahwa Rhaya ingin belajar mengenai doa-doa tertentu supaya keluarganya selalu selamat, sehingga harus tinggal di rumah Iksook Inarha.

Kedua tangan Haris terulur untuk menyingkap penutup wajah Rhaya. Napasnya tertahan sejenak ketika mendapati calon istrinya tak banyak berubah dari sejak terakhir mereka bertemu. Satu-satunya yang tidak berubah adalah kekosongan yang tampak dalam sorot matanya. Melihat hal itu membangkitkan rasa sedih Haris. Inarha mengatakan, untuk mengembalikan jiwa yang hampir dipetik membutuhkan waktu agak lama dan dia harus sabar dalam berhubungan dengan istrinya.

Haris mengangkat dagu istrinya dengan lembut. Dia mendekat ke arahnya, lalu mencium dahinya, pipinya, dan terakhir bibirnya. Sebelum melepas hiasan di rambut istrinya, Haris menggumamkan doa keselamatan untuk mereka.

Jiwa kita telah bertaut,

dalam kesucian yang direstui para dewa

Kau yang kucinta,

kuharap selalu aman sentosa

Dalam lindungan dewa tertinggi, Tadakhua

aku mengharapkan jiwamu kembali padaku

Supaya kita bisa menjalin kasih bersama,

hingga ajal menyatukan dalam efrimi di langit

Doanya membuat perhatian Rhaya berpaling padanya. Senyum Haris terulas saat berhasil mendapat perhatian istrinya.

"Aku mencintaimu," ucapnya tulus. "Baik dulu, sekarang, ataupun kelak. Hatiku adalah milikmu." Sekali lagi dia mencium bibir istrinya.

O Eri Tadakhua,

ughar iskan amaeni

Uma Haris ena Rhaya,

 Osakai ima Noa, O sakai rua Noa


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro