3. Mencari Bayangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mencari Bayangan merupakan salah satu dari cerpen yang saya buat tahun 2014, menceritakan seorang karakter yang punya mimpi tapi apesnya malah kena bully. Beberapa tahun ini, pembullyan jadi cerita sekaligus berita yang cukup hangat dibicarakan banyak orang. Yang paling disoroti tentu saja pembullyan di kalangan para pelajar.

Kalau soal mahasiswa diplonco mungkin udah biasa ya, tapi kalau anak-anak dari SD-SMA baru kedengaran sangat miris. Dari perploncoan atau malah pembullyan, kadang sampai menyebabkan korbannya meninggal dunia. Namun, ada kalanya, walau korban tidak meninggal, tetapi jiwanya terluka cukup berat hingga menyebabkan depresi.

Saya pribadi memandang perploncoan, bully atau semua yang sejenis itu sebenarnya bentuk dari penindasan, di mana satu pihak ingin merasa dominan terhadap pihak lain, dengan memanfaatkan cara apa pun. Dan di cerpen ini, saya membuat sudut pandang dari sisi korban. Mungkin, lain kali saya bisa bisa buat dari sisi pelaku. Yah..., silakan menikmati cerpen ini :)

======================================================

Pria berkacamata itu membaca dokumen di tangannya. Di seberangnya, sepasang ibu dan anak menunggu sambil sesekali mengamati ruang kerjanya yang bersih dan didominasi warna putih. Si anak, seorang remaja berumur lima belas tahunan, tampak resah dan beberapa kali berdecak sambil meremas-remas tangan. Sesekali ia melirik pria berjas putih itu, lalu kembali menatap tumpukan laporan yang ada di meja. Ia menggigit bibir bawah, kecemasannya makin menjadi-jadi setelah pria berambut hitam pendek itu meletakkan dokumen berisi riwayat hidupnya.

"Bagaimana?" tanya si ibu ketika pria itu menyingkirkan riwayat hidup putrinya ke atas tumpukan dokumen lain. "Apakah dia diijinkan mengikuti tes tersebut?"

"Setelah membaca riwayat kesehatan serta riwayat hidupnya, saya bisa memastikan kalau putri Anda bisa mengikuti tes tersebut," dia melirik ke arah Dita yang terlihat semakin gugup. "Namun, kita tidak bisa memaksakan tes ini apabila putri Anda tidak mau melakukannya."

"Tidak," Dita buru-buru menyela. "Justru saya yang ingin melakukan tes ini, Dok."

Pria itu mengernyit. "Kau sungguh-sungguh mau?"

Gadis berambut ikal sebahu itu menelan ludah. Ia sudah memikirkan ini berulang-kali dan seharusnya jawaban itu bisa keluar lancar dari mulutnya, tapi yang ada justru sebaliknya. Kalimat itu tersendat di tenggorokan, seperti batu yang mendesak di kerongkongan.

"Kalau kau tidak mau, kita tak perlu melakukan tes ini," Daniel menelengkan kepala ke satu sisi, memperhatikan Dita lebih cermat. "Bagaimana pun, yang akan menjalani tes ini adalah dirimu. Pengaruhnya akan sampai padamu. Kalau kau tidak sanggup, tidak perlu melakukannya."

Dita meremas kedua tangannya kuat-kuat. "Tidak, Dok!" tolaknya gigih. "Saya...Saya mau melakukannya! Saya tidak mau seperti ini terus!"

Daniel terdiam, menganalisa seberapa mantap keputusan pasiennya.

"Saya tidak mau terkungkung masalah ini. Saya tidak mau begini terus," bahu gadis itu bergetar. Sejenak, air matanya mengalir ke pipi. "Saya malu," lanjutnya putus asa.

Daniel menghela napas. Air mukanya terlihat iba sekaligus ragu. Walau Dita berkeras ingin mengikuti tes ini, tetapi sikapnya bertolak-belakang dengan kata-katanya. Pria itu melirik si ibu yang tampak sama iba sekaligus resah dengan sikap putrinya.

"Tes ini terdiri dari beberapa tahap...,"

"Akan saya jalani," sahut Dita.

"Setiap tahapannya akan semakin berat dari waktu ke waktu."

"Saya tidak peduli!"

"Jika mentalmu tidak kuat, kau akan semakin terpuruk, Dita. Apa kau sanggup?"

Gadis itu memandang Daniel mantap. "Saya sanggup!"

***

Daniel mengatakan kalau tes pertama adalah tes yang paling ringan. Tapi, ia menganggap tes ini adalah ujian yang paling berat. Bagaimana tidak? Orang yang paling tidak disukainya muncul dan tiba-tiba memakinya di depan siswa-siswa yang lain. Apa ini ringan? Ini kejam!

Dita menunduk takut. Badannya menggigil sementara keringat dingin mengalir dari dahinya. Kiki sama sekali tidak beralih dari hadapannya dengan mempertahankan keangkuhannya. Kedua tangannya berkacak pinggang sementara pandangan matanya yang mengintimidasi membuat Dita tak mampu menatapnya. Siswa-siswa di sekitar mereka cuma berbisik-bisik sambil menatap mereka. Beberapa bahkan ada yang tertawa-tawa.

Apa ini sebuah lelucon? Dita mengetatkan rahang ketika mendengar cekikikan itu lagi.

"Heh! Dibilang berapa kali sih, baru mau sadar? Kamu tuh harusnya gak sekolah di sini! Pindah sono, ke tempat yang jauh! Ke pelosok desa! Cewek jelek penakut kayak kamu harusnya temennya sama monyet dan sapi!" ejekan gadis berkuncir satu itu disambut cekikikan beberapa kawannya.

Ada beberapa siswa yang tampak tidak suka dengan kata-katanya, tapi mereka hanya diam. Kemudian, dengan satu telunjuknya, Kiki mendorong kepala Dita ke belakang, sehingga mereka bisa saling bertatapan.

"Cewek jelek..., mati saja sana! Dunia gak butuh manusia sampah macam kamu!"

Kedua tangan Dita mengepal. Kemarahannya sampai di ubun-ubun. Ia menerjang, bahkan mencekik gadis di hadapannya. Namun, sekejap semua jadi gelap. Gadis itu tersentak bangun. Ia menatap sekeliling dengan bingung sebelum menemukan Daniel dan ibunya berada di dekatnya.

Tampang dokter itu sedikit menyiratkan kekecewaan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa selain menyuruhnya istirahat.

***

"Tes ini untuk memulihkan kejiwaanmu, bukan sebaliknya," ujar Daniel saat mereka berdua saja di kamar rumah sakit.

Dita terdiam. Ia hanya menunduk sambil memainkan ujung lengan piyama rumah sakit.

"Aku tidak bermaksud menghakimimu," Daniel mendesah. Dia bangkit dari kursinya dan menepuk-nepuk kepala Dita. "Aku hanya ingin mengingatkan, kendalikan amarahmu. Program ini bertujuan untuk menemukan kembali dirimu yang sebenarnya, bukan menghancurkanmu."

Gadis itu masih saja diam. Ia mendongak, menatap pria berkacamata itu. Mata mereka sama-sama hitam, tapi pandangan mereka lain. Daniel selalu menatap orang lain dengan ramah dan hangat, sedangkan Dita sebaliknya. Tatapannya penuh kecurigaan dan rasa takut.

"Dok...," panggilnya kalem. "Kenapa harus ada yang ditindas dan yang tertindas?"

***

Ia mengikuti tes ini untuk sembuh, supaya bisa kembali ke lingkungan masyarakat dan menjadi anak baik-baik. Namun, tiga kali mengikuti tes awal, ia selalu kalah dan dipojokkan oleh kemarahannya. Hal itu membuat dr. Daniel, yang mengawasi program pemulihan diri ini, menghentikan ujian begitu emosinya tidak stabil.

Gadis itu terisak di atas meja pasien. Di tangan, kepala, maupun kakinya masih tertempel kabel-kabel berbagai warna yang tersambung pada beberapa jenis alat. Dari kabel-kabel ini, Daniel bisa mengawasi keadaannya dari balik layar bersama beberapa perawat dan dua dokter lainnya. Pria itu beranjak dari belakang layar komputer. Dia mendatangi Dita yang masih menangis di atas meja berbentuk lengkung itu.

Tes keempat dan Dita masih tetap gagal.

Daniel mengulas senyum bersahabat ke arah Dita. Beberapa perawat dengan sigap melepaskan kabel-kabel yang terpasang di tubuh remaja berbaju putih itu. Setelah mereka membereskan kabel-kabel itu, Dita baru bisa duduk.

"Maafkan saya," ucapnya, merasa berdosa.

"Jangan meminta maaf padaku, minta maaf-lah pada dirimu sendiri," Daniel mengusap kepala Dita. "Bagus, tes kali ini ada sedikit kemajuan."

Dita mengangkat kepalanya, memandang dokter paruh baya itu tak percaya.

"Kau hampir berhasil," lanjut Daniel.

***

Reflection Program, biasa disingkat RP, merupakan rangkaian tes yang harus ia jalani untuk memulihkan diri dari segala tekanan atau pun ketakutan yang membuatnya depresi. Untuk mengikuti tes ini, kesehatan serta kejiwaannya harus stabil. Bila tidak, bisa dipastikan rasa depresi atau ketakutannya akan semakin kuat. Ibunya mendaftarkannya untuk mengikuti program ini atas permintaannya. Sudah tiga bulan ia di rumah, tak berani berangkat sekolah karena takut akan di-bully oleh siswa sekelasnya. Rasa lelah, jenuh, sekaligus marah, memberanikannya untuk mengikuti serangkaian tes pemulihan diri.

dr. Daniel, psikiater yang menanganinya, mengobservasinya lebih dulu sebelum memastikan kalau dirinya benar-benar bisa mengikuti Reflection Program. Sekarang sudah lima bulan ia tak bersekolah dan masih bertahan di tahap ET. Terus terang, Dita merasa malu karena tak lulus-lulus dalam tes ini. Berulang-kali kali ia berhadapan dengan permasalahan yang hampir mirip dan selalu gagal mengatasi masalah tersebut. Namun, Daniel menyabarkan serta terus memberinya dorongan untuk mengambil tindakan yang lebih baik. Ibunya juga senatiasa menemani dan memberinya semangat supaya tidak lekas putus asa.

Ini ET ke-6. Dita mendesah pelan. Ia duduk di atas meja pasien. Seperti yang lalu, ia mengenakan gaun putih lengan panjang. Daniel berdiri di dekatnya dan tersenyum melihat kecemasannya.

"Apa aku akan berhasil, Dok?" tanyanya ragu.

"Kau bisa," Daniel mengangguk. "Akhir-akhir ini, kulihat reaksimu jauh lebih baik dibanding tes sebelumnya. Emosimu cukup stabil dengan tindakan hampir tepat. Di tes ini, kemungkinan kau bisa lulus."

Itu artinya ada kemungkinan ia tidak lulus juga. Dita menarik napas dalam-dalam. Ia lalu berbaring di atas meja yang berbentuk cekung itu. Kemudian, perawat-perawat mulai menempelkan kabel-kabel di sekujur tubuhnya. Daniel menekan sesuatu di sisi alat berbentuk lingkaran sempurna yang mirip seperti MRI. Beberapa saat dia berkutat dengan mode serta program visualisasi pada alat tersebut, sebelum tersenyum terakhir kalinya pada Dita. Dia lalu beranjak menuju ke sisi operator RM, Reflection of Memory.

Perlahan-lahan meja bergerak masuk ke dalam ruang di tengah-tengah lingkaran sempurna. Dita memejamkan mata. Awalnya ada cahaya di sekitarnya, tapi kemudian cahaya itu padam. Suasana tenang bertahan selama beberapa detik, sebelum alunan merdu musik intrumen menggantikan. Dita tak pernah menghitung berapa lama ia berada di dalam tabung RM ini, tetapi sering ia menghitung berapa banyak lagu yang diputar sampai ia tak lagi sadar.

Kesadarannya mulai goyah saat musik ketiga diputar. Gesekan biola yang berpadu suara piano mulai terdengar sayup-sayup. Kemudian, sepenuhnya ia tenggelam dalam pikirannya.

***

Lagi-lagi ia melihat kegelapan mengelilinginya. Lalu, perlahan-lahan tempat ini mulai mewujud. Tubuhnya menegang kaku ketika mendapati kejadian apa yang hendak ditampilkan padanya. Tangannya gemetar sementara matanya membelalak menyaksikan kegelapan ini berubah menjadi gedung olahraga yang cukup luas. Perasaannya gentar ketika satu per satu orang-orang yang membuatnya mogok sekolah muncul di hadapannya.

Sepuluh siswa berseragam putih – abu-abu muncul di hadapannya. Semuanya perempuan dan mereka mengelilinginya, membentuk sebuah lingkaran yang tak mungkin ditembusnya. Masing-masing memandangnya dengan sorot mata kesal sekaligus benci. Kiki berdiri persis di hadapannya. Dia bersidekap sambil menatapnya congkak.

Dita tertunduk gemetaran, tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi. Tak mungkin ia melupakan kejadian memalukan sekaligus memuakkan ini!

Kiki mendorongnya ke belakang, membuatnya mundur dua langkah. "Sok kecakepan ya. Bukan murid pinter, bukan juga yang paling cantik. Tapi berani nolak cowok yang kusuka! Emang kamu siapa? Sok banget sih."

Dita menelan ludah. Ini pangkal masalahnya dengan Kiki. Sebenarnya, ini bukan masalah kalau Kiki tidak mempermasalahkannya. Rudi, pemuda yang ditaksir Kiki, suka padanya entah karena alasan apa. Sesuai apa yang Kiki katakan tadi, ia memang tidak cantik dan juga tidak pintar. Bisa dikatakan, ia seperti murid kebanyakan. Makanya, saat Rudi mengatakan suka padanya, jelas saja Dita kaget dan tanpa pikir panjang menolak. Ia tak habis mengerti, kenapa Rudi bisa suka padanya. Selain itu, ia pun belum tertarik untuk berpacaran. Baginya, dunia sketsa masih jauh lebih asyik dibanding pacaran.

Sayang, karena penolakannya waktu itu, Kiki jadi tersinggung. Aneh memang. Harusnya Rudi yang tersinggung, bukan Kiki. Tapi malah gadis itu yang menggencetnya. Dibilang sok kecakepan-lah, sombong, bodoh, dan masih banyak lagi makian yang dilontarkan Kiki. Awalnya, makian itu tak pernah melibatkan permainan fisik. Namun, karena kecuekannya, bully-an Kiki semakin menjadi-jadi, bahkan sampai berani main tangan segala.

"Mana bukunya?" Kiki mengulurkan tangan ke samping tanpa menoleh.

Salah satu kawannya mendekati dan memberikan sebuah buku lebar bersampul biru.

Muka Dita seketika memucat mengenali buku itu. Buku sketsanya! Pantas, buku itu tidak ada di mana-mana, meski ia sudah mencarinya sampai ke sudut-sudut rumah. Ternyata salah satu dari mereka mencuri buku itu dari tasnya dan menyembunyikannya!

"Gimana perasaanmu kalau yang kamu suka hilang darimu? Rasanya pasti sakit, kan?" Kiki membuka buku itu dan melihat-lihatnya. Lembar demi lembar kertas berisi gambar-gambar yang dibuat dengan pensil dia lewati. Sesekali dia berhenti dan menunjukkan satu-dua sketsa pada kawan-kawannya sebelum tertawa.

"Aku tahu, kamu sukaaaa sekali menggambar," tatapan Kiki berubah picik. "Kalau misalnya, sketsa ini hilang dari tanganmu, apa yang akan kamu lakukan, ha?"

Raut Dita semakin pasi. Ia menggeleng pelan. "Jangan...," bibirnya bergetar.

"Apa?" Kiki setengah mencemoh. "Kau bilang apa tadi? Jangan?" Dia lalu merobek satu halaman dan menyobek-nyobeknya menjadi serpihan kecil. "Maksudmu jangan dikembalikan?"

Teman-temannya cekikikan mendengar ucapannya. Sementara jantung Dita berdebar semakin kencang. Gambar-gambar di buku sketsanya disobek satu-satu lalu dihancurkan hingga tak lagi berbentuk lembaran utuh. Ia berusaha merebut bukunya, tapi dua kawan Kiki sudah maju untuk menahannya.

"Gimana rasanya? Sakit, kaaaan?!" seru Kiki. "Aku juga sakit! Waktu Rudi nolak aku dan malah lebih milih kamu, rasanya hatiku juga hancur kayak gini!" gadis itu makin beringas menyobek buku Dita.

Dita meronta, berusaha lepas supaya bisa menyelamatkan buku sketsanya. Demi Tuhan, Rudi tak sebanding dengan buku sketsanya! Rudi tak sebanding dengan mimpi-mimpinya di dalam gambar-gambar itu! Dita mulai terisak ketika Kiki menyobek halaman terakhir buku gambarnya.

"Nah, sekarang kita impas!" Kiki menepuk-nepuk kedua tangannya.

Impas? Ini tidak adil! Dita jatuh terduduk meratapi serpihan sketsanya. Cemohan terdengar bergantian di sekelilingnya. Gambar-gambarnya dihancurkan dalam waktu singkat, padahal butuh waktu lama baginya untuk membuat semua ini dan mengumpulkannya satu-satu.

Ia ingat, apa yang akan dilakukan Kiki setelah ini. Sebelum ia memutuskan mogok sekolah, ia ingin mengumpulkan semua serpihan-serpihan sktesanya, tapi Kiki malah menginjak kakinya dan menghinanya. Itu membuat hatinya sangat sakit dan harga dirinya terluka.

Tangannya terulur ke depan untuk mengambil serpihan kertas yang bertumpuk di hadapannya. Namun, seperti kejadian yang lalu, Kiki menginjak tangan kanannya. Dita mendongak dan mendapati senyum sadis gadis berkuncir satu itu. Emosi Dita meluap. Dulu, ia tak bisa melawan, cuma menerima hinaan serta perlakuannya. Namun, sekarang tidak. Dita memantapkan hati, membalas tatapan Kiki sekalipun rasa takut masih terselip dalam hatinya.

"Kamu sama sekali nggak adil, Ki!" katanya.

"Nggak adil?" Kiki tertawa mencemoh. "Kita impas! Kamu kehilangan sketsamu, aku gak mendapatkan Rudi."

"Kalau kamu nggak ngedapetin Rudi, itu urusanmu dengan dia, bukan denganku!" tatapan Dita menajam.

Kiki tersentak sejenak melihatnya caranya menatap. Injakan pada tangan kanannya semakin kuat, tapi Dita bertahan untuk tidak meringis.

"Ada banyak laki-laki selain Rudi di dunia ini! Hanya karena satu laki-laki, kamu bikin musuh? Untung aku gak punya geng, jadi kamu gak balas di-bully. Coba kalau aku punya kelompok, apa kamu masih berani mem-bully-ku?" Dita mengangkat paksa kaki Kiki, sehingga tangannya bisa lepas dari injakan gadis itu. Ia berdiri dan berhadapan dengan gadis itu dengan mantap.

"Cintamu hanya cinta monyet! Kita masih SMA, jalan kita masih panjang! Hanya karena satu kawan yang belum tentu akan kamu nikahi besok, kamu berani bikin musuh?!" Dita maju mendekat, kini giliran Kiki yang mundur.

Ada beberapa kawan yang ingin membantu Kiki tapi Dita langsung mendelik ke arah mereka. "Ini urusanku sama Kiki! Jangan ikut campur!"

Mereka langsung terdiam, sedikit ngeri melihat air muka marah Dita.

"Dengar ya...," Dita menunjuk-nunjuk Kiki, "Tahu gak, berapa lama aku harus menyelesaikan sketsaku? Bertahun-tahun! Sejak aku masih SD! Gampang banget kamu bilang 'kita impas' dengan nyobek-nyobek semua sketsaku hanya gara-gara Rudi. Rudi gak sebanding dengan semua coretanku itu!"

Kiki mengepalkan tangan. Dia ingin balas marah, tapi Dita lebih dulu menyela.

"Kalau kamu mau marah, marah sono sama Rudi, jangan padaku! Aku tahu, aku gak cantik atau pinter, tapi seenggaknya aku gak bodoh dengan ngelabrak orang sembarangan! Apalagi ngehancurin milik orang lain dan menganggapnya sepele! Asal kamu tahu, ya, benda yang menurutmu sepele itu, berharga buatku! Lain kali, kalau marah atau cemburu, liat-liat dan pakai otak dong. Jangan asal tumpahin marah ke orang lain! Dipikir orang lain gak bisa marah apa! Sekarang, gara-gara kamu, aku musti ngegambar semua sketsaku dari awal!"

Kiki benar-benar dibuat bungkam, tak bisa membalas pernyataan Dita. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, Dita berbalik dan menerobos dua orang yang menghadangnya. Ia sempat mengambil sampul buku sketsanya yang tersisa dan keluar dari gedung olahraga. Ada rasa lega menyusup dalam hatinya setelah melampiaskan uneg-unegnya tadi. Kemudian, semua jadi gelap.

Musik berhenti dan cahaya kembali menerangi sekelilingnya, membuat Dita merasa sedikit silau. Lalu, meja tempat ia berbaring bergerak keluar dari tabung RM perlahan-lahan. Gadis itu membuka mata dan mendapati Daniel sudah berdiri di sisinya. Lelaki itu tersenyum lebar.

"Selamat, kau berhasil melewati tes ini!" ucapnya.

Wajah Dita berubah cerah.

"Walau kurasa, agak sedikit berlebihan juga mengenai kata 'nikah'," Lelaki itu menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal.

Dita tertawa kecil. Beban di hatinya sedikit terangkat setelah melampiaskan kekesalannya tadi. Perawat-perawat membantunya untuk melepaskan kabel-kabel dari sekujur tubuhnya, sehingga ia bisa beranjak dari meja pasien.

"Saya merasa senang, Dok," ucapnya.

"Tes selanjutnya lebih sulit dari ini, Dita," Daniel mengingatkan, walau tak bermaksud menakut-nakuti.

"Saya siap," jawab gadis itu riang.

Lelaki itu tersenyum geli. Beberapa pasiennya selalu sumringah begitu berhasil menghadapi ketakutan mereka. Keduanya berjalan keluar dari ruang pengujian. Dita sempat melambai pada pegawai di sana dan mengucapkan terima kasih.

"Lusa, kami akan mencari bagian yang lebih dalam di ingatanmu untuk memproyeksikan tes berikutnya," ujar Daniel.

Dita mengangguk paham.

"Kau harus mempersiapkan diri lebih baik dari sekarang."

"Saya mengerti, Dok," sahutnya mantap. "Sebelum itu, bolehkah saya meminta kertas dan pensil?"

"Untuk?" Daniel sedikit mengernyit.

"Sayaingin menggambar," Dita menatap tangan kanannya dengan bahagia. "Sudah lamasaya tidak membuat sketsa." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro