10. Satu Langkah Ke Depan!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Buka jendela itu, keluar, dan semua beres. Aku memelototi jendela kamar yang menampilkan taman samping rumah. Tidak, tidak segampang itu. Kalau aku keluar, orang-orang akan panik, semua akan mencariku, dan bagaimana kalau apa yang dikatakan Ayah-Ibu benar, bahwa di luar sangat berbahaya dan penuh dengan orang jahat? Aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi kalau bertemu orang jahat.

Tapi..., aku ingin keluar. Bahkan sudah siap dengan memakai kemeja, mantel, celana panjang, serta sepatu bot. Tuhan...., aku berdecak sambil mondar-mandir. Sebentar lagi waktu tidur siang habis. Kalau aku menundanya, kemungkinan besar, besok hal yang sama akan terulang lagi. Putuskan sekarang, aku memantapkan hati.

Aku berhenti mondar-mandir. Kupandang jendela kamar yang tertutup, yang menjadi pembatas antara rumahku yang nyaman dengan area luar. Salah, area luar ada di sisi luar tembok rumah. Setidaknya aku harus memanjat tembok dulu supaya bisa sampai ke area itu. Aku menarik napas dalam-dalam. Ayo, Kaila, kau bisa. Kau akan melihat tempat yang kau tuju!

Dan, aku mengambil langkah pertama untuk keluar.

***

Ayah mengatakan, kalau dunia luar itu berbahaya. Makhluk buas ada di mana-mana dan banyak orang jahat berkeliaran. Ibu juga menambahi, kalau alam sangat menakutkan. Ada hutan belantara yang gelap dan mengerikan, juga tebing-tebing curam yang membahayakan. Tapi, aku bukan anak kecil berusia 5 tahun yang bisa dibodohi seperti itu. Cerita-cerita menakutkan mengenai alam luar tak lagi membuatku takut, tapi penasaran.

Aku sering memohon pada Ayah dan Ibu untuk mengajakku pergi keluar, tapi mereka selalu menolak. Aku cukup berada di rumah, aku lebih aman di sini, di tempat yang dikelilingi tembok dan memiliki halaman luas serta ruangan-ruangan besar yang kosong. Di tempat sebesar ini, aku tinggal bersama orangtua serta para pelayan. Aku tak punya saudara. Kata Ibu, mereka semua meninggal saat beranjak dewasa, kecuali aku, yang kini berusia 14 tahun.

Karena itu, mereka tak ingin aku ke mana-mana. Mereka ingin aku berada di tempat yang aman dan tenang. Sayangnya..., aku tidak berpikir demikian. Tempat ini memang aman, tapi membosankan. Diam-diam aku sering mencuri dengar cerita para pelayan mengenai tempat-tempat yang mereka datangi atau kejadian-kejadian apa yang mereka dapati di luar. Itu membuatku makin bersemangat untuk menjejakkan kaki ke luar.

Namun, sialnya, setelah bersusah-payah memanjat dinding dan kini berdiri persis di jalan desa yang ada di luar rumah, aku malah ragu. Hati kecilku berbisik, menyuruhku untuk kembali ke kamar dan bergelung di tempat tidur. Tapi, sebagian dari diriku yang lain tidak. Ini langkah pertama dan aku harus tetap maju. Pandanganku terpaku pada hamparan ladang yang cukup luas di depanku. Kemudian, terlihat pula hutan serta pegunungan yang ada di belakang hamparan ladang itu. Wah..., aku tak menyangka, di balik tembok rumah yang tinggi ada pemandangan seindah ini. Mulutku terbuka, lalu segera terkatup. Ingat kalau saat ini au tidak berada di rumah.

Kutengok ke kiri dan ke kana. Sepi. Tak ada siapa pun di sekitar sini. Suasana pun tenang diiringi angin sejuk yang bertiup sepoi-sepoi. Godaan untuk tidur siang datang kembali. Aku berusaha mengenyahkan pikiran itu. Sekarang apa? Ah, ya, aku harus pergi ke danau itu! Aku mengingat-ingat petunjuk yang diberikan pelayan itu, ke arah mana aku harus pergi ke danau. Sebenarnya waktu itu aku iseng bertanya dan dia menjawab dengan senang hati, karena tak mengira aku akan pergi ke sana hari ini. Aku mengambil kompas dari saku mantel dan menentukan ke arah mana aku harus pergi. Guruku yang cantik mengajariku membaca kompas, meski dia tidak akan menyangka kalau aku akan menggunakan ini untuk pergi dari rumah. Ehm.., mungkin tepatnya jalan-jalan.

Aku menengok ke sisi kanan, tepatnya ke arah selatan. Jalan menuju danau yang ada di luar desa.

***

Danau itu letaknya ada di tengah hutan. Air jernih dan sangat luas. Di sekitarnya tumbuh pohon-pohon serta rumpun-rumpun bunga yang cantik. Bahkan kecantikan taman yang dibuat oleh tukang kebun di rumah tidak mampu menyaingi kecantikan yang dibentuk oleh alam. Siapa pun yang pernah datang ke sana, pasti ingin datang ke sana lagi. Itu yang diceritakan pelayanku.

Sekarang, aku berjalan ke sana, sendiri, di tengah jalan yang sepi. Tidak banyak orang yang kujumpai. Tapi, siapa pun yang kutemui, aku pun tak mengenal mereka. Kebanyakan waktuku dihabiskan di rumah, tak pernah berinteraksi dengan selain orang-orang rumah. Mereka tersenyum padaku, tapi lebih banyak yang mengernyit karena tak merasa mengenalku. Hanya satu yang kuharapkan, mereka tak mengenaliku sebagai putri tuan tanah di sini. Jangan sampai. Langkahku semakin mantap dan ringan. Mana dunia yang berbahaya? Kulihat semua baik-baik saja. Tidak ada apa pun yang terjadi.

Dan, kesombongan merupakan pintu dari kesialan.

***

Aku tidak terlalu ingat bagaimana rentetan kejadiannya, sampai aku basah kuyup terkena lumpur seperti ini. Yang jelas, sebelum aku masuk ke hutan, ada segerombolan kambing liar bertanduk yang berlari ke arahku. Mereka kelihatan marah dan siap menyeruduk apa pun yang ada di depannya. Aku, yang tentu saja panik waktu itu, segera ambil langkah seribu dan berupaya secepat mungkin masuk ke hutan yang terlihat di tepi desa.

Sayang, kesialanku tidak berhenti saat itu. Kambing-kambing itu melewatiku, tapi aku malah tersandung akar pohon dan jatuh ke depan. Untung di depanku merupakan genangan lumpur, semalam hujan turun cukup deras di desa ini, jadi aku tak perlu merasakan sakit saat menghantam ke tanah. Tapi..., muka dan bajuku kotor semua. Tuhan..., inikah balasan karena aku nekat melanggar larangan orangtuaku?

Baik, jangan pikirkan itu dan terus jalan. Bayangan tempat tidur, baju bersih yang rapi, membuatku ingin berbalik, kembali ke kamar. Tidak! Jangan bayangkan itu! Kau harus bayangkan danau indah itu, Kaila! Kulihat kompasku, kemudian aku berjalan mengikuti arah kompas, berjalan menuju arah matahari terbit. Semakin ke dalam, hutan memang semakin terasa mencekam, apalagi bila kau sendirian saja di sini. Sejujurnya, aku mulai ketakutan.

Sepanjang perjalanan, aku terus mengeluh, setengah memaki, setengah menyesali pilihanku pergi ke luar. Tapi aku sudah memutuskan, apa aku bisa menariknya lagi? Bisa, hanya aku tak akan mendapat apa-apa di sini. Rasa penasaranku tidak akan terjawab. Beberapa kali aku terpeleset, menambah lumpur di bajuku. Tuhan..., cuma itu yang bisa kugumamkan. Udara semakin dingin menggigit. Semoga tidak bertemu binatang buas. Apa pun itu, semoga tidak bertemu. Dan aku paling tidak mengharapkan ular ada di sini.

Sepertinya Tuhan mendengar doaku dan mengerti ketakutanku terhadap ular, sehingga Dia tidak mengirimkan satu ekor binatang melata pun ke hadapanku. Perjalanan makin terasa melelahkan, karena tempat yang kutuju belum juga terlihat. Apalagi dari sela-sela pepohonan, sinar mentari yang menembus cela dedaunan terlihat berwarna jingga dan udara tak lagi terasa terik.

Aku mendesah pelan, berhenti sejenak untuk mengambil napas. Saat ini, rumah pasti sangat ribut karena aku menghilang. Semakin lama berjalan, entah kenapa rasanya semakin berat. Keinginan untuk pulang makin berat. Ah, biarlah tidak melihat danau itu sekarang, besok-besok mungkin aku bisa membujuk ayah-ibu untuk mengantarku kemari. Ha?! Semudah itu? Lantas, untuk apa semua usahaku kabur dari siang tadi? Aku menepis pemikiran untuk pulang. Aku harus sampai di sana saat ini. Saat ini juga.

Aku berdoa, semoga bisa sampai ke sana. Kutatap kompas, benar-benar memastikan kalau arah yang kutuju itu benar dan... memang benar! Langkahku terhenti. Tatapanku terpaku pada hamparan warna biru yang ada di tepi padang rumput. Mematung, itu yang kulakukan selama beberapa menit. Mimpikah ini? Aku sampai di tempat tujuanku!

Danau biru membentang luas, seperti kaca yang memantulkan bayangan langit. Rumpun-rumpun bunga tumbuh di tepi hutan dengan warna yang bermacam-macam. Mulutku terbuka. Aku masih tak percaya ketika menjejakkan kaki keluar dari hutan dan menuju danau ini. Kutatap bayangan diriku yang terpantul di danau. Ini benar-benar aku. Aku ada di sini! Aku berlutut. Kucelupkan satu tanganku ke dalam air. Dingin tapi sepertinya segar. Kucuci saja muka dan tanganku yang kotor dengan air danau itu. Ah..., rasanya benar-benar segar.

Melihat semua pemandangan indah ini membuat hati merasa nyaman dan damai. Tidak ada siapa pun di sini kecuali aku. Ah, tidak. Sepertinya aku melihat ada beberapa hewan yang sedang minum di seberang danau. Untung saja danau ini luas, jadi mereka tidak akan buru-buru ke tempatku. Aku merebahkan diri di atas tanah berumput, memandang langit yang perlahan-lahan berwarna lembayung. Sebentar lagi malam, aku harus segera pulang. Tak apa sebentar di sini, yang penting, aku sudah pernah ke sini!

Akumenyeringai senang. Rasa lelahku hilang sudah. Kemudian, aku berdiri, berniatpulang ke rumah. Namun, saat melihat hutan lagi, mendadak kelelahan itu kembalilagi. Tuhan..., perjalanan belum berakhir sampai di sini.

-----------------------------------------

Note:

Kaila yang ini nggak ada hubungannya sama Kaila yang ada di The Dragon Soul, ya. Saya cuma ambil namanya aja. :))

Cerpen ini dulu saya buat untuk lomba menulis cerpen di Faber Castle. Karena maksimal hanya 4 halaman, maka saya pun membuat cerita yang super pendek. Namun, mungkin karena cerita ini kurang memuaskan dan berlatar di dunia antah berantah, cerita ini enggak lolos di lomba tersebut.

Cerita ini mengisahkan mengenai seseorang yang terkungkung dalam zona nyamannya dan berusaha mendobraknya. Memang, awalnya menakutkan dan pasti akan mendapat banyak kesulitan. Tapi, sebagai rasa optimis, bila meraih apa yang diinginkan, pasti akan menjadi kenikmatan tersendiri. Kesulitan-kesulitan yang didapat justru terasa menyenangkan. Cerita ini juga sebagai pengingat bagi diri saya sendiri untuk senantiasa optimis dan menjadi berani untuk mengambil selangkah di jalan baru.

^^


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro