11. Tanda Sebuah Ikatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya dalam waktu sehari, statusnya sebagai gadis merdeka berubah menjadi budak. Kekalahan yang dialami pasukan kerajaan selatan memaksa para prajurit mundur meninggalkan kota sehingga tempat ini bisa dikuasai musuh. Sebelumnya, komandan perang sudah menginstruksikan pada seluruh penduduk kota untuk segera mengungsi ke wilayah lain. Namun, belum sempat semua penduduk pergi, pasukan musuh telah datang dan menggempur kota ini. Tak sedikit dari penduduk kota yang ikut terbunuh atau pun tertawan dalam peristiwa ini. Salah satunya adalah Sheya.

Keluarga Sheya habis dibantai dalam perang kali ini dan ia sendiri hampir diperkosa oleh sekawanan prajurit laknat yang membunuh keluarganya. Jika komandan pasukan yang memimpin penyerangan ini tidak menolongnya, mungkin ia sudah menjadi bulan-bulanan para prajurit tengik itu. Namun, meski sudah ditolong, Sheya masih belum bisa menganggap pertolongan lelaki itu sebagai keberuntungan. Setelah menyelamatkannya dari sekumpulan prajurit liar, si komandan membawa Sheya ke kantor walikota yang kini berubah menjadi markas besar pasukan musuh. Di sana, gadis itu ditempatkan di kamarnya yang membuat Sheya memahami kalau lelaki ini pun tidak kalah laknatnya seperti anak buahnya.

"Jangan salah paham," tegur lelaki itu ketika menerima tatapan permusuhan dari Sheya. "Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dan mereka tidak akan berani menyentuhmu bila kau berada di sini."

Menyelamatkan? Rasanya Sheya ingin tertawa mendengar kata-kata itu. Penyelamatan paling berharga bagi seorang tawanan perang sepertinya adalah kemerdekaan. Seharusnya lelaki ini memerdekakannya dan menyelundupkannya ke luar kota, bukan membawanya ke kamar. Sheya mengawasinya dengan curiga.

"Kenapa kau menolongku?" tanyanya dingin. Ada nada keputusasaan dalam pertanyaannya. "Apa untungnya kau menyelamatkanku, Jenderal?" ia mengenali tanda pangkat di seragam hitam lelaki itu. "Aku ini hanya tawanan perang yang baru saja kehilangan keluarga. Aku tidak memiliki posisi menguntungkan bagimu. Kuharap, kau tidak memberi alasan atas dasar kemanusiaan, karena itu sudah pasti tidak akan kupercaya. Kalian yang menyerang dan membantai keluarga kami, menolong atas dasar kemanusiaan? Sangat menggelikan."

Pria berambut keemasan pendek itu memandangnya tanpa berkedip. Mata birunya yang jernih sama sekali tak membuat perasaan Sheya gentar. Wanita bermata gelap itu balas menatap dingin lelaki di hadapannya. Tangannya masih mencengkram jubah pemberian si komandan yang menutupi gaun atasnya yang robek.

"Kami memang ingin menolong kalian," nada suara lelaki itu terdengar dingin.

"Dengan penindasan?" Sheya mendecih sambil memalingkan wajah.

"Justru bila kalian melayani kami, kalian akan mendapat pengampunan."

Itu adalah hal paling gila yang pernah Sheya dengar.

***

Mungkin otak orang-orang utara sudah rusak dimakan kesombongan, karena itu... timbul sebuah pemahaman bahwa bangsa mereka merupakan bangsa terbaik yang bisa menolong bangsa-bangsa lainnya dengan cara menduduki wilayah mereka, menindas, bahkan... merebut kemerdekaan bangsa itu sendiri. Sheya bisa mati tertawa dengan ideologi semacam ini, jika seandainya ia berada di luar lingkup penindasan ini. Sayangnya, ia bagian dari penindasan ini dan tidak ada satu pun dari sikap bangsa utara yang bisa ia tertawakan.

"Kau tidak lapar? Dua hari ini kau sama sekali belum makan," Shuikan, Jenderal yang menolong Sheya, menyodorkan semangkuk nasi pada gadis itu.

Sheya memalingkan wajah, enggan menghirup harum nasi panas yang mengepul di depannya. Ia semakin meringkuk di sudut tempat tidur sambil memeluk kedua kakinya. Gaunnya yang rusak telah diganti dengan gaun baru sederhana yang lebih baik. Tubuhnya pun sudah dibersihkan oleh budak-budak perempuan lelaki itu. Kebaikan Shui benar-benar tidak biasa untuk tawanan perang sepertinya. Tapi, Sheya tak mau berterima kasih atas semua kebaikannya.

Lelaki berjubah putih itu menghela napas melihat sikap Sheya. Dia meletakkan kembali mangkuk nasi itu di atas meja bundar yang ada di tengah kamar. "Aku sedang banyak urusan, Sheya. Jangan menambah bebanku dengan mogok makan seperti ini. Kalau kau tidak mau makan, aku bisa memaksamu makan."

Sheya memandang hampa selimut yang menghampar di tempat tidur. "Apa untungnya aku hidup di sarang musuh? Ini bukan tempatku."

"Jadi kau merajuk karena kutolong?" Shui terlihat gusar dengan pertanyaannya.

"Jika sejak awal kalian tidak pernah menindas kami, semua pertolonganmu bukan pertolongan, Jenderal," Sheya menaikkan tatapannya, sehingga beradu pandang dengan lelaki itu. Amarah dalam pandangannya berkobar kuat, memancarkan kekuatan lemah yang menggelitik kulit Shui.

Shui memandangnya dalam diam. Kemudian, dia berjalan perlahan menuju tempat tidur, membuat Sheya semakin menarik dirinya ke sudut hingga tubuhnya membentur dinding. Tangan lelaki itu terulur mengusap rambut hitam Sheya yang panjang. Sentuhannya lembut dan sama sekali tidak mengancam.

"Kau tidak akan percaya dengan alasanku," ujar Shui, setelah kebungkaman mereka beberapa saat. "Aku menolongmu karena mencintaimu."

Nah, ini lelucon paling konyol yang pernah ia dengar. Sheya terpana mendengar jawabannya. Ia benar-benar tidak menyangka, akan mendengar kata cinta dari seorang musuh, bukan dari lelaki yang dicintainya.

***

Sheya masih tidak mampu menerima jawaban Shui. Beberapa hari setelah pengakuannya, gadis itu tetap tidak mau makan dan membuat sang Jenderal mulai jengkel. Maka, hari ini lelaki itu pun berniat memaksa Sheya menyantap sesuatu. Bubur yang sudah disiapkan pelayan disuapkan secara paksa kepada gadis itu, dari mulut ke mulut.

"Aku bisa makan sendiri!" Sheya mendorong Shui sekuat tenaga dan hampir melayangkan satu tamparan ke wajah lelaki itu. Namun, dengan mudah Shui menahan tangannya. Tatapan sang Jenderal menusuk pada gadis berambut bergelombang sepunggung itu.

"Kalau kau bisa makan sendiri, kenapa tidak dari kemarin makan?" tanyanya dingin sambil meraih mangkuk bubur lagi. Dia berniat meminumnya dan mencekoki Sheya dengan bubur itu lagi.

Sheya buru-buru merebut mangkuk bubur itu dari tangan Shui, sehingga sebagian isinya tumpah di gaunnya. Ia lalu menenggak isi mangkuk itu sebelum Shui kembali mencekokinya.

"Sudah," gadis itu menyodorkan mangkuk yang telah kosong pada Shui.

"Begini lebih baik," Shui beranjak untuk meletakkan mangkuk tersebut di meja hidangan.

Sheya menghapus sisa-sisa makanan di bibirnya. "Kau tak perlu berusaha mempertahankan hidupku."

Shui tak membalas ucapannya. Setelah mengelap bibir dan tangannya yang kotor, lelaki itu berujar, "Pelayan akan datang dan membantumu membersihkan diri. Kuharap, kau tidak membuat masalah terhadap rekan sekastamu." Kata-katanya tajam dan penuh penekanan, sekaligus melukai perasaan Sheya.

Sekasta..., itu adalah pengingat bahwa di sini... Sheya hanyalah budak.

***

Sheya tidak akan mengerti perasaan cintanya, karena gadis itu tidak mengenalinya. Jika ia mengubah wajahnya sebagai Kai si pedagang kain dari barat, mungkin... gadis itu akan mengenalinya. Ya, selama ini Shuikan menyamar saat tinggal di kota ini. Ia berpura-pura sebagai pedagang kain dan menetap di kota ini selama beberapa bulan untuk mengukur kekuatan sekaligus mencari celah dari benteng terkuat yang selalu dibanggakan kerajaan selatan.

Selama menjajakan kainnya di sini, Shui berkenalan dengan banyak orang, salah satunya adalah Sheya. Gadis itu merupakan pelanggan tetap tokonya dulu. Saat berkunjung ke toko, Shui senang mengajak gadis itu bercakap-cakap. Dari pertemuan mereka yang cukup sering, lama-lama tersemai pula benih cinta dalam hati Shui. Ia yang awalnya bersikap baik hanya untuk kepantasan, lama-lama jatuh cinta kepada gadis itu.

"Dia sudah tidur?" tanyanya pada seekor elang berkalung emas yang bertengger di salah satu kursi. Keadaan kamar memang cukup remang, tetapi Shui masih bisa melihat sekelilingnya dengan baik. Ia baru saja kembali ke kamar setelah rapat panjang bersama beberapa perwiranya di ruang bawah. Dua minggu lagi mereka berencana menekan pasukan kerajaan selatan supaya semakin mundur ke batas provinsi.

"Sudah," elang itu menjawab dengan lancar. "Dia juga menghabiskan makan malamnya. Apa yang kau lakukan padanya?" pandangan hewan abdi itu mengikuti sang majikan yang bergerak ke tempat tidur.

"Hanya memaksanya makan," Shui duduk di tepi tempat tidur dan memperhatikan Sheya terlelap.

"Apa pun yang kau lakukan, caramu ampuh sekali, sampai dia tidak menyisakan makan malamnya," si Elang memutar mata.

Lelaki itu tersenyum. "Terima kasih bantuanmu, Kai. Kau bisa pergi."

Elang itu mengangguk, kemudian lenyap dari hadapan Sui dalam satu kilatan sinar yang tipis. Shui menarik napas dalam-dalam sambil memperhatikan gadisnya. Tangan lelaki itu terulur untuk mengusap rambutnya yang lembut. Rasa mendamba perlahan-lahan mencengkram hati Shui, mendorongnya untuk mencuri satu ciuman dari bibir Sheya.

***

Rupanya Sheya tidak bisa lama-lama berleha-leha di dalam kamar Shui. Segera setelah ia mau makan, lelaki itu membawa seorang pelayan untuk mengajari sekaligus memberitahu tugas-tugasnya sebagai budak. Berbeda dari pelayan yang mengajarinya, belenggu budak milik Sheya hanya terpasang di pergelangan tangan dan kaki. Belenggu tersebut merupakan belenggu sihir, yang mengikat Sheya pada Shui, sehingga gadis itu tidak akan pernah bisa kabur dari majikannya. Keistimewaan lain yang didapat Sheya adalah gaunnya lebih bagus dari pakaian yang dikenakan pelayan lain. Tapi, itu sama sekali tak membuat Sheya senang. Budak tetaplah budak, meski ia diberi pakaian dari emas sekalipun.

Sheya membantu Shuikan berbenah. Ini adalah tugasnya. Sebagai budak Shui, semua kewajibannya berkenaan dengan kebutuhan sang Jenderal. Mulai dari pakaian, makanan, hingga kebersihan kamar, Sheya yang mengurusnya. Di awal menyesuaikan diri dengan status barunya, Sheya mengalami banyak kesulitan, terutama karena harga dirinya masih melawan segala macam penindasan. Namun, Shui membantunya membuka mata, sehingga ia akhirnya terpaksa menerima dirinya sebagai budak. Sungguh, Shui benar-benar baik hati.

"Hari ini aku akan pulang malam. Ada banyak acara yang harus kudatangi," Shui memecah kebisuan di antara mereka.

Memang ia peduli? Sheya justru bersyukur kalau Shui tidak pulang sekalian. Setelah perang di daerah perbatasan selatan dan bulan-bulan penyiksaan karena ia diharuskan menerima harganya, Sheya sama sekali tidak memedulikan majikannya. Sudah setahun ia mengikuti Shuikan dan kini ia tinggal bersamanya di rumah sang Jenderal yang ada di ibu kota kerajaan utara.

Tak mengejutkan ketika Shui menyuruhnya tinggal di kamar utama. Namun, gara-gara itu, hampir semua pelayan perempuan di rumah ini memandangnya iri, karena ia berhasil tinggal sekamar dengan sang Jenderal. Padahal, nyatanya, di kamar ini, hubungan mereka tidak seperti yang dipikirkan orang-orang. Setiap malam, Shui tidur di ranjangnya yang besar dan empuk, sementara ia harus puas berbaring di atas dipan panjang yang dialasi selembar selimut. Jika Shui sedang berbaik hati, lelaki itu akan memberinya selimut tambahan untuk menghangatkan diri.

"Kurasa kau lebih senang kalau aku tidak pulang," Shui berujar seolah membaca pikiran Sheya.

Gadis itu tetap diam, tak merespon. Ia justru beralih untuk mengambil ikat pinggang Shui yang tergeletak di meja hidangan. Namun, gerakan tangannya terhenti karena Shui memeluknya dari belakang. Sheya menelan ludah ketika merasakan hembusan lembut di telinganya.

"Bukannya Tuan harus segera pergi?" Sheya mengumpat dalam hati karena mendengar suaranya sendiri bergetar. Ini adalah saat-saat yang paling ingin dihindarinya. Memang, setahun ini Shui sama sekali tidak mengambil kesuciannya. Namun, seberapa kuat seorang lelaki menahan diri untuk tidak menyentuh wanita miliknya? Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, Shui selalu mencuri darinya. Kadang pelukan, ciuman, atau bahkan rabaan.

Seberapa keras Sheya berusaha menghindar, Shui pasti berhasil mendapatkan sesuatu darinya. Yang menjadi perhatian sekaligus pikiran Sheya selama ini, walau pun bisa memaksa, sepertinya Shui tidak ingin merenggut kesuciannya. Ia... benar-benar tidak mengerti jalan pikiran lelaki ini.

"Baiklah, kalau kau mengusirku," Shui melepas pelukannya dari Sheya. Sebelum meninggalkan kamar, lelaki itu kembali mencuri satu ciuman Sheya.

***

Sudah dibelenggu, melakukan sesuatu pun tidak bisa bebas. Kai si elang selalu mengawasinya bila Shui pergi. Hewan Abdi itu akan menemaninya sepanjang hari, bahkan sampai mengikutinya ke kamar mandi untuk memastikan ia tidak melukai dirinya sendiri. Sheya sebenarnya merasa jengah dengan pengawasan ini. Ia tidak mengerti, kenapa Shui memperhatikannya seketat ini. Ya memang, lelaki itu mencintainya. Namun, sekali lagi, Sheya tak memiliki posisi apa pun dan lelaki itu adalah seorang Jenderal. Mereka hidup di kasta yang berlainan. Kalau ia mati, bukannya tidak akan membawa keburukan bagi hidup Shui?

"Cintamu ini aneh, Tuan," ujar Sheya pada suatu malam. Gadis itu duduk di dipannya, bersiap tidur, sedangkan Shui masih berkutat dengan dokumen-dokumen di atas meja kerja. "Kurasa kau sudah gila karena masih mempertahankanku." Nada bicaranya terdengar sangat datar, seolah mengatai majikannya gila bukan masalah besar.

"Aku sedang sibuk, Sheya. Tidur saja dan jaga kejiwaanmu supaya tetap waras," Shui tak mengindahkan ucapannya.

"Aku sudah gila saat kau menolongku waktu pendudukan saat itu," geram Sheya.

Lelaki itu berhenti memeriksa laporan anak buahnya dan balas memandang budaknya. "Jangan mengajakku berdebat lagi," katanya dengan nada lelah yang tidak disembunyikan.

"Kau ini pahlawan di kerajaan utara. Punya posisi dan pangkat bagus, juga kekayaan berlimpah. Mempertahankan seorang budak yang tidak sesuai dengan kastamu, tentu akan menjadi aib. Seharusnya kau memilih istri dari keluarga terkemuka untuk melanjutkan keturunan, bukannya menghabiskan waktu bersama budak yang membencimu setengah mati," Sheya tidak mengindahkan peringatan Shuikan.

Pria berambut emas pendek itu menutup laporan yang sedang dibacanya. Dia memperhatikan gadis itu sepenuhnya. "Sebenarnya, apa yang ingin kau bicarakan?"

"Lepaskan aku, Shui. Biarkan aku mati," Sheya mempertahankan tatapannya untuk tetap memandang mata Shui.

Kemarahan berkilat dalam mata lelaki itu, membuat perasaan Sheya gentar.

"Aku sudah pernah mengatakan, kalau tidak akan melepasmu, kan?" dia beranjak dari meja kerja, menuju ke dipan tempat Sheya duduk.

Gadis itu beringsut menjauh saat Shui sampai di tepi dipannya, merasa terancam dengan keberadaan Shui di dekatnya. "Cintamu ini aneh, Shui! Memang aku siapamu? Aku tak mengenalmu dan merupakan rakyat musuh kerajaanmu. Untuk apa kau mempertahankan wanita yang bahkan tidak bisa membantu karirmu di pemerintahan?"

Sheya membuang tatapannya ke arah lain, tak sanggup mendapat tatapan setajam itu dari Shui.

"Aku bisa mengupayakan sendiri jalan karirku," Shui menjawab dengan nada dingin yang membekukan. "Kau itu budakku, Sheya. Seorang budak harusnya mematuhi majikannya, bukan terus-menerus mengusik Tuannya karena meminta mati. Aku tidak akan melepasmu, itu janjiku. Jika kau menganggap cintaku aneh, apa cintamu untuk keluargamu tidak kalah anehnya?" pertanyaannya membuat Sheya tertegun.

"Kau sanggup melakukan apa saja demi keluargamu, bahkan sampai mempersiapkan diri untuk upacara pengorbanan kakakmu. Tidakkah itu gila? Demi memperkuat kejayaan keluargamu, kau bersedia memberikan nyawa, bahkan tidak memedulikan peringatan orang yang paling mencintaimu."

Sheya terpaku. Kedua matanya melebar mendengarnya. Itu... bukan hal umum yang diketahui orang. Gadis itu menoleh kembali kepada Shui dan terperanjat mendapati Kai si pedagang dari barat berdiri di hadapannya.

"Kau...," Sheya kehilangan kata-kata saat Shuikan kembali ke wajah aslinya. Kai... Kai sahabatnya yang sering mendengar keluh-kesahnya seputar keluarganya? Shui ternyata Kai yang sering menemaninya saat ia sendirian?

"Ya, ini aku, Sheya," mata biru Shui memandangnya dalam. "Sekarang kau bisa memahami, kenapa aku mencintaimu? Kita bukan orang asing. Kau dan aku saling mengenal."

Gadis itu meremas selimut, memandangnya tanpa suara.

"Kita sama-sama gila karena cinta...," Shui membungkuk, mendekatkan wajahnya pada wajah Sheya. "Dan aku tidak pernah keberatan gila karenamu." Ia mencium bibir gadis itu.

Sheya tak mampu menolak, bingung harus menyikapi kenyataan ini dengan cara apa. Ia memang nyaman bersama Kai, tetapi itu Kai, bukan Shui! Gadis itu mengerjap, sadar apa yang harus ia lakukan. Sheya menolak, berusaha mendorong Shui, tetapi lelaki itu tak mau mengalah. Ciumannya semakin dalam dan memaksa Sheya membuka mulutnya lebih lebar.

Lelaki itu kemudian menekannya ke dipan dan menarik paksa bahu gaunnya turun. Ketika menjauh dari Sheya, keinginan Shui untuk menidurinya lenyap saat melihat air mata gadis itu. Dia menggertakkan gigi, merasa geram karena tidak tega melihatnya menangis.

"Jangan lupa, di sini kau budak, bukan istriku. Aku bisa memaksamu kapan pun aku mau," geram Shui sebelum meninggalkan Sheya dan beralih pada dokumen-dokumennya.

***

Semenjak itu, hubungan mereka semakin kaku. Shui menyibukkan diri dengan pekerjaannya sedang Sheya sendiri memikirkan kembali hubungan yang berjalan di antara mereka. Kenyataan dan rasa curiga menyiksa perasaan Sheya, hingga membuat gadis itu memutuskan untuk mengakhirinya malam ini.

Shui tertegun saat memasuki kamar. Dia baru saja pulang dari istana dan mendapati sesuatu yang tidak biasa. Sheya menyambutnya dalam balutan gaun merah tipis yang memperlihatkan lekuk tubuh. Sesuatu yang diharapkan Shui dari dulu, tetapi mengundang kecurigaannya sekarang.

"Ada apa ini?" Shui melepas jubah. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Sheya tidak langsung menjawab. Ia membantu Shui melepas pakaian, sehingga lelaki itu bisa mencium wangi lembut dari tubuhnya. "Aku... memikirkan kata-katamu beberapa waktu lalu," katanya sambil menaruh barang-barang Shui ke tempat yang semestinya. "Kau benar, aku memang budak tidak tahu diri karena terus mengonfrontasimu."

Shui mengernyit. Ini benar-benar di luar dugaannya. Dia tahu persis watak Sheya dan kebingungan dengan perubahannya yang tiba-tiba. Memang, mereka saling mendiamkan beberapa hari ini, tapi... secepat itukah Sheya mengubah pikirannya?

"Lantas?" Shui masih bersikap hati-hati meski tangannya dengan santai memainkan rambut Sheya.

Gadis itu menelan ludah, memalingkan pandangan ke arah lain. "Aku... milikmu."

Sungguh kejutan yang luar biasa! Shui tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Sheya mengakuinya? Ini sungguh keajaiban! Setahun ini, Sheya masih berkeras bahwa ia adalah gadis merdeka, yang menghalangi Shui meminta sesuatu darinya.

"Kau yakin dengan hal itu?" tangan Shui bergerak melepas sabuk kain yang terikat di pinggang Sheya.

"Ya," gadis itu masih tak mau memandangnya.

"Jangan menyesal jika aku mengambil ini darimu," Shui masih memberinya kesempatan untuk mundur.

"Aku...," Sheya menggigit bibir. "Aku tidak akan menyesal."

Shui tidak memperpanjang percakapan mereka. Tangannya bergerak menurunkan gaun tipis Sheya. Untuk sesaat, lelaki itu terpaku melihat keindahan tubuh Sheya. Gadis itu memiliki kulit cerah seperti dirinya dan memiliki lekukan-lekukan di tempat yang disukainya. Dia menyentuhnya, merasakan kelembutan kulit Sheya. Kemudian, dia menunduk, berbisik di telinga budaknya.

"Apa pun yang kau rencanakan malam ini, tidak akan ada yang berhasil," ucapnya.

***

Napas mereka beradu. Tubuh keduanya bergerak berirama dalam tempo yang cepat. Desahan-desahan terdengar sebelum Sheya memekik karena sesuatu menembus masuk ke dalam dirinya. Namun, Shui segera membungkamnya dalam satu ciuman panjang. Tubuh mereka bergumul makin hebat di atas tempat tidur, hingga terdengar lenguhan Shui. Hasratnya pada Sheya akhirnya terpuaskan. Namun, sebelum Shui melepas pelukannya, dia merasakan sebilah benda tajam menembus dada kirinya.

Lelaki itu terbelalak ketika mencecap rasa asin di mulutnya. Dia menatap gadis di bawahnya yang kini tengah menangis.

"Jika aku tidak bisa bunuh diri, maka kau yang harus mati, Shui," katanya dengan suara gemetar.

Shuikan memandangnya tak percaya, tak menyangka gadis itu akan mengkhianatinya. Namun, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyuman yang membuat Sheya bergidik.

"Sudah kukatakan tadi, kan, Sayang, apa pun rencanamu malam ini, tidak akan ada yang berhasil," tangannya bergerak menghapus air mata Sheya.

Giliran gadis itu yang membelalak.

"Bukan begini cara membunuhku, Sheya," lelaki itu menarik keluar belati yang menancap di punggungnya dan membuangnya jauh-jauh. Darah mengucur dari lukanya, tetapi Shui tak terlihat kesakitan sama sekali. Kemudian, perlahan-lahan luka itu menutup.

Gadis itu hampir saja memekik ketakutan seandainya Shui tidak segera menutup mulutnya dengan tangan.

"Seharusnya kau patuh dan menurut padaku, sehingga tak perlu melihat sesuatu yang tak ingin kau lihat, Sheya," Shui berdecak saat merasakan gadis di bawahnya menggigil ketakutan. "Ya, aku memang bukan manusia biasa. Itu yang perlu kau tahu." Ucapannya membuat Sheya ngeri.

"Tapi, hanya sampai di sini saja kau mengetahui rahasiaku," lelaki itu menutup kedua mata Sheya dan menidurkannya.

Shui beranjak dari tempat tidur. Ia mengenakan kembali pakaiannya, baru kemudian menutup tubuh Sheya dengan selimut. Setelah itu, diambilnya belati yang tadi dipakai Sheya untuk menusuknya. Air mukanya muram dan tatapannya sulit diterjemahkan.

"Aku benar-benar mencintaimu dan kau ingin membunuhku?" bisiknya getir. "Bagaimana bisa ini terulang lagi?" dia sengaja mencengkram mata belati yang tajam hingga tangannya berdarah. Rasa sakit tubuhnya, tak sesakit perasaannya saat ini. Kemudian, pandangannya beralih pada Sheya yang terlelap.

Matabirunya menggelap dan air mukanya sulit dibaca. Sebuah tekad bersemi dalamhatinya. Ia... tak akan membiarkan wanita itu mati sampai kapan pun.    

--------------------------------------

Note:

Ini salah satu cerpen fantasy romance yang saya buat tahun 2014. Kalau nggak salah, cerita ini mengambil tema tentang hubungan apa gitu di kastil fantasi.

Enjoy it. :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro