15. Blood And Happines Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saya nggak tahu judulnya, karena ditulis huruf hangul. Jadi saya sertakan aja semua judulnya ya 🤣🤣

안예은 - 왕이된 남자OST/LightSaver(위화衛華)(COVER by Guriri)

-----------------------------

Sekolah Arka berakhir pukul setengah dua siang dan aku sudah menunggu di depan gerbang sebelum bel sekolah berbunyi. Cuaca hari ini cukup panas. Matahari bersinar sangat terik, sedangkan tak ada awan-awan yang menghalangi sengatan sinarnya, sehingga aku terpaksa memakai payung untuk melindungi diri dari panasnya sinar matahari. Seperti sepaham denganku, beberapa orang tua murid yang menjemput putra-putri mereka juga menunggu di dekat gerbang dengan payung terbuka. Hanya beberapa di antara mereka yang kukenal dan salah satunya mendekat ke arahku.

"Siang, Mbak Iriana," sapaan itu berasal dari perempuan berseragam keki yang mengenakan jilbab senada dengan seragamnya. Dari lambang yang terjahit di lengan kanannya, aku tahu, dia adalah pegawai karisidenan Madiun. Namanya Wulandari—salah satu pegawai dari bagian humas balaikota yang biasa menjadi protokol dalam kegiatan-kegiatan umum.

"Siang, Mbak." Aku tersenyum sambil mengangguk ke arahnya.

"Tumben hari ini menjemput Arka. Bukannya biasanya Pak Toto yang menjemputnya, ya, Mbak?"

"Nini sakit, makanya Pak Toto ndak bisa menjemput Arka," jelasku.

"Oh, pantas saja." Perempuan yang usianya lebih tua dariku itu mengangguk-angguk paham. "Oh, ya, gimana kabar Sampeyan? Sehat-sehat saja, kan? Setelah acara open house di balaikota setelah lebaran, kita ndak pernah ketemu lagi." Matanya melirik ke arah seragam hitam yang kukenakan. "Sampeyan pasti sibuk sekali ya."

Senyumku menipis.

"Lumayan, Mbak," jawabku. "Banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, apalagi setelah tragedi besar tiga tahun lalu. Kita saja di sini masih banyak PR yang harus diselesaikan, kan?"

Wanita bermata cokelat dan berhidung pesek itu membenahi letak kacamatanya yang turun ke bawah. Dia menghela napas, seperti sedang membawa beban berat yang menyesakkan. Dan inilah yang kutunggu-tunggu..., mendapatkan informasi dari salah satu sumber-sumber terdekat pihak balaikota. Jangan meremehkan keluhan atau pun gosip dari ibu-ibu kantor, karena bisa jadi ada informasi tak terduga yang terselip di sana. Kami bahkan bisa melacak mengenai klub malam aruna itu dari gerutuan salah satu pegawai kantor balaikota yang dipaksa mengantar salah satu 'tamu' wali kota yang menginginkan hiburan.

"Pasti tambah sibuk lagi, karena seminggu lagi acara jamuan ramah tamah di balaikota, ya," gumamnya.

"Mbak Wulan juga pasti capek karena harus mengurus persiapannya. Apa tahun ini Mbak Wulan juga ditunjuk sebagai pembawa acara?" tanyaku.

"Ndak, Mbak. Saya gantian sama Aryo," jawabnya. "Jadi tahun ini, saya ndak perlu deg-degan karena bertemu aruna-aruna itu."

Sekalipun para aruna berusaha bersikap baik dan bermanis-manis pada kami, tetap saja ada sebagian di antara kami yang masih ketakutan pada mereka. Bagaimana pun, tahun-tahun penuh 'luka' yang pernah mereka berikan tidak akan bisa terhapus begitu saja hanya dalam waktu setahun-dua tahun.

"Bagaimana persiapannya, Mbak? Lancar atau ada kendala?" tanyaku lagi. "Tadi saya mendapat surat, katanya balaikota meminta pengamanan ditambah karena salah satu petinggi Aruna akan datang. Benar tidak?"

"Benar, Mbak." Perempuan itu langsung mengiakan. "Saka Raharja namanya. Kedatangannya pun mendadak. Kemarin, salah satu staf dari pihak aruna baru menelepon, katanya Pak—maksudnya Saka Raharja akan datang kemari dalam jamuan ramah tamah."

"Ada alasan kenapa tiba-tiba beliau mau datang kemari?"

"Katanya sih, ini bentuk apresiasi beliau atas kerukunan antara aruna dan manusia di wilayah karisidenan Madiun."

Kerukunan Mbahmu! makiku dalam hati, meski tetap memasang senyum. Pasti ada alasan lain kenapa salah satu pemimpin aruna datang kemari.

"Ini berarti apa hubungan antara aruna dan manusia di wilayah kita sudah baik, ya, Mbak?" wanita itu menatapku.

"Seperti itulah," Aku enggan memberinya jawaban yang sebenarnya. Kalau dia tahu, ada manusia-manusia yang diperjual-belikan demi kepuasaan aruna, pasti kemarahannya bangkit. Tidak butuh waktu lama, sampai gosip lain tersebar dan bisa menyulut kemarahan seantero kota. "Yang jelas, sekarang kita bisa tidur dengan tenang, kan?"

"Benar, sih," Wanita itu terlihat agak ragu.

"Omong-omong, kudengar Saka akan membawa budak-budaknya, ya, Mbak? Kok Wali kota mengizinkan? Apa rasanya tidak aneh, melihat ada aruna membawa-bawa budak saat perjamuan antara manusia dan aruna? Kesannya kan, kita—sebagai manusia berada di bawah tekanan aruna," ujarku.

"Mulanya Pak Wali kota juga memprotes," komentarnya. "Tapi, ini ada kaitannya dengan kampanye undang-undang perlindungan budak sih, Mbak. Ya... kita tahu sendiri kan, budak itu seperti apa? Mereka dipermainkan oleh aruna dan dipandang rendah sesama manusia. Maka dari itu, budak-budak Pak—maksudnya Tuan Saka ini diikutsertakan, sebagai bentuk perlindungan bagi para budak."

Aku masih belum memahami maksud ucapannya, sehingga hanya bisa mengernyit mendengar ceritanya.

"Begini...," Dia kembali menjelaskan. "Jika budak dari pemimpin tertinggi saja diperlakukan baik, seharusnya bawahannya juga bersikap seperti itu pada budak-budak mereka, kan?"

Aku tidak bisa tidak menyeringai sinis. "Saya akan tepuk tangan kalau para aruna itu mau mengikuti langkah pimpinan mereka."

"Sama, Mbak!" serunya senang. "Saya juga setuju sama Mbak. Kebanyakan aruna lebih suka memperlakukan budak mereka seperti barang sekali pakai."

Aku mengangguk menyetujuinya.

"Tapi, Mbak...," Wanita itu melanjutkan, "Pimpinan-pimpinan aruna yang sekarang itu... agak aneh-aneh, deh, Mbak."

Aku mengernyitkan dahi.

"Seperti contohnya Pak—maksudnya Tuan—,"

"Kalau memang lebih nyaman memanggilnya 'Pak', panggil 'Pak' saja, Mbak. Toh, kita tidak sedang berhadapan dengan mereka," selaku, "Lagi pula, mereka aslinya Bapak-bapak yang sudah udzur."

Perempuan itu tidak bisa menahan tawanya mendengar komentarku.

"Begini, contohnya saja Pak Gilang. Dia kan menikah dengan budaknya sendiri, Mbak," katanya. "Kalau Pak Saka ini agak berbeda sih. Yah..., dia ndak menikahi budaknya, tapi dengar-dengar, mereka punya hubungan 'mesra'." Wulandari memberi tanda kutip pada kata mesra.

Yang dia maksud pasti Novelita, Diva yang namanya tengah melejit di panggung hiburan Nusantara.

"Novelita bukan, Mbak?" tanyaku penasaran.

Wulandari mengangguk. "Di lambelurah banyak sekali gosip tentang mereka berdua, apalagi kan Mbak Novelita ini satu-satunya perempuan di antara empat budak lainnya dan dia juga yang paling muda. Pernah ada yang memergoki Pak Saka berkunjung ke kamar hotel Novelita tengah malam, saat tur keliling Nusantara. Ada juga yang pernah memotret Pak Saka memayungi Novelita saat mereka sedang berbicara di halaman, pas matahari terik-teriknya. Aduh, Mbak.... Pak Saka ini sweet banget, deh. Banyak yang lihat foto-foto mesra mereka akhirnya nge-ship Pak Saka dengan Novelita. Bahkan ada yang bikin fanfictionnya juga. Coba baca di situs Watipad, deh, Mbak. Bagus banget tulisannya. Bikin emak-emak seperti saya meleleh."

Aku mengerjap beberapa kali—tercengang mendengar semua kalimat itu. Di antara informasi yang ingin kudapatkan, aku justru mendapat gosip dari fans Saka Raharja dan Novelita? Kelihatannya, aku perlu mencari tahu lebih jauh mengenai Saka Raharja ini.

"Anu..., Mbak...," Aku ingin bertanya hal lainnya, tetapi bel sekolah Arka sudah berbunyi. Suasana yang semula agak tenang, menjadi riuh karena sorakan anak-anak berseragam putih – biru tua yang berlarian keluar dari kelas mereka.

"Saya duluan, ya, Mbak," ujar perempuan itu ketika melihat putrinya berlari riang ke arah kami. "Kapan-kapan dilanjut lagi gosipnya. Saya yakin, Mbak kalau tahu cerita Pak Saka dengan Mbak Novelita ini, pasti akan ikut kesengsem juga."

Aku hanya bisa menyunggingkan senyum terpaksa sambil melambai ke arahnya yang kemudian berlalu dari sekolah menggunakan sepeda motor.

"Ibu!" Arka tampak gembira ketika melihatku. Dia segera meraih tangan kananku dan salim. Tiga tahun lalu, tingginya hanya sepinggangku, tetapi kini sudah mencapai bahuku. Kalau Arka rajin berobat, makan banyak, dan menjaga kesehatannya, beberapa tahun mendatang tingginya pasti sudah melebihiku.

"Ibu sudah dari tadi menunggu di sini?" tanyanya sambil berjalan bersamaku menuju mobil yang kuparkir di dekat sekolah.

"Tidak juga," jawabku sambil mengusap kepalanya. "Bagaimana sekolahnya? Lancar?"

"Lancar sekali, Bu." Dia tersenyum lebar. "Hari ini ulangan bahasa indonesiaku dapat sembilan puluh, lho."

"Wah..., bagus sekali, harus dirayakan kalau begitu! Bagaimana kalau hari ini ibu buatkan sayur lodeh jipang dan opor ayam?"

Tatapan Arka dipenuhi binar semangat. Selama ini, menu makannya kuawasi sangat ketat dan dia hanya boleh menyantap hidangan tertentu. Menyantap sayur lodeh jipang dan opor ayam tentu menjadi makanan yang langka untuknya.

"Mau, Bu!" jawabnya cepat.

Aku tertawa melihat semangatnya, "Kalau begitu, kita harus lekas pulang."

***

Sesampainya di rumah, Bi Sriyati membukakan pintu dan kami juga disambut dengan sapaan cadel Mia.

"Ma...Ma...Ma...," Mia memanggil-manggilku sambil mengulurkan tangan ke arahku, minta digendong.

"Aduh, Dek..., Mama harus kembali ke kantor," ujarku, tetapi tidak menolak untuk menggendongnya. Bocah cilik berumur satu setengah tahun itu tertawa dalam dekapanku, membuatku tersenyum.

"Sana, ganti baju, makan, sembahyang, lalu tidur siang," kataku pada Arka, yang langsung dipatuhi anak itu tanpa banyak bicara. Sementara itu, aku masih menggendong Mia yang kini sedang berceloteh sambil menunjuk pepohonan yang berdiri di halaman rumah kami.

"Mau dibuatkan teh atau yang lainnya, Buk?" tanya Bi Sriyati yang masih berdiri di ambang pintu rumah.

"Es teh saja ya, saya pengen yang segar," jawabku.

Kemudian wanita berumur nyaris lima puluhan itu berlalu ke dalam rumah. Sementara itu, aku duduk di kursi teras dan berusaha menidurkan Mia yang masih berceloteh meski sesekali menguap karena masih mengantuk. Bocah kecil ini pasti terbangun ketika mendengar suara mobilku yang memasuki garasi rumah. Jam segini, harusnya anak ini masih tidur siang.

"Ma...Ma...," Mia menarik-narik kerudungku sambil menatapku dengan binar kepolosan yang membuat perasaanku tentram. Dengan tangan yang mencengkeram kerudung dan bajuku, anak itu mulai berdiri di atas pangkuanku. Kusangga tubuhnya dengan menyelipkan tangan ke ketiak kiri dan kanannya, supaya anak itu tidak jatuh. Seperti biasa, dia melonjak-lonjak di atas pangkuanku—bahagia tanpa sebab yang jelas.

Melihat senyum dan tawanya, mau tak mau aku juga ikut tertawa. Setelah seharian berhadapan dengan aruna menyebalkan, berkutat dengan urusan dokumen yang belum selesai, dan memikirkan mengenai masalah pekerjaan yang tidak ada habisnya, bermain bersama Mia seperti menjadi hiburan tersendiri bagiku.

Tadinya..., aku menganggap Mia sebagai 'beban tambahan' yang ditinggalkan adik perempuanku. Namun seiring waktu, aku menyadari, anak kecil hanyalah anak kecil. Mereka tidak memiliki keputusan untuk memilih dan Tuhan menyerahkannya padaku, untuk dirawat dan dijaga, bukannya disia-siakan serta ditinggalkan.

Tiga tahun lalu, setelah perang besar usai, adik perempuanku yang tinggal di Surabaya datang ke kantorku sekarang. Dia mencariku, karena tidak seperti sekarang, rumah lamaku hanya bisa diakses orang tertentu dan terletak di wilayah yang cukup terpencil. Dia dalam keadaan hamil muda ketika memohon untuk diijinkan tinggal bersamaku.

Tentu saja aku tidak bisa menolaknya, apalagi setelah mendengar cerita mengenai suami dan keluarga suaminya yang tewas dalam kerusuhan lanjutan setelah perang besar terjadi. Nina—adikku, yang sudah tidak memiliki siapa pun di Surabaya, lalu datang ke Madiun dan aku pun menampungnya. Selama tinggal bersamaku, dia banyak membantuku mengurus Arka. Walau aku sudah menyuruhnya beristirahat, karena dia sedang hamil, tetapi dia tidak mau mendengar dan tetap menyibukkan diri di rumah.

Aku tahu, dia sungkan karena menumpang di rumahku. Namun, aku juga tidak bisa melarangnya, karena memahami ketidakenakan hatinya. Pada akhirnya, aku hanya bisa mengingatkannya untuk tidak terlalu lelah dan rajin mengonsumsi vitaminnya. Sayangnya, adikku meninggal dunia beberapa jam setelah melahirkan Mia. Akibat pendarahan hebat dan kurangnya pasokan darah di rumah sakit pada waktu itu, nyawa adikku tidak tertolong.

Satu-satunya wasiat yang kuterima, beberapa saat sebelum dia meninggal adalah... permintaannya supaya aku menjaga Mia dan membesarkannya, yang tentu saja kusanggupi dengan berat hati. Membesarkan seorang anak saja sudah cukup berat bagiku, apalagi dua anak. Ketika membawa pulang Mia ke rumah, aku hanya bisa menangis—memikirkan nasib anak ini maupun anakku sendiri.

Pengobatan Arka masih berlanjut dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Gaji dan tunjanganku sebagai kepala divisi intel komite keamanan khusus masih mampu membiayai itu semua, tetapi dengan satu nyawa lagi yang kutanggung, aku merasa... tidak sanggup. Saat itu, aku berhemat cukup ketat untuk mencukupi seluruh kebutuhan kami, mulai dari membayar listrik, air pam, telepon, pajak rumah dan kendaraan, maupun kebutuhan sehari-hari. Dan seorang anak manusia—apalagi bayi yang baru berumur beberapa hari, membutuhkan perlakuan dan kebutuhan khusus, mulai dari susunya, pakaiannya, sabunnya, dan segala macam perlengkapannya. Aku pun harus memperhatikan asupan susunya setiap dua jam sekali.

Aku benar-benar lelah dan takut tidak bisa merawat puteri Nina dengan baik. Namun, Tuhan rupanya memberi kejutan lain. Di tengah kekalutanku akan kebutuhan rumah tangga yang bertambah, surat keputusan penunjukan sebagai koordinator wilayah karisidenan Madiun datang padaku. Komite Keamanan Pusat menunjukku sebagai koordinator karisidenan Madiun yang baru. Jabatanku naik, yang berimbas pula pada kenaikan gaji dan tunjangan yang kuperoleh.

Aku merasakan tali yang melilit leherku seketika lepas saat itu juga. Meski harus menghadapi lingkungan baru, masalah baru, maupun orang-orang baru, aku merasa berani menghadapinya. Demi anak-anak yang bergantung padaku, aku tidak bisa menyerah begitu saja atas halangan yang ada di depanku. Setelah kami pindah ke rumah baru, yang ada di daerah maospati—berdekatan dengan lanud Iswahyudi, aku bertekad untuk bekerja sebaik mungkin demi memberikan yang terbaik bagi anak-anakku.

"Siapa anak Mama yang paling manis?" Aku menciumi pipi Mia dengan gemas sampai anak itu tertawa-tawa. "Sudah, sudah, sekarang Mia tidur lagi, ya. Mama mau berangkat ke kantor." Aku memeluk bocah kecil berambut keriting itu sembari mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

Aroma minyak telon yang bercampur dengan bedak bayi serta keringat menciptakan aroma khas yang hanya dimiliki bayi.

Mia memeluk leherku erat-erat, seakan tak ingin melepasku. Namun, setelah beberapa saat meninabobokkannya, bocah itu akhirnya tidur juga. Kemudian aku masuk ke rumah—pergi menuju kamar Mia yang berada di sisi kamar Arka. Kamar Mia berbeda dari kamar Arka yang cenderung sederhana, kamar anak ini nyaris dipenuhi mainan maupun gambar-gambar animasi binatang di tembok yang bercat ungu muda. Setelah menidurkan anak itu di boks bayi, aku mengatur ulang suhu pendingin udara di kamar Mia, agar anak itu tidak kepanasan di dalam.

"Sudah mau pergi, Buk?" Bi Sriyati mengampiriku sembari membawa segelas es teh.

Aku duduk sebentar untuk meneguk es teh buatan rewangku yang sudah ikut bersamaku semenjak Arka lahir. Setelah menghabiskannya, aku menyuruh Bi Sriyati untuk menyiapkan bumbu lodeh jipang dan opor ayam, supaya malam nanti, sehabis pulang dari kantor, aku bisa langsung memasak untuk Arka.

***

Informasi mengenai Saka Raharja yang diberikan Mbak Wulandari tadi tidak cukup memuaskan. Aku butuh informasi lebih mengenai aruna yang satu itu, sehingga aku membuka salah satu situs di dunia maya dan mengetikkan namanya. Beberapa hasil pencarian muncul, tetapi isinya tidak memuaskanku. Kebanyakan isinya mengenai awal kemunculannya dan gosip hubungan asmaranya dengan Novelita, selebihnya artikel biasa berisi opini orang. Lucunya, nyaris tidak ada foto yang menunjukkan wajahnya. Kebanyakan hanyalah foto-foto buram yang diambil terburu-buru atau pun siluetnya, atau foto sosoknya dari belakang. Kebanyakan lagi..., foto-fotonya saat bersama Novelita.

Sungguh, Aruna yang satu ini membuatku penasaran. Dia terkesan seperti orang misterius yang enggan dipublikasikan. Padahal dua aruna yang lain mau tampil ke publik, tetapi kenapa dia seperti bermain petak umpet begini? Apa dia tidak suka dengan wartawan atau paparazzi? Kalau memang dia tidak suka terlihat di depan publik, harusnya dia tidak perlu maju sebagai salah satu petinggi aruna.

Sikapnya yang ganjil itu mengingatkanku pada aruna lain yang pernah kuhadapi empat tahun silam. Ananta namanya. Elder aneh yang suka bersikap acuh tak acuh, tetapi pada dasarnya punya sikap peduli yang besar pada kehidupan di sekitarnya. Aku ingat bagaimana dia menghentikanku dari keinginan bunuh diri—karena terlanjur lelah dengan masalah yang kuhadapi saat itu. Dan aku ingat pula bagaimana caranya menatap serta memperlakukan Arka ketika mereka sedang bersama.

Aku tahu ini konyol. Aruna biasa tidak bisa memiliki anak dan mereka juga bukan makhluk yang punya kesabaran besar. Namun, Ananta seperti mementahkan semua anggapan itu. Dia memang angkuh, kadang sombong, dan sikapnya menyebalkan, tetapi... dia memiliki kesabaran dalam menghadapi anak-anak dan piawai mengurus anak kecil. Seakan-akan, dia pernah melakukan itu sebelumnya. Perhatiannya pada Arka pun bukan perhatian palsu yang diberikan hanya untuk melengahkan mangsa, tetapi itu adalah perhatian seorang ayah pada anaknya.

Ini memang kedengaran gila, bahkan ketika mendengar cerita dari Bi Sriyati—setelah memulangkan Ananta ke pondoknya waktu itu, aku masih tidak percaya kalau ada Aruna sepertinya. Aku akan lebih percaya, kalau dia bermanis-manis pada Arka untuk kemudian membunuhnya. Namun hingga kini, Ananta tak melakukannya. Mungkin sekarang aruna itu sedang bertapa di tempat sunyinya. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya—atau lebih tepatnya tidak memikirkannya. Banyaknya masalah yang kuhadapi membuatku melupakan keberadaannya. Kalau dipikir-pikir, bagaimana kabarnya sekarang ya?

***

Sementara itu di tempat lain, di daerah jakarta sana, lelaki bernama Ananta yang sedang dipikirkan oleh Iriana, tengah membaca artikel-artikel yang diberikan salah satu budaknya. Ekspresinya terlihat serius dan dia tampak tak terusik dengan percakapan kedua budaknya yang berada satu ruangan dengannya. Keduanya sedang membicarakan mengenai persiapan mereka ke Madiun dan Ananta tidak ambil pusing dengan segala kebutuhan yang harus mereka siapkan ke sana. Dia masih memiliki rumah di sana—di lereng gunung lawu. Pergi ke Madiun sama saja pulang ke rumah—meski rumah itu pasti mirip rumah hantu sekarang, karena lama tak ditempati.

"Saka," sapaan itu mengalihkan perhatian Ananta dari artikel yang dibacanya.

Gilang masuk ke ruangannya sambil menyunggingkan senyum yang jarang ditunjukkannya. Suasana hatinya pasti benar-benar bagus, sampai tersenyum seriang ini padanya. Mungkin istrinya memberinya hadiah istimewa?

"Tinggalkan kami," pinta Ananta pada kedua budaknya saat Gilang duduk di seberang meja kerjanya. Setelah membungkuk hormat ke arah mereka berdua, kedua lelaki itu pergi dari ruang kerja Ananta.

"Ada apa?" Ananta meletakkan bacaannya di atas meja.

"Data yang kau minta." Gilang memberinya sebuah kartu memori. "Semua yang kau butuhkan ada di sana."

Ananta mengambil kepingan memori itu dan memperhatikannya lekat-lekat. "Bagus. Ini memudahkanku dalam bekerja."

"Jangan anggap mereka sepele," ujar Gilang. "Kau memang kuat, tetapi kalau dikeroyok, tetap saja kau bisa kalah."

Ananta memberinya senyum miring yang mengesankan kemisteriusan. "Aku punya partner yang bisa membantuku mengatasinya."

"Partner?" Gilang nyaris tertawa mendengar kata itu. Ananta yang individual, penyendiri, dan pendiam, bisa memiliki partner selain budak-budaknya? Sangat mengejutkan. "Boleh aku menebaknya? Apa dia wanita yang pernah menangkapmu saat kau hendak dieksekusi pihak K3?"

Senyum Ananta berubah miris. "Itu masa lalu yang ingin kulupakan."

"Itu akan jadi aibmu seumur hidup," cemooh Gilang sambil beranjak ke jendela ruangan Ananta. Dia berdiri di sisi jendela, memperhatikan situasi di luar kantor mereka. Sungguh menyenangkan bisa melihat bangunan-bangunan utuh serta orang-orang yang berlalu-lalang di jalan. Bila ingat bagaimana keadaan kota ini tiga tahun lalu, rasanya benar-benar... menyedihkan.

"Kenapa kau tidak membunuhnya, Saka?" tanya Gilang.

"Kenapa kau tidak membunuh istrimu waktu itu?" Ananta membalik pertanyaan tersebut pada Gilang, yang membuat mata aruna itu memicing padanya.

"Kau... jatuh cinta padanya?" tanya Gilang.

Ananta tidak menjawab. Tatapannya mengawang ke arah langit-langit ruangannya.

"Cinta itu sesuatu yang rumit untukku," jawabnya.

"Lantas?"

"Aku hanya kasihan padanya," jawab Ananta.

"Hati-hati, rasa kasihan bisa menimbulkan rasa lain yang menyesakkan," ujar Gilang.

Ananta diam sesaat, lalu berkata, "Kalau waktu itu aku membunuhnya atau membiarkannya terbunuh, anaknya yang akan menderita. Aku hanya tidak ingin anak itu kehilangan naungannya."

"Kepedulianmu itu sungguh mencurigakan," komentar Gilang. "Sekarang aku tidak heran, kenapa kau meminta data lengkap Iriana Kusumawati, bahkan meminta foto-foto terbarunya. Kau ingin memastikannya dalam keadaan sehat dan selamat, bukan?"

Ananta hanya diam.

Gilang menggelengkan kepalanya sambil tertawa tanpa suara, lalu beranjak menuju pintu ruangan. "Aku tidak berminat untuk ikut campur dalam kehidupan pribadimu, tetapi satu saranku untukmu, jangan coba berkelit dari perasaanmu sendiri atau kau akan terjerat lebih menyedihkan dalam kegelisahanmu. Terima saja perasaanmu seperti kau menerima perintahku dulu."

Ananta melemparkan tatapan jengkel ke arah Gilang, yang sudah menghilang di balik pintu. Lelaki berambut hitam pendek dan mengenakan kemeja batik berwarna dasar hitam itu menghela napas sembari memijat pangkal hidungnya.

Apa dia benar-benar tertarik pada wanita itu?

Ananta pun tidak yakin dengan perasaannya.

(17 Mei 2020)

---------------------------

Note:

Hai..., maaf ya... sudut pandangnya nyampur antara sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Dikarenakan keterbatasan part, akhirnya saya terpaksa menggabungkan dua sudut pandang tersebut dalam satu chapter. Semoga aja nggak pada bingung bacanya.

Nah..., bagaimana situasi di part selanjutnya?

Doakan saya bisa menyelesaikan kelanjutannya. Rencananya, saya ingin membuat cerita ini jadi 6 part, sekaligus selingan dari kemumetan saya ngatur cerita The Conquered Throne 🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro