16. Blood And Happiness part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saya nggak tahu apa ini wattpad lagi ada masalah atau gimana, atau malah inet saya yang masalah. Mau milih dedikasi kok susah 🤣🤣

Jadi seperti biasa, saya mendedikasikan cerbung ini untuk pengarang aslinya  @diahsulis. Ah elah... ini mau mention kok juga susah banget. 

Dalam part kali ini, saya akan membagi sudut pandang penceritaan menjadi dua, yaitu sudut pandang Iriana yang menggunakan sudut pandang orang pertama dan yang kedua dari sudut pandang Anant yang menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Selamat menikmati ceritanya....

------------------------

Sakananta...

Ananta tidak mengerti, mengapa terkadang ia memikirkan Iriana. Jika karena kecantikannya, itu tidak mungkin. Karena wajah Iriana terbilang biasa saja, bahkan Novelita lebih cantik darinya. Apakah karena sifat keras kepalanya? Bukan. Ia justru jengkel dengan orang-orang keras kepala, meski ia pun terkadang bersikap keras kepala. Apa karena dia ibu dari satu orang anak? Ataukah karena dia adalah musuh yang menolongnya? Bukan juga. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan ribu janda yang harus berjuang dan bekerja keras demi menghidupi keluarganya, itu tidak menjadikan kehidupan Iriana istimewa di matanya. Kalau pun pertolongan Iriana waktu itu pun bukan sesuatu yang benar-benar menarik hatinya. Ingat, wanita itu menolongnya karena terpaksa!

Ananta masih merenungi alasan kenapa ia memikirkan Iriana akhir-akhir ini, bahkan memikirkan ulang tindakannya beberapa tahun lalu. Saat akan bergabung dengan Gilang, ketika situasi Negara sedang genting, Ananta sempat menyambangi rumah Iriana, hanya untuk melihat betapa sibuknya wanita itu dalam memberi arahan pada anak buahnya. Setelah itu dia pergi dan belum pernah kembali ke Jawa Timur, hingga hari ini tiba.

Setelah berbagai macam persiapan, Ananta akhirnya berangkat ke Madiun bersama budak-budaknya serta beberapa aruna original yang bertugas sebagai pengawalnya. Dia merasa agak risih, harus berangkat dengan ditemani orang sebanyak ini. Namun, karena ini kunjungan resmi, mau tidak mau Ananta harus mengikuti protokol yang berlaku, supaya semuanya sama-sama enak.

"Apa Tuan baik-baik saja?" Pertanyaan Ian membuyarkan lamunan Ananta.

Pesawat mereka telah lepas landas dan sedang terbang menuju bandara Adi Sucipto di Solo. Perjalanan dari Jakarta menuju ke Solo hanya memakan waktu sekitar satu jam dan Ian sudah menyodorkan segelas darah sintesis padanya. Meski tidak terlalu haus, Ananta tetap menerimanya dan menyesapnya pelan-pelan seperti sedang menikmati wine mahal—alih-alih darah sintesis beraroma anggur.

"Cukup bisa diterima," komentar Ananta. "Racikan kali ini lumayan tepat. Aroma darah dan buahnya seimbang, sehingga terkesan lembut. Tidak seperti kemarin, aroma darah dan jeruknya berantakan, mengacaukan indera penciumanku seharian."

"Syukurlah kalau Tuan suka," Ian terkekeh sambil mengusap belakang kepalanya—sikap yang biasa dia lakukan bila sedang merasa tersanjung atau malu-malu bila diberi pujian. Pria berumur dua puluh enam tahun itu duduk di seberang kursi Ananta dengan tangan menggenggam segelas minuman dingin beraroma mawar dan soda. "Dari kemarin saya perhatikan, sepertinya Tuan banyak pikiran. Maksud saya, Tuan memang biasa diam, tetapi diamnya Tuan beberapa hari ini terasa lain. Apa ada sesuatu yang mengganggu Tuan?"

Apakah keresahannya terlihat sejelas itu? Ananta memberikan gelasnya pada pramugari yang lewat. Terima kasih atas sponsor Zen dan juga tumpukan hartanya yang turut menyumbang kelancaran (serta kemewahan) perjalanan mereka. Pesawat yang mereka gunakan adalah sumbangan dari Zen. Dia mengatakan, bukan hanya manusia yang butuh moda transportasi, mereka juga butuh moda transportasi untuk mempercepat kegiatan mereka—demi menciptakan pemerintahan yang stabil.

Setelah perang, masing-masing dari mereka mengambil bagian dalam proses penataan kekuasan ini, Gilang sebagai kepala pemerintahan sementara—yang kini berkutat dengan segudang dokumen administrasi menjemukkan, Zen dengan hartanya yang membantu pembangunan gedung-gedung pemerintahan di ibu kota, Klaus dengan kebijakan-kebijakannya yang ketat, sedangkan dirinya berada di posisi sebagai pengawas dan eksekutor dari kebijakan-kebijakan mereka. Bisa dibilang, dia dan juga anak buahnya berperan sebagai polisi-nya para aruna. Jika ada aruna yang berani melanggar atau membangkang kebijakan yang mereka tetapkan, dialah yang akan menangkap dan menyeret mereka pada hakim.

"Novelita dan Jimmy menunggu kita di sana, kan?" tanya Ananta, sengaja tidak menjawab pertanyaan Ian sebelumnya.

Ian mengangguk, lalu menoleh ke arah rekannya—yang juga budak Ananta, yaitu Jaya yang masih berkutat dengan laptopnya. "Mereka sampai di Madiun nanti malam, kan, Jay?"

Jaya mengangguk. "Dari Surabaya, mereka akan langsung ke Madiun. Lita titip pesan, buatkan smoothies blueberry dan buah Naga," jawabnya dengan nada dan ekspresi sedatar jalan raya.

Ian merengut, "Dia pikir aku pelayannya, apa?! Seenaknya memberi perintah!"

"Omeli saja kalau bertemu nanti," komentar Jaya sembari mengetik sesuatu pada laptopnya. "Tapi ujungnya juga kau kalah dari dia."

Ian tak bisa menyangkalnya, sedangkan Ananta hanya menggeleng pelan mendengar perbincangan mereka. Keempat budaknya, Ian, Jaya, Jimmy, dan Novelita memiliki hubungan yang unik. Keempatnya kadang bisa kompak, tetapi mereka lebih sering bersilang pendapat, terutama Ian dan Novelita. Keduanya seperti anak kecil yang sering beradu mulut untuk memperebutkan sebuah permen. Jaya dan Jimmy lebih dewasa, tetapi kepribadian mereka sedikit tertutup. Jika mereka berkumpul, biasanya suasana akan ramai, membuat Ananta seakan-akan berada di rumah dengan empat orang anak kecil yang suka berebut mainan.

Sembari mendengarkan Jaya dan Ian berdebat, Ananta melemparkan pandangannya keluar jendela pesawat. Pikirannya kembali berpusat pada misi yang harus dia selesaikan kali ini.

***

Iriana...

Besok adalah malam perjamuan dan selama seminggu ini aku benar-benar sibuk hingga nyaris tidak memiliki waktu untuk bernapas. Masalah demi masalah berdatangan, mulai dari yang sepele, hingga yang sulit diselesaikan. Beberapa orang berdemo di depan kantor balaikota, menolak kedatangan Saka Raharja yang membawa budak-budaknya, karena dianggap penghinaan terhadap martabat kemanusiaan.

Aneh sekali.

Keputusan Saka membawa budak-budaknya dalam pertemuan resmi kali ini harusnya rahasia, tetapi aku tidak kaget lagi saat mendengar ada pihak yang membocorkan kabar tersebut, yang kemudian menimbulkan masalah yang seharusnya tidak perlu terjadi. Demo dari segelintir orang yang menolak kedatangan Saka dan budak-budaknya adalah percikan kecil dari nyala api yang bisa membesar. Karena itulah, kami—pihak K3 dan balaikota, memutuskan bekerja sama dengan salah satu perusahaan televisi nasional untuk melakukan peliputan eksklusif saat malam perjamuan dilakukan, supaya masyarakat yakin, tidak ada yang dirugikan dengan kedatangan Saka serta budak-budaknya.

Selain mengurus para pendemo yang kadang membuat kesabaranku habis—mereka meminta hal-hal tidak masuk akal secara sepihak dan melontarkan cercaan untuk para aruna yang justru bisa membuat situasi memanas—, aku kembali mendapat laporan kematian pelacur darah dari kepala divisi intelijen. Mayat-mayat dari pelacur darah tersebut dibuang ke jurang yang ada lereng gunung Lawu. Ada sekitar dua puluh mayat yang nyaris membusuk saat kami temukan. Tidak cukup dengan itu, sehari lalu Arka tiba-tiba pingsan di sekolah, yang membuatku kelimpungan sekaligus khawatir bila penyakitnya kembali mengganas, untunglah tidak. Arka hanya kelelahan dan butuh banyak beristirahat, sehingga untuk beberapa hari ini dia harus ijin tidak bersekolah.

Tidak cukup dengan itu, sekelompok original membuat onar di sebuah perkampungan manusia, yang nyaris menewaskan seorang anak, bila kami tidak bergegas datang dan menyeret mereka ke penjara. Ya Tuhan.... seminggu ini aku benar-benar dijejali banyak masalah. Berangkat pagi, pulang tengah malam, hingga tak sempat memperhatikan kebutuhan anak-anakku. Sekali lagi aku bersyukur atas keberadaan Bi Sriyati yang membantuku menjaga anak-anak. Beliau sabar sekali menghadapi kerewelan Mia, karena hampir seminggu ini aku hampir tidak pernah bersamanya. Kalau tidak ada Bi Sriyati, entah bagaimana aku harus menghadapi hari dengan mengkhawatirkan pekerjaan sekaligus keluargaku.

"Ana!" Johan mengetuk pintu ruanganku sebelum masuk. Pintu ruanganku selalu terbuka kapan pun, tetapi itu tidak berarti mereka bebas masuk tanpa adab.

"Ada apa?" Aku mengernyit melihat ekspresinya yang terlihat pucat, terkejut, dan kebingungan.

"Pihak Saka Raharja telah mengirim data personel yang ikut dalam rombongannya...," Tangan Johan sedikit gemetaran ketika menyerahkan bundelan kertas yang telah dijepit dengan binder itu padaku, "...kau tidak akan percaya ini."

Aku membuka halaman awal laporan itu dan mau tak mau tercengang melihat foto yang terpampang di halaman pertama. Lelaki berambut hitam pendek dengan mata semerah darah yang memancarkan ketenangan sekaligus kewaspadaan serta kecermatan itu bukan orang asing di mataku. Lelaki ini adalah Ananta! Tatapanku bergerak membaca profilnya, mulai dari namanya, yaitu Saka Raharja dan juga statusnya, serta ada sedikit penjelasan mengenai jabatannya di pemerintahan aruna.

"Subjek liar nomor-10." Kata-kata Johan membuatku kembali menatapnya. "Dia...dia target yang seharusnya mati empat tahun lalu, tetapi gagal dihabisi dan sulit dilacak keberadaannya. Karena itu, kami semua menggapnya benar-benar mati. Tapi...tapi ini? Dia masih hidup dan merupakan salah satu pemimpin aruna? Ini gila!"

"Kecilkan suaramu," tegurku ketika melihat Johan kalut. Bagaimana tidak, Saka Raharja atau sebelumnya kami sebut sebagai subjek liar nomor-10, yang menjadi target pembasmian beberapa tahun silam, ternyata masih hidup dan bahkan kembali muncul di depan kami dengan status yang luar biasa mengejutkan. Siapa yang mengira statusnya setinggi ini dalam jajaran hierarki aruna?

Aku tahu, dia termasuk dalam golongan yang dihormati dalam kaumnya. Kemampuan dan kecepatannya membuatku berpikir demikian. Namun, aku tidak pernah mengira dia termasuk Aruna terhormat.

"Bagaimana ini?" Johan berdecak resah sambil melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya.

"Apa yang kau bingungkan?" Aku membuka halaman selanjutnya dan mendapati foto dan data mengenai budaknya.

"Kita pernah hampir membunuhnya!" Johan nyaris membentakku, kelihatan agak jengkel karena ketenanganku dalam menanggapi keresahannya. "Aku tahu ini kedengaran tidak masuk akal, tetapi... aku khawatir dia akan balas dendam pada kita."

"Sebenarnya kekhawatiranmu cukup masuk akal, tetapi tidak tepat untuk saat ini," Aku menutup laporan tersebut dan menatapnya. "Tapi mengingat kita sedang dalam tahap perdamaian dengan pihak Aruna, aku yakin, dia tidak akan melakukan sesuatu yang akan mencederai perdamaian kita. Jadi... bersikaplah seperti tidak pernah ada masalah antara kita dengannya."

Johan termangu sesaat, tampaknya terkesima dengan tanggapanku.

"Kalau pun dia ingin mengungkit masalah itu, aku yang akan maju dan menyelesaikannya. Jadi tenangkan pikiranmu dan berikan data ini pada orang-orang kita yang bertugas sebagai kelompok pengaman saat perjamuan berlangsung."

Lelaki itu menghela napas. "Baiklah. Akan kulakukan itu."

Johan pergi, meninggalkanku dengan laporannya.

Aku menghela napas sambil bersandar pada sandaran kursi. Laporan yang dibawa Johan menambah beban pikiranku. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, aku tidak mengira akan bertemu Ananta lagi dalam posisi seperti ini. Lebih baik bagi kami untuk pura-pura tidak saling mengenal dan aku harus memberi pengertian pada Arka untuk tidak bersikap akrab pada Ananta bila mereka bertemu lagi. Yah..., dalam malam perjamuan, kami membawa keluarga kami. Anak-anak maupun pasangan, kami membawa mereka.

Salahkan itu pada ide konyol walikota sebelumnya yang menganggap bahwa dengan kami membawa keluarga kami di depan para Aruna, itu menunjukkan bahwa kami percaya pada mereka. Selain itu, hal ini juga untuk memperkenalkan pada anak-anak bahwa Aruna bisa menjadi teman kami. Dia hanya tidak berpikir, bahwa kami harus terus-menerus waspada di ruang perjamuan, karena takut anak-anak kami membuat masalah atau para Aruna menjadikan mereka sebagai tawanan untuk menekan kami. Untung saja, sampai saat ini tidak terjadi hal tersebut. Semua berjalan dengan baik, tetapi kewaspadaan kami tidak turun.

Aku membawa Arka ke pesta perjamuan tahun lalu. Sebelumnya aku tidak membawanya, tetapi karena sindiran halus Walikota dan juga komentar menyebalkan dari Ethan, aku pun membawa Arka setelah memberinya banyak nasihat dan pengarahan mengenai apa yang harus dan tidak boleh dilakukannya di pesta perjamuan. Lucunya, selama pesta berlangsung Ethan berusaha bersikap akrab dengan anakku, meski Arka menanggapinya dengan kebingungan.

Jika tahu Ananta datang kemari, Arka pasti akan sangat senang. Sudah lama sekali dia ingin tahu kabar Aruna satu itu, tetapi tidak ada informasi apa pun yang bisa kuberikan padanya.

Aku memejamkan mata. Semoga perjamuan kali ini berjalan lancar seperti perjamuan pada tahun-tahun sebelumnya.

***

Sakananta....

Sesampainya dari bandara Adi Sucipto Solo, kelompok mereka berangkat menuju ke Madiun dan sampai di hotel Pandan Wangi pukul empat sore. Di sana, Walikota Madiun beserta jajarannya telah siap menyambutnya di selasar hotel. Namun, yang paling menarik perhatian Ananta adalah kehadiran wanita berkerudung hitam yang berdiri di sisi Walikota. Wanita itu tidak banyak berubah dari yang Ananta ingat empat tahun silam. Dia masih terlihat dingin dan tenang, walau tatapannya terkesan kalem.

"Selamat datang di Madiun, Tuan Saka." Walikota Madiun menyapanya dengan senyum lebar setelah ia turun dari mobil. "Semoga Anda betah tinggal di sini."

Ananta menyambut uluran tangan lelaki itu dan menjabatnya dengan hati-hati. "Senang bertemu dengan Anda pula, Pak Walikota." Lirikannya beralih pada Iriana yang balas menatapnya.

"Saya Iriana Kusumawati, Koordinator K3 Karisidenan Madiun." Wanita itu memperkenalkan dirinya, meski seharusnya tidak perlu. Entah dia lupa atau pura-pura tidak mengenalnya, tetapi Ananta mengikuti tindakannya.

"Senang berkenalan dengan Anda....," Ananta sedikit berlama-lama menjabat tangan Iriana, sembari pura-pura berpikir panggilan apa yang pantas ditujukan pada wanita itu. "Ibu atau Nyonya?" tawarnya, yang membuat semburat merah di pipinya.

Kalau mendengar detak jantungnya yang stabil, kelihatannya wanita ini sedang memendam kekesalan karena pertanyaannya barusan. Tapi, sedikit menggodanya tidak masalah kan? Anggap saja ini untuk mencicil utang dendam yang pernah dilakukan pihak K3 padanya.

"Anda bisa memanggil saya senyaman Anda." Iriana menjawab secara diplomatis.

"Kalau begitu, bagaimana dengan Nana?" Tawarannya yang lain memancing kernyitan di wajah wanita itu.

Iriana pasti tidak suka dengan nama panggilan barusan. Ananta tahu, Ethan sering memanggilnya dengan sebutan itu, untuk menunjukkan keistimewaan wanita itu di hatinya. Sayangnya, Ananta melakukan hal itu, untuk sedikit 'menjahili' sang koordinator sekaligus membuat suasana hati Iriana sedikit buruk, karena... coba saja lihat ekspresi orang-orang di sekitar pelataran hotel. Mereka setengah ternganga, setengah terkesima karena sikapnya yang terlihat kelewat akrab terhadap Iriana. Pastinya..., akan ada gosip mengenai hubungannya dengan Koordinator karisidenan Madiun, selain hubungannya dengan Novelita. Beberapa wartawan yang diundang untuk meliput kedatangannya di hotel sudah mulai berbisik-bisik dengan curiga.

"Tolong panggil nama saya dengan bijak, Tuan," Iriana menekankan panggilannya dengan nada kesal. "Panggilan Nana itu terdengar agak... menggelikan. Anda bisa memanggil saya dengan nama saya saja, Iriana."

"Ah..., begitu," Ananta baru melepas tangan Iriana. "Saya rasa itu juga panggilan yang lebih nyaman." Lelaki itu mencoba tersenyum, walau yang dihasilkannya hanyalah senyum setengah hati yang mirip seperti orang sinis.

Di belakangnya, Jaya dan Ian berdeham, seakan-akan hendak menertawakan tingkahnya.

"Anda bisa beristirahat di sini," Walikota Madiun kembali bicara. "Jika ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa menghubungi pegawai kami."

"Anda juga tidak perlu mengkhawatirkan masalah keamanan," sambung Iriana. "Kami sudah memperketat penjagaan di sekitar sini."

"Terima kasih atas semua persiapannya," ucap Ananta. "Maaf karena kedatangan kami merepotkan kalian."

"Tidak, tidak," Walikota Madiun—lelaki berisi dengan perut sedikit buncit itu menggeleng pelan. "Kedatangan Anda justru seperti dukungan atas perdamaian yang kami lakukan dengan pihak Aruna di karisidenan ini."

"Dan saya harap, kedamaian di Karisidenan ini bisa dicontoh oleh daerah-daerah lainnya," imbuh Ananta.

Setelah itu, Walikota Madiun bernama Amrin itu mempersilakan Ananta masuk ke hotel, diikuti dirinya dan juga Iriana. Para wartawan dilarang masuk ke hotel, untuk memberikan privasi pada Ananta dan dua pejabat lainnya. Di kamar VVIP yang telah disiapkan pihak balaikota, yang sepertinya direnovasi dengan terburu-buru, mereka berbasa-basi sejenak. Ketika Iriana hendak pamit bersama Walikota Amrin, Ananta memintanya untuk tinggal, yang ditanggapi Iriana dan Walikota Amrin dengan dahi berkerut.

"Saya ingin membicarakan mengenai pengamanan," jelas Ananta ketika Walikota Amrin memandangnya penuh tanda tanya.

Lelaki di pertengahan empat puluhan itu kemudian mengangguk tanpa curiga, lantas keluar dari ruangannya. Sementara itu Iriana tetap duduk di kursinya dengan diawasi beberapa pasang mata yang memandangnya lekat-lekat. Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya dia satu-satunya perempuan dan pejabat K3. Kalau pun Ananta mencoba mengintimidasinya, usahanya tidak berhasil.

"Tinggalkan kami," ujar Ananta pada kedua budaknya maupun Aruna lainnya yang berada di kamar yang sama dengan mereka.

Jaya dan Ian saling menatap, terlihat agak ragu-ragu, tetapi kemudian mereka keluar bersama Aruna lainnya. Setelah semua orang pergi dan pintu ditutup dari luar, Ananta menuangkan teh ke cangkir Iriana yang hampir kosong.

"Terima kasih," ucap Iriana setelah Ananta meletakkan teko teh tersebut.

"Senang melihatmu baik-baik saja, Ana," ucap Ananta. "Tapi jika mendengar masalah yang bermunculan di karisidenan ini, kelihatannya dalam waktu dekat, kau tidak akan baik-baik saja."

Iriana menyesap tehnya pelan-pelan, lalu meletakkan cangkir tehnya dengan ketenangan yang mengingatkan Ananta pada kejadian di pondok empat tahun silam. Waktu itu, Iriana juga bersikap setenang ini, sebelum histeris karena kelewat putus asa.

"Kelihatannya kedatangan kalian kemari bukan sekadar mengapresiasi perdamaian di antara kaum Aruna dan Manusia," ujar Iriana.

"Jujur saja, kedatanganku kemari memang untuk mengapresiasi hal tersebut," Ananta bersandar pada sofa. "Di antara semua daerah di pulau Jawa, wilayah Karisidenan Madiun terhitung lebih damai, tanpa konflik yang berarti. Kalau kau melihat berita di karisidenan lain, kau pasti akan tahu hubungan di antara kaum kita masih perlu perbaikan di sana-sini."

"Kalau pun Karisidenan Madiun termasuk daerah yang damai, itu bukan hanya kerja sama dari satu orang saja," kata Iriana. "Kau juga harus mengapresiasi kaummu sendiri, karena mereka mau mematuhi aturan yang berlaku—," wanita itu diam sejenak, "Walau tidak semuanya mereka patuhi."

"Maksudmu mengenai bisnis Ethan?" Ananta tersenyum tipis. "Kami tahu."

Tatapan Iriana menajam, seperti siap menyayat Ananta kapan pun.

"Dan kalian membiarkannya?" tegurnya.

Ananta tak menjawab, yang menambah kegusaran Iriana.

"Ini akan jadi bom waktu! Kalau tidak segera diselesaikan, maka hubungan di antara kaum kita akan terus memburuk," ujar Iriana.

"Kami berniat menyelesaikannya, tetapi tidak sekarang," kata Ananta.

"Kenapa?"

"Karena ada hal lain yang perlu diperhatikan dari pada bisnis sampingan Ethan."

Iriana memiringkan kepala, tidak mengerti dengan penjelasan Ananta yang sangat sederhana.

"Aku sangat memahami, kalian tidak menyetujui usaha Ethan. Namun, sekarang kita lihat realita di lapangan, apakah keadaan saat ini sudah memungkinkan untuk 'membasminya'?" Pertanyaan Ananta membungkam Iriana. "Aku tahu, kau sedang dihadapkan pada dilema, Ana. Tapi kau tidak bisa menampik, kalau pemerintahan kalian saat ini pun masih kepayahan dan belum bisa memberikan bantuan untuk masyarakat dari golongan ekonomi bawah. Jika kita tangkap Ethan sekarang, maka akan terjadi kekacauan ekonomi yang bisa menimbulkan kerusuhan yang lebih mengerikan."

Iriana mengetatkan rahang, terlihat tidak bisa menerima penjelasan Ananta barusan.

"Tolong....," Ananta tidak ingin wanita itu menyelanya, "Tolong bertahanlah untuk satu atau dua tahun saja. Lakukan apa pun yang bisa kau lakukan untuk menekan jumlah korban dari manusia-manusia yang digunakan Ethan dalam bisnisnya. Setelah itu, mari kita sama-sama membereskannya. Saat ini baik dari pihakmu dan pihakku sedang menjajaki kerja sama untuk pembangunan sektor industri. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyiapkan banyak lapangan pekerjaan, tetapi... butuh persiapan satu atau dua tahun sebelum semua itu benar-benar siap."

Iriana tersenyum getir, "Aku tidak menyangka harus mendengar penawaran sepahit ini."

"Kita terpaksa mengorbankan sedikit, untuk melindungi seluruhnya," jawab Ananta.

Senyuman wanita itu semakin menyakitkan untuk dilihat. Ananta bisa melihat kepahitan yang coba ditahannya. Tapi... pemimpin mana yang senang mendengar bahwa masyarakatnya dikorbankan demi kemaslahatan semua orang? Jika bisa dan dimungkinkan, mereka tidak perlu mengorbankan siapa pun. Namun dalam masalah Ethan, memang perlu ada yang berkorban.

"Lalu..., masalah lain apa yang membawamu kemari, Anant?"

Ananta merasakan sesuatu menggelitik hatinya ketika Iriana memanggil namanya, tetapi lelaki itu mencoba bersikap biasa saja.

"Ini mengenai para pengkhianat."

***

Iriana...

Ananta menceritakan sesuatu yang cukup membuatku terkesima. Para pengkhianat atau sebutan bagi mereka yang tidak menyukai kedamaian antara Aruna dan Manusia, karena merasa salah satu dari kaum mereka lebih berhak dari yang lain. Kenapa aku sebut mereka? Karena orang-orang ini bisa berasal dari pihak Aruna atau pun Manusia. Jangan salah, bukan hanya Aruna yang tidak suka bila mereka harus berbaik-baik pada manusia. Ada juga manusia yang mengganggap bahwa kaum mereka adalah ciptaan paling sempurna dan istimewa, sehingga menganggap eksistensi Aruna sebagai makhluk yang menyalahi kodrat Tuhan dan harus dimusnahkan dari dunia ini.

Aku, Johan, dan Mira menyebut manusia-manusia ini sebagai sekte keblinger. Karena akibat pemahaman mereka yang terlalu mengagungkan kesempurnaan manusia, mereka jadi tidak menghargai makhluk lain, yang justru berbahaya bagi kemanusiaan itu sendiri. Tuhan menciptakan banyak makhluk di dunia ini sebagai rahmat. Bahkan sekalipun Aruna itu termasuk makhluk yang nyleneh—menurutku, tetapi karena mereka ada di dunia ini dan hidup bersama kami, tentu Tuhan memiliki maksud atas ciptaanNya tersebut. Tuhan tidak menciptakan sesuatu tanpa maksud, kan?

Sembari mengendarai mobil menuju rumah, aku memikirkan kembali kata-kata Ananta barusan. Jika apa yang diceritakannya benar, maka aku menyebar intelijen di beberapa titik kota untuk mendapatkan informasi yang valid. Kuraih salah satu ponsel yang kuletakkan di kursi penumpang di sisiku. Setelah menepi ke pinggir jalan, aku menelepon Andre dan memberinya beberapa instruksi baru. Secepatnya, aku harus mengonfirmasi masalah ini. Aku hendak mengabari Johan dan Mira. Secara struktural, mereka merupakan bawahanku. Jabatan mereka adalah wakil koordinator pertama dan kedua. Namun sebelum memencet nomor ponsel mereka, ponselku berdering lebih dahulu.

Nomor tak dikenal masuk, membuatku sedikit was-was untuk mengangkatnya. Setelah beberapa detik hanya menatap layar ponsel, aku pun mengangkat telepon tersebut dan tercenung ketika mendengar sapaan santai yang mengingatkanku pada ucapan selamat yang kuterima setelah menduduki jabatan sebagai Koordinator K3 wilayah karisidenan Madiun.

"Sore Iriana."

Aku tidak salah dengar, kan?

"Selamat sore, Pak!" Aku menjawab sapaannya dengan sedikit gelagapan, karena tidak mengira akan ditelpon atasan langsung. Aku ingat betul, ini adalah suara Ryan Aryasatya.

Terdengar dengkusan geli dari seberang sana.

"Maaf mengganggu waktu istirahatmu, tetapi ada hal penting yang ingin kubicarakan. Ini mengenai masalah yang dibicarakan Saka."

Aku terenyak, tak mengira bahwa pimpinanku mengetahui apa yang kubicarakan dengan Ananta. Tampaknya, Aruna itu sudah mengabari pimpinanku.

"Apa yang kau lakukan setelah mendengar masalah dari Saka?"

"Saya sudah memerintahkan Kadiv Intelijen untuk menyebar intel di beberapa titik kota," Kemudian aku menyebut beberapa nama daerah, setelah itu kembali diam.

"Tindakanmu tepat. Namun, usahakan untuk bergerak diam-diam. Minimalkan orang-orang yang mengetahui masalah ini, termasuk dari pasukan kita. Mereka seperti belut dan akan merepotkan kalau pergerakan kita dibaca. Itu sama saja memancing di air keruh."

"Saya mengerti, Pak."

"Setelah ini, apa yang kusampaikan adalah rahasia. Jadi dengarkan baik-baik."

Pak Ryan memberiku beberapa instruksi, yang kucatat dengan terburu-buru pada memo yang kutemukan di dashboard mobil. Setelah dirasa cukup membicarakan persiapan kami, beliau lantas menutup sambungan teleponnya.

Aku menatap catatan di kertas memo dengan perasaan tak percaya. Pak Ryan sempat mengatakan, ketidaktahuanku merupakan hal wajar, karena mereka juga bertindak sangat hati-hati. Namun, aku merasa seperti pegawai yang tidak kompeten karena tidak mengetahui masalah ini.

Setelah mematikan lampu dalam mobil, aku kembali melajukan kendaraan menuju rumah. Hari sudah gelap dan jalanan mulai sepi. Waktu yang tertera di Odometer mobil menunjukkan pukul tujuh malam. Hari ini aku pulang lebih cepat, tetapi beban yang kubawa ke rumah terasa lebih berat dan berbahaya.

(14 Juni 2020)

------------------------

Note:

Lagu di atas merupakan versi orkestra fake love - bts dibuat oleh channel youtube MDP.

Dalam chapter kali ini, saya terinspirasi mengenai dari penciptaan manusia, mengenai pernyataan bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna dan istimewa, dan saya sama sekali enggak membantahnya, karena menurut saya itu benar adanya.

Namun kadang kala, saya merasa, ketika kesempurnaan dan keistimewaan tersebut menjadi dasar bagi sebagian dari kita untuk bersikap angkuh kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain, saya kurang sependapat. Kalau manusia merasa angkuh dan sombong atas penciptaannya, lantas apa bedanya manusia dengan iblis? Bukankah iblis jatuh akibat kesombongannya atas penciptaan dirinya?

Sejatinya, manusia diciptakan sebagai rahmat bagi alam semesta.

Maaf kalau note kali ini terdengar agak sensitif. Namun, saya sedikit tergelitik untuk membagi pandangan saya, setelah melihat beberapa tayangan youtube yang terasa kurang menghormati makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Sebetulnya saya ingin membahas lebih panjang, tapi rasanya nggak pas. Ntar malah saya disangka pengikut sekte yang aneh-aneh. 🤣🤣

Tambahan sedikit, ini ngomel ya. Tapi dari beberapa hari lalu saya pengen banget bilang gini, "Nggak manusia, nggak lelembut. Namanya perempuan kok kayaknya nggak ada harganya dan selalu jadi  sasaran pelecehan."

Yang ngerti dumelan saya di atas, berarti nyambung sama obrolan saya di paragraf 2 dan 3. 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro