Tees-'Aa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pergi, menepi, ditelan asing, berteman bising, enggan kembali, memendam sendiri, tiada sandar selain diri, walau berakhir ditiadakan semesta untuk ke sekian kali, lagi, lagi, dan lagi.

Dengan derap langkah tergesa yang tak tentu arah, Fiza hanya mau melarikan diri sejauh mungkin. Lari dari rumah yang katanya selalu jadi tempat untuk pulang, tetapi tak pernah benar-benar menghadirkan tenang juga peluang bagi raga temukan senang. Lari, membiarkan kaki yang meniti rentang perjalanan meninggalkan segalanya di belakang sana.

Deru napas Fiza memburu. Bahunya naik-turun dalam tempo yang tidak beraturan. Entah karena lelahnya langkah memacu kaki, entah karena hilangnya kadar oksigen pada atmosfer, entah karena rasa sesak mendesak yang tak terhindarkan dari setiap sudut hati, atau malah kolaborasi epik dari ketiganya. Fiza sungguh letih ... tetapi ia enggan berhenti, walaupun untuk sekadar mengistirahatkan kaki juga hati.

Fiza hanya memacu langkah untuk sampai pada tujuan yang sejatinya memang tak pernah ada, berharap jejak yang diciptakannya akan ditelan kebisuan kisah sejarah. Karena pada akhirnya, Fiza memang tak pernah benar-benar menemukan ruang yang disisakan semesta untuknya. Eksistensi ia selama ini tak lebih dari suatu substansi kata tanpa makna. Jiwanya mati. Fiza tak jauh berbeda dari mayat yang raganya diawetkan untuk menjadi budak di dalam genggaman sang kakek.

Tentu saja. Tidak ada kehidupan yang tersisa bagi Fiza. Bagaimanalah ia menahan diri untuk tidak merasa muak?

Pada awalnya, Fiza adalah sosok yang bebas, sebebas burung yang mengepakkan sayap di angkasa luas. Tanpa perlu adanya sang kakek sekalipun, Fiza selalu salat lima waktu, kok. Tidak murtad, berpuasa di bulan Ramadan, menjalankan kewajiban sebagai seorang agen muslimah ... tetapi segalanya mendadak saja jadi terasa begitu menyebalkan sejak kedatangan Kakek di dalam keluarga kecilnya yang damai.

"Rani, kamu membiarkan anakmu salat subuh pukul lima pagi? Nyaris setengah enam, ini! Bangun jam empat saja sudah terlambat ... ini bangun siang begini malah masih santai-santai di atas kasur. Bukannya tahajud di sepertiga malam, ternyata salat subuh saja masih suka siang. Mau jadi muslimah macam apa dia nantinya?"

Cerewet, berlebihan, dan berpola pikir yang kolot. Tiga kata itu mewakili kesan pertama Fiza yang sebelumnya memang hanya bertemu Kakek ketika hari raya idul fitri saja. Setiap kali mengunjungi rumah Kakek dan Nenek di kampung pun, Fiza tidak begitu diperhatikan, karena suasana yang ramai dan adanya kenyataan bahwa keluarga Fiza tak pernah menempati rumah Kakek selama lebih dari satu hari.

Sayangnya, semua kebebasan Fiza tak bisa bertahan lama begitu Nenek meninggal dunia, sehingga Kakek diminta Ayah-Ibu untuk tinggal bersama di Kota Tasik. Kalau saja Fiza bisa memutar ulang waktu, Fiza akan melakukan segala cara untuk mencegah semua itu. Hanya karena kepergian Nenek ... rumah penuh kenyamanan itu bertransformasi jadi neraka bagi Fiza.

Terdengar metafora, memang. Akan tetapi, begitulah yang dirasakan Fiza. Setiap kali pulang sekolah, Kakek akan memaksakan cucunya untuk mencapai target hafalan yang gila-gilaan. Sampai pagi pun Kakek akan setia menunggu Fiza setoran dengan tampang tegas dan tatapannya yang tidak mengenal alasan maupun penolakan.

Kalau tidak memenuhi target hafalan, Fiza tidak akan diperbolehkan memegang ponsel. Sebenarnya, Ayah dan Ibu sempat merasa didikan Kakek terlalu keras, tetapi mendapati perubahan Fiza yang—terpaksa—jadi punya kebiasaan baik, mereka pun membiarkannya.

Merasa tak lagi punya sosok pelindung yang bisa dipercaya, segala cara Fiza kerahkan untuk menghindari rumah. Mulai dari berlama-lama di sekolah, pura-pura mengerjakan tugas kelompok, tidur dulu di pojokan kelas, berlagak rajin bersih-bersih walau bukan jadwalnya untuk piket ... tetapi Kakek tak pernah melunak untuk membebaskan Fiza dari target hafalan dan aturan ketatnya. Yang ada malah Fiza yang begadang menghafal ayat sampai larut malam, tetapi Kakek tetap membangunkannya pada waktu yang terlalu pagi.

Satu bulan berlalu sejak kedatangan Kakek dan segala upaya Fiza untuk kabur, Fiza pun berhenti karena lelah sendiri, menyadari bahwa genggaman Kakek sudah mencengkeram kuat setiap senti kehidupannya. Tuas kendali itu sudah sempurna beralih tangan.

Sejak awal, Fiza memang menyerah karena tahu bahwa melarikan diri tak membuatnya menemukan kenyataan yang lebih baik. Fiza tahu, kok. Tahu dengan baik. Akan tetapi ... Fiza memutuskan untuk pura-pura berteman dengan ketidaktahuan, kali ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro