Tsamaa-Niyaa'

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fiza, sudah mau jam lima. Salat asar dulu!" Ibu mengomel sembari berkacak pinggang ketika mendapati anak tunggalnya itu malah rebahan di kasur setelah lima menit sejak dirinya sampai ke rumah. "Harusnya kamu itu salat dulu di sekolah sebelum pulang, atau minta jemput Ayah-Ibu aja biar bisa belok dulu ke masjid pinggir jalan. Padahal kamu tahu jarak rumah dari sekolah itu jauh, tapi malah nekat pulang sebelum salat. Sengaja, ya?"

Ih! Fiza berdecak sebal ketika mendapati kalimat panjang ibunya itu sukses memecah konsentrasi Fiza yang sedang menonton pembahasan latihan soal di YouTube lewat ponselnya. Apa tadi, katanya? Rumus kecepatan sentrifugal itu ....

"Fiza! Dengarkan Ibu!" Detik berikutnya, ponsel mahal Fiza berpindah tangan ke genggaman Ibu. Sontak saja anak perempuan itu bangkit duduk di atas kasur. Atensi Fiza terpaksa teralihkan sekarang. Ibu melotot sempurna. "Kalau Ibu bicara itu dengarkan baik-baik, lihat ke Ibu, bukan malah asyik sama duniamu sendiri. Di mana sopan santun kamu?"

Sopan santun? Bukannya langsung patuh menurut, Fiza malah teringat kalimat Rani dan Devia ketika membicarakan Fiza di belakang.

"Bagus, sih, aktif di kelas. Tapi terlepas dari tujuannya yang mulia ... bukannya lebih baik belajar memperbaiki attitude lebih dulu?"

"Iyalah! Attitude nomor satu. Belajar sopan santun, menghargai orang lain ...."

Orang-orang suka sekali mengatakan hal-hal penuh omong kosong, ya. Persetan tentang semua itu. Fiza yang hendak merebut kembali benda persegi di tangan ibunya, mendadak saja bergeming di tempat ketika mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Ibu.

"Kenapa kamu enggak kayak dulu, sih ... Fiza? Semenjak meninggalnya Kakek, kamu berubah drastis!" Bahu Ibu mengendur lemas. Bara emosi di kedua bola matanya terganti oleh kesenduan yang mendalam. Suara itu bergetar. "Mana Fiza yang enggak pernah menunda salat? Yang sepulang sekolahnya selalu langsung buka Al-Qur'an, sekadar murajaah atau ziyadah untuk memenuhi target hafalan. Mana Fiza di bawah didikan Kakek yang ...."

"Itu Fiza yang enggak berdaya buat ngambil alih kehidupannya sendiri, Ibu!" Demi mendengar sang kakek disebut-sebut, Fiza yang awalnya memasang tampang tak peduli pada omelan Ibu, kini terpancing emosi dan merasakan ledakan gejolak yang membuat kedua bahunya naik-turun secara tidak beraturan. "Bukan ... bukan soal Fiza yang rajin, saliha, atau bertabiat baik lainnya ... tapi Fiza yang Ibu bilang itu cuma Fiza yang kehilangan dirinya."

Ibu memijit pelipis, berusaha mengusir pusing sekaligus luka yang terasa menjalari setiap penjuru hati. Ia tak habis pikir. Tidak ada kata yang terlontar dari bibir Ibu. Wanita menjelang usia kepala empat itu cukup kaget, baru pertama kali mendapati putri satu-satunya menyuarakan amarah seperti itu.

"Aku terkekang selama ini, Bu! Setiap gerak-gerikku dikendalikan penuh, sampai aku enggak kenal sama diriku sendiri. Ibu bilang aku berubah setelah kepergian Kakek? Itu karena aku pengin mencari kebebasan yang selama ini hilang! Aku juga bukan satu-satunya orang yang berubah di rumah ini, kok ...."

Capek sendiri dengan keluh kesah panjangnya, Fiza menarik napas untuk sejenak. Jeda di langit-langit kamar Fiza diisi dengan embusan-embusan napas yang menuntut suatu ruang untuk melepaskan segala belenggu dan susah hati. Keduanya, baik Ibu maupun Fiza, sama-sama ingin membahasakan kekecewaan yang pada akhirnya hanya mengharap lawan bicaranya untuk mengerti.

Tetes cairan bening mulai menjejaki pipi Fiza. Bibir itu bergetar ketika hendak melanjutkan kalimatnya. "Ibu ... sejak kematian Kakek, Ibu juga berubah drastis, tahu. Jadi cerewet, protektif, temperamen, mudah marah, enggak pernah komunikasi sama aku selain buat bentak-bentak! Mendadak saja Ibu jadi supervisor yang mengawasi ketat kehidupanku, sejak Kakek pergi. Pertanyaannya ... ke mana saja Ibu selama ini?"

Senyap. Di ruang kamar yang cukup luas tersebut, hanya terdengar penjelasan seorang pria mengenai materi fisika di ponsel Fiza yang belum sempat dimatikan.

Manik cokelat terang Fiza berlarian menghindari tatapan kecewa dari iris mata yang mirip dengannya itu. Sebelum semuanya tambah menyebalkan, Fiza memilih melangkah keluar dari kamar. Kecepatannya terus bertambah ketika Fiza membuka pagar halaman depan rumah dan teriakan Ibu kembali terdengar.

"Fiza! Mau ke mana kamu?"

[   .   .   .   ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro