Bab 12 - Kamu Pasti Bisa Kok -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nyaris satu jam Hana berada di rumah sakit. Wanita itu bahkan belum memiliki keinginan untuk pulang karena sekarang, dia tengah asyik mengobrol dengan Roa. Pembicaraan ringan yang mereka lakukan berhasil membuat Evan cemburu. Entah pada Roa atau malah pada Hana.

Dia yang sebelumnya duduk berjauhan dengan Hana juga Roa. Kemudian, tiba-tiba saja mendekat kembali ke kasur Roa padahal sebelumnya pria itu tengah tiduran di sudut ruang rawat adiknya itu.

"Lagi ngobrol apa sih?" tanya Evan saat dia duduk tepat di samping Hana. Pria itu bahkan membawa kursi lain agar bisa duduk dekat dengan kedua wanita tersebut.

Roa tersenyum dan menepuk lengan kakak tertuanya itu, "Ih, kakak kepo banget sih. Ini pembicaraan perempuan. Kakak kan, laki-laki."

Roa benar-benar sangat pintar berbicara. Hal itu membuat Hana kagum. Wanita itu bahkan sampai membayangkan dirinya di umur Roa sekarang. Tepat enam tahun yang lalu. Saat umurnya 10 tahun, sepertinya Hana tidak sepintar Roa bahkan wanita itu lebih banyak diam saat kecil.

Masalah keluarganya memang muncul sejak dulu, bahkan mungkin sejak Hana belum lahir. Tetapi, entah kenapa kedua orang tuanya tetap bertahan hingga akhirnya mereka tetap memutuskan untuk bercerai.

Setelah tau bahwa Roa tengah berjuang melawan kanker darah. Hati Hana terasa sakit, dia sungguh tak menyangka bahwa gadis kecil itu tetap bisa semangat menjalani kehidupannya walau tau dia memiliki penyakit yang sangat serius.

Dalam pembicaraan mereka, Roa tiba-tiba meraih rambut lurus Hana yang tidak terlalu panjang itu. Entah kenapa wanita tersebut mengurai rambutnya dan sepertinya Roa tertarik pada rambut lurus milik Hana itu.

"Rambut Kakak bagus ya," puji Roa sembari mengelus rambut Hana.

"Aku pengen deh, punya rambut kaya kakak," ucap Roa lagi.

Hana dan Evan saling bertatapan setelah mendengar ucapan Roa. Tentu ada rasa bersalah di benak keduanya. Namun, Roa malah memberikan senyum termanisnya pada dua orang itu seakan tidak terjadi apa-apa.

"Tenang aja ya, Roa pasti bisa kok punya rambut kaya kakak."

Ucapan Hana bukan hanya penenang bagi Roa. Entah kenapa, wanita itu tiba-tiba saja berjanji di dalam hatinya untuk membantu Roa sembuh dari penyakitnya.

Dia memang tidak memiliki saudara karena Hana adalah anak tunggal. Namun, setelah bertemu dengan Roa. Dia merasa memiliki saudara yang perlu dia lindungi.

"Beneran, Kak?" tanya Roa dengan semangat bahkan mata gadis itu membulat penuh harap.

Hana mengangguk, "Bisa kok, asal Roa semangat terus ya sampai sembuh nanti."

Roa mengepalkan tangannya, "Iya, Kak. Roa, janji."

Di sisi keduanya, Evan menatap bingung ke arah Hana. Wanita itu sadar dan kemudian memegang tangan Evan dengan lembut, seakan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

Tak lama kemudian, Hana pamit untuk pulang. Sebelum itu, dia kembali berbincang dengan Roa. Sepertinya dia akan lebih sering bertemu Roa, karena gadis kecil itu sangat menarik di matanya.

"Kakak, pulang dulu ya," pamit Hana sembari mengusap kepala Roa yang berbalut kupluk berwarna merah gelap.

Roa tersenyum dan memegang tangan kiri Hana. Genggaman itu terasa sangat hangat dan membuat Hana terbayang hingga sampai di parkiran.

Evan mengantar wanita itu sampai di parkiran. Dia takut Hana nyasar atau malah diculik orang padahal dia hanya teman Hana seharusnya pria itu tidak perlu khawatir. Namun ternyata, Evan memiliki ingin berbicara pada Hana sehingga dia memutuskan melakukan hal itu.

"Lo seharusnya nggak ngomong gitu ke Roa," ucap Evan dengan tiba-tiba.

Keduanya kini tengah berdiri di samping mobil milik Hana, di dalam mobil sudah ada supir pribadi wanita itu yang telah menunggu nyaris dua jam lamanya.

"Memangnya kenapa?" tanya Hana dengan wajah tak bersalahnya.

Jangan salahkan wanita itu, karena kini dia hanya ingin Roa sembuh. Walaupun, kemungkinan sangat kecil.

"Lo udah denger kan, Ibu gue juga pasti udah jelasin tentang penyakit adik gue."

Hana mengangguk, "Gue denger semuanya kok, gue tau, kemungkinan dia sembuh itu kecil. Tapi, kita harus tetep berusaha."

"Tapi, Han... ."

Hana mendekat ke arah Evan dan menggenggam tangan pria itu, tatapannya kemudian terfokus pada mata coklat milik Evan.

"Gue bakal bantu semampu gue, pokoknya, kalo lo butuh duit. Lo harus hubungin gue."

"Gue nggak mau ngebebanin lo," tolak Evan sembari menjauh dari hadapan Hana bahkan pria itu melepaskan genggaman Hana pada lengannya.

"Gue nggak ngerasa terbebanin kok, lagi pula semua ini nggak gratis. Anggep aja ini semua bayaran gue dan lo harus janji bisa bikin gue naik kelas."

"Tapi, Han. Lo sudah ngasih gue uang lima juta sebelumnya dan sekarang lo... ."

Hana meletakkan telunjuknya di bibir Evan. Membuat pria itu menghentikan ucapannya. "Lo nggak usah banyak bacot lah. Dengerin aja apa yang gue omongin. Nggak usah ngebantah bisa?"

Entah sadar atau tidak, Evan menganggukkan kepalanya seakan memberi jawaban pada pertanyaan Hana. Matanya kemudian terpaku pada wajah serius yang Hana tampilkan.

Baru kali ini, Evan mendengar suara Hana yang tegas bahkan hal itu membuat Evan terdiam tanpa dapat membalas ucapan Hana. Dia menjadi cukup penasaran dengan keluarga Hana, pasti keluarga wanita itu sangatlah kaya.

Hana melepas ganggamannya," Ya udah, gue balik ya."

Wanita itu kemudian masuk ke dalam mobilnya dan menurunkan jendela mobil tersebut.

"Sampai ketemu besok."

Mobil tersebut berjalan dan Hana melambaikan tangannya pada Evan yang masih mematung. Pikirannya seakan berhenti sesaat dan setelah sadar, Hana sudah pergi menghilang dari pandangannya.

***

Keesokan harinya, Evan dan Hana kembali bertemu. Mereka asyik belajar bersama saat pulang sekolah. Namun seperti biasanya, Hana akan berhenti tengah jalan saat belajar. Kepalanya kembali terasa akan pecah dan hal itu membuat Evan geleng-geleng kepala.

"Udah capek?" tanya Evan setelah melihat Hana menghempaskan tubuhnya dengan cukup kuat ke sandaran kursi yang dia gunakan.

Hana memijat kepalanya dengan pelan dan kemudian wanita itu menatap ke arah Evan. Tatapannya tidak setajam dulu, karena mungkin Hana malas berdebat sekarang.

"Iya, pusing kepala gue."

Evan meletakkan pulpennya di atas buku pelajaran yang tengah terbuka, tangan pria itu kemudian mengarah ke kepala Hana dan ikut memijat kepala wanita itu.

Hana sedikit terkejut dan menjauhkan tangan Evan dari kepalanya, wanita itu kemudian kembali membaca buku di hadapannya dan berusaha untuk bersikap biasa padahal detak jantungnya kini tidak karuan.

Evan pun kembali membaca bukunya dan menjelaskan apa yang dia baca kepada Hana, wanita itu menjadi tidak fokus dan juga dia tidak berani menatap wajah Evan yang kini senantiasa menatapnya.

"Lo nggak papa?" tanya Evan tiba-tiba.

"Gue nggak papa kok," jawab Hana cepat. "Buruan gih, selesein bacanya. Gue mau pulang."

Hana sebenarnya tidak ingin pulang, bahkan dia mau berlama-lama dengan pria di sampingnya itu. Namun, detak jantungnya tidak bisa diajak kompromi bahkan kini alunannya semakin cepat setelah Evan berbicara.

Mampus gue.

***

Siapa nih yang suka deg-degan saat ketemu yayanggg.

Akuuuu☝️

Hehe.

***

Jangan lupa tinggalin jejaknya ya.

***

Terima Kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro