Bab 19 - Pemakaman Roa -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada yang mengira bahwa Roa pergi secepat ini dan kesedihan kian menerpa saat jasad gadis kecil itu sampai di rumahnya. Evan yang belum menemui adik kecilnya itupun langsung duduk tepat di samping jasad Roa yang sudah terbujur kaku.

Tangis tak dapat dibendung oleh Evan lagi sekarang, pria itu menangis sejadi-jadinya tanpa bisa ditahan lagi. Hana yang ikut duduk di sampingnya pun tak dapat melakukan apa-apa karena dia juga sama sedihnya seperti apa yang Evan rasakan.

Tangisannya terus keluar tanpa henti walau tak separah Evan. Dia baru saja merasakan memiliki adik. Namun, Tuhan mengambil kembali Roa dari sisinya. Sepertinya, Tuhan begitu mencintai gadis kecil itu dan meminta dia untuk berada di sisi-Nya.

Kini, sudah banyak orang berdatangan memenuhi rumah kecil tersebut. Karena nyaris penuh, Hana pun membawa Evan untuk masuk ke dalam sebuah kamar. Dia tidak ingin tangisan Evan mengganggu orang-orang yang datang.

Pria itu masih tak bisa menghentikan tangisnya dan Hana yang berada di sisinya pun memutuskan untuk memeluk tubuh pria itu dari samping dengan erat. Mungkin, setelah dia memeluk Evan. Pria itu akan merasa baikan.

"Van, gue tau lo sedih. Tapi, Van... ."

"Lo nggak tau rasanya ditinggalin gimana, Han. Lo nggak tau," potong Evan sambil berteriak. Pria itu bahkan melepas paksa pelukan mereka.

"Iya, Van. Gue emang nggak tau!. Tapi, lo jangan berlarut-larut gini dong. Gimana Ibu sama adik-adik lo bisa kuat. Kalau lo sendiri aja nggak kuat!" tegas Hana yang berhasil membuat Evan meredakan tangisnya.

Pria itu masih menatap kasur yang mereka kini duduki. Rasa bersalah kian menerpa dirinya karena dia merasa gagal untuk menjadi seseorang yang kuat untuk Ibu dan adik-adiknya.

"Gue tau lo sedih, gue tau, Van. Gue juga sedih. Tapi, kalau lo gini terus. Gimana dengan keluarga lo?" jelas Hana lagi.

Wanita itu bahkan ikut berteriak pada Evan agar teman belajarnya tersebut sadar. Memang apa yang Hana lakukan ini terlalu di luar batas. Dia juga tidak menyangka akan berkata seperti itu.

Evan mengangkat pandangannya dan menarik Hana ke dalam pelukannya. "Gue nggak bakal kuat, Han. Tapi,... Gue pengen lo jadi penguat gue."

Hana terdiam tanpa membalas pelukan dan ucapan Evan. Jujur, ucapan pria itu berhasil membuat Hana bingung. Namun sebelum sempat dia bertanya, pintu kamar tersebut terbuka. Menampilkan Lea yang kini mematung saat melihat Evan dan Hana tengah berpelukan.

Keduanya langsung melepaskan pelukan tersebut dan Evan segera berjalan mendekat ke arah Lea, "Kenapa, dik?"

Lea yang salah tingkah kemudian tersenyum kecil, "Itu, Kak. Dipanggil sama Ibu."

"Ya udah, bentar Kakak ke sana ya," ucap Evan pada Lea. Lea kemudian beranjak dari tempatnya dan Evan menoleh ke arah Hana yang juga ternyata salah tingkah. Wanita itu tidak berani menatap wajah Evan dan membuat Evan sedikit bahagia.

"Gue datengin Ibu gue dulu ya."

"Iya."

Cukup lama Hana berada di kamar tersebut. Kamar ini jauh lebih kecil dari kamarnya. Namun, terasa sangat nyaman. Hana memperhatikan kamar itu dengan saksama dan dapat dipastikan bahwa itu adalah kamar Evan karena di kamar tersebut ada baju dan juga buku-buku Evan.

Beberapa menit kemudian, Evan masuk lagi ke kamarnya. "Roa sudah mau dimakamin, lo mau ikut nganter?" tanya Evan dengan pelan.

Hana tersenyum sembari mengangguk, "Iya, gue mau."

Evan kemudian keluar dari kamarnya dan Hana mengikutinya dari belakang. Ternyata jasad Roa sudah kembali dibawa naik ke atas mobil ambulans.

"Lo naik mobil itu aja ya sama adik-adik gue. Ntar pas balik kita bareng di situ," ucap Evan sembari menunjuk sebuah mobil hitam yang berada tepat di belakang mobil ambulans.

Hana mengangguk pelan, "Iya."

Wanita itu kemudian membawa Lea juga Alvin untuk naik ke mobil hitam tersebut. Ternyata hanya ada kami bertiga dan juga seorang sopir. Sepertinya pria itu menyewa mobil ini.

Saat diperjalanan, Hana menyempatkan diri untuk menelepon pembantunya. Dia takut Ibu Nuri mengkhawatirkannya.

"Halo, Bu."

"Eh, Neng. Dari mana aja? Kok baru nelepon?"

Hana tersenyum kecil sembari mengelus rambut Lea yang kini menahan tangisnya, adik perempuan Evan itu terlihat masih sedih atas kepergian Roa.

"Maaf ya, Bu. Udah bikin khawatir. Hmm, adiknya temen saya meninggal, Bu. Jadi, saya lagi bantuin dia. Nanti saya hubungi lagi ya kalau sudah selesai," jelas Hana dengan pelan.

"Turut berduka cita ya atas kepergian adik temennya, Neng."

Hana mengangguk pelan, "Iya, Bu. Makasih."

Panggilan telepon tersebut segera Hana akhiri setelah mereka sampai di pemakaman. Lea kemudian keluar dari mobil dan Hana juga Alvin ikut keluar.

Jasad Roa kemudian dikeluarkan dan langsung dimakamkan. Sari, Ibu Evan kembali menangis. Begitu pula dengan Evan juga kedua adiknya. Hana menjadi satu-satunya orang yang bukan keluarga mereka. Namun, dia tetap merasakan kesedihan yang keluarga Roa rasakan.

Wanita itu kemudian mendekat ke arah Evan dan memeluk pria itu dari samping, "Yang sabar ya, Van," ucapnya dengan nada berbisik.

Sesekali wanita itu mengusap punggung Evan dan setelah liang lahat itu tertutup penuh. Pria tersebut memeluk erat Hana. Suara tangisnya terendam karena pelukan mereka dan Hana menjadi semakin sedih sekarang.

"Van, yuk, taburin dulu bunganya," ajak Hana dengan nada yang cukup pelan.

Evan kemudian melepaskan pelukannya pada Hana dan melakukan apa yang wanita itu suruh. Di sisinya, Hana hanya memperhatikan apa yang Evan dan keluarganya itu lakukan.

Setelah selesai, Evan tiba-tiba berlutut di samping papan nisan milik Roa. Pria itu memeluk papan tersebut dan kembali menangis.

"Roa, kamu yang tenang ya di sana. Kakak yakin, Roa sudah bahagia di sana. Roa juga sudah nggak sakit lagi," ucap Evan dengan suara yang serak.

Kemudian, pria itu berdiri dan merangkul Hana. Wanita tersebut tidak menolak bahkan tangannya kini tengah melingkar di pinggang Evan.

"Roa ... Ibu, Kak Evan, Kak Lea, Kak Alvin dan Kak Hana pulang dulu ya. Roa baik-baik ya di sana. Kapan-kapan, Kami datang lagi kesini buat jengukin Roa."

Entah bagaimana kuatnya, Sari sekarang. Dulu, dia ditinggalkan suaminya dan sekarang dia juga ditinggalkan anak terakhirnya. Penyakit yang membunuh mereka berdua kini menjadi musuh terbesar bagi Sari. Dia tidak mau kehilangan siapa pun lagi.

Sari menggandeng kedua anaknya untuk keluar dari area pemakaman. Di belakangnya, ada Evan dan Hana yang masih saling merangkul. Entah apa yang merasuki kedua orang itu hingga rangkulan tersebut tak kunjung lepas. Ada rasa nyaman ketika mereka bersama dan itu yang membuat mereka menjadi semakin dekat.

Setelah masuk ke dalam mobil, ke lima orang tersebut langsung diantar pulang dan benar saja, mobil tersebut disewa oleh Evan. Saat pria itu ingin membayar, Hana langsung menahannya.

"Biar gue aja," ucap Hana sembari memberi dua lembar uang 100 ribu rupiah pada sopir yang membawa mereka.

"Makasih ya, Pak," ucapnya lagi.

Sopir tersebut langsung pergi dari hadapan mereka. Kini, Sari dan kedua anaknya sudah masuk ke dalam rumah mereka. Namun, Evan dan Hana masih berada di depan rumah.

Evan menatap Hana dengan lekat, "Makasih ya, Han."

"Iya, sama-sama."

***

Roa tenang ya di sana😢

***

Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya.

***

Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro