Bab 20 - Tidak Pantas -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjelang malam, Hana masih berada di rumah Evan. Wanita itu merasa nyaman di rumah teman belajarnya tersebut. Dia bahkan sampai lupa waktu saat tengah membantu Sari bersih-bersih.

"Makasih ya, Nak," ucap Sari pada Hana.

Hana tersenyum, "Iya, Bu. Sama-sama. Lagian Ibu pasti capek kan, sekarang Ibu istirahat aja. Biar saja yang lanjutin bersih-bersihnya."

Sari menggeleng pelan, "Enggak, Nak. Kasian kamu kalau ngerjain sendirian."

"Nggak papa kok, Bu. Saya bisa, Ibu istirahat aja."

Sari tersenyum kecil sembari mengelus lengan atas Hana, "Makasih ya, Nak. Kalau kamu capek. Istirahat aja, jangan dipaksain."

"Iya, Bu."

Sari kemudian pergi menuju kamarnya dan Hana melanjutkan untuk bersih-bersih. Tidak banyak yang perlu dia lakukan, dia hanya perlu memasukan sampah ke dalam kantung plastik dan menaruhnya di luar.

Kini hanya tinggal dia sendiri, Evan dan kedua adiknya sudah tertidur sejak pulang dari pemakaman dan sekarang, Sari, Ibu Evan juga beristirahat.

Rumah kecil itu terasa begitu kosong sekarang. Namun, tetap terasa nyaman dan menarik di mata Hana. Jika dibandingkan dengan rumahnya. Pasti Hana lebih memilih rumah tersebut. Walau kecil, tetapi begitu hangat.

Tanpa Hana sadari, Evan sudah keluar dari kamarnya. Pria itu keluar dengan wajah bengkaknya dan rambut yang biasanya rapi itu pun berantakan.

"Han," panggil Evan dari belakang tubuh Hana.

Hana menoleh dan tertawa kecil saat melihat penampilan Evan. "Lo kok kaya orang gila sih," ledek Hana.

Evan memutar bola matanya dengan malas setelah mendengar ucapan Hana, wanita itu kemudian mendekat ke arah Evan dan memeluk pria itu dari samping. Sepertinya hal itu akan sering dia lakukan pada Evan.

"Ngambek ya lo?" tanya Hana sembari tersenyum menggoda Evan.

Evan menggeleng pelan. "Enggak tuh," sanggah pria tersebut.

"Ya udah kalau gitu."

Hana ingin beranjak dan melepas pelukannya. Namun, Evan malah menahan wanita tersebut dan memeluknya dengan erat.

"Gue suka kalo lo peluk gini," jelas Evan yang berhasil membuat Hana tersipu.

"Lo mau kan jadi pacar gue?" tanya Evan dengan tiba-tiba.

Hana kemudian mendorong tubuh Evan dengan cukup kencang sehingga dia dan teman belajarnya itu memiliki jarak yang cukup jauh.

"Lo nggak mau?" tanya Evan dengan dahi mengkerut.

"Bukannya nggak mau, tapi ... ."

"Lo malu karena gue miskin?" potong Evan. Sepertinya pria itu tengah dalam kondisi yang kurang baik sehingga emosinya gampang meledak.

Hana segera mendekat ke arah Evan dan menarik lengan pria itu. "Bukan gitu, Van."

Evan melepas genggaman Hana dengan kasar, "Terus, kenapa?"

Hana menundukkan kepalanya, "Gue ngerasa nggak pantas buat lo."

Evan kebingungan dengan penjelasan Hana. Pria itu kemudian menangkat wajah Hana agar dapat dia lihat. "Nggak pantas gimana maksud lo?"

Sebelum menjawab, Hana menarik nafas yang cukup panjang. Dia merasa bahwa paru-parunya perlu diisi dengan banyak oksigen.

Hana berjalan mendekat ke arah Evan, wanita itu kemudian menggengam tangan Evan dengan erat.

"Van, lo tau kan gue cewek gimana? Apa lo nggak malu kalau punya cewek kaya gue?"

Evan menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Buat apa gue malu? Gue suka sama lo. Dan kalau lo juga suka sama gue. Seharusnya lo nggak perlu malu."

Mata Hana memerah karena tiba-tiba saja perasaannya menjadi hangat setelah mendengar ucapan Evan. Lagi-lagi, Evan menjadi orang pertama yang membuatnya merasakan perasaan yang belum pernah dia rasa sebelumnya.

Evan menarik Hana untuk masuk ke dalam pelukannya, "Han, kalau lo belum siap, gue bisa nunggu kok."

Tangis yang sebelumnya dibendung oleh Hana pun akhirnya turun, sangat deras bahkan sampai membasahi baju Evan. Entah kenapa, dia bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama Evan. Ketika dia ingin menangis, dia akan menangis dan ketika dia tengah bahagia, dia bisa tersenyum lebar.

Tanpa mereka sadari, Sari melihat keduanya tengah berpelukkan. Wanita tua itu kemudian mengusap air mata yang entah kapan turunnya. Dia tentu akan mendukung apapun yang anaknya inginkan karena hanya merekalah yang Sari miliki sekarang.

Sari berjalan mendekat ke arah Evan dan Hana. Wanita paruh bayah itu kemudian berdeham kecil. Evan dan Hana langsung melepaskan pelukan mereka. Keduanya tentu saja malu dan salah tingkah di hadapan Sari.

Hana segera pergi dan masuk ke dalam kamar Lea, adik pertama Evan. Sebelumnya dia juga berada di kamar tersebut. Tatapan Sari kemudian mengikuti arah jalan Hana dan wanita itu tersenyum kecil. "Jadi, gimana? Kalian udah pacaran?" tanya Sari yang langsung dibalas dengan gelengan oleh Evan.

Wanita paruh bayah itu kemudian menepuk bahu Evan dengan pelan, "Gak papa ya, Van. Usahanya dikuatin lagi, Ibu doain biar kamu bisa diterima sama Hana."

"Iya, Bu. Makasih ya."

***

Selang beberapa minggu kemudian, ujian kenaikan kelas pun datang. Hana belajar dengan sebaik mungkin. Di sisinya, Evan juga membantu wanita itu dalam pelajaran-pelajaran yang sempat tertinggal dan selama itu tidak ada percakapan pribadi yang mereka lakukan.

Kejadian sebelumnya pun seperti mimpi yang hanya memberi rasa manis dalam kehidupan mereka. Walau nyatanya, rasa yang mereka miliki tetap sama seperti sebelumnya.

Ada rasa takut di benak Hana hari ini, walau sudah banyak belajar tetapi wanita itu tetap gugup saat ujian dilakukan. Ujian kenaikan sendiri berlangsung selama enam hari dengan 12 mata pelajaran yang diujikan.

Namun, siapa sangka bahwa wanita itu dapat melaluinya. Walau dia juga tidak tau bagaimana hasil dari ujian yang dia lakukan tetapi setidaknya, usahanya selama ini tidak sia-sia.

Senyum di wajah Hana tidak luntur sejak tadi, wanita itu bahkan tersenyum saat ditegur oleh Ibu Sari. Guru yang selalu bertengkar dengannya.

"Gimana, Han, ujian kamu?" tanya Ibu Sari dengan penuh penasaran.

Hana dan Ibu Sari bertemu di perjalanan menuju keluar sekolah setelah ujian terakhir selesai.

"Aman, Bu."

"Baguslah kalau gitu, semoga nilainya memuaskan ya."

"Iya, Bu. Amin."

Ibu Sari kemudian pamit pada Hana dan wanita tua itu berjalan menuju jemputannya. Hana hanya menatap guru matematikanya itu dengan lekat sampai guru tersebut tak dapat dia lihat lagi.

Di depan sekolah sudah ada mobil jemputannya. Namun, belum sempat sampai di sana. Evan segera menahan langkah Hana.

Hana tersenyum kecil pada Evan, senyuman gugup karena dia belum siap bertemu dengan pria itu.

"Gimana ujiannya?" tanya Evan sembari mengelus rambut Hana. Pria itu sudah sangat sabar menunggu hari itu datang karena sebelumnya mereka berjanji untuk tidak bertemu hingga ujian terakhir selesai.

"Lancar kok," ucap Hana singkat.

"Syukurlah, terus lo mau balik?"

Hana mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia masih gugup jika bertemu dengan Evan dan dia juga ingin pergi sekarang. Bukan karena dia tidak suka melainkan karena detak jantungnya yang tak karuan ketika bertemu dengan pria itu.

"Ya udah, hati-hati ya."

Hana berjalan melewati Evan tanpa berani menatap wajah pria itu, Evan kemudian memperhatikan Hana yang berjalan pelan menuju mobilnya. Saat sampai dan masuk ke dalam mobil tersebut. Evan tidak lupa untuk melambaikan tangannya.

***

Aduh, gimana nih kelanjutan hubungan Evan dan Hana? .

***

Tinggalin jejaknya ya.

***

Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro