Bab 21 - Bingung -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah menyelesaikan ujian, semua siswa/i diliburkan sembari menunggu pembagian raport dilakukan. Libur yang diberikan hanya beberapa hari dan disaat itu pula, Evan menjadi orang yang berbeda.

Dia lebih sering diam di rumah dan membuat ibunya bingung. Jika hanya sehari, wanita itu memaklumi. Namun, diamnya Evan sampai berhari-hari.

Sari yang baru saja keluar dari kamarnya sedikit kebingungan karena melihat Evan yang tengah terdiam di meja makan dengan mie yang berada dihadapannya.

Wanita paruh bayah itu kemudian berjalan mendekat kearah sang anak dan memperhatikan gerak gerik anaknya itu.

Mata Evan terasa kosong karena dia tengah melamun. Namun, tangannya terus mengaduk mie yang sudah mengembang di hadapannya. Entah sejak kapan dia seperti ini.

Sari memiliki inisiatif untuk mengajak Evan berbicara, dia kemudian menarik kursi di sebelah Evan dan hal itu membuat Evan sadar.

"Eh, Bu," ucapnya dengan wajah terkejut. Namun, Sari melempar senyuman kepada anaknya itu.

Sari duduk di kursi yang dia tarik tadi dan memperhatikan Evan dengan saksama. "Kenapa nggak dimakan mienya?".

Evan tersenyum kecil sembari meletakkan sumpit yang dia pakai sebelumnya, dia kemudian melipat tangan di atas meja makan dan menatap balik kearah ibunya.

"Bu, gimana sih caranya lupain orang?" tanya Evan dengan wajah penuh penasaran bahkan pria itu sudah menopang kepalanya dengan tangan kanannya sembari menunggu ibunya menjawab.

Sari menerawang sembari menatap keatas, dia mencoba-coba untuk mencari jawaban terbaik agar Evan puas.

"Gimana ya? Ibu juga nggak tau. Karena sampai sekarang, Ibu enggak bisa lupain Ayah kamu."

Evan terdiam sesaat, "Maaf ya, Bu."

Sari tersenyum sembari mengelus lengan atas Evan, "Nggak papa kok, melupakan orang yang kita cintain itu enggak mudah, Evan. Apalah kalau orangnya sudah nggak ada."

Evan mengangguk paham. Namun, wajahnya terus menunduk karena merasa bersalah. Dia pikir, pertanyaannya begitu menyinggung Sari.

"Hmm, gimana kamu sama Hana?" tanya Sari dengan penasaran. Wanita paruh bayah itu kemudian mengangkat wajah Evan dengan tangan kanannya dan jelas terlihat di wajah Evan bahwa dia tengah sedih.

"Masih belum baikan?" tanya Sari lagi.

Evan segera menggeleng, "bukan gitu, Bu."

"Jadi... ." Sari sengaja menghentikan ucapannya. Namun, Evan tidak segera menjawab. "Kamu sudah bicara sama dia?"

Evan menggeleng lagi dan hal itu membuat Sari paham, "Van, cewek itu butuh perjuangan. Kalau kamunya gini, gimana dia bisa percaya sama kamu?"

Pikiran Evan langsung penuh dengan ucapan ibunya, dia juga sadar bahwa selama ini dia tidak tegas pada hatinya dan mungkin hal itu yang juga membuat Hana ragu padanya.

"Jadi, apa yang perlu lakuin, Bu?" tanya Evan dengan pelan. Dia bingung harus bertindak seperti apa.

"Lakukan sesuatu yang sesuai sama hati kamu. Kamu pasti tau apa yang terbaik."

Semalaman Evan tidak tidur karena memikirkan ucapan ibunya. Dia bingung apa yang perlu dia lakukan. Dia sudah menyatakan perasaannya. Namun, Hana malah menolak. Jadi, apa yang perlu dia lakukan lagi?

Setelah beberapa hari, akhirnya Evan masuk sekolah untuk mengambil raport. Pria itu beberapa kali mengedarkan pandangannya untuk mencari Hana, padahal jelas dia tidak akan menemukan wanita itu.

Pembagian rapot di kelas 11 A berlangsung begitu meriah karena mereka semua naik kelas begitu pula dengan Evan, pria itu mendapat peringkat satu di kelasnya.

Sebenarnya dia tidak yakin bisa mendapat nilai sempura. Namun, nyatanya dia mendapat hal tersebut dan dia juga bisa menyelamatkan beasiswanya. Masih ada satu tahun lagi untuk berjuang sampai akhirnya hari kelulusan tiba.

Setelah pembagian rapot, teman-teman sekelas Evan pun melakukan foto bersama untuk kenang-kenangan dan dia kemudian keluar dari kelasnya bersama dengan Ari.

Sahabat Evan itu tengah bahagia karena nilainya naik dan semua itu juga berkat Evan. Pria itu membantu Ari untuk belajar.

Ari merangkul Evan dengan bahagia sampai di depan pintu kelas. Namun, setelahnya dia cukup terkejut karena menemukan Hana yang tengah berada di depan kelasnya.

Ari tersenyum kecil dengan wajah menggoda sahabatnya itu, "Hmm, kayanya kita jalannya ntar aja deh ya. Tuh, cewek lo udah nunggu. Bye."

Ari langsung pergi sembari melambaikan tangannya ke arah Evan, saat ditinggal Evan cukup grogi menghadapi Hana padahal sebelumnya dia mencari keberadaan teman belajarnya itu.

Hana memeluk rapotnya dan menatap bahagia ke arah Evan." Van, gue naik kelas!"

Hana sangat bahagia sekarang karena dia bisa naik kelas, bahkan wanita itu meloncat-loncat kecil tanpa peduli tatapan orang-orang terhadapnya.

Evan ikut bahagia atas keberhasilan Hana, dia tidak menyangka wanita itu akan menemuinya lagi padahal dia sudah pasrah jika tidak bisa dekat dengan Hana lagi karena memang kedekatannya hanya karena tujuan kenaikan kelas. Selebihnya tidak.

"Selamat ya," ucap Evan dengan pelan. Namun, tiba-tina saja Hana menarik tangan pria itu.

"Gimana kalau kita jalan-jalan. Gue mau traktir lo makan," ajak Hana dengan semangat.

Evan terdiam karena bingung. Dia cukup ragu untuk ikut Hana tetapi wanita itu segera membawa Evan untuk pergi ke mobilnya.

Di depan sekolah, sudah ada mobil Hana yang akan menjemput wanita itu. Hari ini mereka memang hanya memiliki jadwal untuk mengambil rapot dan setelah itu mereka boleh pulang.

Di dalam mobil, Hana bercerita bagaimana bagusnya nilai dia bahkan dibeberapa mata pelajaran dia mendapat nilai yang nyaris sempurna dan jauh dari nilainya sebelumnya.

Di saat itu, Evan hanya terdiam sembari tersenyum saat memperhatikan Hana. Wanita yang menjadi teman belajarnya itu sudah banyak berubah dan membuat Evan cukup bangga.

Tidak ada nada suara tinggi yang keluar dari mulutnya dan juga tidak ada wajah seram di wajahnya. Semua itu seakan hilang tanpa jejak.

"Gimana bagus kan nilai gue?" tanya Hana secara tiba-tiba. Evan yang sedari tadi melamun pun langsung dasar dan mengedip-edipkan matanya secara cepat.

"Hah, gimana apanya?"

Hana cemberut kesal, "Ih, lo nggak denger omongan gue dari tadi?"

Evan mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah, "Enggak kok, gue denger."

"Ya terus, kenapa nanya?"

Evan tertawa kecil sembari menggaruk kepalanya dengan pelan, "Jadi, lo nanya apa?"

"Nggak jadi deh, males gue."

Hana langsung menutup rapotnya dan membuang pandangannya keluar jendela. Hal itu membuat Evan merasa bersalah. Pria itu kemudian memegang tangan Hana dengan pelan seraya berkata, "maaf ya."

Evan teringat pada ucapan ibunya untuk memperjuangkan perasaannya pada Hana dan dia akan melakukannya sekarang.

Hana masih enggan untuk menatap ke arah Evan dan membuat pria itu menarik wajahnya. "Han, gue minta maaf," ucap Evan lagi.

Wajahnya terlihat begitu sedih dan hal itu membuat Hana iba. "Iya, gue maafin," jawabnya dengan ketus.

"Ikhlas nggak?" tanya Evan lagi.

Hana mengangguk pelan, "Iya, gue maafin."

* * *

Yeay 21 hihi.

Gimana ceritanya?

***

Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya.

***

Makasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro