Bab 5 - Membutuhkan Uang -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ponsel kecil Evan berbunyi cukup nyaring, suaranya begitu aneh di telinga. Hal itu membuat orang-orang yang mendengarnya mencari-cari dari mana asal suara tersebut. Evan yang menyadarinya pun segera mengangkat telepon tersebut. Ini masih jam pelajaran. Namun, tiba-tiba saja ibunya menelepon.

"Halo, Bu," ucap Evan dengan nada berbisik. Tubuh tingginya bahkan harus menunduk agar tak terlihat oleh guru yang tengah mengajar.

Ibu Evan menjelaskan bahwa kondisi adik pria itu sekarang tengah memburuk. Gadis kecil itu kembali mengalami nyeri dan harus di larikan ke ruang Intensive care unit (ICU)..

Evan yang mendengar hal itu pun langsung dibuat kelabakan. Dia kemudian segera meminta izin pulang pada guru yang mengajar. Syukurnya, beliau mau memberi izin setelah Evan menjelaskan alasannya.

Evan berlari cukup kencang, hal itu membuat hampir semua siswa yang tengah berolahraga menatap heran kepadanya. Begitu juga dengan Hana, wanita itu terlihat penasaran saat tak sengaja melihat Evan berlari pergi keluar sekolah.

Mau ke mana dia?

Sesampai di rumah sakit, Evan cukup terkejut karena ibunya sudah ada di depan ruang Intensive care unit (ICU).

Ibu Evan segera memeluk anak pertamanya itu dengan erat. Tangisan kemudian terdengar di balik pelukan mereka.

Evan hanya mampu terdiam tanpa berani bertanya. Tangannya kemudian mengkait agar pelukan tersebut makin erat.

Bayangan terburuk kini telah terlintas di benaknya. Sang Ibu mengatakan bahwa kondisi Roa, anak terakhirnya itu menurun drastis.

Gadis kecil itu merasakan nyeri yang begitu dahsyat dan hal itu membuatnya berulang kali berteriak sampai akhirnya dia pingsan.

Kini, gadis kecil itu masih tidak sadarkan diri sembari diperiksa oleh dokter. Evan dan ibunya hanya dapat melihat melalui kaca, mereka berharap Roa berhasil untuk bertahan.

Tak lama kemudian, sang dokter keluar dari ruang rawat Roa. Pria berjas putih itu memaksa untuk tersenyum.

Hal itu tentu membuat Evan dan juga Ibunya penasaran, "Gimana keadaan adik saya, Dok?"

Dokter tersebut tidak langsung menjawab, melainkan dia mengurut dahinya dengan pelan. Di hadapannya kini sudah ada hasil pemeriksaan Roa dan hasilnya jauh dari kata baik.

"Sekarang adik, Mas, sudah cukup membaik. Saya sudah berikan obat pereda rasa nyeri. Tapi, saya sarankan agar Roa secepatnya di kemoterapi karena kanker di dalam tubuhnya sudah mulai menyebar."

"Tapi, Dok. Uang beasiswa saya belum keluar."

Evan merasa begitu kecewa pada dirinya sendiri, setelah kepergian sang Ayah. Pria itu harus ikut serta mengurus ibu dan juga adiknya. Dia hanya bisa mengandalkan uang Beasiswanya. Namun, uang tersebut baru akan keluar setelah kenaikan kelas alias tiga bulan lagi.

Kepergian dokter membuat Evan juga ibunya tak mampu mengeluarkan suaranya. Mereka terdiam dengan pikirannya masing-masing.

Entah bagaimana mereka mendapatkan uang secepat mungkin untuk kemoterapi Roa.

Beberapa hari kemudian, Evan kembali bertemu dengan Hana. Pria itu tiba-tiba saja memiliki pikiran untuk meminta bantuan Hana untuk biaya kemoterapi Roa.

"Han, gue boleh ngomong sama lo nggak?" tanya Evan sembari menarik tangan Hana. Wanita itu terdiam sembari menatap bingung tangannya yang tengah dipegang oleh Evan.

Evan tidak sendiri berjalan sendiri, melainkan pria itu bersama beberapa temannya juga. Mereka terlihat siap untuk menggoda Evan. Namun, tiba-tiba pria itu membawa Hana untuk naik ke atas gedung sekolahnya.

Sesampai di sana, Evan segera melepaskan genggaman tangannya. "Maaf," ucapnya dengan rasa bersalah.

Hana berjalan mendekat ke arah pagar pembatas, matanya kemudian mengarah ke bawah gedung di mana ada banyak siswa dan siswi tengah asyik dengan kegiatannya masing-masing.

Cukup lama mereka terdiam dengan pikiran mereka sendiri, sampai akhirnya Hana membalik tubuhnya. Wanita itu memperhatikan Evan yang masih setia berdiri di tempat sebelumnya.

Tangan wanita itu terlipat di depan dada dan perlahan berjalan ke arah Evan. "Lo mau ngomong apa?"

Pertanyaan Hana itu berhasil menyadarkan Evan dari lamunannya, pria itu kemudian menatap sendu ke arah Hana.

"Maaf sebelumnya, gue ngedenger pembicaraan lo sama Pak Rio. Gue denger lo terancam nggak naik kelas ya."

Hana memutar bola matanya dengan malas, dia sudah bosan mendengar hal tersebut. Dia juga sudah tidak peduli jika harus tidak naik kelas. Toh, siapa yang peduli padanya? Ibunya saja tak pernah mengurusnya.

Wanita itu kemudian ingin kembali pergi ke pagar pembatas. Namun, tangannya kemudian ditarik oleh Evan.

"Apaan sih, lo!"

Hana tentu terganggu karena lagi-lagi Evan menarik tangannya. Pria itu memiliki tenaga yang cukup besar sehingga jika Hana mencoba melepaskan genggaman tangannya, dia akan merasa kesakitan.

"Gue mau bantu lo ... ."

"Bantu apaan?" potong Hana dengan raut wajahnya yang kesal.

"Gue mau bantu lo buat perbaiki nilai lo," jelas Evan dengan wajah seriusnya. Hal itu berhasil membuat Hana bingung.

"Beneran?" tanya Hana memastikan.

Evan mengangguk dengan pasti, dia harus segera mendapat uang untuk kemoterapi adiknya. Tidak banyak waktu yang tersisa dan dia harus memanfaatkan waktu tersebut.

"Ya sudah, boleh deh. Tapi, gue harus bayar lo berapa? Nggak mungkin kan gratis?" tebak Hana dengan cepat.

Evan terdiam sebelum memberi jawaban, "Gue nggak minta uang kok, gue cuman mau pinjem uang dari lo. Sebagai jaminannya gue bantuin lo buat naikin nilai lo."

Kali ini, Hana yang terdiam. Dia tidak menyangka akan semudah ini mendapatkan Evan sebagai teman belajarnya. Sebenarnya, dia sudah pasrah jika harus tidak naik kelas tahun ini.

"Nggak, nggak. Gue tetep harus bayar lo. Lo butuhnya berapa?"

Hana kemudian membuka dompetnya. "Sejuta cukup?. Ini dp doang kok. Ntar gue kasih lagi, gue adanya segini."

Sepuluh lembar uang seratus ribu rupiah pun kini sudah berada ditangan Hana. Wanita itu baru saja mengeluarkannya, "Gimana?"

Tatapan Evan kemudian penuh harap pada uang tersebut. Namun, dia tetap hanya ingin meminjam uang. Bukannya meminta uang tersebut.

"Gue mau pinjem, bukan minta."

"Tapi, gue ikhlas kok."

"Gue butuh uangnya lima juta."

Hana terdiam sembari mengerutkan dahinya, wanita itu kemudian memasukkan kembali uang yang dia pegang ke dalam dompetnya.

"Buat apa duit segitu banyak?"

"Hmm, adik gue lagi sakit dan dia butuh uang buat kemoterapi," jelas Evan dengan nada pelan.

Suasana kembali sunyi, keduanya kini terhanyut pada pikirannya masing-masing. Hana merasa tak enak pada Evan, begitu pula sebaliknya.

"Ya sudah, gue minta nomor rekening lo. Biar gue transfer ke atm lo."

Hana sudah siap dengan ponselnya, dia bisa saja langsung mengirimi Evan uang dengan menggunakan mobile bankingnya.

Evan terlihat cukup bahagia sekarang. "Gue nggak inget nomor rekening gue. Pulangan nanti gue kasih ya."

"Ya sudah kalo gitu. Gue balik ke kelas dulu."

Hana beranjak dari tempatnya, wanita itu kemudian turun dari atas gedung sekolahnya. Pikirannya kini telah mengudara, baru kali ini dia ikut merasa miris pada hidup orang lain. Sepertinya, keluarga Evan memang sangat membutuhkan uang itu sehingga Hana merasa perlu untuk membantu mereka.

Jam pulang sekolah pun tiba, Hana memasukkan semua bukunya yang berserakan di atas meja. Wanita itu kemudian langsung beranjak keluar dari kelas. Sesampai di depan pintu kelasnya, Hana bertemu dengan Evan. Pria itu menunggunya dengan senyum manis di wajahnya. Hana yakin, Evan sekarang tengah bahagia dan bersyukur karena mendapat uang untuk membayar kemoterapi adiknya.

"Udah nunggu lama?" tanya Hana tiba-tiba. Biasanya wanita itu tidak mau membuka pembicaraan terlebih dahulu.

Evan menggeleng pelan, "Enggak kok, baru aja."

Hana menganggukkan kepalanya dan sedikit terkejut karena Evan tiba-tiba menarik tangannya. Pria itu membuka telapak tangan Hana dan meletakkan sebuah kertas di atasnya.

"Ini nomor rekening gue."

Hana jelas malu sekarang, karena dia sudah berpikir yang aneh-aneh padahal Evan hanya mau memberi nomor rekeningnya.

"Bentar ya."

Wanita itu kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengirim sejumlah uang ke rekening Evan. Kemudian, Hana mengembalikan kertas tersebut.

"Udah gue transfer ya," ucap Hana sembari memperlihatkan ponselnya ke hadapan Evan. Di layar ponsel tersebut ada bukti transfer dari rekening Hana ke rekening Evan.

Pria itu tiba-tiba saja menahan tangan Hana, dia memperhatikan dengan saksama nominal uang yang wanita itu kirim.

"Kok, sepuluh juta?" tanya Evan dengan wajah bingung bahkan kini dia mengerutkan dahinya.

"Ya, anggep aja itu uang buat adik lo, dari gue."

"Itu kebanyakan, gue butuh lima juta aja kok."

Hana memasukkan ponsel ke dalam saku hoodienya, "Gue ikhlas kok."

"Gue yang enggak, ntar gue kembaliin lima jutanya. Untuk lima juta yang lain, gue cicil ya."

"Udah sih, gue ngasih ke elo, gue nggak minta dikembaliin. Jadi, lo harus bener-bener pake itu duit buat adik lo."

***

Hana ternyata baik banget ya.

Kira-kira kelanjutan ceritanya gimana ya?

Yuk, buruan ikutin kelanjutannya besok. Hihi.

***

Jangan lupa tinggalin jejaknya ya.

***

Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro