Bab 8 - Lagi-lagi Salah Tingkah -

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pertanyaan Evan kini menghantui pikiran Hana, membuatnya tidak bisa tidur bahkan wanita itu tidak ngantuk sama sekali.

Sekarang sudah pukul satu malam. Namun, matanya begitu segar menatap langit-langit kamarnya. Bayangan wajah Evan, kini menghantui pikirannya. Apalagi tentang ucapan yang pria itu sampaikan, membuat Hana menjadi bingung juga bimbang.

Bagaimana bisa, dia bertemu dengan Ibu Evan padahal dia baru mengenal pria itu. Nyatanya, Hana membayangkan jika dia harus bertemu dengan Ibu pacarnya. Namun, Evan bukan pacarnya. Kenapa dia menjadi sangat takut seperti ini.

Selain terbayang dengan ucapan Evan, Hana juga penasaran kenapa Ibu pria itu mau bertemu dengannya. Salah dia, karena langsung pergi tadi dan tidak bertanya lebih lanjut pada Evan.

Akhirnya, dia kini tidak bisa tidur karena pertanyaan-pertanyaan yang perlu terjawab sekarang. Dia pun tidak bisa meminta jawaban Evan karena tidak memiliki nomor telepon pria itu.

Satu jam berlalu, Hana pun akhirnya dapat tertidur. Nyaris jam dua malam sekarang, dia tentu tidak yakin besok bisa bangun cepat.

Setelah lima jam tertidur, Hana pun terbangun tepat pukul tujuh pagi. Dia meruntuki dirinya sendiri karena menyalakan alarm pada jam beker kesayangannya.

Dia tentu masih ngantuk sekarang. Namun, dia ingat bahwa dia tidak mau telat lagi.

Hana beranjak dari kasurnya, membuka gorden kamarnya dan langsung disambut dengan sinar matahari yang cukup terik.

Mata Hana seketika menyipit saat matahari itu menyapanya.

"Gile, udah terang aja," oceh Hana sembari pergi menuju kamar mandinya.

Nyaris setengah jam, Hana mandi. Dia kemudian keluar dari ruangan tersebut. Pakaian rapi yang akan dia gunakan hari ini sudah ada di atas meja belajarnya.

Ibu Nuri, pembantunya, yang melakukan hal itu. Sejak kecil wanita tua itu sudah mengurusnya bahkan Hana nyaris mengira Ibu Nuri adalah ibunya saat kecil.

Setelah menggunakan seragam, Hana segera pergi menuju lantai satu rumahnya. Dia sedikit melirik meja makan yang langsung menyapanya saat turun.

Meja itu sangat kosong, bahkan Hana lupa. Kapan terakhir meja itu dipenuhi makanan lezat.

Langkah kaki Hana sedikit lebih cepat dari biasanya, dia langsung mengejutkan supir yang akan mengantarnya ke sekolah.

"Pak!" pekik Hana dengan cukup keras.

Pak Tono, supir pribadinya pun terkejut dan nyaris menyemburkan air di mulutnya. Ketika Hana mengejutkan beliau, pria itu tengah minum kopi. Minuman kesukaannya setiap pagi.

"Ayo, Pak. Antar saya ke sekolah."

"Baik, Non!"

Sesampai di sekolah, Hana ternyata nyaris terlambat. Jalanan menuju sekolahnya macet parah. Namun untungnya, dia tetap bisa masuk karena bel sekolah baru berbunyi 5 menit lagi.

Hana belajar dengan baik sekarang, walaupun banyak pelajaran yang tertinggal. Namun, dia tetap terus berjuang agar bisa naik kelas.

Jam istirahat berbunyi seperti biasanya, cukup nyaring dan mampu membuat semua siswa bahagia. Mereka berlarian keluar, begitupula dengan Evan. Dia tentu menyukai jam istirahat.

Bukan kantin tempat yang dia tuju, melainkan kelas Hana. Dia harus mengatakan pada wanita itu bahwa mereka tidak bisa belajar bersama pulang sekolah nanti karena tiba-tiba saja Evan harus latihan basket.

Pertandingan basket terakhir pria itu akan berlangsung dalam beberapa bulan lagi. Hal itulah yang menyebabkan dia harus latihan lebih dari sebelumnya. Biasanya pria itu latihan dua kali seminggu. Tapi sekarang, bertambah satu kali.

Seperti biasanya, Evan akan menunggu Hana keluar dari kelasnya. Dia sudah tau bahwa kelas Hana belum keluar. Namun, dia tetap mau menunggunya.

Tak lama kemudian, semua siswa-siswi kelas Hana keluar. Evan yang sebelumnya menyenderkan tubuhnya di dinding kelas Hana. Kemudian, menegakkan tubuhnya dan sedikit berjalan maju mendekati pintu kelas Hana.

Matanya mencari-cari di mana wanita itu dan benar saja, Hana masih sibuk dengan buku-buku di hadapannya. Buku-buku tersebut dia masukkan ke dalam tas kemudian dia bisa keluar dari kelas.

Hana terkejut saat menemukan Evan berada di depan kelasnya, pikiran mengenai ucapan pria itu kemarin, benar-benar membuat Hana salah tingkah hari ini.

"Eh, Evan. Ngapain?" tanya Hana dengan hati-hati. Dia sudah bersiap jika harus diajak lagi bertemu dengan Ibu pria itu.

"Iya nih, aku mau ngasih tau kalau nanti pulang sekolah, kita enggak bisa belajar bersama."

Pikiran Hana salah besar, dia harusnya berhak bersyukur karena pikirannya tadi salah. Entah sadar atau tidak, wanita itu bahkan sempat menghembuskan nafasnya, lega.

"Oh gitu, enggak papa kok. Santai aja."

Hana mengibas-ngibaskan tangannya di hadapan Evan, dia terlihat begitu aneh sekarang.

"Terus? Ada yang mau lo ngomongin lagi nggak?" pancing Hana. Sebenarnya dia masih takut. Namun entah kenapa, dia malah bertanya seperti itu.

Evan terdiam sembari berpikir, "Hmm, kayanya enggak ada deh. Palingan, ntar gue bikinin jam belajar kita ya. Biar enggak repot."

Hana langsung memberikan jempolnya kehadapan Evan, "Oke, terserah lo aja lah."

"Ya sudah, itu doang kok yang gue mau omongin."

Evan berbalik dan ingin pergi meninggalkan Hana. Namun, tangannya kemudian ditahan oleh wanita itu.

"Bentar dulu," ucap Hana.

Evan membalikkan tubuhnya lagi dan menatap bingung ke arah Hana. Wanita itu langsung melepaskan genggamannya di lengan Evan.

"Kenapa?"

Hana tak langsung menjawab, dia malah sekarang terdiam sembari menatap keramik putih sekolahnya.

"Kenapa? Apa yang lo mau omongin?" tanya Evan lagi sembari mengangkat pandangan Hana dengan jarinya.

Hana segera menepis jari Evan dengan kasar, dia sepertinya malu sekarang karena wajahnya memerah tanpa alasan.

"Gue boleh minta nomor lo nggak?" tanya Hana dengan pelan.

Evan tertawa kecil, "Haha, kirain mau ngomong apa. Boleh kok."

Akhirnya mereka saling bertukar nomor telepon. Namun, hal yang membuat Hana bingung adalah ponsel yang dimiliki Evan. Ponsel kecil yang tentunya tidak bisa digunakan untuk aplikasi chat dan hanya digunakan untuk nelepon juga sms.

"Hape lo, hape biasa?" tanya Hana sembari mengerutkan dahinya.

Evan mengangkat ponsel yang dia gunakan tadi, untuk saling bertukar nomor. "Iya, kenapa?"

Hana menggeleng pelan, takut-takut ucapannya nanti dapat menyinggung pria di hadapannya. "Enggak papa kok."

"Ya sudah, gue balik ya.

Evan pergi meninggalkan Hana yang masih mematung bingung, dia tentu sedikit aneh karena melihat masih ada yang menggunakan ponsel sekecil itu sekarang dan ponsel itu adalah ponsel utama Evan. Jika, ponsel itu adalah ponsel kedua. Hana tak masalah. Tapi, untuk apa Hana memikirkan hal tersebut.

Pulang sekolah, Hana segera beranjak dari kelasnya. Dia berencana untuk pergi ke mal untuk sekedar cuci mata.

Dalam perjalannya keluar sekolah, Hana tidak sengaja melihat Evan yang tengah latihan basket menggunakan pakaian sekolah.

Di sisi lapangan, ada banyak siswi berteriak memanggil nama Evan. Namun, pria itu tidak mempedulikan mereka.

Tanpa Hana sadari, dia sudah beberapa menit berdiri tak jauh dari lapangan, menatap serius ke arah Evan yang tengah asik bermain basket.

Tak lama kemudian, tatapan mereka berdua saling bertemu. Hal itu membuat Hana salah tingkah dan segera pergi ke gerbang sekolah.

Bego banget sih gue, ngapain gue merhatiin Evan, runtuknya di dalam hati.

Sudah jelas, Hana terlihat seperti menguntit Evan dan wanita itu ketahuan.

Entah bagaimana pertemuan Hana dengan Evan besok. Wanita itu tidak bisa membayangkan jika harus diledek oleh Evan.

***

Siapa nih yang seperti Hana? Suka meratiin orang lain tanpa dia sadari hihi.

Kepo dengan kelanjutannya?

Tungguin besok ya!!.

***

Jangan lupa tinggalin jejaknya yaa.

***

Terima Kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro