1 - Mapur

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

12 Februari 2015

Markas Rahasia GASSS, Lepas Pantai Laut Cina Selatan, Pulau Mapur.

"Apa sih sebenarnya yang kita lakukan di sini?" tanya Joy tiba-tiba. Sudah lewat tiga hari sejak misi 44 dilancarkan di area pemberangkatan kapal ilegal Pelabuhan Sri Bayintan. Namun, mereka belum mendapat mandat baru.

Saat ini, tim misi 44 yang terdiri dari Joy, Martha, Roni, Bima, dan Reynaldo, sedang bersantai di markas. Mereka menunggu panggilan misi berikutnya. Sementara itu, agen rahasia lainnya dari Government Affairs and Special Security Squad (GASSS), sedang melaksanakan tugas lapangan atau melakukan patroli di area Kepulauan Bintan yang terdapat markas-markas rahasia lain. Terkadang sesama anggota GASSS bahkan tidak saling kenal, kecuali jika ada yang menyebutkan kode rahasia mereka dan itulah yang bisa mengawali interaksi mereka.

Deburan ombak di rumah nelayan yang mereka singgahi sebagai markas, terdengar merdu. Roni yang sejak tadi memperhatikan ombak-ombak itu, membalas, "Ya kita sedang minum-minum bukan? Nikmati saja lah, daripada nanti baru mau santai sedikit, malah ada misi baru." Martha yang sejak tadi menguping, ikut tertawa sembari membumbungkan asap rokok tinggi-tinggi.

"Pemandangan di markas kita ini cukup memuaskan. Anggap saja kita sedang berlibur di resor mewah sebuah pulau terpencil. Cuma orang berduit yang bisa ke sini," tambah Reynaldo, anggota tim termuda di GASSS Bintan.

"Betul tuh kata Rey. Nikmati aja lah, Joy, apalagi kalau dibiayai negara," sahut Martha sembari terus merokok.

Joy menyandarkan punggung di kursi santai, sembari menatap cakrawala lepas pantai Laut Cina Selatan Pulau Mapur. Markas mereka berada di sebelah timur laut pulau, langsung berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Hari itu, langit petang begitu cantik, berwarna merah muda. "Ah... Langitnya benar-benar warna pink," ujar Joy lagi. Ia pun berjalan ke beranda markas dan merentangkan tangannya sembari menghirup napas dalam-dalam.

Keempat temannya saling pandang dan berbisik. Mereka tidak paham dengan kondisi mental Joy hari itu. Bahkan Martha—teman perempuan Joy satu-satunya—hanya mengangkat bahu. Rambut keriting Martha sampai bergoyang saat mengedikkan bahunya.

"Kenapa sih kamu? Kayak a-be-ge aja!" seru Roni—sang kepala regu—pada akhirnya. Ia lalu mengecek arloji dan menambahkan, "Lebih baik kita siap-siap. Dua jam lagi listrik mati. Kalau mau isi baterai ponsel sambil menyiapkan genset untuk keadaan darurat, sebaiknya saat lampu masih menyala."

Ya, begitulah kehidupan di Pulau Mapur. Listrik hanya menyala sekitar lima sampai enam jam. Pukul delapan malam biasanya listrik mati dan menyala kembali pukul dua siang atau tiga sore.

Joy kembali duduk. Gadis itu memajang wajah serius dan mulai berceloteh, "Gini deh. Aku cukup kenal kalian sudah lama, sejak kita ditugaskan untuk area Bintan sama-sama. Tapi, kita cuma bekerja, dibayar, lalu bekerja lagi, dibayar lagi. Nah, uang-uang yang kita kumpulkan itu nggak pernah kita pakai foya-foya atau apalah. Misalnya, dipakai nonton bareng atau hang out bareng, atau pergi jalan-jalan sama orang tercinta gitu."

"Tiba-tiba ngomongin cinta gitu. Nggak jelas banget sih lo," balas Martha akhirnya.

"Emangnya kalian nggak kepingin apa, hidup normal dan layak sekali aja? Punya keluarga, atau minimal tinggal di rumah yang ada tetangganya?"

Ketiga lelaki yang ada di tim itu, mulai saling pandang. Bima yang sejak tadi tidak berkomentar, mulai buka mulut. "Percuma juga kita bertetangga, atau membangun interaksi sosial kalau ujung-ujungnya kita harus bohong. Kita nggak mungkin bicara panjang lebar, karena terhalang status kita sebagai agen rahasia. Masa kamu nggak sadar itu? Sejak awal kita bertugas kan kita sudah diinfokan untuk melepas segala hal yang bisa menyulitkan pekerjaan kita di kemudian hari, termasuk keluarga dan teman dekat."

"Nah, gitu dong, Bim! Coba dari tadi lo ngomong begitu, si Joy nggak akan memulai percakapan kayak gini," balas Martha sambil tertawa. Ia mematikan rokoknya di asbak yang sudah penuh oleh puntung.

"Padahal, dua hari lagi kan Valentine..." ujar Joy merajuk lagi.

Bima pun menambahkan, "Kita nggak berhak lagi, Joy, mikirin kehidupan normal. Pekerjaan kita ini terikat sama kewajiban kita sama negara. Kalau nggak ada kita, stabilitas negara bisa terancam. Anggap aja normalnya kita itu adalah ketika orang lain bisa menikmati kehidupan normal mereka."

Joy mengangguk malas. "Ya, ya... Terserah deh."

Tiga teman Joy di satu misi bergegas bubar. Ada yang ke gudang kayu bakar, menuju gudang persediaan solar untuk menyiapkan genset, dan ada yang ke dapur untuk memeriksa bahan-bahan makanan mereka. Sementara itu, Joy menghabiskan minumannya dan bergegas masuk markas mereka yang dibentuk sebagai kantor nelayan. Selama ini, mereka semua hidup dengan identitas nelayan Pulau Mapur. Sebuah kapal bercadik dan dua speedboat, terparkir di dermaga yang tak jauh dari markas mereka.

Sembari menaruh beberapa alat makan di wastafel, Joy mulai meratapi nasibnya sebagai agen rahasia. Bima yang baru saja selesai menghabiskan minumnya, menghampiri Joy di tempat cuci piring.

"Dua hari lagi Valentine. Emangnya kenapa?" tanya Bima bersahabat.

"Enggak apa-apa sih. Cuma pengen jalan-jalan aja sama kalian. Tapi kayaknya kalian nggak semangat," balas Joy.

Bima memandang Joy penuh perhatian. "Mau naik sepeda bareng aja hari Sabtu nanti? Kita keliling pantai," katanya.

Joy tersenyum, matanya sampai menyipit. Namun, Joy hanya membalas, "Ah bosen tiap sepedaan pasti sama kamu mulu, Bim! Nggak apa-apa deh, nanti aku sendiri aja."

Bima balas tersenyum walau hatinya sakit. Sesungguhnya ia berharap bisa memenuhi keinginan Joy, menemani gadis itu Valentine nanti.


***

Sedikit Trivia:


Ini dia peta lokasi GASSS Bintan berada.  Timur laut Pulau Mapur.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro