45 | The Assault [Part 3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di kejauhan, Tadashi melihat gerbang kuil Jepang berwarna merah dengan aksen hitam. Kabut di sekitarnya berangsur-angsur menghilang, hingga pemuda itu dapat melihat cahaya kuning keemasan dari dalam kuil. Sesaat, ia menyangka ada Wendigo atau predator lain yang menunggunya di sana, berhubung banyak sekali tulang belulang di sekitarnya. Namun, dugaannya salah.

"Mom," gumamnya pelan. Tanpa berpikir lagi, ia berjalan cepat menuju gerbang tersebut.

Tadashi sampai di puncak kuil. Ia berhenti sejenak, lalu membungkuk untuk mengatur napas. Dari arah kuil, pemuda itu dapat merasakan aura sang ibu. Ketika menengadah, ia melihat Kagumi sedang duduk bersila di pelataran kuil kecil itu. Tanpa berpikir lagi, Tadashi berjalan mendekat, tetapi ada semacam energi yang membuat langkahnya terasa berat.

"Why are you here, Tadashi?" ujar Kagumi, masih bermeditasi, "di mana kau sekarang?"

Tadashi berhenti di depan kuil sambil terengah-engah. "Aku di sini! Aku sudah di rumah. Apa kau yang membuat mantra perlindungan itu?"

"Tadashi ...." Kagumi menekan perkataannya, mengisyaratkan bahwa dirinya tidak menyetujui keputusan Tadashi untuk menyusulnya ke rumah. Padahal, ia sudah melarang putranya untuk pulang. Wanita itu menghela napas panjang, kemudian membuka kedua matanya yang bercahaya kuning keemasan. "Apa di keadaan di rumah sudah aman?"

"Aman? Dari siapa? Apa Wendigo itu datang lagi?" tanya pemuda itu.

"Akando," jawab Kagumi. Rahangnya mengeras. "Selama ini aku salah menduga. Kukira Akando hanya akan datang untuk mengambil sisa kemampuan dream walker-mu. Namun, kali ini ia mengincar kakekmu."

Tadashi menekuk wajah, mengisyaratkan kekhawatiran. "Grandpa? But ... why?"

"Karena kakekmu selalu ada untuk melindungimu."

"Kurasa ia gagal. Grandpa masih hidup meskipun dalam keadaan tidak sadarkan diri. Daitengu, Robert dan Evelyn sedang menjaganya di rumah, begitu pula dengan Dad," ucap Tadashi panjang lebar.

Kagumi menggeleng, membuat Tadashi dengan refleks menahan napas. Dari raut wajah sang ibu, pemuda itu sudah bisa menebak ada sesuatu yang tidak beres meskipun Dakota terlihat baik-baik saja, tetapi ia tidak siap mendengarnya.

"Akando berniat menggunakan sihirnya untuk menarik kakekmu ke dalam mimpi, mengurungnya di dalam sana," terang wanita itu. "Kami kalah jumlah. Mereka semua datang secara tiba-tiba, jadi kami semua menunggu Akando dan anak buahnya datang satu persatu ke dalam kamar. Namun ... tiba-tiba kedua mataku terasa berat, seakan-akan ada sihir yang memaksaku untuk tertidur. Sebelum kesadaranku hilang, aku memerintahkan daitengu untuk melindungiku selagi aku merapalkan sihir perlindungan."

"Jadi ... ia berhasil melakukannya?" tanya Tadashi tak sabar.

Kagumi menunduk, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu."

Tadashi mendesah pelan, dirinya diliputi rasa sesal tidak segera datang dan melakukan sesuatu untuk membantu ibunya. Ketika menunduk, ia melihat pantulan dirinya di permukaan air. Meskipun samar, Tadashi dapat melihat sosok plontos itu bergeming dengan satu mata di bagian kiri, berbinar merah dan menatapnya sejenak.

"Efek sihir itu sudah mulai pudar." Dengan keyakinan penuh, Kagumi berdiri, melangkah menuruni kuil. "Kita harus pulang sekarang juga."

Namun, sang anak masih menunduk, tidak merespons sama sekali. Kagumi mengikuti arah pandang Tadashi, kedua matanya membola ketika melihat wujud dari bayangan Tadashi di permukaan air. Wanita itu mengembuskan napas berat, diliputi rasa bersalah. Ia menepuk bahu putranya, membuyarkan pemuda itu dari lamunan.

"Maafkan aku, Tadashi, kau harus melalui semua ini," lirih wanita itu. "Sekeras apa pun usahaku untuk mencegahnya, akan tiba hari di mana kekhawatiranku akan terjadi. Aku ... hanya tidak ingin kau menanggung beban yang sama sepertiku."

Tadashi menekuk wajah, menatap lekat sepasang mata milik sang ibu. "Mom ...."

"Menjadi seorang esper tidaklah mudah." Kagumi kembali melirik sosok plontos bermata satu di permukaan air.

Tadashi mengangguk pelan. "Hidupku beberapa bulan ini memang tidak mudah, dimulai ketika Akando mencoba mencuri kemampuanku, hingga detik ini ketika aku memutuskan untuk menyusulmu. Terkadang aku merasa semua ini hanya mimpi." Pemuda itu tertawa hambar. "Tapi itu semua bukan salahmu, Mom."

Kagumi menarik Tadashi ke dalam dekapan hangat. Wanita itu bergeming sejenak, merasakan suhu tubuh putranya. "Tapi aku hanya ingin kau tahu, kau tidak perlu menghadapi semuanya sendirian."

Tadashi mengubur wajah di bahu sang ibu, kemudian tersenyum, "Thanks, Mom."

Keduanya tenggelam dalam keheningan panjang. Kagumi memeluk putranya semakin erat, hingga tiba saatnya ketika ibu dan anak itu sudah menjadi lebih tenang. Tadashi melepas pelukan sang ibu. Dengan keyakinan penuh, ia mengangguk. "Let's go home."

Kagumi balas menganggukkan kepala. Perlahan, keduanya melebur menjadi kepulan asap hitam, terisap ke dalam genangan air. Sejurus kemudian, Tadashi membuka mata, begitu pula dengan Kagumi yang duduk bersila di hadapannya. Ibu dan anak itu kembali ke kamar Dakota dengan keadaan yang masih sama kacaunya.

Dari arah ranjang, Tadashi mendengar seruan Evelyn. "Robert, Tadashi sudah sadar!"

Terdengar derap langkah kaki yang cukup cepat dari luar ruangan. Robert berlari kecil masuk ke dalam kamar, masih menggenggam Glock 43. Ia menatap Kagumi dan Tadashi bergantian dengan senyum yang merekah. "Thank God, kalian sudah sadar!"

"Uh, yeah," ucap Tadashi pelan sambil memijit pelipisnya. Sedikit terhuyung, ia beranjak dan mencoba untuk berdiri, begitu pula Kagumi.

Tadashi menoleh ke arah Evelyn yang duduk di tepi ranjang, tepat di sebelah Dakota. Ketika melihat sang kakek masih belum sadarkan diri, dadanya terasa begitu sesak. Pemuda itu berjalan mendekat, meraih tangan pria tua itu, kemudian menautkan jarinya erat.

"I'm sorry, Tadashi, kakekmu belum juga sadar," lirih Evelyn penuh simpati.

"Akando did this," geram pemuda itu. "Dukun sialan itu ... ia berhasil."

Evelyn tidak tahu bagaimana harus merespons. Gadis itu hanya bisa menenangkan Tadashi dengan mengelus pelan lengannya. Otot bisep Tadashi terasa menegang. Pemuda itu hanya bisa menjawab dengan desahan kecewa. Ia memejamkan mata, mencoba meredam amarah dan sesak di dadanya.

"Di mana ayahku?" tanya Tadashi pada Evelyn.

Evelyn menggeleng. "Sekitar sepuluh menit yang lalu, beliau terbangun dan pergi keluar kamar, tetapi tidak mengatakan apa pun pada kami."

"Andrian baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir." Robert berdiri di sebelah Tadashi, mencoba menenangkannya.

"We need to move from here!" perintah Kagumi tiba-tiba, mengejutkan ketiga remaja itu. "Kalian berkendara ke sini dengan mobil?"

Robert mengangguk cepat. "Yeah, dengan mobilku."

"Good. Bantu aku membawa Dakota," perintah Kagumi lagi, kali ini nadanya terdengar semakin mendesak.

Meskipun ingin bertanya lebih jauh, ketiga remaja itu menurut saja. Tadashi dan Robert segera mengangkat tubuh Dakota dari atas ranjang dan membopongnya ke mobil, sedangkan Evelyn bantu membawakan kapak tomahawk milik pria tua itu. Kubah pelindung transparan di sekitar kediaman Reyes sudah hilang, tetapi hujan masih turun membasahi bumi, meskipun tidak sederas sebelumnya.

Sambil menopang lengan kanan Dakota, Tadashi menoleh ke arah sang ibu di belakangnya. "Mom, are you coming or not?"

"Pergilah lebih dulu ke dalam mobil dan jangan keluar. Aku akan berbicara pada Daitengu terlebih dahulu," jawab wanita itu.

Tadashi mengangguk. Ia dan Robert tergopoh-gopoh membawa Dakota ke dalam mobil, diikuti oleh Evelyn dan kapak tomahawk di genggamannya. Rambut dan sebagian baju mereka basah kuyup akibat terpaksa menerobos hujan. Kagumi masih di dalam rumah, berdiri berhadap-hadapan dengan makhluk bersayap itu.

Kini, Robert sudah siaga di bangku pengemudi, sedangkan Dakota yang belum sadarkan diri disandarkan di jok penumpang belakang, diapit oleh Tadashi dan Evelyn.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Robert.

Tadashi menggeleng. "Kita tunggu perintah ibuku terlebih dahulu."

Menit demi menit berlalu. Ketiganya larut dalam keheningan, hanya terdengar rintik-rintik hujan di atap dan kaca Mercedes-Benz putih mewah itu. Tadashi mengamati pintu rumahnya sejak tadi, bertanya-tanya mengapa ibunya tidak kunjung datang? Dan di mana ayahnya? Meskipun Robert bilang sang ayah baik-baik saja, pemuda itu tetap penasaran di mana pria itu sekarang.

Tiba-tiba saja, pintu mobil penumpang depan terbuka. Andrian mendaratkan bokongnya di jok dengan terburu-buru, kemudian menutup pintu mobil. Pria pirang berusia pertengahan empat puluh tahunan itu membawa pistol revolver yang didominasi oleh warna perak. Ia mengeluarkan banyak benda berbentuk silinder keemasan dari dalam saku celana, kemudian memasukkannya ke mulut pistol dengan gerakan memutar. Setelahnya, Andrian mengokang pistol di genggamannya. Akibat terlalu sibuk mengisi ulang peluru, Andrian tidak menyadari bahwa tiga remaja itu menyaksikan aksinya sejak tadi dengan raut wajah tegang.

"Is everyone okay?" tanya pria itu.

"Yeah," jawab Robert sambil menelan saliva. "Kind of."

"Let's go! Kita pergi sejauh mungkin dari sini!" perintah pria itu pada Robert.

"Wait, where's Mom? Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja!" Tadashi menginterupsi.

"She's here. Dia ada di balik bayangan kita," jawab Andrian cepat. Ia menepuk bahu Robert beberapa kali. "Sekarang, yang terpenting kita pergi saja dulu dari sini."

"Tapi ke mana kita akan–" Pertanyaan Robert terputus oleh lolongan mengerikan dari arah belakang. Semuanya menoleh, melihat samar-samar siluet makhluk jangkung bertanduk rusa dari arah belakang. Sedikit demi sedikit cahaya dari lampu jalanan merefleksikan tulang belulang yang menyembul di balik kulit, begitu pula gigi-gigi tajam yang siap mengoyak mangsa. Tatapannya begitu gelap, kosong, seperti tidak ada kehidupan di sana.

Derap langkah kaki yang berat sukses membuat mereka merinding, semakin dekat tiap detiknya. Andrian menepuk bahu Robert cukup keras dan berteriak, "Robert, let's go!"

Ketika melihat langsung betapa mengerikannya sosok Wendigo, Robert membeku. Tangannya sudah menggenggam kemudi, begitu pula kakinya yang sudah berada di atas pedal, tetapi Robert tidak sanggup bergerak. Tubuhnya bergetar hebat, memori masa kecilnya kembali berputar. Suara langkah kaki berat yang sama persis dengan makhluk yang mendatanginya di rumah kayu. Pemuda berambut merah itu tidak menyangka dirinya akan bertemu Wendigo untuk yang kedua kali.

"Robert! Go! Wendigo itu semakin mendekat!" jerit Evelyn.

"Okay! Okay!" Robert balas berteriak. Dengan keberanian seadanya ia menarik tuas rem dan memasukkan gigi mobil, kemudian menginjak pedal gas sekuat mungkin.

Lolongan makhluk mengerikan dari arah belakang begitu memekakkan telinga, begitu pula dengan derap langkah kaki yang berat, keduanya terdengar semakin keras dan cepat. Mobil sedan mewah itu membelah jalanan sepi dengan kecepatan tinggi. Robert berkonsentrasi penuh pada jalanan di depannya. Meskipun tidak memiliki arah tujuan, pemuda berambut merah itu tidak berhenti menginjak pedal, berusaha mencari rute terbaik hanya dengan menggunakan instingnya.

"Faster, Robert!" teriak Tadashi saat mengintip lewat kaca belakang mobil. Makhluk berkepala tengkorak rusa itu mengaum lagi, berlari semakin cepat.

"Kau ingin aku menabrak pepohonan atau perumahan?" jerit Robert frustrasi. Ia membanting kemudi ke kiri ketika ada persimpangan. Decitan ban yang bergesekan dengan aspal begitu memekakkan telinga.

Penumpang di dalam mobil berteriak ketika tubuh mereka terguncang dan saling menabrak satu sama lain. Tadashi berusaha menahan tubuh sang kakek. Meskipun terbentur cukup keras, pria tua itu tetap tidak membuka matanya.

Adrenalinnya terpacu, debaran jantung Robert kian menggila tiap kali mendengar lolongan Wendigo. Peluh menetes di pelipisnya. Tiap kali ia membanting kemudi, selalu diikuti oleh teriakan dari arah bangku penumpang.

Entah sudah berapa lama mereka berkendara, hujan pun kini hanya tersisa rintik-rintik saja. Matahari mulai terbenam, langit Kota New York mulai menggelap. Tanpa mereka sadari, lolongan mengerikan itu tidak lagi mengikuti mereka.

Evelyn menoleh ke kaca belakang. "Aku rasa kita kehilangan Wendigo itu."

"Yeah, aku tidak melihatnya lagi," timpal Tadashi ketika dirinya menoleh ke belakang. Kosong, Wendigo itu telah pergi, hanya tersisa jalanan yang sepi.

Andrian menepuk bahu Robert. "It's okay, Robert, we're safe now. Kau bisa menepi sekarang."

Robert mengembuskan napas lega. Pemuda itu menepikan mobilnya di depan sebuah toko kelontong. Setelah Mercedes-Benz putih itu berhenti, barulah semua orang dapat bernapas lega. Otot-otot yang semula tegang kini kembali rileks, mereka dapat bersandar di jok dengan tenang tanpa harus memikirkan kematian.

"That was terrifying," celetuk Robert. Pemuda itu menoleh ke arah Andrian. "Whoa, keluarga Anda cukup mengerikan."

Andrian merespons candaan Robert dengan tawa kecil.

"Matahari sudah terbenam. Langit sudah menggelap. Apakah kita sudah benar-benar aman? Ke mana tujuan kita selanjutnya?" tanya Tadashi.

Andrian mendesah pelan, bersedekap sambil bersandar pada jok mobil. Pria berambut pirang itu tidak memikirkan hingga sejauh ini. Ke manakah mereka harus pergi? Apakah ada tempat yang aman untuk membangunkan Dakota tanpa gangguan Wendigo maupun Akando?

"Forest Park, Queens. Di sana cukup aman, itulah tujuan kita selanjutnya." Tiba-tiba saja, terdengar suara seorang wanita dewasa, mengejutkan semua yang ada di dalam mobil.

"Who's that?" tanya Evelyn dengan kedua mata yang membola. Pandangannya mengedar ke sekitar.

"Mom, is that you?" tanya Tadashi. Pemuda itu juga ikut menoleh ke kanan kirinya.

"Yes, it's me, Tadashi," jawab wanita itu lagi.

Hening untuk sejenak. Tadashi hampir lupa bahwa sang ibu hadir bersamanya sejak tadi, bersembunyi di balik bayangan.

"Again, keluarga Reyes memang benar-benar menyeramkan," celetuk Robert.

"Jadi, ada apa di Forest Park? Apa di sana benar-benar aman?" tanya Andrian pada istrinya.

"Ada peninggalan kekuatan mistis di sana. Mungkin itu dapat kita gunakan untuk perlindungan."

"Maaf, tidak bermaksud menyela, tapi jarak kita sekarang dengan Forest Park cukup jauh. Apa kita bisa sampai di sana dengan selamat?" tanya Tadashi.

"Jika sesuatu terjadi, aku akan melindungi kalian." Kembali terdengar suara Kagumi. Dari nada bicaranya, wanita itu terlihat sangat percaya diri.

"Guess we have no choice then." Andrian mengembuskan napas berat. Ia menoleh ke arah Robert, menunjuk layar sentuh di dashboard mobil pemuda itu. "Robert, may I?"

"Sure." Robert mengangguk.

Setelah mendapat izin, pria berambut pirang itu menyentuh layar, mengatur navigasi mobil yang ditumpanginya menuju Queens Forest Park, mencari rute tercepat dan tidak dipadati banyak kendaraan. Langit sudah menggelap, awan mendung menghalangi cahaya bulan. Mercedes-Benz putih mewah itu melaju dengan kecepatan sedang, tidak peduli meskipun malam semakin mencekam, mereka harus tetap bergerak untuk bertahan hidup.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

7 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro