46 | The Red Eyes [Part 1]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam ini begitu senyap. Meskipun hujan sudah berhenti, gumpalan awan mendung masih berkerumun di langit, menutupi benda-benda angkasa yang menyinari bumi. Robert masih sibuk dengan pedal dan kemudi, menelusuri jalanan kecil Kota New York yang tidak dipadati kendaraan. Di dalam Mercedes-Benz putih mewah itu tidak ada satu pun yang berbicara. Seluruhnya sibuk oleh pikiran masing-masing. Semua orang terlihat lelah. Bukan hanya lelah secara fisik, melainkan juga mental. Dakota masih memejamkan mata, napasnya masih lemah. Kepalanya bersandar di bahu sang cucu. Tadashi sesekali melirik Dakota, berharap pria tua itu bangun dari tidurnya. Dengan wajah kusut, pemuda itu mendesah pelan. Ia memalingkan pandangan ke jendela, menerawang jauh ke rumah penduduk dan pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan.

"Maaf, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya, tapi aku penasaran mengapa Dakota tidak kunjung bangun." Masih berkutat dengan kemudi dan pedal gas, Robert memecah keheningan. Ia melirik Tadashi yang duduk di bangku belakang melalui spion.

Tadashi mendesah pelan, menoleh ke arah pria tua itu. "Akando menjebaknya, membawanya ke alam mimpi."

"Menjebaknya dalam artian ... memenjarakannya di sana? Dan Dakota tidak bisa melarikan diri?" tanya Robert.

Tadashi mengangguk lemah sebagai jawaban.

Robert mengangkat kedua alis. "Can he do that? Kukira kau adalah satu-satunya dream walker di generasi ini."

"Akando meminjam kekuatan Wendigo." Suara Kagumi kembali terdengar dari segala penjuru interior mobil.

"Wait. Jika Akando bisa meminjam kekuatan Wendigo, mengapa ia harus repot-repot mencuri kemampuanku? Juga kalung taring serigalaku?" tanya Tadashi.

"Pria tua itu hanya meminjam, tidak memiliki sepenuhnya. Meminta bantuan makhluk itu selalu ada harganya, Akando tidak bisa melakukan itu selamanya," jawab Kagumi.

Robert kembali fokus pada jalanan di depannya. Pemuda berambut merah itu tidak habis pikir. Sebenarnya, seberapa besar kekuatan dukun suku Indian yang bernama Akando itu? Ia pernah melihat Dakota memanggil petir dan hampir membakar hutan kota. Apakah kemampuan Dakota yang sehebat itu masih tidak dapat menandingi kemampuan Akando?

Tadashi bergeming sesaat lalu bersedekap. "Lalu, mengapa Akando sangat terobsesi dengan kemampuanku? Maksudku, untuk apa?"

Hening, tidak ada yang merespons. Bahkan, Kagumi sendiri pun tidak dapat menjawabnya.

"Tapi ... Dakota bisa diselamatkan, bukan?" Evelyn yang sedari tadi menyimak obrolan, akhirnya bertanya, "maksudku, Dakota bisa bangun kembali, 'kan?"

"It's quite complicated. Tapi jika ada yang bisa menyelamatkan Dakota, Tadashi-lah orangnya," jawab Kagumi.

Tadashi membelalak. "Aku?"

Andrian menimpali. "Ibumu tidak salah. Hanya kau yang memiliki kemampuan masuk dan keluar alam mimpi, Tadashi."

"Tapi bagaimana jika aku ikut tertangkap?" tanya Tadashi.

"Tapi kau sudah menjadi lebih kuat, 'kan?" Robert menimpali.

"Tapi ... mereka itu suku Indian–"

Evelyn memotong, "Dan bagaimana jika kebimbanganmu sekarang malah memperburuk keadaan kakekmu?"

Tadashi tidak merespons lagi, air mukanya semakin suram. Dadanya terasa sesak. Ia menoleh ke arah sang kakek yang masih bersandar di bahunya, tak kunjung membuka mata. Selama ini, pemuda itu hanya melihat kakeknya dari jauh. Dakota adalah pria gagah bertubuh tegap yang dapat memanggil petir hanya dengan pikirannya. Sekitar satu minggu lalu, pria itu bahkan mencabut nyawa Wendigo Beta yang disekap di basement rumahnya semudah menjentikkan jari.

Namun, kali ini Tadashi baru mengamati sang kakek dari dekat, menyadari bahwa pria itu telah menua, tubuh lemahnya berguncang tiap kali roda menggilas jalanan aspal yang tidak rata. Pemuda itu meraih lengan keriput Dakota, mengelusnya lembut dengan ibu jari. Emosinya kian berkecamuk ketika merasakan tekstur kulit sang kakek yang tidak lagi halus. Pemuda itu pernah bilang bahwa dirinya membenci aroma parfum sang kakek. Namun, malam ini segalanya berubah. Tadashi berharap bisa terus menghirup wewangian itu, wewangian yang sangat ketinggalan zaman, tidak peduli jika Dakota mencibirnya akibat telah menjilat air liur sendiri.

Seketika, Tadashi diliputi rasa sesal. Seandainya saja ia bisa mengalahkan rasa takutnya, lalu bergegas pulang ketika Daitengu memperingati mereka, mungkin saja dirinya masih bisa menghentikan Akando.

Tadashi menggenggam tangan kakeknya erat. Mendengar napas Dakota yang kian memendek membuat Tadashi tidak kuasa menahan gejolak emosinya. Dengan cepat ia menoleh ke jendela samping, berharap Evelyn yang juga duduk di sebelah Dakota tidak melihatnya menangis. Dirinya tidak mau terlihat lemah di depan semua orang.

Tadashi menyeka air matanya kasar, berkedip beberapa kali hingga pandangannya tidak lagi memburam. Di permukaan kaca, ia kembali melihat dirinya yang tidak memiliki rambut. Namun, kali ini sosok itu telah memiliki sepasang mata. Bayangan tersebut tersenyum pada Tadashi. Melihatnya, Tadashi seperti baru saja mendapatkan ketegaran ekstra. Pemuda berambut hitam itu kembali memejamkan mata, mengatur napasnya agar kembali normal.

"I'll do it." Tadashi memecah keheningan, membuat semua yang berada di mobil menoleh, kecuali Robert yang harus fokus menyetir. Lalu, pemuda itu menoleh ke arah Evelyn. "Kau mau membantuku menyelamatkan kakekku?"

Pemuda itu memintanya dengan spontan, membuat Evelyn tertegun. Robert harus fokus berkendara, sedangkan sang ayah adalah satu-satunya pria yang bisa menggunakan pistol dan tidak harus berkutat dengan kemudi. Andrian harus tinggal untuk menjaga mereka. Hanya Evelyn-lah yang bisa membantunya sekarang.

Gadis berambut hitam dengan highlight biru itu tentu terkejut, tidak tahu harus menjawab apa. Ia bergeming, menggigit bibir. "Why me? Mengapa kau tidak meminta bantuan ibumu? She's an esper, and she has a guardian, sedangkan aku hanya gadis biasa yang tidak yakin bisa membantu banyak."

"Aku dan Daitengu tidak bisa ikut bersama Tadashi ke alam mimpi. Mantra perlindungan yang kurapalkan untuk kalian akan melemah," ujar Kagumi.

Evelyn terlihat ragu. "Um ...."

Mendengar keraguan Evelyn, Tadashi tersenyum simpul. "It's okay, aku akan melakukannya sendiri. Maaf telah membebanimu."

Evelyn meneguk saliva, kemudian mengangguk pelan. Tadashi menghirup napas dalam-dalam, kemudian memejamkan mata. Kalung taring serigala di leher Tadashi mulai berpendar. Sebelum Tadashi tenggelam dalam alam mimpi, bayangan hitam menyembul dari langit-langit interior mobil yang gelap, membentuk tangan lentik yang kemudian meraih pergelangan Tadashi.

Pemuda itu terkejut, dengan spontan membuka kedua mata. Kalung di lehernya kembali meredup.

"Ada kemungkinan ketika kau melakukan dream walking, monster itu akan mengetahui keberadaan kita sekarang." Suara Kagumi kembali bergaung di dalam mobil, memperingati putranya.

Tadashi mengangguk yakin. "Aku tahu, tapi aku tidak ingin terlambat menyelamatkan Grandpa."

"Kalau begitu, berhati-hatilah," lirih Kagumi.

Di langit-langit, kini muncul sosok Kagumi dalam keadaan terbalik, membuat Evelyn yang sedang dilanda cemas terkejut setengah mati. Wujudnya bisa dibilang setengah bayangan. Kulit wanita itu tidak seluruhnya gelap dan sedikit transparan, tetapi Tadashi masih bisa melihat fitur-fitur wajah ibunya dengan baik.

Kagumi menyentuh dahi putranya dengan tangan kanan, lalu tangan kirinya menopang rahang pemuda itu. Kedua mata Kagumi bercahaya kuning keemasan. Bagaikan urat-urat nadi yang berpendar, cahaya itu kemudian menjalar ke wajah, hingga lengan wanita itu dan sampai di ujung jemarinya yang menyentuh lengan Tadashi. Kini, mata Tadashi memancarkan cahaya yang sama seperti sang ibu.

Setelah beberapa detik, semua kilau keemasan itu meredup, kemudian menghilang. Tadashi dan Kagumi bergeming, pandangan mereka bertemu.

"Aku memberimu sihir perlindungan yang dapat menangkal tiga serangan, apa pun itu. Gunakanlah dengan bijak," bisik wanita itu.

Tadashi mengangguk, meskipun sebenarnya belum paham bagaimana caranya mengaktifkan manta perlindungan dari sang ibu. Namun, ia tidak boleh membuang-buang waktu. Setelah itu, wujud Kagumi seperti tersedot ke dalam langit-langit mobil, kembali menyatu dengan bayangan dan menghilang.

Setelah kepergian Kagumi, bayangan di atap mobil menyembul dan perlahan membentuk wujud yang padat. Seekor gagak terbang menuju jendela mobil di samping Evelyn, kemudian berkoak dan mengetuk-ngetuk pelan kaca jendela. Gadis itu langsung paham dan buru-buru membuka jendela. Sesaat setelah burung itu terbang ke luar, Evelyn menutupnya kembali.

Gagak tersebut terbang ke atas. Lalu, suara keras terdengar dari atap mobil, seolah-olah ada batu besar yang jatuh menimpa Mercedes-Benz mewah itu, tetapi permukaannya tidak penyok.

"What the hell is that?" seru Robert panik. Andrian dan Evelyn juga terkejut setelah mendengar suara itu.

"Iku, kozo. Ojiichan o sukue." Suara menyeramkan terdengar dari atas mobil, tetapi Tadashi tidak merasa takut sedikit pun. Sebaliknya, ia merasa aman. Ya, Tuan Daitengu akan melindungi kami semua.

Tadashi kembali memejamkan mata, berkonsentrasi untuk memindahkan kesadarannya ke alam mimpi. Kalung taring serigala di lehernya kembali berpendar. Lama kelamaan, kepalanya terasa semakin berat. Perlahan, deru mesin kendaraan serta dan kebisingan di sekitarnya memudar, kemudian menghilang. Tadashi tenggelam ke dalam kegelapan absolut.

*****

Tadashi membuka mata, mendapati tubuhnya melayang di ruangan gelap yang sangat luas, sampai-sampai pemuda itu tidak bisa melihat di mana ujungnya. Pandangannya mengedar, tidak ada apa pun di sana selain dirinya. Ia menunduk, mencari daratan untuk berpijak. Namun, hanya kegelapan sejauh mata memandang.

Berbeda dengan mimpi-mimpi sebelumnya, kali ini Tadashi tidak terjun bebas. Tubuhnya melayang-layang di sebuah tempat tanpa gaya gravitasi. Pemuda itu tersenyum, ini pengalaman baru untuknya. Ia menggerakkan tangan dan kaki, merasakan udara di sekitarnya. Namun sedetik kemudian, ia menggeleng, berusaha mengesampingkan rasa takjubnya.

"No. Aku harus segera mencari Grandpa," tegasnya.

Sejenak, Tadashi bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa mencari Dakota. Pemuda itu menggerakan kedua tungkainya seperti sedang berjalan, tetapi tubuhnya masih melayang-layang di tempat, terombang-ambing tanpa arah tujuan. Tidak mau menyerah begitu saja, Tadashi mencoba menggerakan kedua tangannya juga, persis seperti seseorang yang sedang menyelam. Pemuda bermata sipit itu berenang ke bawah, mencari tempat untuk mendarat.

Setelah beberapa lama, Tadashi sudah mulai terbiasa menggerakan tubuh. Di satu titik, ia melihat cahaya di kejauhan. Pemuda beretnik asia-kaukasia itu mempercepat gerakan renangnya, membelah udara di sekitar. Rupanya, ia bergerak mendekati permukaan air yang bergelombang, terdapat pantulan cahaya yang begitu indah di sana. Senyumnya mengembang, kedua kaki dan tangan Tadashi bergerak cepat menggapai permukaan.

Semakin lama, cahaya tersebut semakin terang, menandakan di atas sana tidak ada lagi kegelapan yang absolut, memberi Tadashi sedikit harapan. Namun, ketika kedua tangannya mencapai permukaan, ia tidak bisa menembusnya, seperti ada perisai tebal yang menghalangi permukaan air. Sekeras apa pun ia mendorongnya dengan kedua tangan, hasilnya nihil.

"Apa-apaan ...," desisnya.

Di tengah rasa putus asanya, Tadashi melihat pantulan bayangan yang bergerak di permukaan air. Ia mendongak, mendapati figur seorang pemuda seusianya sedang berdiri tepat di bawahnya, kemudian berjongkok dan menunduk, memiringkan sedikit kepala ke kanan, meneliti keadaan Tadashi sekarang.

"Are you okay there?" tanya sosok itu.

Seseorang yang Tadashi lihat kemudian membuka hoodie-nya, menampilkan fitur-fitur wajah yang sama persis sepertinya. Tadashi mengira itu adalah sosok yang selalu mengikutinya, pemuda di hadapannya kini telah memiliki rambut dengan model yang sama dengan dirinya, hanya saja berwarna keperakan.

"Kau ...?" bisik Tadashi. "Aku tahu siapa kau!" serunya.

Sosok itu tersenyum, Tadashi dapat melihatnya dengan jelas meskipun riak air mendistorsi fitur-fitur wajahnya. "Ya, tapi apakah kau benar-benar tahu?"

Tadashi bungkam. Pemuda itu ingin sekali menjawab, tetapi entah mengapa ia ragu meskipun sudah mengetahui jawabannya.

Pemuda ber-hoodie itu berdiri, kemudian menenggelamkan diri menembus permukaan air yang sulit untuk Tadashi lewati. Sosok itu melayang di tempat, berhadap-hadapan dengan Tadashi. Binar kekaguman tersirat di kedua netra Tadashi. Pemuda bermata sipit itu bagaikan menatap kembarannya sendiri, segalanya begitu identik kecuali rambut keperakannya yang terlalu mencolok.

"Seminggu ini cukup berat untukmu, bukan?" ujar sosok itu.

Tadashi menekuk wajah. Ya, sosok itu tidak salah. Segala sesuatu yang terjadi seminggu lalu berputar kembali di kepalanya. Hanya dengan membayangkannya saja, napas Tadashi terasa sesak. Setelah kedatangan Wendigo Beta ke rumahnya, Tadashi menjalani sekitar satu minggu yang tenang tanpa gangguan apa pun. Namun, rupanya teror yang diberikan Akando dan Wendigo Alfa tidak selesai sampai di sana. Kini, ia harus berkendara tanpa arah dan tujuan, berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan sang kakek sambil menghindar dari makhluk mengerikan itu.

"Pada akhirnya kau mengetahui segalanya tentang keluargamu, tanpa ada lagi yang ditutup-tutupi. Kemudian ibumu juga melepas mantra yang mengurungku selama ini," ujarnya lagi.

"What?" Tadashi mengernyit, menggeleng pelan. "I don't understand. Menjeratmu? Mengapa ibuku melakukan itu?"

Alih-alih menjawab, pemuda berambut perak itu menyentuh pipi kiri Tadashi lembut. Binar keemasan di kedua matanya perlahan berubah menjadi jingga. Karena sentuhan itu, entah mengapa rasa sesak yang Tadashi rasakan berkurang, tubuhnya yang terasa kaku dan berat pun kini menjadi rileks. Di satu titik, Tadashi mengerjap, menyadari bahwa ia tidak boleh terbuai dalam sentuhan itu. Tadashi masih belum tahu pasti siapa sebenarnya sosok yang menyerupai dirinya itu. Dengan refleks, ia menangkis tangan sosok tersebut.

"Kurasa sudah waktunya kau tahu yang sebenarnya, Tadashi, kau tidak bisa selamanya menolak kehadiranku," lirih sosok itu santai.

Tadashi melihat aura berwarna merah berpendar di sekujur tubuh sosok itu, perlahan-lahan semakin jelas dan terang. Tiba-tiba saja, pemuda berambut keperakan itu meraih pergelangan Tadashi.

"Biar kutunjukkan padamu," ucap sosok itu lagi.

Sebelum Tadashi diberikan kesempatan untuk menjawab, duplikatnya itu sudah lebih dulu menariknya ke dasar kegelapan, menjauh dari permukaan air.

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

14 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro