6 | Evelyn Rogers

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhir pekan, di siang hari, Tadashi masih dibuat bingung oleh perubahan sikap Evelyn. Ia tidak pernah menyangka bahwa gadis berambut hitam pendek itu ternyata memiliki jiwa kompetisi yang tinggi, sehingga perkara beasiswa saja, Evelyn sampai semarah itu padanya.

Pemuda bermata sipit itu duduk di meja belajar, masih sibuk menatap layar laptop. Esai Bahasa Inggris di hadapannya membuat beban pikirannya bertambah. Ia mendengkus kesal, menutup laptopnya kasar, kemudian duduk bersandar sambil mengusap wajah. Dirinya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Seorang gadis bernama Evelyn Rogers memenuhi pikirannya beberapa hari ini. Hal itu semakin membuat Tadashi kesal.

"Ia memperlakukanmu seakan-akan kau itu pemeran antagonis di hidupnya, Tadashi, mengapa kau masih saja memikirkannya?" Tadashi berbicara dengan dirinya sendiri.

Pemuda berambut sewarna langit malam itu mengambil ponselnya di atas meja, kemudian membuka aplikasi chatting. Ia menggulir layarnya ke bawah, mencari-cari sebuah nama. Tekadnya untuk meminta maaf pada gadis itu sudah bulat, meskipun hanya melalui pesan singkat. Kedua jempolnya mulai menari-nari dengan lincah di atas layar sentuh.

"Hi, Ev, I'm sorry," gumamnya.

Di satu titik, ia berhenti mengetik. Jempol kanannya menekan backspace hingga seluruh pesan yang sudah ditulisnya terhapus.

"Hi, Ev, can we talk?" Tadashi kembali mengetikkan sesuatu untuk gadis itu. Namun, ia merasa pesan yang dituliskannya terlalu blak-blakan. Setidaknya, dirinya harus berbasa-basi sedikit. Pemuda itu mengernyit sambil menggeleng kecil, lalu kembali menekan backspace.

"Tadashi, you're a chicken!" umpatnya pada diri sendiri. Pemuda bermata sipit itu meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

Tidak, ia tidak bisa meminta maaf dengan cara kuno dan terlalu nekat. Dirinya harus mengetahui lebih jauh alasan sebenarnya Evelyn semarah itu padanya. Dengan mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan gadis itu, Tadashi dapat menyusun strategi yang tepat agar gadis itu mau menerima permohonan maafnya.

Namun, bagaimana cara mengetahui isi hati gadis itu? Apa ia harus meminta bantuan Robert untuk berbicara dengan Evelyn? Mendadak, dirinya membutuhkan sesuatu untuk memperbaiki suasana hatinya yang sudah hancur. Pemuda berambut sewarna langit malam itu beranjak dari meja belajar dan turun ke lantai satu.

Sesampainya di ruang makan, aroma lasagna memenuhi indra penciumannya, membuat koloni cacing di perutnya meraung meminta makan. Waktu telah menunjukkan pukul satu, waktu makan siang telah tiba.

"There you are!" sapa Kagumi yang sedang meletakkan seloyang besar lasagna di meja makan. "Panggil ayah dan kakekmu di kamar, kita makan siang sekarang!"

Berbeda dengan keinginan tubuhnya. Meskipun lapar, Tadashi tidak berselera untuk menikmati lasagna buatan sang ibu. Dirinya berjalan menuju dapur dan membuka freezer, mengambil seember kecil mint ice cream yang dibelinya kemarin melalui Uber Eats.

"Nah, Mom, I'm good," jawabnya lesu.

Baru saja hendak kembali ke kamar sambil membawa seember es krim, langkahnya terhenti. Tadashi memiliki ide brilian di otaknya. Ia kembali meletakkan mint ice cream tersebut ke dalam freezer, kemudian berkata pada sang ibu. "Mom, sepertinya aku tidak akan makan siang dan makan malam hari ini, bisakah kau menyisakan lasagna itu untukku besok?"

Kagumi mengernyit. "What's that mean? Kau tidak akan makan seharian ini? Bagaimana jika kau jatuh sakit?"

"Aku ...." Tadashi memutar otak untuk mencari alasan. "Sedang mencoba metode diet baru yang sedang viral di internet." Sebelum sang ibu mengajukan pertanyaan lain, pemuda itu bergegas menaiki tangga menuju ke kamaranya.

"Tadashi!" teriak Kagumi. Mendengar suara pintu kamar yang sudah tertutup, wanita itu berbicara lirih, "Metode diet baru? Apa-apaan?"

*****

Hingga langit Kota New York menggelap secara keseluruhan, Tadashi menahan diri untuk tidak makan, meskipun koloni cacing di perutnya menginginkan hal sebaliknya. Semua ini agar dirinya bisa mengunjungi Evelyn di dalam mimpi. Mungkin saja gadis cantik itu meninggalkan petunjuk untuk Tadashi.

Jauh, jauh di dalam dunia mimpinya, Tadashi berdiri di ruangan hitam yang sangat luas, entah seluas apa, ia tidak bisa melihat di mana ujungnya. Pemuda berambut hitam itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di dalam sana, hanya ada Tadashi dan sebuah cermin besar berbingkai kayu mahoni, persis seperti benda yang terletak di kamarnya.

Tadashi dikejutkan oleh pantulan dirinya di dalam cermin. Pemuda itu menyentuh kedua pipinya, kemudian meraba belakang kepalanya. Di dalam sana, ia melihat seorang gadis kecil berusia sekitar delapan tahun sedang memainkan helaian rambut hitam panjangnya. Kedua pipinya sedikit tembam, netra dengan iris abu-kebiruannya membulat sempurna. Sosok di dalam cermin itu mengikuti setiap gerakannya.

"What the ...," gumam Tadashi tak percaya. Di dalam mimpi kali ini, pemuda itu mengambil wujud seorang gadis kecil, hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Suaranya pun kini berubah menjadi lebih lembut.

Tidak sampai di sana, Tadashi juga dikejutkan oleh banyaknya pintu berwarna-warni yang perlahan muncul di sekitarnya. Jumlahnya mungkin sekitar sepuluh buah dengan warna yang berbeda-beda. Intuisi Tadashi mengatakan bahwa dirinya harus mencari Evelyn melalui salah satu pintu. Tanpa diperintahkan terlebih dahulu, kedua tungkai mungilnya bergerak menuju pintu yang paling dekat dengannya.

Dibukanya pintu berwarna cokelat gelap di hadapannya. Cahaya menyilaukan menusuk indra penglihatan, membuat Tadashi dengan refleks memejamkan mata. Setelah cahaya itu memudar, Tadashi kembali membuka mata, lalu berjalan memasuki pintu dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar.

Kini, dirinya berada di dapur kecil dengan desain interior yang sedikit kuno. Pencahayaan di sana sangat minim, menimbulkan kesan suram dan mencekam. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Tadashi, melainkan banyaknya benda-benda yang berserakan di lantai, seperti peralatan dapur dan sisa-sisa remah makanan. Berada di ruangan itu, entah mengapa bulu kuduknya berdiri. Dirinya merasakan ketakutan yang luar biasa. Namun, sekeras apa-pun ia mencari jawaban, tidak ada satu memori masa lalu pun yang ia ingat.

Ketakutannya semakin menjadi ketika mendengar seorang pria dan wanita dewasa saling meninggikan suara. Tidak jelas apa yang mereka katakan, tetapi Tadashi tahu, keduanya tengah memperdebatkan sesuatu. Tubuh mungil itu bergetar hebat, dengan cepat ia merangkak ke bawah meja makan, menekuk lutut dan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tiba-tiba saja, ia merasakan sesuatu yang keras di balik kepalan tangan kanannya. Ketika ia membukanya perlahan, terdapat sebuah gigi geraham yang rontok dari dalam sana. Dengan tangan kiri yang bergetar hebat, ia meraba-raba pipi tembamnya. Kengeriannya semakin menjadi-jadi ketika menyadari salah satu gigi gerahamnya menghilang.

Belum selesai sampai di sana, dirinya kembali dikejutkan dengan suara stoples plastik yang terjatuh akibat pertengkaran dua orang dewasa tadi, butiran gula mengotori lantai di dekatnya. Tadashi merasakan sesak di dada. Dengan sendirinya, kristal bening terjatuh membasahi pipinya. Napasnya memendek, debaran jantungnya kian tak terkendali. Suara perdebatan itu membuatnya nyaris kehilangan akal sehat. Semakin ia merasa takut, semakin banyak pula giginya yang tanggal. Tangisnya semakin menjadi ketika melihat telapak tangannya yang dipenuhi tulang-tulang kecil yang berasal dari gusinya.

"Pintu ... di mana pintu itu?" gumamnya parau ketika menoleh ke sekitar. Namun, jarak pandangnya terbatas akibat dirinya masih berada di meja makan.

Pada akhirnya, Tadashi melihat sebuah pintu berwarna merah, tak jauh dari tempatnya bersembunyi sekarang. Masih dengan tubuh yang bergetar hebat, sekuat tenaga ia berlari ke arah pintu itu dan membukanya. Cahaya menyilaukan lagi-lagi menusuk indra penglihatannya, tetapi Tadashi memilih untuk mengabaikannya. Yang terpenting, dirinya berhasil lolos dari dapur neraka itu. Suara berdebatan pria dan wanita itu menghilang, begitu pula dengan ketakutannya.

Dirinya bersandar di daun pintu sambil mengatur napas. Setelah detak jantungnya kembali stabil, ia mengedarkan pandangan. Kini, dirinya berada di sebuah ruangan yang didominasi oleh warna merah dengan lantai berbahan kayu. Di dinding, banyak ornamen-ornamen kayu serta lampion sebagai hiasan. Selain itu, ia juga banyak menemukan aksara-aksara han—aksara yang berasal dari Tiongkok—di sana. Tidak ada lagi kesan suram, justru, suasana hatinya membaik setelah memasuki pintu kedua.

Kedua tungkainya bergerak untuk menjelajahi tempat itu. Di kanan kirinya, terdapat banyak meja dan kursi yang juga terbuat dari kayu. Tadashi mengerutkan dahi, mengapa ia bisa berada di sebuah restoran Tiongkok? Meskipun sudah berusaha keras untuk mengingat-ingat, dirinya yakin tidak pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya.

Di salah satu sisi dinding, terdapat cermin besar yang dijadikan sebagai ornamen. Tadashi melihat pantulan dirinya di sana. Betapa terkejutnya pemuda itu ketika melihat sosok yang dicarinya sejak tadi.

"Evelyn?" gumamnya tak percaya.

Tadashi mengangkat tangan, kemudian menyentuh pipi kirinya. Gadis berumur delapan belas tahun dengan rambut hitam sebahu di dalam cermin pun melakukan hal yang sama.

"Jadi gadis kecil yang tadi itu adalah ...." Tadashi tidak melanjutkan. Namun, ia sudah menemukan jawabannya.

Pemuda itu menoleh ke arah salah satu meja di dekatnya. Di atas sana, ia melihat semangkuk orange chicken dan nasi yang ditaburi sedikit bawang daun. Aroma asam dan manis memenuhi indra penciumannya. Dengan sendirinya, Tadashi mengukir senyum. Selama hidupnya, ia tidak pernah mencicipi makanan khas Tiongkok tersebut. Namun, dengan menghirup aromanya saja, suasana hatinya membaik, persis seperti ketika ia menikmati mint ice cream kesukaannya.

Ini aneh. Namun, Tadashi merasa sangat emosional hanya dengan melihatnya saja. Seakan-akan, makanan oriental itu memiliki peranan yang cukup penting dalam hidupnya.

Tadashi lagi-lagi merasakan keanehan di kepalan tangannya. Dengan refleks, ia membukanya. Kini, tidak ada lagi gigi-gigi yang rontok. Ketika ia meraba-raba pipinya, gusinya kini telah kembali normal. Pemuda itu memejamkan mata sambil mengembuskan napas lega. Kegelisahan yang ada dalam dirinya seketika sirna.

Sesaat kemudian, ia membuka kedua netra. Kini, Tadashi sedang menatap langit-langit berwarna putih bersih. Secara perlahan, dirinya menegakkan tubuh. Pemuda itu mengusap-usap mata ketika sinar mentari masuk melalui celah tirai di salah satu sudut kamarnya. Jam di atas nakas menunjukkan pukul tujuh pagi. Dirinya telah melewati semalam penuh dengan berjalan-jalan di mimpi gadis pujaannya.

Untuk memastikannya sekali lagi, ia membuka telapak tangan. Tadashi juga meraba-raba pipinya. Tidak ada lagi gigi yang rontok di sana. Dirinya kembali mengembuskan napas lega.

"Kurasa aku harus benar-benar meminta maaf, secepatnya."

Tiba-tiba saja, perutnya bergejolak, menghasilkan bunyi yang aneh. Setelah berpuasa lebih dari enam belas jam, lambungnya meminta untuk diisi kembali.

"But first ...." Pemuda itu menyibakkan selimutnya dan turun dari ranjang. "Aku harus sarapan terlebih dahulu."

Dukung Dream Walker dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

11 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro