🔆Pembalasan Irsyad🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kepala yang terasa berat dan berdenyut setiap saat, membuat Irsyad mau tak mau menginjakkan kaki ke rumah sakit. Semalaman sama sekali tak bisa istirahat. Demam membuat tubuhnya menggigil. Benar saja, setelah dicek suhu tubuhnya mencapai 39 derajat Celsius. Setelah diperiksa, kadar kolesterol juga ikutan naik. Efek kehujanan ditambah masalah berat yang dialami membuat tubuh seketika ambruk.

Menunggu giliran dipanggil di apotek membuat laki-laki itu tak sengaja bertemu dengan seseorang yang kemarin menghindarinya. Entah ini suatu kebetulan atau tidak. Satu yang pasti, Irsyad tak paham jadwal kerja perempuan itu. Mungkin ini sudah menjadi takdir, ketika rencana sudah bulat tetapi pertemuan bisa saja gagal. Namun, kejadian yang tak terduga seperti ini malah membuat dia bisa bertemu dengan Azkia.

Saat di loket, Irsyad hanya diam sambil menyerahkan nomor antre pada perempuan yang memakai baju kerjanya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Irsyad, tapi tatapan terus mengunci pada sosok yang terlihat salah tingkah. Manik mata perempuan itu tak berani menatap ke arahnya, melainkan pada secarik kertas yang diserahkannya.

“Tunggu sebentar,” ucap perempuan itu dengan nada kaku. Irsyad memilih berdiri sambil terus memperhatikan Azkia yang tengah mengambil satu per satu obat untuk dirinya. Kapan lagi bisa menatap perempuan yang berhasil mencuri harinya.

Azkia sendiri merasa kaku dan panik karena tatapan Irsyad terus mengarah padanya. Dari sekian petugas di sini entah mengapa dirinya yang kebagian melayani laki-laki itu. Setelah memasukkan satu per satu obat pada plastik klip, tak lupa mencatat aturan minum di atas plastik. Dengan rasa berdebar sangat kencang, Azkia kembali pada loket dan berhadapan dengan Irsyad.

“Ini obatnya. Untuk yang ini diminum selama demam dan sakit kepala saja. Untuk yang satu lagi, sebaiknya dihabiskan mengingat kolesterol Anda lumayan tinggi.”

Azkia mendekatkan obat barusan persis di depan tangan Irsyad. Dengan sedikit mengembuskan napas lega karena telah menyelesaikan pekerjaannya.

Irsyad hanya melirik sekilas tulisan di atas plastik. Ia tak terkejut karena tulisan itu memang sama persis dengan yang ada di botol atau secarik sticky note di atas makanan. Sengaja Irsyad masih berdiam diri enggan beranjak pergi, padahal satu orang di belakangnya sudah bersiap menebus obat di loket.

Perasaan yang sudah agak tenang, tiba-tiba berubah tidak enak ketika pasien yang barusan dilayani tak kunjung pergi. Mau tak mau, perempuan itu menaikkan pandangan dan saling bertatapan dengan Irsyad. “Maaf ada lagi yang bisa saya bantu?”

“Sepertinya semua penyakit saya berasal dari Anda penyebabnya,” sindir telak Irsyad membuat perempuan itu terpojok.

Dalam benak Azkia, bisa jadi laki-laki dingin ini sakit memang karenanya. Kehujanan di taman, ditambah makanan enak yang ia kirimkan setiap hari. Masalah kemarin juga menambah pikiran membuat laki-laki itu semakin drop.

“Bagaimana jika saya sekarang menuntut karena Anda yang menyebabkan saya seperti ini? Percuma saja obat-obatan seperti ini karena sebenarnya sakit saya ada di hati.”

Azkia bukan takut atau panik tetapi ucapan barusan malah terdengar lucu di telinganya. Namun, ketika melihat gerak-gerik orang yang cukup lama mengantre, mau tak mau ia harus mengalah.

“Baiklah. Saya minta ma—“

Belum juga Azkia selesai mengucapkan, Irsyad sudah mengambil kantong obat kemudian pergi begitu saja.  Tindakan barusan otomatis memancing emosi Azkia.

‘Maunya apa sih itu orang?’ dengkusnya dengan kesal sambil mengambil resep pasien lain  yang sedari tadi berdiri menunggu giliran.

•┈┈•••○○❁❁𝕯𝖗𝖊𝖆𝖒𝖘 𝕮𝖔𝖒𝖊 𝕿𝖗𝖚𝖊❁❁○○•••┈┈•

Hujan turun semenjak dini hari. Sepertinya hujan juga enggan berhenti karena langit di atas sana masih berwarna kelabu yang tak juga pudar. Seharusnya matahari pagi yang sudah bertengger, menampakkan sinar hangatnya.

Azkia merapatkan jaket tebalnya karena semilir udara dingin sampai terasa pada tulangnya yang sudah minta diistirahatkan setelah kerja shift malam. Kali ini ia akan naik bus trans Jakarta mengingat mobil milik Anisa yang biasa ia bawa sedang keluar kota. Netra menatap jalanan yang sudah tertutup genangan karena air yang turun tak tertampung di parit.

Sebuah mobil melintas dari pintu keluar rumah sakit. Awalnya perempuan itu tak peduli, ia lebih memilih pada halte busway yang akan ia tuju. Namun, deru mesin mobil yang menyala membuat tatapan Azkia tertuju pada mobil yang jendelanya sudah diturunkan. Untung saja perempuan itu bisa menahan rasa terkejutnya ketika tatapan dingin itu kembali mengarahnya.

Hampir beberapa menit terus berhenti di depan Azkia tetapi tidak sepatah kata keluar dari pengemudi itu. Azkia pun sama saja bergeming, lebih menatap ujung sepatunya yang dikenakan sudah sedikit basah. Perempuan itu merasa risi dengan kondisi seperti ini. Ketika tatapan dinaikkan, mobil itu memelesat pergi dengan cepat.

“Apa maksudnya seperti itu?” dengkus  Azkia dengan kesal karena cipratan air mobil mengenai celananya.

“Telepon Ray saja untuk menjemput. Sepertinya busway masih lama.” Azkia menelepon laki-laki yang sekarang dekat dengannya. Siapa tahu sedang di jalan dan bisa menjemputnya.

Benar saja, dalam beberapa menit mobil sudah berhenti di depan Azkia. Pintu mobil bagian belakang sudah terbuka dan seseorang berdiri dekat pintu mobil. Sayangnya yang berdiri bukan Ray, melainkan Irsyad. Dalam hati Azkia cukup bingung dengan orang itu. Entah untuk apa membuka pintu mobil sedangkan laki-laki itu masih saja terdiam. Azkia lebih suka memalingkan wajah menatap arah berlawanan, siapa tahu Ray datang tepat waktu. Apalagi di sambungan telepon, laki-laki itu tengah berada di jalan.

“Masuk!” perintah Irsyad memecahkan keheningan.

Azkia menggeleng pelan. “Maaf, jemputan saya sebentar lagi datang,” tolaknya dengan halus tetapi tidak dengan jantung yang sudah berdetak cepat seakan masuk kandang singa.

“Batalkan saja, toh ini sudah hobi Anda membatalkan perjanjian yang sudah direncanakan kan?” sindir Irsyad sekali lagi, setelah sindiran telak pertama saat mereka di loket apotek.

“Untuk apa saya harus ikut mobil Anda?” Azkia berusaha bersikap tenang. Dalam hal ini memang dirinya yang bersalah sehingga membuat laki-laki itu semakin membeku.

“Ada yang harus kita bicarakan.”

Azkia semakin bingung, andai saja ada Anisa mungkin bisa membantunya. Tatapan laki-laki dingin itu, ketika ditelisik lebih jauh ada setitik kehangatan di sana yang disembunyikan dengan sempurna oleh pemiliknya. Pelan-pelan setitik senyum terukir di bibir wajah pucat seakan mengisyaratkan pada Azkia jika bersamanya akan baik-baik saja. Entah magis datang dari mana, perempuan berjaket itu mendekat ke arah mobil dan segera masuk.

Setelah menutup pintu, Irsyad tersenyum puas sambil berjalan mengitari mobil menuju kursi kemudinya.

‘Nona Azkia sekarang giliran saya yang menjalankan permainan. Anda cukup menjadi penonton saja,’ batin Irsyad tertawa bahagia.

•┈┈•••○○❁❁𝕯𝖗𝖊𝖆𝖒𝖘 𝕮𝖔𝖒𝖊 𝕿𝖗𝖚𝖊❁❁○○•••┈┈•

Tidak ada yang membosankan ketika perjalanan dibungkam kesunyian. Tak ada musik mp3 atau celoteh dari laki-laki itu. Tak kurang dari seperempat jam, Azkia hanya menarik dan mengembuskan napas tanpa melakukan satu hal yang berarti.

Mata seketika dibuat tersadar ketika jalan yang ditempuh bukan jalan menuju rumah kost. Azkia seketika panik habis, pikiran buruk tiba-tiba melintas di otaknya. Apalagi tatapan pengemudi di depan kadang menatap ke arahnya melalui kaca di depan.

“Anda akan membawa saya ke mana?” tanya Azkia sangat panik. Tangan yang sudah gemetar dan berkeringat dingin menggoyangkan kursi yang diduduki Irsyad.

Laki-laki itu masih dalam mode diam. Derasnya air hujan jatuh di kaca mobil membuat suatu irama sendiri menambah suasana horor. Azkia yang sudah ketakutan segera mengambil ponsel, mata memelotot ketika jaringan di ponselnya ikutan menghilang.

‘Lengkap sudah penderitaan hari ini,’ jerit Azkia dalam hati karena mata sudah sembab, ingin rasanya ditumpahkan sama seperti langit Jakarta pagi ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro