⚔️Takdir Ketujuh ⚔️

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Dan darahnya telah sampai diantar oleh pemiliknya sendiri!" Pria dipanggil Gares itu membenamkan pisau yang ia sembunyikan dibalik jubahnya di paha Laze. Laze yang terlambat menyadarinya secara spontan melepaskan genggaman tangan yang menarik kepala necromancer itu.

Laze mengerang dan terjatuh berlutut. Ia dapat merasakan panas dari pisau yang masih melekat pada pahanya. Perlahan darah menembus ke celana Laze, namun ia tidak berani menariknya kecuali jika ia ingin mati kehabisan darah.

Sekali lagi ia lalai terhadap serangan tiba-tiba, hal tersebut membuatnya frustrasi dan merasa bodoh. Namun ia harus bertarung atau mati, dan dengan menahan sakit ia berusaha bangkit.

"Heh, usaha yang bagus, strategi tidak bisa untuk seorang penyihir," ujar Laze dengan nada mencemooh. Gares hanya menyeringai.

"Seorang penyihir harus memiliki rencana B bukan?" Gares tertawa. "kuakui kau pertahanan dirimu benar-benar hebat, tidak semua orang bisa bertarung dan menahan sakit yang dialaminya." Pujian Gares sama sekali tidak membuat Laze senang.

"Dan kau akan mengambil darahku untuk membangkitkan pemimpinmu itu kan?"

"Hah memang benar, namun sayangnya aku berubah pikiran! Kau memilih tubuh yang sempurna untuk Tuan Marken! Ia pasti akan senang mendapatkan tubuh yang bagus!" ucap Gares bersemangat. Rasa jijik meliputi diri Laze, melihat pria gila itu tampak bahagia.

"Aku lebih baik mati membusuk daripada menjadi tumbal untuk kepala sukumu!" Laze menarik pedang yang tersilang diatas tulang ekornya. Mulutnya bergumam pelan, membacakan sebuah mantra. Mantra yang diajarkan oleh ibunya, saat ia baru belajar mengayunkan sabit pusaka peninggalan ayahnya.

"Rosaena mara nipada! Angna musar kuane Agari! Diwana Rosaena, duana ibda kumnu!"

Setelah membaca mantra, pedang Laze berpendar, namun tidak hanya ulirannya saja, namun sekarang bilah Agari terbalut api yang menyulut, seakan ia memegang dua buah obor.

"Menakjubkan! Seorang petarung bisa merapalkan sihir penguat! Tuan Marken pastinya akan benar-benar senang!"

Apa yang Laze lakukan membuat penyihir gila itu senang, dan hal itu membuat Laze muak. Ia harus segera menyingkirkan bajingan itu.

Dengan langkah tertatih Laze berlari ke arah Gares. Penyihir itu kembali menyerangnya dengan mantra es. Rasa sakit yang melandanya entah kenapa membuat kepekaannya semakin kuat. Tubuhnya panas dingin namun matanya dapat melihat pergerakan serangan es tersebut. Satu ke arah bahu, dua ke arah perut.

Pedang yang membaranya dengan mudah membelah dan mencairkan es. Ia merasa jika Gares sudah tidak sabar untuk menjadikannya tumbal, karena dengan terburu-buru pria itu kembali merapalkan mantra.

Kali ini serangan esnya melesat ke arah betis dan tangan Laze, dengan kali terhuyung Laze menghindari serangan Gares dengan kembali menangkis serpihan es tersebut.

Setelah serangan kedua, penyihir itu tidak merapalkan mantra, namun ia merogoh sakunya dan mengeluarkan botol kecil berwarna hijau. Pria itu ingin mengisi kembali energi sihirnya! Pikir Laze, kesempatan baginya untuk menyerang! Tanpa ragu Laze menerjang menyerang Gares.

Meskipun pergerakan kaki Laze terhambat tangannya gesit mengayunkan pedangnya. Aksinya membuat Gares panik. Tanpa menghiraukannya pedang apinya menghujam bahu Gares, yang membuat tubuh pria itu terjungkal

Tanpa menghiraukan erangan Gares Laze menyerang kembali penyihir itu. Seakan melampiaskan amarahnya, ia melemparkan dua pedangnya ke tanah dan mengepalkan tangannya. Laze menginjak dan menduduki perut penyihir itu.

"Kau sepertinya masih ingin bermain bukan? Kalau begitu kau bisa bermain denganku," ucap Laze sinis. "permainan ini kusebut dengan " adu pertahanan", aku sudah memainkannya duluan, jadi sekarang giliranmu!" Laze merapatkan dan memgepalkan tangannya. Tanpa aba-aba ia melayangkan tinju ke wajah Gares.

BUGH

Laze mengangkat tangannya lagi, dan tinjunya kembali menghujam wajah penyihir itu.

BUGH

"To .. long." Laze tidak menghiraukan ucapan pria itu.

"Ber ... "

BUGH

"Stop ... "

BUGH

"Ku ... mo ... "

Dua, tiga, empat, lima, entah berapa kali Laze melayangkan tonjokan di wajah Gares. Walau pria itu memohon tangan Laze tidak berhenti. Tangannya sudah berlumuran cairan merah masih menghujam wajah necromancer itu.

Saat ia tidak lagi mendengar rintihan atau suara Gares memohon, tangannya berhenti.

"Bajingan itu pingsan rupanya." Laze menghela nafas. Ia bangkit, namun pada saat berdiri ia merasalan sakit luar biasa pada perut, bahu dan pahanya.

"Uhh ... " Laze berdiri dengan terhuyung. Ia kemudian menarik pisau yang sedari tadi menancap di pahanya. Ia membuka pakaiannya untuk kedua kali dan mengikatkan pada pahanya yang terluka. Pada saat ia menangani lukanya ia teringat Hir yang tak kunjung datang.

"Hir sialan, lama sekali dia datang," gerutunya. Laze berdiri, ia harus mencari tali untuk mengikat penyihir gila itu. Saat ia berjalan dari koridor menuju tempat penyimpanan minuman keras Misanir, ia mendengar suara.

"Bunda ... Ayah ... tolong ... " Laze tertegun, namun ia berusaha mencari sumber suara. Laze menoleh, dan mendengar suara itu berasal dari salah satu tong besar.

"Bun ... bunda ... " Laze mendekati tong yang berukuran setinggi pinggangnya. Saat ia berdiri di depan tong tersebut suara itu semakin jelas. Namun setelah apa yang ia hadapi hari ini, untuk memastikan bahea sumber suara itu tipu daya atau tidak, tangannya meraih pedang Agari.

Hanya dengan satu tangan ia membuka tong tersebut, saat terbuka ia melihat sosok anak laki-laki meringkuk di dalamnya.

"Zeren?" ucap Laze spontan.

Mendengar Laze memanggil namanya, anak laki-laki itu tersentak.

"Tidak, jangan! Jangan bunuh aku! Kumohon!" ucap anak itu, air mata menitik dan membasahi pipinya, sembari memohon.

"Zeren! ZEREN! Ini aku! Laze!" Matanya yang masih berkaca-kaca menatap Laze.

"La ... Laze?"

"Ya, Laze! Teman kakakmu!"

"Sieri(Abang) Laze!" Mendengar bahwa Laze adalah teman kakaknya, Zeren menghambur padanya. Tangisan yang awalnya terisak pecah saat dipelukan Laze. Pria itu mendekap erat Zeren, yang masih ketakutan dengan kejadian yang dialaminya.

"Tak apa, kau aman sekarang," ucap Laze lembut. Zeren kecil mengangkat wajahnya, dan mengangguk pelan.

"Kau bisa berdiri?" tanya Laze.

"Bi, bisa," tubuh kecilnya bangkit dan mengusap celana pendek yang terkena basahnya sisa minuman keras. Ia keluar dari tong tersebut dibantu oleh Laze.

"Zeren, aku ingin bertanya sesuatu," ucap Laze serius. "apa ayahmu memiliki tali atau sejenisnya yang disimpan di tempat ini?" Zeren menggeleng.

"Kalau begitu kain? Sehelai pun?"

"Jika kain disini ada, ayah membawa pakaian jelek untuk jadi membersihkan lantai,"

"Tak apa, dimana ayahmu menyimpannya?"

Zeren menunjuk ke sebuah lemari kayu tua di ujung ruang penyimpanan. Laze bergegas membukanya. Matanya tertuju pada kain lusuh yang terlipat di rak dan segera meraihnya.

"Zeren, kau tunggu di sini, aku akan segera kembali,"

"Sieri! Ja ... jangan tinggalkan aku,"

"Zeren, dengarkan aku," Laze memegang kedua bahu Zeren. "Kumohon bersabar sedikit lagi, oke? Kau tunggu disini dan aku akan segera kembali, sambil menungguku, kau bisa menghitung sampai tiga ratus?" Zeren mengangguk.

"Hebat, dan sekarang kau bisa menghitung, setelah hitunganmu selesai aku janji sudah berada disini, mengerti?" Laze berusaha meyakinkan Zeren. Pada akhirnya lelaki kecil itu mengangguk.

"Bagus, sekarang tutup matamu, dan hitung sampai tiga ratus," dengan patuh Zeren mengikuti perintah Laze, dan mulai menghitung sampai tiga ratus.

Tanpa berlama-lama ia bergegas menuju tempat Gares pingsan. Ia khawatir jika pria itu kembali sadar dan kembali menyerangnya.

Sesampainya disana ia menarik napas lega. Pria itu masih tergeletak tak bergerak. Ia melihat darah di wajahnya mulai mengering, namun tidak ada tanda-tanda tanda penyembuhan.

Meraih kain yang dibawanya Laze mengikat tangan dan kaki pria itu. Ia juga menutup mulut Gares, mencegah pria itu merapal mantra jika sudah sadar. Setelah Laze mengikat Gares, ia mencari palu yang digunakan penyihir itu untuk menghancurkan dinding rahasia. Ia berjalan ke arah dinding dan mengambil palu tersebut.

Ia berjalan terhuyung menuju altar. Perlahan ia menurunkan tubuh Misanir. Tangannya kemudian menggenggam erat palu yang ia pegang dan mengangkat tangannya di belakang kepalanya. Dengan kuat ia kemudian mengayunkan palu, menghantamkannya ke altar.

BOOM

Hentakannya membuat suara keras. Namun satu pukulan tidak cukup. Perlahan ia merasakan tubuhnya melemah, namun ia tetap mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghancurkan altar tersebut.

Pada ayunan terakhirnya menghentakkan palu, hingga altar itu hancur berkeping-keping. Laze menjatuhkan palunya. Tubuhnya yang lelah jatuh terduduk.

Altar pemanggilan itu telah hancur lebur. Ia tinggal membereskan Gares. Ia menyeret penyihir itu menuju lorong ke arah tempat penyimpanan minuman.

"Aku harus segera menemui Zeren." Ia tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak laki-laki malang itu. Namun tidak mungkin Laze membawa penyihir itu ke hadapannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro