Bagi 3 · Pamrih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


L o v e    b o m b i n g ;
[verb] - the practice of emotional manipulation by showering a person with excessive affection and attention in order to gain control or significantly influence their behavior.

__________

PERPUSTAKAAN Pusat Universitas Indomaya, 13.20 WIB.

Karamel Krisnanda menelungkupkan wajahnya di atas meja kayu, beralaskan buku tua The World Book Encyclopedia terbitan 1980. Tidak, Amel tidak sedang membaca buku tebal dan berat itu. Dia hanya hobi menghirup aroma kertas tua—bau itu selalu bisa menenagkan pikirannya.

"Jidat lau nyetak paragraf tinta tuh lama-lama, Mel," suara mendayu pemuda gemulai mengusik telinga Amel. Gadis itu membalas dengan bebunyian 'hemm' asal.

"... kalo mau pinter, buku tuh dibaca cyin, bukan dijidatin," lanjutnya.

"Brisik ah, Yot!" Amel menyeletuk dari balik lipatan lengannya, menjagal nama Eliot yang biasa dipanggil 'El' keren, jadi 'Yot' yang... nggak begitu keren.

"Nyolot aje cyin, ada masalah apasih? Bonyok berulah lagi? Sini-sini berkeluh kesah sama ai."
(Bonyok : bokap-nyokap, ayah-ibu)

Amel mengangkat wajah, akhirnya. Menatap sosok Eliot yang memandanginya prihatin, berpangku tangan di dagu, tersenyum miring. Pemuda itu mengenakan kaos safari berwarna neon, nyentrik, dengan celana jins dan sepatu kulit tebal.

"Kayaknya masalah hidup gue itu-itu aja ya, Yot. Bosen gue lama-lama. Muak." Amel mendengus, mulai membuka sesi curhat mereka siang ini.

"Deuuh, dari gue kenal lau pas TK emang problema lo kepentok di ortu mulu yak. Controllong parah bo', kita aja dulu maen prosotan aja di-timer segala. Sekarang kenapa lagi sih, bebs?"

"Gue habis disidang Yot, kemarin. Didudukin, dimarah-marahin suruh buru-buru daftar kuliah program kuliner, terus ambil alih resto cabang pusat..."

Eliot mendengus menahan tawa,

"Classic," komentarnya pendek.

"Heh! Kali ini beda! Gue tuh padahal udah seneng yak, semenjak Mas Vion cabut, ortu tuh lebih kayak... ngebebasin gue aja, gitu. Ya walaupun masih hobi ngatur juga sih, cuma mereka nggak protes pas gue nge-skip form pendaftaran Kuliah pasca lulusan SMA—"

"Itu kan karena lo ngancem mau kabur juga Malih! Belaga lupa segala..." Eliot memotong.

"Ya iyasih. Cuma gue beneran ngira, akhirnya mereka berubah jadi longgar dan nggak se-controlling dulu. Lo sendiri tau kan, kalo gue udah nggak pernah masak-masak lagi sejak nggak ada Mas Vion? Nah, mereka nggak protes tuh. Padahal kan masalah masak ini lebih trivial, simpel gitu, gampang dilakuin. Dari pada kuliah..."

Amel menghentikan kalimatnya untuk mengembuskan napas, kesal. Dia sungguh tidak mengerti dengan kelakuan orangtuanya yang memanas-dinginkan kebijakan mereka.

"... tadinya gue ngira mereka beneran berubah Yot, gue udah lega akhirnya gue dibebasin juga, eh ternyata..." Amel melanjutkan, sementara Eliot menatap sahabatnya sambil memiringkan wajah.

"Iya sih, aneh banget. Kalo emang goals mereka bikin lo jadi pewaris usaha resto, kenapa nggak cus pas dulu-dulu coba, pas Babang Pion fresh-freshnya cabut?"

Amel menggeleng, no clue. Ternyata curhat dengan Eliot tidak menghasilkan solusi apa-apa. Tapi Amel tetap bersyukur, akhirnya bisa membagi beban hati dengan sahabat sejak kecilnya.

Dua pemuda-mudi itu menghela napas bersamaan, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Lagian lau kenapa nggak kuliah yang bener sih, Mel? Setaun nganggur gini, otak lo nggak karatan apa?" Eliot memandangi Amel skeptis, menjabarkan fakta bahwa Amel bukan mahasiswi di kampus ini.

Sejujurnya, Amel nggak pernah merasa dirinya manusia paling pintar. Dan nggak ngerasa bodoh-bodoh amat juga. Standar lah, ditengah-tengah.

Tapi kalau kepintaran itu diukur dengan derajat gelar akademis, Amel mundur. Semenjak lulus SMA tahun lalu, Amel menepis jauh-jauh saran orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi manapun.

Yap. Karamel Krisnanda tidak melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Dia berkeliaran di perpustakaan pusat ini tanpa status resmi sebagai mahasiswa, bermodal ekspresi datar dan kepercayaan diri diluar kadar, Amel bebas mondar-mandir di perpus, kantin, bahkan beberapa kali menyusup sebagai mahasiswi hantu di kelas malam Eliot. Tentu saja, seluruh aksinya didampingi dengan sahabatnya itu, Eliot, yang mana merupakan mahasiswa aktif kampus ini.

Amel senang menghabiskan waktu di lingkungan asing, dan Eliot senang ditemani Amel. Pasalnya, gerak-gerik Eliot yang gemulai melambai serta orientasi seksualnya yang dicap 'melenceng dari kodrat' membuatnya sedikit dikucilkan dan dijauhi oleh teman-teman satu kampus. Jadi, kehadiran Amel merupakan penyelamat Eliot dari label 'gagal sosial'.

Aktifitas spionase yang dilancarkan Amel berbantu Eliot telah berjalan mulus selama satu semester. Wajah Amel yang melebur dengan wajah-wajah sekian ribu mahasiswa lain tak membuat pihak otoritas kampus mengenalinya, dan teman seangkatan Eliot yang menjaga jarak mereka tidak ambil pusing akan kehadiran Amel. Pendeknya, eksistensi Amel hampir tidak terdeteksi di kampus ini.

"Hai El, oh! Ada Karamel juga?"

Hampir.

"Heyyy Kev, omaygat! Siang-siang gini udah ganteng gila bo', bikin kita jadi melting ajah..." Eliot menyambut riang dengan suara lantang, membuat beberapa mata tertuju padanya diikuti desisan 'ssshh' oleh ibu-ibu pengawas perpus.

Kevin Tjahyadewa. Mahasiswa jurusan Kriminologi yang pernah memergoki Amel 'menyelundup' bersama Eliot di kelas malam sharing universitas mereka pada awal semester dua, sebab saat itu Kevin yang menjabat sebagai ketua koordinasi kelas harus mendata mahasiswa untuk tugas kelompok.

Basah. Amel tertangkap basah. Saat itu, deburan jantungnya serasa mau copot. Dan sensasi itu juga masih terasa setiap kali Amel harus beradu temu dengan Kevin. Perawakannya yang maskulin, tinggi tegap dengan garis rahang tegas dan alis tebal simetris menaungi tatapan mata tajam membuat cewek normal manapun akan jatuh berlutut, terpanah cinta dadakan di hadapan seorang Kevin. Amel juga termasuk, sebab dia normal. Namun agak disayangkan, sepertinya Kevin tidak.

Amel selalu curiga kalau Kevin itu sebenarnya agak... 'belok'. Bayangkan saja, cowok setampan dan sesempurna itu pasti bisa mendapatkan cewek manapun yang ia tunjuk. Tapi tidak, Kevin masih bertahan dengan status jomblo-nya sejak awal masuk kampus. Ditambah lagi, setiap berpapasan dengan Amel dan Eliot, dia akan tag along, ngikut, nempel, dan nibrung bareng mereka. Dan sependek pengetahuan Amel, Kevin dan Eliot sering mengerjakan tugas kuliah bersama di perpus atau cafe dekat kampus. Kalau bukan Kevin yang ngebet naksir sama Eliot, terus apa dong?

"Kok bengong aja, Kar? Halo... Kamu nggak tidur sambil berdiri kan?" Kevin menarik perhatian Amel dengan melambai-lambaikan telapak tangannya didepan wajah gadis itu. Amel berkedip sesaat.

"Oh, eh... Ya.." Tuh kan, manggil orang aja pake aku-kamu. Kalo nggak belok, terus apa dong?

"Maklumin aje Kev, doi lagi ada masalah tuh, makanya otaknya jadi gesrek kaga fokus disapa cogan segini rupa," Eliot menimpali ditengah gelagap Amel,

"Oh ya? Masalah apa?" tanya Kevin.

Dan mengalirlah cerita hidup seorang Karamel, lepas bebas keluar dari mulut Eliot untuk konsumsi grub kecil mereka. Kevin mengangguk-angguk memperhatikan, mendengarkan dengan seksama. Hati Amel sedikit kecut melihat Kevin sedemikian rupa berkonsentrasi atas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Eliot. Pasalnya, wajah tampan Kevin merjadi semakin nonjok ketika matanya fokus tertuju satu titik, alisnya yang lurus simetris terpaut dengan sedikit kerutan dahi, dan jemari panjangnya parkir di dagu seiring kepalanya mengangguk-angguk.

Anjir, cakep! Sialan, coba aja lo normal, Kev...
Amel membatin pahit.

"Hmmm... jadi kamu ngerasa, sifat mereka yang belakangan ini baik banget, tiba-tiba berubah drastis gitu, Kar?" suara Kevin membuat Amel kembali tergagu.

Potongan nama 'Kar' yang terus digunakan Kevin membuat telinga Amel sedikit rikuh, namun entah kenapa ada sebersit rasa nyaman ketika mendengarnya. Mungkin karena yang mengucap nama itu adalah seorang Kevin...

"Yap, begitu. Gue jadi bingung aja, kenapa tiba-tiba berubah gini," Amel menjawab.

"Kayaknya... Kamu lagi di love bombing deh. Pernah denger istilah itu?" Kevin meluruskan tatapan matanya kearah Amel yang menggeleng, sementara Eliot menyeletuk.

"Bom cinta? Bagus dong, kedengarannya romantis gitu..."

"Ya, tapi nggak sebagus itu, El. Love bombing itu usaha manipulasi yang dilakukan seseorang, dengan cara ngasi afeksi, perhatian, cinta berlebihan untuk mendapatkan apa yang mereka mau. In this case, orangtua Karamel ngasi dia kebebasan, hanya untuk ditarik kembali dengan dalih 'kamu udah dapet apa yang kamu mau, sekarang turutin apa kemauan kami', gitu," Kevin menjelaskan dengan seksama.

"Oh, jadi ngasi cinta tapi pamrih, ya? Ngarepin balasan?" simpul Eliot, yang dibalas dengan anggukan oleh Kevin. Karamel terduduk diam sesaat sebelum akhirnya membuka suara,

"Iyaya, bener juga. Soalnya salah satu kalimat yang bokap gue bawa pas marah-marahin gue kemarin ya mirip-mirip gitu, kayak... 'kamu kan kemarin sudah melakukan sesukamu, sekarang harus jalani kewajiban' apa gimanaa gitu. Bodo ah, lupa, kuping gue panas," Amel menghela napas.

"Oh iya! Dan juga timing-nya pas banget nih, mau-mau tahun ajaran baru! Wahhh, klik ini nih Mel!" Eliot menimpali, diiringi anggukan setuju oleh Amel dan Kevin.

"Oke, kita tau istilahnya... tapi terus solusinya gimana, Kev?" suara Eliot lanjut mengudara.

"Yah, kalo itu sih tergantung Karamel, dia maunya gimana. Sebenernya solusi terbaik dari segala masalah ya open conversation sih, bicarakan dengan terbuka duduk masalahnya gimana, apa yang kalian rasakan, soalnya kalo dibiarin gini lama-lama keluarganya Karamel bisa jadi toksik."

Emang udah toksik kok, timpal Amel dalam hati.

"Hoooo, hebat juga ye lau punya ilmu beginian, Kev. Lo bukan jurusan psikologi kan padahal?" Eliot memuji dengan mata berbinar, membuat Kevin tersenyum tipis.

"Ah, enggak. Gue Kriminologi, emang ada sedikit psikologinya juga kok. Kan hybrid, El, jurusan gue gabungan dari ilmu Hukum, Sosiologi, Psikologi, sama Jurnalistik. Jadi taulah, dikit-dikit."

"Wuihhh, keren bats. Kalo gue mah TI, bikin mata juling ngoding terus tiap hari. Eh tapi lo ntar prospek kerjanya jadi apa dah?"

Kevin menerawang sejenak mencerna pertanyaan Eliot.

"Hmm.. Jadi penyidik sih, mungkin. Di Kepolisian, BNN, KPK—"

"WAHHH!! KEREN EDAN!!" Teriakan Eliot tak dapat ditahan.

Amel mendelik kearah sahabatnya yang kelewat semangat itu, khawatir mereka akan ditendang keluar dari perpustakaan. Tanpa disangka, Kevin mulai terkekeh perlahan melihat gelagat Eliot, menarik perhatian Amel. Mendadak, sebuah ide muncul di kepala gadis itu.

"Kev, kayaknya gue tau harus gimana. Dan gue butuh bantuan lo..."

__________

Bonus,


Kevin Tjahyadewa.
Dingin kalo muka default, tapi begitu senyum langsung bikin melting :')

.

.

Oiya, dan Kriminologi... Aghhh, itu jurusan idaman Author yang nggak pernah kesampean. Cita-cita jadi penyidik KPK yang nggak pernah keturutan, kutulis dalam WP aja dahh T^T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro