Bagi 2 · Cadangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"MEL, Amel... bangun, nak." Tepukan pelan namun konstan terasa di pipi kiri Karamel. Gadis itu menggeram setengah mengigau, masih memejamkan mata.

"Sudah lewat maghrib ini nak. Ayo bangun, Ayah sudah pulang itu." Bunda selesai menepuk pipi Amel, kini berganti menusuk-nusuk tulang rusuk putrinya dengan telunjuk.

"Bangun!"

"AARRGH!"

Karamel terlunjak dengan perasaan kesal. Rasanya seperti déjà vu, dibangunkan secara paksa untuk mengikuti perintah.

Ah iya, itu kan baru kejadian sore tadi, pikir Amel sambil memperhatikan Bunda yang mulai berkicau, mempertanyakan kenapa Karamel tidak mengangkat jemuran sesuai perintah. Bungsu itu menguap, bosan.

Aku bosan dimarahi, batin Amel.

Karamel sudah siap menelan omelan berkepanjangan lainnya, namun tiba-tiba suasana berubah drastis saat Ayah menyuarakan kalimat dari ruang tengah.

"Amel, ini Ayah bawakan martabak manis kesukaan kamu, rasa cokelat-keju."

Ayah membuka bungkusan kotak di atas meja makan. Perut Karamel bergemuruh, dia belum makan sedari siang.

"Mau Yaah!" gadis itu menyerbu meja makan dan meraih seiris kudapan manis. Lelehan mentega dan cokelat bercampur gurih keju meledak di lidahnya saat Amel menggigit martabak itu. Gadis itu memejamkan mata seraya mengunyah.

"Enyak bangeewd!!" mulut penuh Amel tak menjadi penghalang bagi gadis itu untuk menyuarakan apa yang ia rasa.

"Habis ngemil ini, kamu siap-siap ya Mel, kita mau jalan-jalan sekalian makan di luar," ujar Ayah sambil menyomot satu martabak di atas meja.

"Makan di luar? Tapi nggak di resto kita kan?" Amel bertanya skeptis.

Makan di restoran yang dikelola oleh keluarga mereka tidak bisa dikategorikan sebagai 'makan di luar', sebab Karamel terlanjur hafal dengan menu-menu yang ada disana. Telah bosan dengan rasa yang konsisten sama selama bertahun-tahun, dan selalu merasa rikuh kalau makan di resto tanpa ditemani kakaknya, Vion. Ah... Vion.

Martabak yang Amel telan mendadak terasa sedikit hambar.

"Enggak lah, kita makan di mall sekaligus nemenin Bunda belanja baju untuk dipake kondangan. Kamu ikut ya? Kamu yang pilih nanti mau makan dimana," tawar Ayah seraya menggigit porsi martabak-nya. Mata Amel membulat dengan kilat semangat.

"Ikut! Nanti makan wagyu ya Yah?" gadis itu langsung menembak dengan menu daging termahal di dunia. Ayah berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepala.

"Boleh."

"Yesss!" Karamel berseru sambil menggigit sisa martabak di tangan.

Acara santap-menyantap appetizer berupa martabak manis terjeda sejenak saat Mengko melompat ke atas meja makan, mengendus-endus udara.

"Husss! Turun, turunin itu Mel!" Bunda memerintah sambil menunjuk-nunjuk. Amel yang sibuk mengunyah sontak buru-buru meraih Mengko dari atas meja, menggendong hewan itu turun dari singgahsananya.

"Laper mungkin itu dia. Kasi makan, Mel. Terus kita siap-siap pergi." Kini Ayah yang melontarkan perintah tambahan. Amel menghembuskan napas.

Kok rasanya seperti jadi babu ya?

___

GRAND Mall Indonesia merupakan pusat perbelanjaan yang juga terkenal sebagai pusat kulineran. Resto berbagai tema berjajar, menawarkan menu-menu yang siap memuaskan palate pengunjung.

Amel, Ayah, dan Bunda duduk didalam sebuah resto bernama 'Meet n Meat', yang—seperti terindikasi dari namanya, menjual berbagai menu dedagingan.

"Amel mau wagyu yang rib eye ya, Yah," pinta gadis itu setelah menurunkan buku menu. Ayah mengangguk, Bunda mulai mencatat.

"Ayah tenderloin deh," kini giliran sang kepala keluarga yang memutuskan pilihan.

Lima belas menit berselang, pesanan mereka tiba. Karamel tergiur akan ketebalan daging steak yang disajikan, lengkap dengan guratan lemak tanda marbling sempurna daging super mahal tersebut. Santap malam keluarga Krisna hari itu lain dari biasanya.

Karamel menggerakkan pisau tipisnya, memotong serpihan daging yang terburai lembut bagai mentega. Saat potongan itu masuk kedalam mulut Amel, gadis itu memejamkan mata, menikmati dengan sepenuh jiwa. Ayah dan Bunda yang menyaksikan ikut tersenyum juga, terlampau biasa akan tingkah unik anak bungsu mereka.

"Enak?" tanya Ayah sambil menyantap potongan dagingnya sendiri.

"Bangewdh!" Amel menjawab dengan mulut penuh.

"Kamu nggak pingin, bisa masak sendiri wagyu seenak ini?" Ayah melayangkan pertanyaan yang membuat Amel menghentikan kunyahannya.

"Maksud Ayah?" garpu di tangan gadis itu diletakkan di sisi piring. Napsu makannya menguap seketika. Firasatnya tak enak.

"Yah... Ayah pikir, sudah saatnya kamu mulai memikirkan masa depan, Amel. Sudah setahun ini kamu bebas lepas melakukan apa saja yang kamu mau, makan apa saja juga kami turuti. Jadi..."

"Ayah nggak lagi nyuruh Amel untuk masuk sekolah kuliner, kan?" tembak gadis itu, tepat sasaran.

Hening.

"Mel, semenjak Mas Vion—"

"Apa?!" Karamel memotong kalimat Bunda yang tak tuntas. Membawa nama kakak lelakinya itu memanglah resep dasar untuk memantik pitam Amel seketika.

"Karamel! Jaga nada bicaramu, kita lagi di tempat umum!" Ayah mendesiskan kalimat tegas, dengan nada dingin mengancam. Amel bungkam.

Oh jadi ini alasan kenapa kita makan di luar? Supaya aku nggak punya kesempatan untuk ngomong balik? Simpul Amel dalam benaknya. Gadis itu menghela napas. Ia telah kalah.

"Mel," panggil Ayah, menyita perhatian anak gadisnya kembali.

"Ayah rasa sudah saatnya kamu penuhi kewajiban kamu, sebagai penerus usaha keluarga Krisna. Kavion sudah tidak bisa kamu harapkan lagi, dan kamu... yah, semoga jangan sampai seperti Masmu itu. Mengecewakan."

Karamel dapat merasakan cenutan nyeri di dadanya. Amel kangen sama Mas Vion, tapi kenapa Ayah dan Bunda malah bilang kalau Mas Vion mengecewakan? Tidakkan mereka ingin Mas Vion kembali?

"Kami sudah mencari info tentang sekolah kuliner yang bagus di dalam negeri. Nggak usah jauh-jauh deh. Ternyata di Jakpus sini juga ada, cuma 45 menit jarak tempuh dari rumah. Kamu bisa PP nanti diantar Ayah, gimana?" ucap Bunda dengan senyum sumringah, tak menangkap ekspresi anak gadisnya yang sudah kaku.

"Nanti setelah kamu paham betul masalah masak-memasak, ada kelas kilat manajemen yang bisa kamu ambil juga, semacam seminar begitu. Nah bagus itu, cocok untuk calon penerus restoran Krisna. Dan Ayah juga punya kenalan yang anak lelakinya baru saja naik jabatan jadi sous chef di hotel bintang lima. Bisa itu, kita tarik dia, iya kan Bun? Siapa tau jodoh sama si Amel juga..."

Oh tidak... sekolah ditentukan, jodoh disiapkan. Aku sudah jadi Mas Vion versi baru, anak dengan peran cadangan, rintih Amel dalam hati. Gadis itu lantas mengiris sisa porsi dagingnya, mengunyah hanya sekedar untuk melampiaskan emosi. Amel tak lagi merasa lapar.

___

"Haloh? Nape sih lu telfon tengah malem gini. Dah berubah jadi kuntilanak ye lu??" suara tajam mendayu yang akrab di telinga Amel berkumandang dari ponsel di pipi gadis itu. Karamel telah tiba di kamarnya, berbaring di atas kasur, melirik sekilas jam digital di atas nakas yang menunjukkan pukul 23.11. Ia tak bisa tidur.

"Maap, Yot. Gue butuh banget ngobrol. Besok lo ke kampus kan? Gue ikut ya?" Karamel berucap kearah ponsel. Di seberang sana, suara helaan napas terdengar.

"Iye-iye. Besok gue jemput deh. Sekarang udah malem, ikan bobok."

"Makasih, Yot... sampai ketemu besok."

—Klik.

Karamel memandang langit-langit kamarnya, gamang. Setidaknya, dia punya besok untuk dinantikan. Saat ini, Karamel hanya ingin hilang.

__________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro