Bagi 1 · Pengganti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


B e r d i s k u c i n g ;
[verba] - berdiskusi dengan Kucing


__________

"AMEL, itu jemuran beha kamu diangkatin dong, mendung ini..." suara Bunda menegur putri bungsu yang sedang terlentang di atas kasur, memejamkan mata dengan headset membekap telinga.

Seekor kucing berbulu putih dengan telinga oranye terlelap di ketiak sang putri, mendengkur. Nama hewan itu adalah Mengko, alias Simeng.

"Mel! Astaga... anak ini! Bangun, heh!" Bunda menampar-nampar pipi Amel dengan gemas, membuat sang empunya wajah mengerutkan alis.

"Aaagghh apaan sih, Bun..." Amel menggeliat memiringkan badan, memeluk kucing yang ikut menggeliat bersamaan.

"Ya-Allahh... ini nggak anak, nggak kucing--sama aja malesnya. Heh, ayo Amel, bangun. Kamu udah rebahan dari pagi sampe sore, jadi cicak kamu lama-lama kalo nggak bangun-bangun." Bunda masih berusaha membangunkan Amel, kali ini menepuk-nempuk rusuk sisi anak gadisnya yang reflek menggeliat risih,

"Iya-iya, ahh Bunda, stop..." setengah geli dan menahan kesal, Amel bangkit dari kasur. Duduk dengan pandangan linglung memperhatikan sekeliling setengah sadar.

"... jam berapa sih ini?" Karamel mengucek matanya, merasakan cakar mungil Mengko menggaruk manja di belakang pinggangnya. Kucing itu melanjutkan tidur siang tanpa perduli, membuat Amel mendengus iri didalam hati, enak banget ya jadi kucing.

"Udah setengah empat ini, sore. Jemuran kamu angkat, cepet." Bunda merentetkan instruksi yang membuat Amel menggeram ketika mendengarnya. 

Perintah, perintah, dan perintah. Seumur hidup, Amel selalu diperintah oleh Bunda dan Ayahnya. Nggak pernah lepas. Nggak berubah bahkan setelah dia 'kehilangan' kakak sulungnya, Vion.

Kini, Karamel Krisnanda harus rela menjadi anak semata wayang semenjak kepergian sang kakak, Kavion Krisnanto, setahun lalu.

Amel selalu menganggap Vion sebagai role model dalam hidupnya. Dulu, dari kecil, bayi, pokoknya sejak Amel bisa mengingat, seingat dia Vion selalu ada untuknya. Selalu bisa jadi orang yang diandalkan. Mereka berdua sama-sama merasa terasingkan di keluarga sendiri. Tertekan dibawah dikte orangtua yang terlampau diktator, posesif, dan bahkan... Narsistik. Toksik.

Waktu Amel SMP—dan Vion SMA, mereka mulai merasa risih atas nama pemberian orangtuanya.

Kavion, yang merasa namanya aneh, karena identik dengan plesetan kata 'kafein', nekat menjagal namanya sendiri menjadi 'Vion'. Ia bahkan pernah mencoret awalan Ka dari absensi kelasnya, agar guru-guru memanggil nama 'Vion Krisnanto' ketika mengabsen dirinya. Sukses. Entah bagaimana Vion berhasil menyematkan nama tanpa imbuhan-Ka di paspor dan visa-nya, hingga nama Vion yang tersemat menjadi jati dirinya yang baru ketika memulai sekolah di Australia.

Kenekatan abangnya membuat Amel turut berani menjagal awalan Ka dari namanya sendiri. Karamel. Caramel. Manisan gula bakar. Nama itu merupakan parodi dari kudapan yang menjadi kesukaan Ayah dan Bundanya. Sungguh, parodi.

Mungkin terdengar lucu ya, nama anak seperti nama makanan. Tapi tidak lucu jika di sekolah, di kelas, mereka dibully karena nama yang aneh itu.

"Kav, Kavion, jangan minum kopi loh! Kanibalisme namanya! Hahahahaa.."

"Karamel? Caramel? Mau sok manis ya jadi gula-gulaan? Dihh.. Camel kali yang bener, tampang udah mirip onta begitu!"

Semenjak tumbuh dan mengerti logika, baik Amel dan Vion sama-sama mulai merasa, kalau kelahiran mereka berdua hanyalah perpanjangan dari kegemaran orangtua mereka terhadap nama makanan dan main kuda-kudaan. Beruntungnya, duo foodie yang mereka panggil Ayah dan Bunda itu telah menyalurkan hobi makan-memakan dan kulineran mereka dalam fokus menjalankan usaha restoran keluarga yang diwariskan dari kakek-neneknya. Turun-temurun. Dari tiga generasi ke atas.

Itulah sebabnya memasak jadi keahlian wajib keluarga Krisna. Vion, sang sulung yang paling sabar, paling tegar, menuruti tuntutan orangtuanya. 

Sementara si bungsu? Well... dia belajar dari Vion. Walaupun Amel lebih kepala batu dan susah diatur, namun Vion selalu sukses merayu adiknya itu untuk menghabiskan waktu bersama di dapur. Amel selalu sigap menunggu instruksi dari abangnya untuk mencincang, mencuci, menumis, dan menyicipi hasil jerih payah mereka. Amel percaya, dirinya bisa masak hanya karena ada Vion di sisinya. 

Selisih 3 tahun usia mereka, Vion sukses menjadi sandaran hidup Amel. Dia menjelma menjadi abang yang telaten sekaligus mentor yang bisa diandalkan, lengkap dengan sifat pengertian dan perhatian terhadap adik perempuannya. 

Tapi sekarang, Vion menghilang. Amel sendiri, menahan pahit cidera hati setiap hari. Sejak kembali dari Adelaide, Australia tahun lalu, Amel tak pernah lagi menginjakkan kaki di dapur. Tak mau. Tak rela. Amel cuma mau masak kalo ada Mas Vion!—terakan nyaring itu terngiang di langit-langit saat mereka tiba di rumah tanpa kembalinya Vion. 

"Mrreow..."
Bunyi manja si kucing pulas yang mengigau dalam lelapnya membuat Amel tersadar sedetik. Jemari gadis itu merambat menyusuri bulu-bulu halus berwarna putih di perut terbuka Mengko. Hewan itu bergeliat, mendengkur dengan keras.

"Kamu kangen Mas Iyon juga ya, Meng?" majikan itu lanjut membelai hewan peliharaannya sambil bergumam sendiri—entah si Mengko paham atau tidak. 

Pertanyaan Amel dijawab dengan nguapan lebar mulut Mengko, menunjukkan gigi-gigi mungil berbaris diantara dua taring panjang. Dengan gemas, Amel memposisikan telunjuknya ditengah mulut terbuka Simeng, membuat kucing itu tak sengaja mengigit jari majikannya. Mengko mengelak reflek, Amel terkekeh.

"Kamu inget kan dulu, pas pertama dibawa sama Mas Vion?" 

Amel melanjutkan 'diskucing'-nya sambil menengkurapkan badan, kembali bergumul dengan kasur, mengindahkan langit sore itu yang mulai kelabu mendung serta perintah Bunda untuk mengangkat jemuran.



SAAT ITU Amel merajuk. Dua hari lagi, kakak yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya harus terbang menuju benua lain karena titah sang Ayah. Mas Vion akan sekolah kuliner di Australia, dan Amel tidak bisa terima.

"Mel... hhaaaachim... ini, sinih dulu deh kamuh... hngg, hachiii," Vion berusaha keras menahan bersin-bersinnya, sementara adik perempuannya memandangi dengan tatapan miring dan bibir manyun.

"Aayaaaah! Mas Iyon tiba-tiba sakit begini loh, jangan dikasi pergi, Yah! Pokoknya jangan!! Cancel aja tiket pesawatnya, cancel!!" Amel menjerit memanggil Ayahnya yang berada di ruangan lain,

"Enggak, ini Mas nggak apa-apa kok... ha... haaacckkOHOK!" Bersin Vion kini bermutasi menjadi batuk. Ajaib sekali.

Amel reflek menyerbu kotak tisu untuk menyerahkan beberapa lembar kepada kakaknya,

"Ingus Mas keluar tuh, bersihin. Lagian ini Mas kenapa sih, kok bersin-bersin. Alergi Mas Iyon lagi kambuh ya?" Ditengah badai emosi, aksi ngambek dan tekuk muka, Amel tetap merasa prihatin melihat sang kakak yang suaranya mulai serak, dengan mata bengkak dan hidung memerah.

"Hmm... he'eh," jawab Vion sambil merunduk, mengambil sesuatu yang tersembunyi dari balik sofa.

Sebuah pet cargo berwarna abu muda.

"Waah apa ini, Mas?" Amel segera berlutut dan memperhatikan sisi benda yang berjeruji besi stainless steele. Sebuah makhluk berbulu menyambut pandangan Amel dari dalam sana.

"Ini—ha... h, buat nemenin ka-ka... kamu —HACHIEMM!" Vion hampir saja menjatuhkan pet cargo itu jika Amel tidak sigap menangkapnya, membekap kandang berisi hewan hidup dalam pelukannya.

Amel menuntaskan rasa penasarannya dengan membuka pintu kandang, mempersilahkan seekor kucing berjalan perlahan keluar, menoleh meneliti sekitar, mengendus-endus udara. Hewan itu memiliki bulu seputih kapas, dengan warna oranye pudar menghiasi pucuk kepala dan telinga lancipnya.

Mata Amel tak putus memperhatikan kucing tersebut, mulutnya menganga tak dapat berkata-kata. Hampir saja, manik mata gadis muda itu mengeluarkan cairan kaca.

"Mas tau kamu... HHAACHH—ehmm, dari dulu suka banget sama kucing..." Vion menjeda kalimatnya sejenak untuk menarik ingus. "... tapi nggak pernah bisa melihara karena Mas alergi sama bulunya... HACHIMMMM!"

Amel tak lagi mendengar sisa kalimat kakaknya, sebab perhatiannya telah tersedot penuh pada makhluk berbulu yang kini sedang mengendus jemarinya. Detik itu juga, Amel jatuh cinta.

"Hik... hikss..."

"Loh, kok malah nangis, Mel? Eh... udah dong, jangan nangHACChhhiem!"

"Makasih... Mas Iyon... hikk..."  Sang adik tak bisa menahan isak tangisnya. 

Vion memandang dengan tatapan teduh dibalik kelopak mata yang serasa melepuh. Walaupun napasnya mulai terasa sesak, entah kenapa hatinya terasa lapang melihat gadis yang paling ia sayang di seluruh dunia akhirnya mendapatkan apa yang selama ini selalu diinginkannya—seekor kucing. 

"Iya, sama-sama Mel. Nah, sekarang—HACChhehh! ... ke apotek ya, beliin Mas Antihistamin."

__________

Bonus

Karamel yang nggak mau ngelepasin Vion :')


... dan Karamel yang langsung akrab sama Mengko :>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro