Prologue // Cast

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__________


ADELAIDE, halaman great hall Le Cordon Bleu culinary school.
11.38 ACST (Australian Central Standard Time)

Bergerumul keluarga-keluarga berbagai ras dengan wajah sumringah. Hari ini adalah graduation day di sekolah kuliner nomor satu negeri kangguru. Salah-tiga dari wajah-wajah yang berseri itu bergariskan fitur Indonesia, khususnya sang Ayah, dengan senyum yang menampakkan kerutan mata dalam, bangga. Sang Bunda, dengan rambut disanggul rendah, sengaja mengenakan kebaya modern dan berdandan rapih, tersenyum melayangkan pandang. Garis-garis oriental sedikit tergambar di matanya yang sipit.

Kecantikan sang Ibu rupanya turun pada wajah anak gadis perempuan. Si Adik, yang kala itu masih menduduki kelas 3 SMA. Summer dress berwarna pucat tulang memeluk tubuhnya yang berkulit seputih porselen, bergerak-gerak tak nyaman. Gerah.

"Mas Vion kemana sih Yah, Bun? Masih lama ya?"

"Sabar, Amel, ini Bunda juga bingung... nomor henpon Kangmas-mu ngga bisa dihubungi," jawab sang Bunda diplomatis, bergantian menatap layar tablet dan halaman luas.

"Ahh sudah nggak apa, kita tunggu saja disini, pasti nanti dia keluar dari gedung." Ayah masih sumringah, berbangga membayangkan anak sulung lelakinya resmi menyandang gelar 'Certificat de Chef de Partie Cuisine' pada hari membahagiakan ini.

"Tapi kita udah berdiri dua jam di halaman ini! Apa Ayah sama Bunda nggak curiga, kalo Mas Vion lulus-lari?" Gadis bernama Amel tadi melanjutkan ocehannya, membuat si Ayah dan Bunda menoleh dan saling pandang sedetik,

"Lulus-lari? Apa lagi itu Mel?" Bunda menautkan alis, kagum sekaligus bingung terhadap putri bungsunya yang hobi membuat istilah-istilah aneh.

"Kayak kawin lari, Bun, tapi ini pas kelulusan. Emangnya Ayah sama Bunda lupa kemarin lusa Mas gimana? Terakhir kita telefon kan--"

"--EKHEM!" kalimat Amel terpotong dehaman Ayahnya.

"Sssstt, ngga baik ngomongin masalah keluarga di hari besar seperti ini. Pamali. Sekarang kita coba tanya-tanya teman-teman Masmu itu aja ya, yuk..." Bunda menengahi sambil berinisiatif, memimpin langkah menembus keramaian.

"Eksyus mi... sir, Madam... du yu knou Kavion Krisnanto?"  Logat Indo begitu kental dari bahasa inggris pas-pasan Bunda, membuat Amel tersenyum kecut bercampur prihatin.

"Udah, Amel aja yang ngomong Bun..." tawar si bungsu sambil menelan senyumnya, berharap Bundanya tak lanjut mempermalukan keluarga mereka.

Menit-menit berlalu tanpa ada kerabat teman angkatan yang familiar dengan nama Vion. Amel hampir menyerah frustasi setelah 45 menit bertanya kesana-kemari bagai induk itik kehilangan anak, ditambah matahari Australia yang ternyata lumayan menyengat di ubun-ubun kepala. Langkah kaki gadis itu berjalan cepat menuju pohon rindang tempat Ayah-Bundanya duduk beristirahat, namun tiba-tiba seorang gadis berambut emas berlari tepat ke hadapannya. Mata gadis bule itu biru secerah langit, dan bibir tipisnya berlekuk indah sewarna jambu air. Amel terkesiap sejenak menghadapi sosok yang tingginya menelan Amel dibawah bayang-bayang itu.

"Are you, perhaps, a member of Krisnas' family? Krisnanto?" Suara itu merdu mendayu dengan logat aussie kental. Amel membulatkan matanya mendengar nama belakang sang kakak disebut.

"Yes, yes that's right!" Sang adik mengangguk semangat,

"I'm sorry for being the one to tell you, but... Vion has flew back to Indonesia this morning..."

JEGER! Kalimat barusan bagai sambaran petir di siang bolong.
Apa?! Mas Vion terbang ke Indonesia? Di hari kelulusannya??

Amel mencoba mencerna kenyataan itu, sementara Ayah dan Bundanya telah tiba di hadapan mereka entah sejak kapan. Melihat sepasang orangtua Amel, si gadis bule menundukkan pandang secara rikuh.

"Apa katanya, Mel? Ada apa? Masmu dimana?" cecar kalimat Bunda membuat Amel turut gelagapan,

"Emm... anu, itu... Mas Vion udah balik ke Indo, Bun, katanya... tadi pagi."

"HAH?!"

"APA????"

Amel tersenyum pahit menyampaikan berita itu. Dalam hati, ia merasa supermarah akibat abang satu-satunya itu membodohi keluarga mereka yang sudah jauh-jauh terbang ke negeri tetangga. Di sisi lain, Amel merasa kagum akan nyali sang abang untuk kabur, lepas sungguhan dari kedua orangtuanya.

"Bener kan, Mas Vion lulus-lari..." gumam Amel ditengah kegaduhan siang itu.


48 JAM sebelumnya...

Koper telah dipak, tiket sudah dicetak, keluarga Krisna sedang berkumpul di ruang tengah dengan tablet tipis Bunda tergeletak di atas meja, menampilkan panggilan dengan anak sulung mereka yang sudah berjalan 15 menit. Percakapan itu di-loudspeaker agar semua penghuni rumah dapat berpartisipasi--Ayah, Bunda, dan Amel.

"Pokoknya secepatnya kamu harus selesaikan semua birokrasi dan administrasi ya, Iyon, Ayah mau kamu cepat kembali kesini dan segera mengambil alih resto, ya? Halo, Vion, ya??" Sang Ayah berkata terlampau nyaring, hampir berteriak kearah tablet.

"Iya yah... astaga. Kasi Vion waktu sebentar buat pamitan sama teman-teman disini jug." Suara pemuda menyahut dari seberang sana.

"Iya Yon, tapi jangan lama-lama. Ayah sama Bunda sudah merencanakan pertemuan kamu akhir bulan ini, sama si Meimei anak yang punya perusahaan frozen food Ceria itu lho. Yang kapan hari Bunda bilang itu, ya?" Kini suara wanita mengudara,

"Hah?? Maksudnya apa Bun? Bunda mau jodohin Vion?!"

"Yahh... dicoba dulu, siapa tau kamu cocok. Anaknya cuantik, lho. Keluarganya juga sukses itu, jadi pemasok bahan utama resto kita." Kini sang Ayah menimpali.

"Apa-apaan sih, Yah? Vion udah nurutin apa mau Ayah sama Bunda buat sekolah kuliner jauh-jauh ke Australi, seumur hidup Vion udah nurut! Kenapa sekarang pas baru lulus, malah mau dijadiin umpan buat bisnis Ayah sih, Yah?? Yang bener aja..."

"HEH! Vion! Kamu ngomong apa sih? Kami begini ini supaya kamu hidupnya enak, tertata dan terencana. Sejak kapan kamu jadi pemberontak seperti ini??" Gelegar suara Ayah membuat Amel dan Bunda bungkam seketika.

"Ini nggak adil Yah! Kasi waktu Vion untuk hidup! Kenapa sejak Vion lahir, Vion nggak pernah--"

"CUKUP! Kita nggak akan bahas ini. Vion, kami akan kesana, kamu akan lulus, dan kamu ikut kita pulang ke Indonesia. Itu adalah final. Tiket sudah dipesan, alamat, tanggal, sampai jamnya juga sudah di-email oleh sekolah kamu. Kamu diam dan tunggu saja!" vonis sang Ayah dengan suara tegas,

"NO! I won't let you do this to me. Vion nggak terima!!" --klik.

Panggilan berakhir. Sunyi mengudara selama beberapa detik sebelum diputus dengan helaan napas berat sang Ayah.

"Ini kita gimana... Yah?" Amel memberanikan diri membuka tanya, membuat Ayah menatap langit-langit rumah sekilas sebelum menjawab.

"Jalankan sesuai rencana. Kita ke Adelaide, nyusul Masmu itu."

__________

Cast


Kavion Krisnanto, si sulung yang kabur demi kebebasannya.

___

Karamel Krisnanda, si bungsu yang keras kepala.

__________

Hai. Halo. Aku author.
Ditengah krisis, apa yang biasanya kalian lakukan?

Apa kalian bakal kabur kayak Vion?

Atau malah nulis Novelet, kayak aku? Hehehe~

Ini aku lagi krisis skripsi, siap-siapin sidang supaya bisa lulus bulan ini. Setelah bertapa seminggu tanpa nyentuh Wattpad, aku fokus ngetik sesuatu yang 'wajib' aku kerjakan. Rasanya? Berat banget, nulis sesuatu karena 'harus' dan bukan karena 'mau'. It sucks.

Jadi aku putuskan buat ngelepas stress dengan nulis Novelet pendek ini, cerita tentang spin-off karakter koki di Cooking Space -si Vion, dengan tokoh utama di cerita ini, adiknya. Amel, Karamel.

Rencananya cuma beberapa chapter aja sih, tanpa research dan plot yang berat-berat. Semoga kalian bacanya seenjoy aku nulisnya ya!

Luv, Z.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro