Bagan 20 · Kabar Karamel (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

STEVE Rogers bangun setelah 70 tahun tertidur dengan satu pikiran yang mengganjal di benaknya—janji berdansa dengan Peggy Carter, wanita idaman yang akhirnya hampir berhasil dia dapatkan. Tapi sayang, waktu dengan kejamnya tak berpihak pada si Kapten Amerika.

Kevin Tjahyadewa rasanya bisa relate dengan perasaan Steve Rogers saat itu. Bangun dari kamarnya dengan satu pikiran melayang pada janji yang sudah terucap namun tak kunjung terlaksana. Sesuatu yang tak tuntas.

Nanti ketemu di kampus. Bakal ngajak Karamel jalan.

Kevin mengusap wajah setelah bangkit dari ranjangnya, mencuci muka untuk menyadarkan diri dan berdamai dengan realita. Saat ini liburan semester telah tiba. Tak mungkin Kevin pergi ke kampus, lebih-lebih bertemu Karamel.

Rasanya jemari Kevin gatal ingin mengetikkan pertanyaan, menuntut jawaban, pada siapapun yang bisa dia tanyai. Eliot yang menghilang sejak kunjungan ke rumah sakit juga semakin memperparah keadaan. Rasanya, Kevin mulai sadar siapa yang jadi masalah di sini. Orang ketiga penyampai pesan yang malah memutus kontak mereka.

Mulut Kevin pun gatal ingin bercerita. Tapi pada siapa? Ah, baru kali ini menjadi introver berdampak negatif pada dirinya. Kevin tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara.

Akhirnya cowok itu memutuskan keluar kamar. Recovery keretakan tulang di rusuknya menyebabkan Kevin wajib minum susu setiap pagi, juga menelan beberapa butir pil kalsium. Perintah dari mamanya.

"Bang Em?"

Kevin bertanya pada Melvin yang nyelonong keluar dari dapur dengan kotak jus jeruk di tangan. Ini akhir pekan, dan wajah Melvin tampak lecek sekali. Rambut acak-acakan, mata merah dan kelopak sedikit bengkak, serta di lehernya tersisa sedikit bercak merah.

Kentara sekali abang nomor dua Kevin itu sedang mengalami hangover. Pasti malam tadi dia nge-dugem lagi.

"Orang-orang pada ke mana? Kok sepi?" Kevin menyadari keadaan rumah mereka. Tak ada tanda-tanda papanya dan anggota keluarga lain di mana-mana.

"Ha hauk (gak tauk). Hoamm." Melvin menjawab sambil menguap, mengaburkan kalimat itu dalam nganga mulut lebarnya.

Kevin hanya menggeleng tak habis pikir. Kenapa dia harus terjebak satu rumah dengan kakaknya yang absurd ini?

Kalau dipikir-pikir, Melvin ini kebalikan dari Eliot. Jika Eliot berjasa memecah Kevin dengan Karamel, maka Melvin bagaikan rem perekat yang menjebak Kevin dan Vero menjadi dekat.

Dekat?

Kevin tak percaya dirinya berpikir demikian. Menganggap dia dan Vero sudah dekat, hanya bermodalkan beberapa percakapan dari hati ke hati.

Tapi ... pasti ada alasannya pikiran itu timbul tiba-tiba. Mama Kevin selalu percaya pada alam bawah sadar atau subconscious. Tak ada yang tidak disengaja. Semua ada programnya, di dalam kepala kita sendiri.

Apakah secara tak sadar Kevin sudah menganggap dia dan Vero dekat? Ah. Pusing.

"Bang Em." Kevin kembali memanggil Melvin yang kini meneguk jus jeruk langsung dari kotaknya, membuat sang kakak hampir tersedak.

Melvin dengan cepat bisa mengendalikan napasnya kembali.

"Apah?" hardiknya.

"Moody amat kalo habis mabok," komentar Kevin. "Gue mau nanyain masalah Vero, nih."

Mendengar nama cewek itu disebut, konsentrasi Melvin langsung tersedot fokus pada sang adik. "Ya, ya? Gimana-gimana? Tumben lo kepo sama dia."

Kevin menghela napas. Mungkin Melvin memang bukan orang paling terpercaya di dunia. Tapi toh, sudah terlanjur basah. Kevin hanya berniat menuntaskan rasa penasarannya.

"Vero bisa nyamperin gue ke RS, terus tau soal Karamel juga ... itu dia tau dari lo, ya, Bang? Dia yang minta lo buat ngomong?"

Melvin meneguk jus jeruknya lagi sebelum menjawab, "Ya, dan nggak."

Sontak Kevin mengerutkan kening. "Maksudnya?" tuntut cowok itu.

"Emang bener gue yang ngasih tau itu semua ke Vero, tapi bukan karena dia yang minta. Gue aja inisiatif sendiri ngasih tau ke dia." Melvin berkata dengan nada kelewat santai, terdengar tanpa dosa dan rasa bersalah sama sekali.

"Kenapa?!" Kevin tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

"Dedek ...." Melvin menghadap adik bungsunya, mendengar nada mendesak dari pertanyaan Kevin tadi membuat Melvin sadar ada sedikit rasa tidak terima bahwa dirinya sudah ikut campur dengan hidup adiknya. "Denger, ya, ada alasan kenapa Vero bisa gue libatin sama lo. Pertama, bodi dia bagus, dia agresif tapi masih bisa jaga diri, dan dia kelihatan jelas naksir lo."

"What the—"

"Kedua," potong Melvin. "Waktu gue liat dia lagi dan lagi, terutama pas di RS, gue bisa nilai kalau dia sebenernya anak yang baik. Walaupun kelihatan agresif di permukaan, tapi sebenernya dia care, peduli sama lo, dan lumayan selfless karena bisa ngalahin egonya, bela-belain jagain lo pas sakit meskipun dia udah bilang mau move on dari lo."

Perkataan Melvin sukses membuat Melvin bungkam. Rasanya sebelas-duabelas dengan apa yang pernah dia dengar dari mamanya. Komentar dua orang itu sama: Vero anak yang baik dan peduli pada Kevin.

"Agh!" Kevin mengacak rambutnya sekilas, menghindari bagian kepala yang terdapat jahitan kering. "Kalian semua aneh." Kevin menggumam sambil hengkang menuju kamarnya.

Bukannya terpuaskan, rasa penasaran Kevin malah semakin menjadi.

___

MENYETIR mobil dengan rusuk remuk memang menjadi satu hal yang dilarang oleh dokter dan mama Kevin. Tapi, cowok itu sudah melanggar aturan itu—dua kali, malah—saat ia menemui Vero sepulang dari RS, dan sekarang, saat ia hendak menemui orang yang sama.

Kali ini, drive-thru dari sebuah restoran cepat saji menjadi tujuan instannya. Sembari mengisi perut, cowok itu mulai menimbang-nimbang apa saja yang harus dibicarakannya.

"So, gimana perkembangan lu sama Karamel?" ucap Vero dari kursi kiri telak menohok kesadaran Kevin.

Cowok itu menarik napas. Dalam. Lalu perlahan, mulai menceritakan semuanya. Semuanya.

Awalnya Kevin ragu, apakah melibatkan Vero dalam kerumitan kisahnya dan Karamel menjadi sebuah keputusan yang bijak, atau malah akan semakin memperkeruh semuanya?

Tapi ternyata, respons Vero yang mendengarkan dengan seksama, pasif berkomentar dan lebih banyak coba mengerti duduk masalahnya, juga tanpa ada indikasi akan memanfaatkan situasi Kevin untuk keuntungan pribadinya, perlahan-lahan membuat Kevin berkesimpulan bahwa Vero bukanlah kandidat yang buruk sama sekali untuk dijatuhi curahan hati.

Sejujurnya, Kevin malah kagum dengan perilaku Vero yang demikian. Dia tidak menyangka seorang Veronica putri bisa menjadi pendengar yang baik. Mungkin penilaian mama dan abangnya ada benarnya juga.

Mendekati akhir cerita, Kevin menyinggung obrolan mereka yang tak tuntas kemarin.

"Lo bilang, ini semua—gue dan Karamel—dimulai dengan kepura-puraan." Kevin jelas mengacu pada fakta bahwa Karamel mau berpura-pura jadi pacarnya, juga saat mereka bersekongkol menyelundupkan gadis itu sebagai mahasiswa pura-pura.

Wajah Vero terlihat kecut mendengar hal itu. Tampaknya cewek itu tidak menyangka bahwa kata 'pura-pura' yang dilontarkannya kemarin memiliki efek sebegini dahsyat pada Kevin.

"Apa menurut lo, satu hal yang dimulai dengan kepura-puraan bisa bertahan lama?" Cowok itu menuntaskan pertanyaan yang seharian ini membayanginya.

Vero menunduk. "Jujur ... gue nggak tau," lirihnya.

Kevin mendengkus kecewa.

"Tapi," lanjut Vero, "Kayaknya gue harus tanggung jawab deh, karena omongan ngasal gue kemarin, lo jadi kepikiran."

Kevin tak bisa menahan diri untuk tidak melepaskan senyum.

"Tanggung jawab gimana maksud lo?" tanya cowok itu.

"Tadi lu bilang, pernah nganterin Karamel ke rumahnya, kan? Nah, kenapa nggak ... disamperin aja?"

Seketika Kevin terbelalak mendengar saran Vero. "I-iya juga ... ya?" gumam cowok itu kemudian.

___

LOKASI kediaman keluarga Krisna merupakan tempat yang samar-samar Kevin telusuri dari memori. Untung saja rumah Karamel itu tidak terletak di blok pojok terselubung dengan belokan-belokan menyesatkan. Tujuan mereka itu cukup mudah untuk dicari.

"Ini rumahnya?" tanya Vero sambil menurunkan kaca jendela, demi bisa melihat sekitar lebih jelas.

Kevin mengangguk. Ingatannya tidak salah. Rumah karamel masih sama seperti yang terakhir dikunjunginya. Bedanya, sekarang terdapat beberapa bendera kuning yang masih tertancap dan terikat di pagar, menandakan penghuni yang sedang berkabung.

"Kamu bilang, Karamel kembali ke Jakarta minggu kemarin, kan?" ucap Vero, memastikan keadaan sebab rumah itu tampak gelap tak berpenghuni.

"Kata Eliot sih gitu ...." Kevin berucap sambil menghentikan mobilnya.

"Sepi gini tapi ya?" gumam Vero.

Kevin mengiyakan. Sedikit banyak ia menyesal karena terlalu mempercayai informasi dari Eliot. Harus berapa kali dia tersesat atas arahan lelaki itu?

"Ngga ada orang ini mah, Kev." Vero berkata sambil menaikkan kaca jendelanya, mengonfirmasi kecurigaan Kevin yang serupa.

"Kita tunggu aja dulu," gumam Kevin sambil mematikan mesin. Vero menurut.

Empat puluh lima menit menunggu, tak kunjung ada penghuni yang kembali. Malam semakin larut. Wajah Kevin dan Vero semakin kusut.

"Apa mungkin mereka masih di Surabaya ya, Kev?"

Pertanyaan Vero itu bagai menyuarakan isi kepala Kevin. Cowok itu juga mencurigai hal yang sama. "Mungkin," jawabnya.

Vero menghela napas. Misi mencari rival yang begitu membimbangkan hatinya ini tak kunjung berujung. Ingin lanjut, tapi hati feeling-nya memberatkan.

Di satu sisi, Vero khawatir. Bagaimana kalau Kevin benar-benar bisa bersatu lagi dengan Karamel?

Namun di sisi lain, Vero juga merasa Kevin pantas mendapatkan apa yang dia mau. Dia tak bisa memaksa-maksa Kevin lagi. Sudah terbukti gagalnya.

Jadi, Vero hanya bisa melapangkan dada dan menjadi teman yang suportif untuk Kevin. Itu satu-satunya cara dia bisa diterima berada di sisi cowok itu. Ditambah lagi, Vero tak bisa membohongi diri juga kalau dia penasaran. Ke mana gadis bernama Karamel itu menghilang?

"Hubungi dia pake nomor gue aja, Kev," tawar Vero tiba-tiba. "Nomor lu di-block, kan? Coba telepon pake nomor gue aja. Nih."

Cewek itu menyodorkan ponselnya ke arah Kevin, membuat cowok di balik roda kemudi itu mengernyitkan kening. Dengan tegas, Kevin menggeleng.

"Nggak."

"Kenapa?" Vero seketika tak terima.

"Dari awal, gue udah tegasin nggak mau maksa kontak Karamel kalau memang dia nggak mau. That's why sebenernya gue ... ngerasa bodoh, kita nunggu di depan rumahnya begini."

Kevin menyalakan mesin mobil dan menoleh pada Vero sekilas.

"Makasih udah mau repot-repot cari jawaban sama gue, Ver. Tapi kayaknya ... sekarang gue sadar. Sometimes, silence is also an answer. Dia hilang, itu juga jadi jawaban. Dan itu lebih dari cukup."

Vero tak sempat berkomentar apa-apa, juga tak sepenuhnya mengerti keputusan Kevin barusan. Yang dia tau, mobil mereka sudah melaju pergi, meninggalkan tempat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro