Bagan 21 · Selusin Purnama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DUA semester berlalu tanpa terasa. Satu tahun sejak kecelakaan Kevin, kini cowok itu sudah kembali aktif di kampus dengan kegiatan yang cukup padat. Mata kuliah dan tugas semakin menumpuk, membuat kegiatan perkuliahan menyita banyak waktu hidupnya.

Untungnya, Kevin tidak melewati itu sendiri. Hari-hari Kevin kini biasa ia jalani bersama Vero. Ajaibnya, sejak mengenal Vero lebih dekat, kehadiran cewek itu tak lagi menjadi magnet pengganggu. Kevin tidak terdorong untuk kabur dan pergi.

Sejak itu pula, gunung es yang membatasi Kevin dan Vero perlahan mencair. Mereka kerap bertegur sapa di kampus, di kantin, duduk bersisian, mengobrol, dan mengerjakan tugas. Dua semester belakangan, mereka bahkan sering pulang-pergi ke kampus bersama.

Seiring waktu Kevin mengenal Vero, semakin banyak perbedaan yang ia temukan dari sosok 'Vero' yang dulu. Terlebih lagi, saat dia menemukan satu persamaan antara dirinya dan cewek itu; mereka sama-sama anak dengan orang tua yang tak lagi bersama.

"Katanya sih, perceraian ortu sering bikin anak-anaknya jadi punya commitment issue dan enggan berhubungan romantis dengan orang lain. Tapi gue nggak setuju, ah. Nih lihat, lo, gue, kita tuh jatuhnya tetep baik-baik aja. Our kind of people have some kind of strength, ya nggak sih? Kita jadi kuat sendiri."

Kevin berceloteh sambil membolak-balikkan jurnal yang membahas psikologi anak broken home, sambil sesekali mengunyah nasi goreng kantin kampusnya itu. Vero yang duduk di depannya, menemaninya makan siang, seketika mengernyit heran.

"Our kind? Memangnya kita orang seperti apa?" tanya Vero penasaran.

"Anak yang nggak dianggap penting pendapatnya sama orang tua sendiri." Nada suara Kevin terdengar dingin, namun Vero malah terbahak.

"Pfffttth. Lebay! Hahaha."

Kevin tersenyum. Tak disangkanya berbagi celetukan sarkas yang selama ini menjadi beban hati ternyata bisa membuat dadanya selega ini. Tragedi memang patut diimbangi dengan komedi.

"Eh, iya, Kev. Mau buktiin kalau orang-orang salah, nggak?" ujar Vero tiba-tiba. Cewek itu mengaduk es campurnya dengan semangat yang meletup.

"Hah?" Kevin mengangkat wajah dari jurnal.

"Tentang itu tadi, yang katanya kita punya commitment issue, nggak mau berhubungan." Vero berkata santai sambil menyeruput esnya.

Kevin diam terbata, hanya untuk ditertawakan oleh si penanya.

"Hahaha, becanda, Kev!" gelak Vero. "Muka lu kayak mau ditembak mati aja. Tau kok gue, tau, kalo lu masih trauma gue PDKT-in."

Melihat tawa Vero pecah, Kevin tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa juga. Awalnya, rikuh menguasai dada. Tapi lama kelamaan cair juga.

"Tau aja gue masih belom siap pacaran, Ver," canda Kevin.

Vero terkikik. "Iya, iya, gue paham kok. Tenang, bakal gue tunggu sampe lu siap." Vero mengedipkan mata, dan kembali tertawa.

Kevin menangkap nada yang tidak benar-benar bercanda dari sana. Tapi tak urung, cowok itu tersenyum juga.

Sudahlah.

___

DUA tahun berlalu tanpa tergesa. Ratusan SKS, berkali-kali KRS, dan puluhan tugas lapangan hingga praktik pengumpulan data sudah Kevin jalani. Kini, si bungsu Tjahyadewa itu sedang bergumul dengan bos akhir yang wajib ditaklukkan oleh setiap mahasiswa: skripsi.

Siang itu, Kevin keluar dari ruang jurusan setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing skripsinya, Pak Bono. Lembaran kertas setebal ratusan halaman tercoret indah di sana-sini, penuh dengan catatan revisi.

"Lancar?" Suara Vero menyapa begitu cewek itu tiba di hadapan Kevin. Vero baru saja keluar dari ruang administrasi.

Jika Kevin sibuk dengan revisi skripsinya yang sudah tahap akhir, maka Vero lebih beruntung. Cewek itu sudah dalam tahap mengurus berkas-berkas kelulusan, termasuk mendaftar wisuda untuk periode depan.

"Lancar, dikebut. Biar bisa wisuda bareng kamu." Kevin menjawab dengan senyum.

"Harus, dong! Padahal kamu duluan yang mulai. Kenapa bisa aku yang kelar duluan, ya?" Vero bertanya-tanya. Kevin hanya bisa mengangkat bahu seraya membiarkan cewek di sampingnya itu menggandeng lengannya.

Banyak yang berubah sejak pertama kali Kevin mengenal Vero. Hubungan mereka yang tadinya bagai minyak dan air, kini berbalik 180 derajat. Kevin yang dulunya anti, kini sudah terbiasa ditemani Vero setiap hari.

Kedekatan yang terlihat janggal akan menjadi cair ketika dijalani terus menerus, selama berbulan-bulan tanpa terputus.

Apakah benar ini adalah praktik nyata dari istilah 'cinta tumbuh karena terbiasa'? Jujur, Kevin sendiri tidak tahu jawabannya.

Dia tidak merasa cinta dengan Vero. Dia hanya menoleransi kehadiran cewek itu yang mulai dirasa biasa. Tanpa terasa, begitu saja jarak terkikis seiring hari dan bulan berganti. Tau-tau saja, mereka saling kompak menuliskan nama satu sama lain pada lembar terima kasih dalam skripsi. Terima kasih atas dukungan dan support selama kita berjuang menyelesaikan ini bersama.

Selain itu, panggilan lo-gue telah berganti menjadi aku-kamu yang hangat. Sentuhan fisik, pegangan tangan, tepuk di bahu, atau rangkulan sekilas menjadi dapat diterima oleh Kevin yang tadinya sangat menjaga jarak.

Perubahan itu membawa senyum yang terlampau sering mampir di wajah manis Veronica Putri, yang kini, duduk berseberangan dengan Kevin, sedang memesan makan siang di sebuah kedai ramen Jepang setelah selesai urusan kampus mereka.

"Kev," panggil Cewek itu.

"Hm?" balas Kevin dari atas buku menu. Cowok itu sedang berusaha menuntaskan dilema antara tonkotsu atau miso ramen.

"Setelah lulus ... kamu gimana?"

Kevin mengangkat wajah dan menatap cewek yang mengajukan pertanyaan itu lurus-lurus.

"Kan kamu tau, aku langsung daftar internship di BNN*."

"Iya, maksudku ... em ... apa kamu bakal baik-baik aja?"

"Kenapa kamu mikir aku nggak bakalan baik-baik?"

Vero mengangkat bahu. "Yah, kamu kan paling males berurusan sama orang baru. Nggak suka remeh-temeh dan basa-basi-busuk. Aku khawatir aja nanti pas magang di BNN kamu kesulitan."

Kevin tersenyum tipis.

"Makasih udah khawatir, but I'll be fine. Kalau aku aja bisa tahan dikejar-kejar kamu pas semester satu, kenapa aku bisa nggak tahan sama small talks di kantor baru nanti? Beda level loh."

Vero tidak tahan untuk tidak terkikik. "Bener juga, ya!"

Senyum Kevin berubah menjadi tawa, lirih. "Yang jelas, sekarang kita fokus sama yang ada aja ...."

Nada bicara Kevin yang mendadak serius sukses membuat Vero juga menatap, tak kalah serius. "Maksudnya ... yang ada ...?"

"Yang ada di hadapan kita," jawab Kevin. Matanya tertuju lurus pada wajah polos Vero. Sedetik kemudian, senyum cowok itu kembali cair. "Revisi, sidang akhir, dan wisuda! Hahaha, kamu mikir apa, emangnya?"

Vero tergagap sedetik sebelum tersenyum hambar. "Oh, kirain lagi ngomongin kita."

"Kita?" ulang Kevin.

___

*Badan Narkotika Nasional (BNN), memiliki tugas dalam bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro