Bagan 22 · End

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AUDITORIUM Universitas Indomaya dipenuhi dengan mahasiswa berjubahkan toga dan topi bertali kuning. Di balik jubah satin yang seragam dikenakan itu, para pemuda penerus bangsa berdandan dengan jas dan pakaian adat berbagai warna.

Tak terkecuali Kevin Tjahyadewa. Dengan setelan jas dan songket yang terpasang rapi, toga yang membungkusnya jelas menandakan status si bungsu Tjahyadewa hari itu.

Perjuangan Kevin sebagai mahasiswa resmi berakhir hari ini. Well, sebenarnya Kevin sudah bernapas lega beberapa minggu lalu, saat dia dinyatakan lulus ujian skripsi oleh dewan penguji.

Yang jelas, momen wisuda merupakan satu milestone, batu pahatan yang sangat penting untuk dilewatkan bersama orang-orang terdekat.

Hari itu, semua agenda berjalan lancar. Sebelum bisa menemui keluarganya, Kevin harus menjalani prosesi formal di dalam ruang raksasa auditorium.

Oke, mungkin kata 'lancar' sepertinya terlalu berlebihan. Ada satu momen yang sempat membuat jantung Kevin melejit sedetik. Momen itu, tepat terjadi saat giliran jurusan mahasiswa (calon) alumni Teknik Informasi dipanggil bergiliran.

"Eliot Sanjaya, Teknik Informasi tahun 20XX, dengan indeks prestasi 3,08."

Nama yang dibacakan pengeras suara itu sukses mengganggu Kevin. Pemandangan selanjutnya juga tak kalah membuat hatinya mencelus. Eliot, yang kini sudah tidak gondrong lagi, berjalan menuju podium dan menerima perkamen dari Bapak Rektor.

"Hey." Panggilan itu diiringi rasa hangat tangan yang tergenggam. Kevin menoleh dan mendapati Vero memandangnya dengan tatapan menguatkan. "It's okay, Yang. Udah lewat," gumam cewek itu.

Veronica Putri tampak menawan dan meyakinkan, dengan riasan tipis berpadu sapuan eyeshadow cokelat dan lipstik coral, serta konde rendah yang tertutup topi dan kebaya merah jambu yang terbungkus toga.

Membalas pandangan cewek itu, Kevin mengangguk mengiyakan, seakan apa yang dikatakan Vero itu benar adanya. Semuanya akan baik-baik saja.

Dan begitulah, sisa acara formal dijalani Kevin dengan rapal mantra yang diulang-ulang dalam kepalanya: semuanya akan baik-baik saja. It's gonna be okay.

Hingga sampai gilirannya menghadap Bapak Rektor, dengan bacaan nama panjang dan indeks prestasi hampir menyentuh angka 4. Setelah turun dari podium, rasanya semua beban Kevin luruh seketika.

Ditambah lagi, sekeluarnya dari auditorium bersama Vero, ia sudah disambut dengan rombongan keluarga yang ikut merayakan. Semarak.

Ada mama dan papanya, Melvin, Jevin dan istrinya, Jess, berserta keponakannya, si J kecil yang masih balita—Joe.

Vero sendiri, disambut oleh mama dan sahabat karibnya, Anna.

Setelah melepas toga dan siap bercengkerama dengan pakaian adat berpadu formal, Kevin sempat mencuri pandang sekilas bahwa mamanya sendiri dan mama Vero—yang belakangan ini kerap ia panggil akrab Tante Ratu—sudah mulai akrab, terlihat dari obrolan mereka.

"Key-Key! Sini, Nak, foto dulu kita." Suara mama Kevin memanggil, membuat cowok itu mendengkus malas karena mamanya itu dengan enteng memanggilnya dengan nama kecilnya itu.

Vero yang paham ketidaksukaan Kevin dimanja di depan umum hanya tertawa tipis, sambil dengan pengertian menerima uluran ponsel Kevin yang sudah menampilkan layar kamera belakang.

"Aku hitung sampai tiga, ya! Siap-siap. Satu ... dua ... tiga!" Vero berkata lantang seiring seluruh personil keluarga Tjahyadewa berpose di depan gedung rektorat.

"Lagi, ya? Ganti gaya! Satu, dua ... ti—ga! HAHAHA, Kevin pas merem!" Vero melanjutkan kegiatannya sambil tertawa, menularkan gelak pada beberapa anggota keluarga Tjahyadewa.

"Veronica! Kamu ikut foto juga, dong." Kali ini suara Nyonya Tjahyadewa memanggil sang fotografer.

"Eh? Tapi kan ini foto keluarga, tante?" ujar Vero bingung.

"Alah, nanti juga kamu bakal jadi keluarga. Yuk, ikut! Jeng Ratu, ikut juga, yuk yuk!" Kali ini Nyonya Tjahyadewa melambai-lambaikan tangan ke arah mama Vero.

Sambil tersenyum maklum, Ratu menghampiri rombongan itu. Sementara itu, Vero menyerahkan ponsel Kevin pada Ann dengan sedikit tersipu.

"Udah, santai aja. Sekali-sekali bikin orang rumah seneng," bisik Kevin saat Vero berada dalam jarak rangkulannya. Cewek itu segera melelehkan senyum dan mengangguk tanda setuju.

Seiring Anna menghitung mundur, Kevin melebarkan senyuman, dan berpose dekat dengan Vero. Di sekeliling mereka, bercampur keluarga Kevin dan mama Vero. Rasanya aneh. Hangat, tapi asing. Kedekatan yang baru dimulai dengan melibatkan keluarga memang beda sensasinya.

"Sekali lagi, ya? Barusan blur." Anna berujar dari hadapan mereka, yang direspons dengan gerutu bercampur setuju.

Matahari mulai meninggi. Sinarnya siap membakar ubun-ubun kepala. Wajar saja jika mereka mulai lelah berswafoto dipanggang surya.

Kevin kembali menyuguhkan senyum yang camera ready, saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap pandang sosok nyata yang hari ini sempat membuatnya hampir jantungan.

Eliot. Lelaki yang sempat menjadi teman dekat Kevin itu tampak bercengkerama dan tertawa bersama beberapa teman-temannya. Di antara rombongan itu, Kevin familier dengan beberapa wajah anak TI.

Tapi satu sosok di antara mereka merenggut perhatiannya, membuat napasnya surut.

Gadis dengan rambut panjang yang dikuncir kuda, mengenakan terusan berwarna putih tulang yang kainnya jatuh anggun di bawah lutut. Gadis itu tersenyum. Senyum khas yang membuat Kevin lepas berpikir, manis.

Dialah Karamel Krisnanda.

"Kevin! Ngadep sini, dong. Siap, ya? Satu ... dua ... ti—"

Cekrek.

Satu detik kamera ponsel menjepret. Detik berikutnya, saat Kevin melayangkan pandang ke lokasi semua Karamel berada ... nihil. Gadis itu sudah tak ada.

"Yang! Kok bengong aja? Ayo, orang-orang udah pada mau jalan, nih. Kita jadi makan bareng, kan?" Suara Vero menarik Kevin kembali pada realita.

Cewek yang saat ini bebas menautkan jemari di tangannya itu menuntun Kevin untuk bergabung bersama keluarga Tjahyadewa—juga Tante ratu dan Anna.

Rencananya, dua keluarga itu akan merayakan kebebasan Kevin dan Vero dari beban akademis dengan santap siang bersama. Kevin tak kuasa mengelak, dan hanya bisa pasrah saat langkah kaki menuntunnya menjauhi halaman depan rektorat Universitas Indomaya.

Dalam satu sapuan pandang terakhir, Kevin masih berharap bisa melihat sosok Karamel lagi. Mungkin untuk yang terakhir kali.

Tapi tetap tak ada. Bersamaan dengan itu, pikirannya mulai berkelana ke mana-mana.

Seandainya bisa memilih, Kevin akan memilih untuk terus memperjuangkan Karamel. Jika saja ada jalan.

Seandainya dia punya pilihan, dan tidak didesak dengan tuntutan PDKT kilat ala Eliot, mungkin saja hasilnya akan berbeda.

Seandainya dia punya pilihan, tidak dipepet dengan cinta meluap dari Vero. Seandainya saja, Kevin diberi kesempatan ....

Kevin segera menggelengkan kepala. Mengisi kepala dengan pertanyaan what could've happen adalah racun pikiran yang paling efektif membuat siapapun overthinking.

Berat, Kevin melepas semua itu dengan satu helaan napas. Masih dalam genggaman tangan Vero, cowok itu mengubur satu curahan hati terakhir yang tak akan pernah berani ia ucapkan.

Karamel, aku menyesali apa yang nggak pernah jadi. 'Kita' yang harus pupus sebelum lulus. Semoga aja, Mel, di masa depan kita bisa ketemu lagi. Kita dengan kesempatan baru. Kita dengan keadaan yang nggak sebegini biru.


・゚⋆  𝔻𝕦𝕟𝕚𝕒 𝕂𝕖𝕧𝕚𝕟 — 𝕊𝕖𝕝𝕖𝕤𝕒𝕚  ⋆゚・

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro