Bagan 5 · Penyelamat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__________

GEMINTANG samar menaungi gedung-gedung tinggi pencakar langit. Di lantai dasar satu gedung empat tingkat yang berfungsi sebagai Bioskop XXI, terdapat coffee shop dengan logo bundar hijau benderang.

Tiga orang muda-mudi duduk mengerumuni meja. Satu di antara mereka sedang membaca pesan di layar ponsel dengan wajah tertekuk.

"Gue ciao duluan yak! Emak dah ngerap di WA, nih." Eliot mengemas ponselnya ke dalam tas, lantas menyeruput razzle dazzle frappuccino yang tinggal sedikit—ludes dalam satu tegukan. "Yok, Mel?" ajaknya.

Karamel yang masih khidmat menyesap butterbeer frappuccino menggeleng dengan tegas.

"Nggak mau ah, lo duluan aja."

"Lah? Kan minumannya bisa lo bawa. Yok ah, lemot! Gue tinggal loh!" Eliot mengancam sambil bangkit dari kursinya.

"Udah nggak papa, El, biar gue aja yang nganter Karamel balik," tawar Kevin ringan sambil menyeruput macchiato-nya.

Eliot memandang kedua temannya sekilas sebelum akhirnya menyerah. "Oke deh kalo gitu. Mpe ketemu di kampus yaw."

Kevin dan Karamel kompak melambaikan tangan mengiringi kepergian Eliot. Mereka masih terlalu pewe di tempat ini, nyaman menyeruput kopi diiringi musik instrumental dan cahaya kuning serta tata ruang yang aesthetic. 

Kevin menyapukan pandang sekeliling. Lantai kayu dan kursi-meja cokelat sewarna membuat matanya adem. Terlebih lagi, tidak banyak orang lain yang duduk memenuhi coffee shop ini. Mungkin karena harganya yang terlampau mahal, atau karena pengunjung gedung bioskop ini sedang tergiring di lantai atas, menonton film. 

Apapun itu, Kevin bersyukur karena tempat ini menjadi semi-privat bagi dirinya dan Karamel.

"Masih betah banget, ya?" Karamel membuka bicara setelah meletakkan gelas kopinya.

"Hm?" Kevin sadar dari lamunan singkat.

"Udah tiga jam kita di sini, lo masih kelihatan betah aja."

"Masa?" Kevin lupa waktu.

"Yap." Karamel mengangguk.

Kebin sendiri hanya terkekeh pelan. Diperhatikannya gadis yang sedang duduk bersebarangan di mejanya itu. Karamel malam ini terlihat ... manis. 

"Udah tiga jam tapi minuman lo masih setengah gitu, nggak haus apa nggak doyan?" selidik Kevin sambil menunjuk gelas kopi Karamel.

"Nggak terlalu doyan kopi sih, hehe. Gue cuma penasaran aja, kenapa minuman begini harganya bisa sampe 55 ribu." Karamel memperhatikan kembali gelas plastik tinggi itu, berisi cairan kecoklatan dengan whipped cream bertabur sirup caramel.

"Lo pesen yang ukuran venti sih, jadi supergede gitu. Lagian santai aja, duit bisa dicari, temen enggak," jelas Kevin. Karamel mendengarkan sambil mengangguk-angguk.

"Jadi, kenapa lo nggak ikut pulang bareng Eliot, barusan?" Cowok itu melanjutkan.

Mata gadis itu kini meneliti sosok Kevin, yang otomatis mulai gelagapan seketika.

"Lo keliatan banget kalo masih belom mau pulang. Gue nggak tega ninggalin lo sendirian, entar digodain cewek random ...." Nada bicara Karamel yang ringan dan tanpa beban, membuat Kevin terkesiap akibat kalimat pertamanya yang terlampau peka akan keadaan cowok itu.

"Dan juga, ada yang mau gue omongin sama lo." Suara Karamel kembali terdengar, kali ini bernada serius. Kevin menegakkan posisi duduknya.

"Mau ngomong apa?" Nada Kevin datar, sengaja meredam gemuruh dadanya. 

Manusia mana yang tidak deg-degan jika ditembak dengan kalimat 'ada yang perlu kita bicarakan' dengan berbagai versinya? 

"Lo ... nggak main-main, kan?" Karamel bertanya dengan nada serius.

"Hah??" Jantung Kevin mencelos seketika.

"Eliot. Emmm ... maksudnya, emang sih ini aneh. Awalnya gue cuma bercanda, dan ini semua awalnya juga cuma gosip kosong doang. Gue yakin sobat gue itu normal. Tapi makin ke sini, kayaknya dia makin nyaman sama lo. Lo juga, dari kemarin selalu curi-curi waktu biar bisa ketemu dia terus ...."

Kevin mengerutkan dahi, mencoba menebak ke mana arah kalimat Karamel. Dia sedang membahas Eliot, kan? Sobat gemulainya itu?

"... dia itu walopun kelihatan kocak dan happy dari luar, tapi hatinya lembut banget. Gue nggak masalah kalau ternyata dia beneran kayak ... yang digosipin anak-anak kampus. Gue cuman mau mastiin kalau sahabat gue itu nggak dijadiin mainan sama—"

"KEVIN?!" Jeritan itu menyerobot kalimat Karamel. Kevin yang belum tuntas mencerna perkataan Karamel barusan, harus kejut listrik saat melihat siapa yang menyuarakan namanya itu.

Veronica Putri, sedang melenggang ke arah meja mereka dari konter kasir. Tanktop hitam ketat dengan strap segaris berpadu dengan celana jeans biru membalut pinggulnya. Busana minimalis yang dikenakan Vero membuat tubuhnya terpampang molek, menggoda. Tapi entah Kevin yang tidak normal atau apa, yang jelas dia tidak berminat memandang Vero lama-lama.

"Lo kok di sini?? Wahh kebetulan banget!" Nada melunjak Vero mulai terdengar. Gadis itu tak segan menarik lengan Kevin dan memainkan lengan jaket hoodie yang sedang dikenakan cowok itu. 

Kevin mengelak, jelas tidak nyaman.

"Gue ... habis nonton." Tadi, di kampus, pake laptop.

"Nonton apaan? Kok kita nggak ketemu di atas? Gue baru aja kelar nonton juga kok, lo emang nonton di studio berap ...." Kalimat Vero tak tuntas saat matanya berhenti pada sosok Karamel.

Kevin mengikuti pandangan mata Vero ke arah Amel yang menyesap kopinya dengan polos, mendadak sebuah ide muncul. Mungkin dengan begini gue bisa lepas dari nenek lampir.

"Oh iya, Vero, kenalin ... ini pacar gue," ucap Kevin sambil merangkulkan lengannya di pundak Karamel. Gadis itu hampir tersedak kopi saat mendengar kata-kata Kevin. Pacar?

Vero mendelik melihat lengan Kevin yang parkir di bahu cewek asing yang baru saja diaku sebagai 'pacar' olehnya. Alis yang tergambar rapih di kening Vero melejit setengah senti.

"Becanda lo nggak lucu, Kevin!" seloroh Vero sambil mencoba menepis lengan cowok itu dari bahu Karamel.

"Eh-eh, mau ngapain? Yang, ini siapa sih, temen kampus kamu ya?" Karamel dengan santai menghalang tangan Vero, dan menarik lengan Kevin lebih rapat merangkul pundaknya. 

Gadis itu dengan pede menyandarkan kepalanya di bahu Kevin, menempelkan pelipis di ceruk leher cowok itu. Karamel bisa mencium aroma tubuh seorang Kevin Tjahyadewa—cinnamon dan kopi segar. Ah, kopinya mungkin dari tempat ini.

"E-errm, iya, bener. Ini Vero, temen sejurusan aku." Terbata Kevin mencoba bangun dari kejut listriknya yang kedua. Agak kaku juga ia memulutkan kata 'aku' pada Karamel, yang tak ia sangka-sangka sebegitu tanggap bersandiwara tanpa diminta.

"Oh, Vero. Hai, kenalin. Gue Amel, pacarnya Kevin." Karamel menyodorkan telapak tangannya ke depan wajah Vero yang tertekuk kaku. Tanpa menggubris kalimat Karamel, Vero membalikkan badan dan hengkang keluar ruangan dengan langkah terhentak.

Detik-detik berlalu dengan hening sebelum kemudian dua muda-mudi itu tertawa terbahak bersama-sama, saling berangkulan. Butuh beberapa saat sampai Kevin sadar bahwa lengannya masih terpaut di bahu Karamel, yang kemudian ia tarik melepas bersisa sedikit senyum di ujung bibir—disertai bumbu debaran jantung yang abnormal, tentu saja.

"Baru juga gue bilangin, udah kejadian aja. Sakti bener mulut gue." Karamel berbicara setelah menyelesai tawanya.

"Hng? Apanya?" Kevin tak mengerti.

"Lo kalo ditinggal sendiri pasti digodain cewek random," tutur Karamel.

Kevin mendengkuskan tawa sambil mengangguk setuju. "Lo harusnya tau udah berapa semester gue dipepetin terus sama tuh cewek."

Karamel memiringkan kepala sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Kalo dia segitu naksirnya ama lo, kenapa nggak lo terima aja?"

Kevin mengangkat bahu sejenak sebelum menjawab,"Gue nggak suka."

"Terus, kenapa nggak lo tolak aja?" Karamel membuntuti.

"Udah. Sampe berbusa mulut gue, tapi mental terus. Emang harus gini kali ya, caranya?" Kevin berpikir sejenak sambil memandang langit-langit. "Dia harus liat sendiri kalo gue punya pacar," gumam Kevin.

"Kalo gitu, pacaran beneran aja." Suara renyah Karamel membuat Kevin terbelalak seketika.

"Apa??"

"Pacaran sama Eliot. Pasti si Vero-Vero itu bakal kabur jauh-jauh. 'Tul kan?"

Kevin tak bisa menahan tawanya. Ide Karamel benar-benar gila. Kocak. Gadis ini begitu lucu.

"HAHAHAHA, gokil sih!" Kevin hampir tersedak tawanya sendiri.

"Hehehe, masuk akal kan, ide gue?" Karamel mengerling ke arah Kevin yang masih tertawa.

Sampai detik itu, Kevin masih menganggap gurauan Karamel teramat sangat lucu.

__________


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro