Bagan 6 · Konsekuensi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

https://youtu.be/-1JbefiywEE

It could be weird, but I think I'm into it
You know I'm one for the overly passionate
I like you, and I loved him
We could all be the best kind of friends

__________

KELAS Pengantar Dasar-dasar Pancasila menjadi waktu yang paling ditunggu oleh Kevin sepanjang minggu.

Cowok itu memainkan kunci mobil, memutarnya di jari telunjuk sambil berjalan ringan menyebrangi lapangan parkir Perpus Pusat UI, tak sadar akan gerak-geriknya yang sedari tadi diperhatikan dari belakang. Punggung Kevin berkelok di lorong, siap menaiki tangga.

"Dorr!!"

"...." Kevin memperhatikan tersangka yang baru saja mengejutkannya. Jatung lelaki itu berhenti berdetak sedetik.

"Kok ngga kaget sih, Kev?" Karamel protes melihat respon Kevin yang tak berubah sama sekali. Cowok itu berkedip-kedip sesaat.

"Eh iya, wah ... aku kaget." Kevin tersenyum manis. Entah sejak kapan dia lemas ber-aku-ria dengan pacar palsu semalamnya itu. Karamel.

"Lau mah ngegaring aja tetep cakep ye, Kepin. Lu makan ape sih di rumah?" Eliot menyeletuk sambil merangkul bahu Kevin, diikuti Karamel yang mengintil di belakang mereka, tersenyum lebar melihat keakraban Kevin dan Eliot.

"Makan nasi," jawab Kevin polos.

"Pake lauk apa?" Eliot kembali bertanya, jayus.

"Tadi sih makan nasi goreng sama telor." Kevin menjawab dengan tabah.

"Kalian nih uwu banget sih obrolannya, nanya-nanyain makan apa." Karamel berkata gemas sambil terus memperhatikan Kevin dan Eliot. "Jadi ngapal," lanjut Karamel.

"Ngapal? Maksud lau nge-ship, Mel?" Eliot menimpali sambil melirik kearah Karamel sesekali.

"Ho-oh," jawab Karamel.

"Nge-ship artinya apaan?" Kevin bertanya dengan polos.

"Jadi, gue itu ngedukung elu sama Eliot, Kev," jelas Karamel.

"Ngedukung? Emangnya kita lagi nyaleg?" Kevin bertanya, lagi, dengan polosnya.

"BAHAHAHAHA!" Eliot tak tahan menggelegarkan tawanya.

"Heh mulut TOA! Budeg gue lama-lama dengerin volume lu yang ngalahin gledek!" Karamel protes sambil menggosok telinganya. Gadis itu yakin kalau ia mendengar suara dengingan fatal.

"Bodo amet, mulut-mulut gue!" Eliot menjawab acuh.

"Wah bener-bener minta di ...." Karamel menjambak rambut gondrong Eliot dengan gemas, membuat lelaki tambun itu mengaduh seketika.

Setelah melepaskan rambut Eliot dari cengkeraman jemari, Karamel melesat sekencang-kencangnya ke arah kelas tujuan.

"Eh! Heh!! Balik sini lo!!! Temen durhaka!!" Gelegar suara Eliot kembali terdengar, kali ini diikuti tubuh gempalnya yang berlari dengan tergopoh. Kevin hanya bisa melepas tawa melihat kelakuan aneh dua sahabat barunya itu.

Dan suasana pun pecah, Karamel dan Eliot yang beradu mulut karena permasalahan tak jelas itu pun sudah mulai menjadi pemandangan yang familiar di muka Kevin. Cowok itu tersenyum memperhatikan. Saat ini, Karamel dan Eliot mulai saling menjambak rambut satu sama lain.

RUANG 8 Perpus Pusat sudah mulai terisi, sebagian mahasiswa duduk menggerombol dengan kelompoknya masing-masing. Pak Albert tiba dua menit setelah bel berbunyi, menandakan perkuliahan kelas itu akan segera dimulai.

Karamel dan Eliot telah berdamai dalam keadaan seimbang—tepat setelah Eliot menjambak poni depan Karamel, membuat rambut cewek itu berantakan seketika.

"Masih acak-acakan tuh ...." Kevin menjamah pucuk kepala Karamel dengan lembut, merapikan rambut yang kusut. Gadis itu tampak membeku sedetik sebelum tergagap mengucapkan terima kasih. Hati Kevin mencelos ragu, apa barusan itu terlalu berlebihan?

Interaksi dengan Karamel sukses membuat Kevin melupakan sesuatu yang penting. Sesuatu yang fatal ... apa ya? Nggak. Nggak mungkin dia suka sama cewek ini.

"Eh iya, Kar! Kamu ngapain masih disini??" Kevin mendesis lirih seraya Pak Albert di depan kelas mulai membuka salam. Dia baru sadar sesuatu; Karamel bukan mahasiswa legal di kelas ini!

Karamel terperanjat dari kursinya, mengelus dada secara refleks.

"Hah? Ya mau kuliah lah!" Gadis itu balas mendesis. Kevin terdiam sesaat, mencerna keadaan.

"Tapi kan ... apa nggak bahaya? Aku kira kamu bakalan nganter doang, nggak ikut masuk kelas segala."

"Tenang aja, gue sama Eliot udah ngerancang escape plan kalau misalnya si anak yang namanya kita curi kemarin tuh tiba-tiba hari ini masuk kuliah."

"Tapi ...."

"Sssttt! Percaya aja ama kita deh, Kev. Lagian gue juga pengen nuntasin tugas yang udah kita kerjain sama-sama. Gue kemarin juga ikut nyumbang bagian latar belakang loh, inget?" Karamel memotong keraguan Kevin.

Kevin terdiam mendengar pembelaan Karamel. Minggu lalu, Kevin meminta Karamel dan Eliot untuk percaya dengan inisiatif dadakannya. Sekarang, Kevin disuguhi skenario yang sama. Cowok itu tak punya pilihan lain selain mengangguk pasrah.

Dua puluh menit berlalu, Kevin serasa duduk di kursi panas. Pak Albert dengan kurang-ajarnya meminta masing-masing kelompok untuk maju mempresentasikan paper mereka. Sungguh sebuah kejutan yang sangat menyenangkan.

"Yak, selanjutnya ... kelompok Kevin, Eliot, dan Eka. Silahkan." Pak Albert membolak-balikkan print-out berisi paper yang dikerjakan oleh ketiga pesakitan tadi, membacakan nama mereka, sekaligus memberi mereka ruang untuk berdiri di depan kelas.

Kevin menahan napas saat bangkit dari kursinya. Pandangannya menyapu seisi kelas, aman. Tak didapati adanya mahasiswa asing yang ikut berdiri akan panggilan nama 'Eka' yang mereka curi kemarin.

"Makasih, Pak. Perkenalkan, saya Eliot, dan di sebelah kiri saya ini Kevin, di kanan saya ini Kar—E ... Eka, iya, Eka. Nah, kita akan menjelaskan tentang pengertian Pancasila sesuai tugas yang diberikan sama Pak Albert kemarin." Eliot membuka sesi presentasi dengan percaya diri. Kevin mengatur napas, Karamel menebar senyum.

"Untuk saya, bertugas sebagai moderator, dan Kevin sebagai pemateri satu, sama Amel sebagai pemateri dua ...."

"Amel siapa?" Pak Albert memotong kalimat Eliot.

"Eh ... Eka Pak, maksudnya Eka. Eka Rizky Amelia, namanya. Maap, kebiasaan di rumah manggil Amel." Eliot tergagap memulutkan penjelasan. Untungnya Pak Albert mengangguk mengerti, memberikan kembali ruang untuk Eliot melanjutkan.

"Nah, jadi langsung saja, masuk ke materi yang akan dibawakan oleh sodara Kevin." Eliot berujar sambil menoleh kearah kiri. Kevin berdiri, setengah mati menahan tangannya sendiri untuk tidak menepuk dahi akibat keteledoran Eliot barusan.

"Oke, terima kasih saudara Eliot. Jadi, Pancasila adalah dasar dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yang tercantum pada alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Selain itu, Pancasila juga berkedudukan sebagai sumber hukum negara. Karena letaknya Pancasila ini ada pada UUD 1945, jadi dalam hierarki hukum kedudukan Pancasila ini yang paling tinggi, diatas Ketetapan MPR, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah-Provinsi sampai Kabupaten-Kota ..." Kevin menjelaskan dengan runtut dan rinci. Seisi kelas dibuat bungkam oleh suaranya yang utuh melambung.

"Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki sembilan fungsi utama, yaitu Sumber dari segala Sumber Hukum, Perjanjian Luhur bangsa—aawh!" kalimat Kevin terpotong saat ia merasakan jempol kakinya terinjak. Eliot mendelik sambil mendesiskan kode, menandakan Kevin sudah terlampau rinci menjelaskan materi kelompok mereka.

Fungsi Pancasila seharusnya dijelaskan oleh Karamel.

Kevin tersenyum dipenuhi rasa bersalah, lalu berdeham sedetik sebelum akhirnya berkata.

"Ehm ... untuk fungsi Pancasila yang lain akan dijelaskan oleh rekan saya ...." Kevin menghadap kearah Amel yang menggigit bibir, setengah kesal karena bagiannya diserobot. "Eka," tutup Kevin.

"Ya, makasih." Amel bergumam sebelum melantangkan suaranya, memulai penjelasan.

"Jadi, sembilan fungsi utama pancasila adalah ...." Dan kalimat itu mengalir sudah. Materi berjalan lancar digado mulut lincah Karamel. Gadis itu menjelaskan secara runtut beserta contoh riil, dengan mudah menutup porsi presentasinya setelah beberapa menit berorasi.

"... maka bisa kita simpulkan, selain dari fungsi formal sebagai dasar ideologi hukum dan negara, Pancasila juga punya fungsi informal yang berwujud nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Bisa dibilang, Pancasila adalah lem perekat yang mempersatukan keberagaman dan perbedaan kita sebagai bangsa. Sekian, penjelasan dari kelompok kami. Saya Ame—eeh, Eka, menutup sesi materi kedua ini. Saya kembalikan lagi kepada moderator kami, saudara Eliot." Amel melirik kearah sobatnya yang sudah siap mengambil alih. Eliot mengangguk sejenak.

"Yak, itu dia presentasi materi dari kelompok kami. Terima kasih atas perhatiannya."

"Tunggu." Pak Albert membuka kata, membuat tiga mahasiswa itu membeku seketika—terutama Karamel.

"Kita masih punya 20 menit sebelum kelas ini selesai, dan saya rasa, paper dari kelompok kalian ini yang paling lengkap diantara semuanya. Ada Latar belakang, rumusan masalah, sama kesimpulan juga. Dari segi materi juga kalian lumayan padat, aplikasi dalam penyebutan contoh fungsi juga rasional, masuk akal. Sudah saya jamin nilai kalian diatas AB. Tapi itu nggak akan adil untuk kelompok lain kan? Nah, bagaimana kalau kita buka sesi tanya-jawab saja? Supaya ada kesempatan untuk mahasiswa lain mendapat nilai tambahan. Oke? Kelompok duabelas, apa kalian bersedia?"

Kevin mencelos dalam hati, Pak Albert ini terlalu rajin apa gimana? Mana bisa di pertemuan kedua udah membicarakan nilai?

"Iya, Pak." Suara Eliot membuat fokus Kevin terpecah. Apa? Iya apa?

"Kami bersedia," susul Karamel. Kevin melayangkan pandang, melihat dua rekan kelompoknya tersenyum dan mengangguk dengan yakin. Cowok itu mengutuk dalam hati. Kalian ini ceroboh banget sih, nggak mikirin konsekuensi.

"Oke, baik. Silahkan yang mau mengajukan pertanyaan, sebutkan nama dan NIM. Kamu, moderator, dicatat ya."

"Siap Pak!" sahut Eliot bersemangat.

Dan 20 menit itu pun diisi dengan delapan pertanyaan yang terjawab tuntas—terima kasih kepada otak cerdas Kevin yang menangkis dengan teori, mulut pintar Karamel yang runtut menjelaskan, dan kepercayaan diri Eliot yang berhasil mengatur sesi tanya-jawab ini menjadi kondusif. Pak Albert menerima lembaran hasil catatan di akhir kelas, memulutkan terima kasih kepada Eliot yang patuh mencatat nama-nama penanya.

"Bagus sekali, saya optimis kalian bisa pass di kelas ini tanpa beban. Nggak kaget kalau soal kamu, Kevin. Tapi teman-temanmu ini boleh juga. Selamat ya, Eliot, Eka." Pak Albert menatap ketiga remaja itu bergantian. Mereka melontarkan senyum gugup, mengangguk.

"Makasih Pak. Emm ... kalo gitu kami undur diri dulu, Pak," pamit Eliot setelah sebagian besar mahasiswa meninggalkan kelas. Pak Albert melepaskan kepergian mereka dengan satu kata 'iya'.

Selepas langkah kaki Kevin, Karamel dan Eliot memijak di lantai dasar, lepaslah hembusan napas lega yang sedari tadi tertahan di paru-paru mereka.

"Sumpah." Eliot memulai. "Sensasinya deg-deg serr amat. Elu sih, Mel."

"Lah, kok gue? Harusnya kan lumayan, kalian pada dapet nilai bagus."

"Udah-udah, yang penting kan sekarang udah kelar. Next-nya gue rasa bukan ide bagus kalo Karamel tetep masuk di kelas ini. Tadi Pak Albert udah mulai hafal sama wajah dan nama kita 'kan?" Kevin menengahi, membuat dua sobatnya mengangguk bersamaan.

"Gue juga ngerasa gitu, Kev. Mulai minggu depan, Amel gak akan lagi gue ijinin ngikut kelas ini lagi," vonis Eliot dengan nada mantap.

"Iyee bawel, gue juga ngerasa kok. Terlalu bahaya, tobat dah gue ...." Karamel menghembuskan napas, lagi.

Kesepakatan bundar itu memang merupakan keputusan yang tepat menurut Kevin. Namun entah kenapa fakta bahwa Karamel tak akan lagi hadir di kelas-kelas berikutnya membuat langkah kaki cowok itu terhenti.

"Yah ..." Kevin menghela napas.

"Kenapose Kev?" Eliot menoleh ke belakang, diikuti Karamel.

"... jadi nggak bisa ketemu Karamel lagi dong?" Nada itu lemah dan sedih, terpampang jelas dari kalimat yang diucapkan Kevin. Duo Eliot-Karamel sontak berjalan beberapa langkah kembali ke tempat Kevin berdiri, dan kompak menelan cowok itu dalam satu rangkulan group hug hangat.

"Bisa dong, kan masih ada gue. Dimana ada gue, disitu Amel ngikut." Eliot berkata sambil melirik kearah sobatnya.

"Bener banget. Kita nggak harus ketemu di kelas ini aja kok, bisa jalan bareng, nonton bareng lagi, belajar bareng." Karamel menyahut.

"Beneran?" Nada Kevin terdengar lega.

"Bener." Karamel menjawab dengan pasti, membuat cowok itu tersenyum juga, akhirnya.

"Yeuuuh si ganteng takut amat kehilangan kita-kita. Yuk ahh, cari makan. Laper nih!" Eliot mengakhiri pelukan itu dengan rangkulan (sekaligus seretan) kearah lapangan parkir. Kevin dan Karamel pasrah digiring sambil tertawa lepas, merayakan perpisahan mereka yang tak jadi terkabul.

Sementara itu, dari sudut lain lapangan parkir, sepasang mata dengan eyeliner runcing tak putus menatap ketiga remaja yang telah beranjak menyisakan jarak. Helaan napas tak rela mengiringi gerak-geriknya yang berjalan gelisah, meninggalkan gedung Perpus Pusat.

__________

You said you're into closure
Shake hands like you're supposed to
I'll be in the middle
While you two get along

𝅘𝅥𝅯

In The Middle — Dodie Clark

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro