Bagan 7 · Berdistraksi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

https://youtu.be/rZ5ziZElHdw

'Ku melangkah terseok 'tuk dibunuh waktu
Seingatku waktu itu kau bersamanya
Menjadi bulan-bulanan oleh perasaan
'Ku diabaikan dalam sendu

Hatiku membiru
Terperangkap, menggerutu

__________

VERONICA Putri membanting pintu mobilnya dengan keras—melampiaskan sisa emosi pada benda mati tersebut. 

Rambut panjangnya yang lurus sepinggang berayun saat wajah berpulas make-up itu ditelungkupkan di atas roda setir. Napasnya memburu, dadanya ngilu. 

Baru saja ia melihat lelaki pusat orbit hidup dan hatinya berpeluk akrab, beranjak lalu seraya tertawa lebar dengan gadis itu. Gadis yang dilihatnya di cafe dasar gedung XXI tempo hari. Ternyata gadis sialan itu juga kuliah disini.

Tak pernah, sekalipun, Vero melihat Kevin tersenyum seperti itu. Pada siapapun.
Vero mengatur napas. Tarik ... tahan ... keluarkan. Tarik ... tahan ... dan—aarrgh! Sialan!

Jduk—TIIINNNNN!!!!

Dahi Vero menekan keras tombol klakson tanpa ampun. Dia tak peduli saat satpam Perpus Pusat terlihat berlari kecil kearah mobil merahnya. 

Vero memutar kunci, menyalakan mesin. Tangannya yang bermanikur indah dengan gesit mengatur perseneling, membawa mobil tersebut mundur, membuat satpam yang hampir terserempet tadi hanya bisa memandang pasrah ke arah mobil yang melaju meninggalkan lapangan parkir.

___

Mengalihkan peristiwa
Menampikkan kenyataan,
yang tak kunjung usai sampai
Ujung waktu tiba hingga
'Ku jatuh tenggelam dalam
Keresahan

___

PRINCESS Lounge and Bar, 21:52 WIB.

"Vero? Tumben banget kesini pas masih sore, gabut lu ye? Sok, mo mimik apa, la serena?" Suara renyah gadis dengan rambut ombre pink dan garis mata oriental menyapa dari balik bar.  Garis wajah polos gadis itu tampak terlalu muda untuk bekerja sebagai bartender.

Vero mendengkus. Saat ini bukan lagi sore—jam sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam. Dan tidak, Vero tidak ingin minum la serena. Dia butuh sesuatu yang lebih kuat dari sekedar menu cocktail racikan tersebut.

"Kasi gue absolut." Vero memposisikan bokongnya diatas bar stool, kursi tinggi dengan kaki ramping.

"He?? Absolut? Vodka?" Si rambut pink mengernyitkan dahi.

"Iya ih, bawel deh Ann. Kasi es ya, yang banyak." Vero mendelik gemas kearah gadis yang baru saja ia panggil namanya. Ann, kependekan dari Annastasia.

"Kenapa lagi sih lu?" Anna menyodorkan gelas kaca berisi es batu bermandikan cairan bening. Beberapa potong irisan lime turut berenang disana.

"Ini apa nih? Vodka tonic? Kenapa ada jeruk-jerukan nih?? Kan gue minta absolut." Vero memandangi gelas pemberian Anna dengan skeptis.

"Gue nggak mau liat lu mokad. Gabisa minum aja sok-sokan minta absolut. Yodah balikin sini kalo nggak mau." Anna mengukurkan tangan untuk mengambil kembali gelas tersebut, namun Vero menepis dengan gesit.

"Eh-eh, yaudah iya!" Jemari lentik Vero menggenggam gelas itu, posesif. 

Walaupun tidak mendapatkan absolut vodka dengan kadar alkohol keras, campuran vodka pada cocktail tonic di hadapannya itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Vero memperhatikan minuman itu. Dingin. Bibir ranumnya yang berpoles gincu menyentuh sisi gelas, meneguk cairan secara perlahan. Rasa segar jeruk sitrus berpadu dengan sensasi terbakar di tenggorokannya. Vero terbatuk pendek.

"Kan ...." Anna bergumam sambil menggelengkan kepala.

"Berapa?" Vero membuka kata setelah menelan sepertiga isi gelas.

"Hm?" Anna menyahut tak mengerti.

"Ini, berapa harganya? Gue harus bayar berapa?" Vero mengacungkan gelas dalam genggamannya, gemas.

"Bacot aja lu. Udah minum aja. Padahal ortu lu yang punya tempat ini, masih aje mau bayar. Sinting." Anna menggeleng sambil berjalan ke sisi lain bar, tempat seorang lelaki melambaikan tangan—hendak memesan.

"Gue gak milih untuk jadi anak mereka," gumam Vero lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Kalimat itu ia telan bersamaan dengan tegukan vodka tonic yang mulai encer—es batu dalam gelas itu telah mencair dengan cepat.

Tanpa Vero sadari, lelaki yang memesan minuman pada Anna di sisi lain bar sedang mengamati dirinya. Setelah selesai menjawab dengan pilihan menu gin and tonic, lelaki itu lanjut mematai tubuh Vero yang berbalut tanktop ketat.

"Hey," panggilnya dari sudut meja.

Vero acuh, setengah tak mendengar. Lelaki itu memiringkan kepala. Ia memutuskan untuk menggeser duduknya, tepat di sebelah Vero. Kali ini ia berhasil menarik perhatian cewek itu.

Vero melirik sekilas kearah lelaki yang baru saja duduk di stool sebelahnya. Kemeja berkerah yang kancingnya lepas dua diatas, jas tanpa dasi, serta celana kain dan sabuk yang melengkapi penampilan cowok ini membeberkan kesimpulan bahwa dia adalah pekerja kantoran. Cewek itu kembali acuh, fokus pada minumannya.

"Silahkan Kak Melv, gin and tonic." Anna menyuguhkan gelas berisi liquor dan irisan jeruk nipis. Lelaki tadi mengucapkan terima kasih sebelum meneguk minuman itu, matanya masih menelusuri sosok Vero yang telah kembali tenggelam dalam lamunan.

Ia menimbang-nimbang untuk menyapa cewek itu sekali lagi. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia membulatkan keputusan.

"Lo sering kesini?" Kalimat itu sampai pada telinga Vero, membuat cewek itu memalingkan pandangan ke arah sumber suara.

"Ha?" Hanya itu respon yang keluar dari bibir bergincu Vero.

"Gue jarang liat lo, nggak pernah malah ...." Lelaki itu kembali berkata. "Padahal gue reguler di sini," lanjutnya.

Vero memutar bola matanya, tak menutupi gestur ketidak-tertarikan atas percakapan ini. Lelaki tadi terkekeh melihat usahanya tertampik seketika.

"Jangan diganggu, Kak Melv. Ini anaknya owner, nggak bisa di-booking." Anna mencondongkan tubuh kearah lelaki tadi, memberikan ultimatum. 

Sang lelaki menaikkan alis, lalu mengangguk paham.

"Ohh, gitu," ucapnya.

Tanpa beban, lelaki tadi kembali menghirup gin tonic-nya. Setelah menyisakan seperempat isi gelas, lelaki itu bangkit bersiap meninggalkan meja bar, meletakkan dua lembar merah seratus-ribuan dekat gelasnya.

"Thanks ya Ann," ucapnya sambil lalu. Sekilas ia lirik terakhir sosok Vero sebelum benar-benar beranjak. 

Lelaki itu bersumpah ia tak salah lihat—otaknya ingat betul bagaimana tubuh di hadapannya berpose dengan belahan dada terbuka, berbalut bralette merah berenda, terpampang menantang di layar ponsel milik adik bungsunya. Ia menggeleng dan tersenyum. Dunia begitu sempit.

Lelaki itu pun melangkah pergi.

"Siapa sih, Ann?" celetuk Vero saat Anna membereskan gelas si lelaki.

"Cowok barusan? Kak Melvin. Langganan tuh, sering kesini tiap weekend," jelas Anna sambil meraih lembar rupiah, senyum merekah.

"Orang penting?" tanya Vero, skeptis.

"Iya kali? Setau gue dia orang hukum, kerja di law firm yang terkenal itu. Apadah namanya, dewa-dewa gitu. Yah itulah pokoknya. Kenapa? Lu tertarik?"

Vero bergidik mendengar pertanyaan Anna.

"Boro-boro. Tampang-tampang fakboy gitu," jawabnya.

"Tapi cakep kan?" bisik Anna dengan mata berkilat.

"Masih cakepan Kevin," celetuk Vero tanpa sadar. Cewek itu termenung sesaat atas kalimatnya sendiri.

"Kevan Kevin Kevan Kevin terus. Budeg kuping gue dengerin nama dia lama-lama," cerocos Anna. Butuh beberapa detik sebelum ia sadar bahwa lawan bicaranya telah disconnect kedalam lamunan. Lagi.

"Ver? Lu gapapa? Ini ... pasti ada sesuatu sama Kevin 'kan?" tebak Anna saat ia melihat Vero kembali meneguk isi gelas

"Malem ini gue nginep kosan lu ya," pinta Vero tanpa menjawab pertanyaa Anna.

Sang bartender berambut pink itu pun menganggukkan kepala, mengerti. 

___

KOS Eksekutif 3 lantai itu menampung sepasang gadis di salah satu kamarnya, seorang gadis berambut panjang sedang berbaring di atas sebuah ranjang queen size , sementara gadis satunya berjalan mendekat dengan membawa pitcher kaca. 

Vero terlentang di atas kasur sementara Anna menuang air putih ke dalam gelas, meletakkannya di atas nakas.

"Kurang apa sih gue, Ann?" ucap Vero dengan pandangan lurus ke atas, memandang tajam langit-langit kamar.

Anna menoleh sebentar sebelum menjawab. "Kurang ibadah."

Vero pun terkekeh mendengar jawaban itu.

"Bukannya laki-laki nggak bakal tahan ya, sama cewek yang cantik, seksi, menggoda. Tapi kenapa Kevin beda ya? Bener-bener bukan cowok biasa." Vero melambungkan kata-kata yang membuat Anna mendenguskan tawa.

"Mulai lagi deh nih ... Kevin ini, Kevin itu."

Veronica Putri memejamkan mata menikmati denyutan dan kedutan di pelipis kepalanya.

"Gue nggak ngerti harus gimana lagi," ucap gadis itu sambil memiringkan badan, menatap Anna dengan sungguh-sungguh. Yang ditatap kini menyilangkan lengan di dada.

"Lu maunya gimana?" tanya Anna.

"Gue mau Kevin," jawab Vero.

"Walaupun lu ngeliat dengan mata kepala sendiri kalau dia udah punya cewek?"

"Bullshit."

"Lu mau terus mepetin tuh cowok? Ngerebut dia dari ceweknya?"

"Gue nggak peduli."

"Apa dengan begitu Kevin bakal jadi suka sama lo?"

Kalimat itu berhasil membuat Vero terdiam seketika. Detik-detik berlalu, memberikan jeda untuk Anna melanjutkan kata-katanya.

"Gue tau otak lu lagi ngadat karena alkohol, tapi coba dipikir bentar deh ... selama ini lu udah pake cara apa aja sih buat dapetin Kevin? Mulai yang normal dari lu ajak ngobrol, sampe yang sinting lu mulai ngobral foto syur di DM sosmed dia. Lu nggak segan pake cara paksaan untuk ngedeketin dia, dan lihat hasilnya ... apa kali ini lo masih mau pakai cara yang sama dan berharap hasil nya bakal beda?"

Vero terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pasrah, mengaku kalah.

"Jadi gue harus gimana Ann?"

Anna menghela nafas. "Udahlah Ver, jelas-jelas si Kevin itu udah punya—"

"Aduh, stop deh Ann! Gue tau lu nggak goblok. Jelas-jelas itu cewek cuman akal-akalan Kevin aja biar gue berhenti gangguin dia."

"Ya udah!" balas Anna.

"Apanya yang yaudah?!" Vero mulai habis kesabaran.

"Lu nggak ngerti poinnya ya? Kevin itu sampai repot-repot ngaku-ngaku pacaran sama cewek random itu ya biar apa? Biar bisa lepas dari lu!"

"...."

"Sorry, Ver, gue ...."

"Ngga papa, Ann. Apa yang lu omongin ada benernya juga." Vero menelungkupkan wajah ke atas bantal, menyembunyikan mata yang mulai berair.

"Maafin kata-kata gue ya, Ver." Anna mendekat dan merangkul pundak polos Vero, menepuk-nepuk punggung sobatnya itu dengan lembut.

"Lu bener-bener nggak mau nyerah soal Kevin, ya?" Anna bertanya lirih, bersambut jawaban dengan nada bergetar dari balik wajah Vero yang tertimbun.

"Lu tau gue nggak bisa."

Anna menghela napas lagi. 

Ia tau dengan pasti, sejak kecil seorang Veronica Putri selalu mendapatkan apa yang diminta, yang diinginkan—walaupun tak pernah mendapat apa yang ia butuhkan. 

Penolakan adalah konsep asing bagi Vero, sehingga Kevin bisa jadi merupakan kata 'tidak' pertama yang harus dihadapi oleh cewek itu. 

___

'Ku terdiam tersungkur tuk dibunuh waktu
Walau nanti pasti waktu akan berlalu
Esok masih kau tak kunjung muncul dan tak menentu
Mungkin aku masih bisa memalingkan rindu
Mungkin begitu

Hatiku membiru
Terperangkap, menggerutu

Danilla -- Berdistraksi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro