Bagan 8 · Prenjon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SELEPAS bertemu dengan Karamel beberapa minggu lalu, dunia Kevin menjadi beda. Semuanya terasa lebih ... mudah. Tak banyak tekanan, santai, mengalir tanpa ada perasaan inferior dan was-was akan dicengkeram oleh keadaan tak mengenakkan.

Meskipun tingkah Karamel dan Eliot kerap membuat Kevin was-was akan ditendang dari Perpus Pusat-satu-satunya tempat aman yang kini menjelma jadi basecamp mereka nongkrong-namun Kevin rela mempertaruhkan itu semua. Selama masih bisa berteman dengan Eliot dan (terutama) Karamel, Kevin agaknya rela melakukan apa saja.

"Jadi, gimane tuh progres lau, Kev? Sampe kapan mau kelelep di prenjon terus?" Suara Eliot yang setengah berbisik dan setengah menyindir, mengagetkan Kevin dari lamunannya.

Kelas malam Pak Albert menjadi tempat aman Kevin mengobrol empat mata dengan Eliot. Sejak kejadian presentasi beberapa minggu lalu, mereka setuju untuk tidak melibatkan Karamel lagi di kelas ini. Biarlah mereka berkumpul dengan Amel kalau mau ngobrol di kantin atau perpus saja.

"Pren ... apa?" desis Kevin. Cowok itu mengerut kening sejenak sebelum akhirnya paham. "Oh, friendzone maksud lo, El?"

"Ho'oh, prenjon." Mata Eliot menelisik wajah tampan Kevin, membuat cowok itu semakin mengerutkan dahi.

"Gue nggak paham ...," ucap Kevin buntu.

"Maksud gue, Karamel!" desis Eliot lagi.

Sebutan nama itu sontak membuat Kevin mendelik. Ah, sial. Sepertinya selama ini Kevin terlalu kentara. Atau, memang Eliot yang kelewat peka.

"Lo ... tau, ya?" gumam Kevin akhirnya.

"Tau banget! Dari jaman SMP, banyak cowo-cowo yang udah demen sama si Amel. Doi tuh anaknya manis, cakep, tapi ga sadar ama wajahnya sendiri. Heran gue."

Eliot menjelaskan sejenak, membuat Kevin mau tak mau membayangkan berapa banyak cowok yang menaruh hati pada Karamel sejak dia remaja. Bara cemburu sedikit menyala, tapi kevin buru-buru memadamkannya.

"Apa dia ... udah punya pacar, El?" tanya Kevin pelan. Suaranya lirih, seakan tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya sendiri.

Eliot menggeleng tegas. "Lau ga usah khawatir. Amel tuh dari dulu anaknya polos, tapi rada bebal. Dia kaga pernah nyadar kalo ada orang yang demen. Dan setau gue, dia juga ga pernah demen sama cowok manapun. Lu aman, Kev."

Eliot benar. Fakta itu membuat Kevin mengembus napas lega tanpa sadar.

"Tapi, gue ...." Kevin berhenti sejenak untuk mematangkan pikirannya. "Nggak tau, El."

"Ga tau bagemana? Ga tau caranya pe-de-ka-te ama Amel?" seloroh Eliot.

"Bukan, tapi, gue nggak tau apa gue bener-bener pengen ... pacaran. Bukan cuma sama Karamel, tapi sama siapa pun." Kevin menggeleng pelan. Benar. Dia belum siap melibatkan seorang gadis ke dalam hidupnya.

"Sebenernya yang lu takutin tuh apa sih, Kev?" tanya Eliot setelah berdecak keras. Hampir saja Pak Albert menegur mereka.

Kevin berdeham, merendahkan suaranya untuk berbisik, "Gue sendiri juga nggak tau, El. Gue takut ... nggak bisa bertanggung jawab sebagai seorang pacar. Apa lagi kalau itu menyangkut Karamel. Rasanya ...."

Kevin tak mampu melanjutkan. Pikirannya pecah ke mana-mana. Dia takut mengandaikan jika keinginan terselubung itu jadi kenyataan. Di satu sisi, dia juga masih abu-abu dengan perasaan ini-rasa suka yang divalidasi sepihak atas kepekaan Eliot.

"Itu tandanya lu sayang." Suara Eliot lagi-lagi berhasil merenggut perhatian Kevin. Dipandanginya teman gemulai berambut gondrong itu. Wajah tembam Eliot menyiratkan keseriusan.

"Sa ... yang?" Lidah Kevin kaku menyebut kata itu. Seumur hidup, dia tidak pernah terbiasa mengungkapkan rasa di keluarganya. Semua saudaranya laki-laki. Orang tua yang hadir di kehidupan sehari-harinya adalah ayahnya. Sementara ibu, yang seharusnya ramah dengan hal sayang-sayangan seperti ini, tak pernah hadir di hidup Kevin.

"Kalo lu ragu, itu tandanya lu sayang. Lu gak mau main-main sama Amel, mau ngasih yang the best you can do. Ya gak sih?" Eliot menyikut Kevin yang lagi-lagi terdiam.

"Gue nggak tau," lirih Kevin.

"Ah elah, jawaban lu kaga tau mulu! Apa sih yang lu tau, Kev?!"

"SSSTTTT!!" Suara desisan dari Pak Albert sukses membuat Eliot bungkam. Mulut pemuda itu dibekap sendiri dengan jari-jarinya yang gemuk.

"Maap, Pak," ujar Eliot kemudian.

Mereka pun kembali menekuri buku materi. Tapi pikiran Kevin sudah jauh melayang dari ruang kelas ini.

___

KEVIN melangkah melewati halaman jurusannya menuju kantin belakang, hanya untuk berhenti di salah satu meja di pojok dan mulai memainkan ponsel dari sakunya. Beberapa menit berselang, tampak sosok tambun yang berlari kecil mendekati Kevin.

"Lo telat, El." Kalimat sambutan bernada protes itu Kevin layangkan ke arah Eliot, mahasiswa satu kampus tapi beda jurusan yang kini mengelap keringat di dahinya dengan gulungan tisu di atas meja.

"Fakultas gue kan di ujung sebelah kampus ini, malih!" cerca Eliot balik. Tanpa bertanya lebih lanjut, Eliot langsung mengambil gelas es teh yang tinggal tersisa setengah, dan menandaskan isinya.

"Eh, El, itu-"

"Ssttt, iye iye, ntar minum lu gue ganti!" Eliot melambaikan tangan, acuh.

"Bukan, itu ... tadi bekas orang. Udah ada di sini, belum dibersihin sama Bu Kantin," ucap Kevin pasrah. Eliot langsung memelotot ke arahnya.

Lima menit kemudian, setelah memaki-maki Kevin dan mencuci mulutnya dengan air mineral botol, Eliot akhirnya bisa tenang juga setelah bakso pesanan mereka tiba.

Sambil melahap makan siang itu, Kevin mulai menyinggung inti utama pertemuan mereka.

"Jadi, lo bilang kemarin ...."

"Ya. Gue punya cara buat bikin lu deket sama Amel. Dan gue juga udah ngerestuin sama mau ngebantuin kalian kok. Tenang aja. Lu ga perlu minta," potong Eliot sambil menggigit bakso daging.

"Thanks ... I guess?" Kevin berkata ragu-ragu. Toh mendekati Karamel bukan idenya. Ada debaran dan sebersit kemauan, tentu, tapi di kasus ini, Eliot yang tampaknya mengambil komando.

"Tapi, Kev," lanjut Eliot. "Jasa nyomblangin dari gue ini nggak gratis, ya!"

Kevin batal melahap baksonya. "Maksudnya? Lo minta bayaran?"

"Yap. Bayarin ni bakso sama es teh botol dingin. Oke?" Eliot mengedipkan sebelah mata.

Kevin sendiri sudah lepas mengembuskan tawa.

Sementara itu, luput dari kesadaran mereka berdua-baik Kevin maupun Eliot-tampak sepasang mata runcing dengan eyeliner tebal memperhatikan. Suasana kantin memang ramai, tapi perempuan itu seperti punya radar tersendiri untuk mendeteksi kehadiran seorang Kevin Tjahyadewa.

"Ver, ayo? Kelas kita bentar lagi masuk, nih," panggil salah satu mahasiswi di samping perempuan itu. Vero menoleh.

"Ya. Ayo," jawab Vero setengah hati. Matanya sekali lagi melirik ke arah Kevin dan mahasiswa asing yang baru ditemuinya itu. Sepertinya dia bukan anak fakultas ini. Vero tidak pernah melihat pemuda berisi dan berdandan nyentrik itu sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro