Bagan 9 · Silent Treatmen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

VERONICA Putri menghentakkan kaki rendah, menekan pedal gas hingga hampir rata dengan lantai mobilnya.

"Ver! Aduh, lu mau bikin kita mati cepet apa gimana, sih?!" protes Anna terdengar dari bangku depan sebelah kiri. Vero seperti tersadar, dan sebelum mendekati lampu merah, mobilnya sudah kembali melaju dengan kecepatan normal.

"Sori, Ann. Gue rada ngelamun." Vero menggumam.

"Rada sinting juga," balas Anna sambil membuka ponsel dari tas tangannya. Reservasi dengan salon bulu mata mereka membuat Anna sering-sering mengecek jam di lock screen-nya.

"Kita telat?" tanya Vero yang mengkhawatirkan hal sama. Salon eyelash extension langganan mereka memang terkenal ketat. Terlambat lebih dari sepuluh menit, otomatis harus reschedule reservasi baru. Padahal bulu mata artifisial semi-permanen di kelopak Vero--terutama Anna--sudah mulai rontok beberapa.

"Nggak, kok. Santai aja nyetirnya, jangan ugal-ugalan kayak tadi," cetus Anna.

"Sori," ulang Vero. Nada suaranya mengambang.

Mendengar sahabat yang biasanya arogan dan apatis itu mengucapkan kata maaf sampai dua kali dalam satu percakapan, membuat Anna seketika sadar ada yang tidak beres dari gelagat Vero.

"Lu kenapa, Ver? Ada masalah di kampus?" tanya Anna setelah beberapa detik mobil mereka sunyi.

"Kevin," jawab Vero, telak. Satu sebutan nama itu sudah sukses membuat Anna memutar bola matanya.

Kevin lagi, Kevin lagi ....

"Kenapa dia sekarang?" Anna memaksakan diri untuk peduli. Memang, nama Kevin adalah akar dari segala kegundahan, kegalauan, dan ketololan Vero. Tapi toh, Veronica Putri adalah teman terbaik Anna. meskipun dia gedek dengan Kevin, dia tetap menyayangi Vero. Dan sayangnya, rasa sayang dia selalu menang. '

"Dia ... nggak ngerespon, Ann." Vero memulai.

Tipikal, batin Anna. Mulutnya lantas berkata, "Respon apa lagi nih?"

"Kevin nggak ngerasa kalau dia lagi gue kasih silent treatment. Gue sengaja diemin dia di kampus, nggak nge-chat dia lagi, dan nggak DM-an sama dia juga. Eh, dia malah makin nggak respon coba, Ann!"

"Tunggu, tunggu ...." Anna menggaruk kepalanya. "Lu nyuekin cowok yang terkenal paling cuek seantero kampus UI? Dan lu kaget ketika dia nggak ngerespon apa-apa sama sekali?"

Vero mengangguk. Seketika Anna menggeleng pasrah.

"Vero, please nih ya, lu tuh pasti bisa mikir dikit dong ... masa cowok cuek malah lu cuekin balik, ya kelar lah urusan lu pada!"

"Jadi, cara gue yang sekarang salah lagi ya, Ann?" simpul Vero akhirnya. "Bener juga sih, kata lu ... apa gue balik lagi pake cara kemarin, ya? Mepetin Kevin terus? Toh batu kalo ditetesin air, lama-lama bakal terkikis juga." Kali ini Vero menyimpulkan sendiri.

"Atau malah lu yang kering duluan, netes terus tapi nggak ada hasil," celetuk Anna sebelum menghela napas. Sepertinya bukan Kevin yang menjadi batu dalam hal ini, melainkan Vero.

Hening beberapa detik. Mobil memelan, memasuki parkiran sebuah mal. Tempat tujuan mereka sudah berdiri gagah di hadapan, dan Anna tak merasa keheningan itu ternyata berlanjut lebih lama di benak Vero.

Lagi-lagi, ucapan Anna berhasil mengetuk logika Vero yang sedikit lumpuh jika berhadapan dengan Kevin Tjahyadewa.

Sepanjang menjalani treatment permak bulu mata itu, Vero berpikir sambil memejamkan mata. Sampai akhirnya ketika mereka selesai, 45 menit kemudian, Vero memberanikan diri berbisik pada Anna.

"Ann, apa kayaknya gue ... udah hopeless ya, sama Kevin? Kayaknya segala macem cara nggak pernah mempan sama dia ...."

Anna menghentikan langkah kakinya seketika. Sepatu heels mereka beradu marmer mal, berdecit ketika Anna menoleh pada sahabatnya.

"Ini lu seriusan ngomong begini?" Mata Anna menelusuri wajah Vero. ketidakyakinan terpampang jelas di guratan manis yang sedikit tertumpuk make-up tebal itu.

"Gue ... nggak tau, Ann," jujur Vero. "Gue cuma mau Kevin. Itu aja, simpel. Tapi kayaknya ... makin kesini makin jelas, kalo Kevin yang bener-bener nggak mau sama gue. Dan ... gue kayaknya nggak harus nerusin sama dia."

Perkataan Vero barusan sontak membuat Anna menganga. Apa dia tidak salah dengar? Seorang Veronica Putri mengatakan hal seperti itu? Dia sehat, kan?

"Ver, lu nggak papa?" Anna menempelkan punggung tangannya di dahi Vero. Sahabatnya itu menggeleng.

"I'm fine, kok. Eh iya, Ann, ntar malem gue nginep kosan lu lagi, ya?" Vero banting setir sambil tersenyum menatap sahabatnya yang masih terbengong-bengong. Melihat tak ada respons, Vero melanjutkan, "Gue traktir Xing Fu Tang, deh!"

Walaupun tak mengerti apa yang terjadi pada sahabatnya, akhirnya Anna mengangguk juga. Biarlah Vero menetap di kamarnya malam ini. Anna berencana akan mengorek informasi tentangnya sepulang kerja nanti.

___

PLAFON kamar kos eksekutif menyambut pandangan mata Vero yang masih terjaga. Jam digital menunjukkan waktu hampir tengah malam, tapi kantuk sama sekali belum menyentuh kelopak mata Vero yang kini polos tanpa balutan eyeliner.

Kelebat demi kelebat ingatan yang baru terekam di kepalanya muncul setiap kali Vero memejamkan mata, membuatnya enggan tidur.

"KAMU TAU KAMU SALAH, BISA-BISANYA MASIH MAU NGEBELA DIRI!"

"HEH! Aku selingkuh itu ada sebabnya! Kamu juga ada salahnya, Ratu! Harusnya kamu introspeksi diri kenapa aku bisa sampai—"

"PERSETAN! AKU TIDAK MAU DENGAR!! POKOKNYA AKU MAU, SEKARANG JUGA KITA CERAI."

"Ratu!"

Vero ingat jelas isak tangis yang mulai terdengar familier di telinganya. Suara milik Ratu, mamanya. Tak lama, suara papanya kembali menyembul.

"Apa kamu nggak memikirkan Vero? Kenapa kata 'cerai' ringan sekali kamu ucapkan?" Nada itu tenang, tapi terdengar begitu dingin. Seperti diucapkan setengah hati. Formalitas. Tak sungguh-sungguh.

"Harusnya aku yang nanya begitu, Prabu, apa kamu nggak memikirkan keluargamu saat kamu check-in dengan jalang daganganmu sendiri, hah?!"

"RATU!!"

Lagi, isak itu semakin kencang. Kali ini menjelma menjadi raungan, tangis sakit yang tertahan. Vero tau, mamanya sedang mati-matian berjuang untuk tidak runtuh di balik pintu kamar yang tertutup.

"Aku ... positif HPV. Dokter bilang, besar resiko juga aku ada kanker serviks. Kamu mau tau aku dapat ini dari siapa, Prabu?"

Suara Ratu bergetar dengan isak tertahan. Tak terdengar respons dari Prabu. Vero sendiri menahan napas, lututnya lemas.

"Ratu ...." Kali ketiga nama mamanya itu disebut, dan baru kali ini terdengar sedikit kepedulian dari suara papa Vero. "Aku ... tidak tau. M-maaf."

"Bullshit. Aku tidak butuh maafmu. Kamu tau apa yang bisa buat diri kamu berguna? Mau tau apa yang aku mau?"

"Apapun."

Terdengar jeda, sebelum akhirnya suara Ratu kembali mengudara.

"Tanda tanganmu, di surat gugatan cerai dariku."

Pintu terbuka, membuat Vero terbelalak dari posisi rebahannya. Anna berdiri di sana, dengan seragam apron bartender yang masih melekat di badan.

"Ann? Kok lu pulang?" tanya Vero refleks.

"Gue ambil libur dadakan." Singkat saja penjelasan sang empunya kamar kos. Sambil menanggalkan apron, Anna berjalan menuju ranjangnya, dan merebahkan diri di sebelah Vero.

"Lu lagi kenapa-napa. Tadi gue ajak ke bar nggak mau. Gue nggak bisa ninggalin lu sendirian di sini." Anna melanjutkan dengan pandangan mata menerawang. Sepertinya plafon kamar itu jadi pemandangan wajib yang harus ditatap setiap penghuni ruang ini.

"Lu mau cerita sekarang, atau ntar-ntar?" tanya Anna sambil memiringkan badan, menatap Vero lurus-lurus.

Vero terhenyak akan tingkah sahabatnya yang ceplas-ceplos namun lumayan peka itu. Perlahan, mulutnya terbuka. Dan mengalirlah luka itu, keluar dari raga angkuh seorang Veronica Putri. Tentang Ratu dan Prabu, orang tuanya. Tentang pernikahan mereka yang retak, tentang kemungkinan mamanya mengidap kanker serviks, dan tentang hilangnya kepercayaan Vero terhadap satu hal yang menjadi penyebab segala kekacauan itu: cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro