♠Dynamite [SATU]♠

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Cahayaku itu kalian. Bagaimana caranya aku hidup jika cahayaku hilang?"

-Mite

Jiandra Rakamite, cowok yang akrab disapa Mite itu tengah termenung di bawah pohon Mangga. Duduk sendirian di taman adalah hal terbaik untuk menenangkan pikiran yang kusut seperti benang yang tidak diurus. Ia menghela napasnya berkali-kali, sudah berjam-jam ia habiskan untuk menatap biru langit, angin sepoi-sepoi membuat kelopak matanya menjadi berat.

Ia benar-benar definisi mayat hidup yang sesungguhnya. Wajahnya benar-benar suram, terlebih lagi dengan kantong mata yang menyerupai mata panda, begitu kentara jika ia kesulitan tidur atau bahkan ia memang tidak berniat untuk tidur barang sejenak saja.

Melihat ke luar, ia berharap dengan melihat senyuman dan tawa bahagia orang lain dapat membuatnya bahagia. Jika melihat kebahagiaan orang lain maka kita bisa ikut bahagia, sepertinya tidak berlaku bagi semua orang.

Ia tersenyum miris, degup jantungnya berdetak begitu kencang ketika melihat pemandangan di depannya, bola matanya memanas dan ia merasakan hal yang aneh, seperti perasaan iri? Pemandangan di depannya begitu indah, terlihat Ayah dan Ibu serta anak laki-lakinya, mereka tampak tersenyum dan merangkul satu sama lain, indah bukan?

Untuk kesekian kalinya Mite menghela napas, sepertinya sudah seharusnya ia pergi dari tempat ini. Lagi pula badannya sudah pegal karena berdiam diri sedari tadi disana. Seiring dengan langkahnya, ia terus berpikir cara supaya kasus yang ia hadapi ini bisa menemukan titik terang, ia benar-benar capek menunggu dalam ketidakpastian.

Mite melewati jalan kecil di taman ini, taman yang menyimpan kenangan manis bersama mereka, orangtuanya. Ia terus melangkahkan kaki hingga berada di ujung jalan.

Cowok jangkung itu tersenyum menatap rumah makan itu, "Masih ada rupanya. Aku mau fuyung hai, ah. Makanan favorit Ayah dan Ibu," ujarnya dengan semangat. Ia ingin mengulang kebiasaan bersama orangtuanya dulu, meski harus merasakan sakit yang teramat dalam.

Hari semakin gelap, Mite keluar dengan memegang perutnya.

"Ah! Kenyang banget, sepertinya aku akan mati kelaparan habis ini karena sudah menghabiskan banyak uang hari ini," gerutunya sambil menggaruk kepalanya dengan kasar. Agak menyesal dengan sikap borosnya yang susah sekali dihilangkan. Tapi, tidak apa, ia sudah cukup puas karena bisa makan makanan itu lagi setelah sekian lamanya ia hindari.

Cukup sederhana, ia takut terlalu berlarut dalam kesedihan. Hanya saja, ia membayangkan wajah kedua orangtuanya tadi dan berandai-andai jika ia sedang makan dengan Ayah dan Ibunya, sungguh membuat hatinya menjadi bahagia.

Ia menikmati malam ini dengan senyuman di wajahnya, malam ini begitu dingin apalagi dengan hembusan angin yang cukup kencang. Ia melihat kerlap-kerlip lampu di seberang jalan, sepertinya sedang ada pameran karena orang begitu ramai di sana. Rasa penasaran mendorongnya pergi mendekat ke tempat itu.

Orang-orang begitu ramai, namun ia merasakan keanehan, mengapa raut wajah mereka begitu panik? Dengan wajah berkerut, Mite mencoba menerobos kerumunan itu dan melihat apa yang ditonton oleh mereka.

Ia menutup mulutnya seakan tidak percaya, tubuhnya menegang dan angin malam membuat tubuhnya menjadi sangat dingin. Badannya pun gemetar melihat genangan merah pekat di jalan itu, orang itu terkapar tidak berdaya dengan tertimpa motor.

"Di-dia masih hidup," gumam Mite karena ia masih mendengar rintihan kesakitan dari orang itu. Ia ingin mendekatinya, namun kakinya tidak bisa ia gerakkan. Pikiran dan raganya tidak lagi bekerja sama, antara ingin pergi saja tapi hatinya mengatakan ia harus tetap di tempat ini.

Tangannya bergerak tidak karuan, dengan menyilangkan jemarinya, ia terus berdoa semoga malam ini tidak berakhir dengan mengenaskan.

Mite memejamkan matanya, ia begitu kalut melihat genangan darah itu.

Tiba-tiba, ia merasakan ada yang mendorongnya. "Hei kalian, minggir!" titah orang itu sambil berusaha menerobos. Ia, perempuan berbaju putih dan mengenakan jaket tebal. Rambutnya tidak panjang, hanya sebatas bahu saja.

Tatapan Mite terpaku padanya, ia berjongkok dan melihat korban itu. Kepala mungilnya menoleh ke arah kami, dan menunjuk sembarang orang, "Apakah sudah ada yang menelpon ambulans?" tanyanya dengan suara lantang. Hening, melihat berkali-kalipun ternyata kepanikan membuat orang-orang tidak bisa berpikir dengan jernih.

Ia menatap sekali lagi ke sekelilingnya, dan tatapannya dan Mite bertemu, hingga akhirnya ia mulai mendapat kesadarannya kembali. Ia menunjuk secara acak pada Bapak dengan baju merah dan berteriak, "Tolong telepon ambulans SEKARANG!"

Tangan mungilnya gemetar, ia melihat sekali lagi ke arah Mite, "Bantu aku, tolong angkat motor ini dari atasnya," pintanya dengan mata berkaca-kaca.

Sejujurnya Mite tidak kuasa melihat genagan itu dari jarak sangat dekat, membayangkannya saja sudah membuat badannya gemetar, apalagi sekarang? Sekuat tenaga ia lawan rasa takutnya itu dan mengangkat motor itu dengan hati-hati.

Seusai itu, ia mengecek denyut nadi di pergelangan korban, "Masih ada tapi lemah," gumamnya dengan khawatir.

Ia berusaha untuk mengajak bicara korban, "Pak? Bisa dengar saya?" tanya perempuan itu dengan nada gemetar. Mite tahu ia sedang menyembunyikan rasa takutnya. Mite memandangnya dengan tatapan terpana.

"Erghh ...," rintihnya kesakitan membuat kami menjadi panik. Mite melihat ke arah paha korban, terlihat luka di pahanya begitu parah.

"Hei, paha korban terluka parah, terdapat banyak darah," ujar Mite pelan. Perempuan itu terkejut dan dengan cekatan ia melepaskan jaket yang ia gunakan dan membalut paha korban dengan jaket itu. Ia berusaha menghentikan pendarahan yang ada. Setelah itu ia tampak berhenti sejenak dan memikirkan langkah selanjutnya. Tidak lama kemudian, ia membulatkan matanya dan mengambil tas ranselnya tadi, ia taruh di dekat kaki korban.

"Hei bantu aku, kita angkat kaki Bapak ini di atas tasku." Tidak ada pertanyaan atas tindakannya barusan, Mite tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk mengiterogasi alasan atas tindakanya tadi.

Seusai itu, barulah perempuan itu memandang Mite lekat-lekat, "Sepertinya Bapak ini keseleo deh, kita harus mengangkat kakinya lebih tinggi dari posisi jantung supaya tidak terjadi pembengkakan."

Ia menghela napasnya berat, "Sekarang kita menunggu ambulansnya datang. Semoga saja tidak lama lagi," ujarnya sambil mengacak-acak rambutnya. Ia tampak frustasi, aneh.

Tidak lama, bunyi ambulans terdengar di telinga setiap manusia di dekat tempat kejadian perkara. Perempuan itu tampak bernapas lega, begitu juga denganku. Tidak terlalu banyak yang bisa kulakukan, terlebih lagi dengan adanya trauma yang tidak pernah jengah berkunjung di setiap detik cowok itu.

Petugas dari ambulans turun membawa tandu, kami melihat korban dengan tatapan nanar. Baru saja Mite mau pulang, tapi tangannya ditarik oleh perempuan itu. Ia dan perempuan itu terpisahkan oleh tandu dan korban ini. Manik matanya jelas memancarkan kekhawatiran, membuat Mite ikutan gelisah melihatnya.

Tidak ada pembicaraan diantara mereka, hanya saja Mite memandang Dyna begitu lekat, ia bingung kenapa perempuan itu menarik rambutnya kasar. Ia beransumsi mungkin perempuan itu sedang kalut akan keselamatan korban ini. Akhirnya ia menghela napas dan berbisik, "Tenanglah, dia pasti akan selamat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro