Chapter 21 Memory

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Note : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Nama pemeran kuambil dari para member boygroup Indonesia yaitu UN1TY. Maaf jika ada kesamaan latar, tokoh maupun cerita ini. Cerita berjudul Eight 3 adalah murni milik saya!
.
.
.
.
.

"Aku tidak ingin pergi!

Aku masih ada perlu yang belum terselesaikan!

Fiki! Tolong aku!

Aku takut sendirian di sini!"

"Soni!"

Fiki terbangun dari mimpi buruknya. Ia melirik ke jam dinding masih menunjukkan pukul 2 dini hari.

Peluh keringat membanjiri pakaian tidur gambar doraemon. Nafas Fiki seakan tersenggal-senggal tak karuan.

"Ini pasti cuma mimpi kan," monolog Fiki.

Fiki meraih segela air putih yang berada di sisi kanan tempat tidur, tepatnya di atas nakas. Ia meminum air putih hingga habis tak tersisa, setidaknya dahaga di tenggorokan membuat ia lebih baik.

"Siapa pemuda di dalam mimpi itu?" Fiki bertanya-tanya.

Dan kepala Fiki terasa amat sakit setiap ia memikirkan tentang mimpi itu. Seakan kepalanya tertusuk puluhan jarum di sana.

Bayangan-bayangan kecil berbentuk memori masuk ke dalam otak Fiki. Ia bisa melihat seorang Pemuda menggunakan kacamata bulat tersenyum ceria.

Pemuda itu juga terlihat membawa sebuah kamera LSR. Seragam putih abu-abu yang dikenakan seperti anak SMA. Dan Pemuda berkacamata bulat tertawa dengan keenam sahabatnya.

"Arggh! Sakit sekali rasanya kepala Fiki!"

Fiki mengerang keras. Ia terus memegangi kepalanya setiap bayangan memori itu bermuncullan di otak. Peluh keringat semakin membasahi pakaian tidurnya.

Krieet!!

Pintu kamar Fiki terbuka. Sosok siluet Pria hendak masuk ke dalam kamar.

"Ada apa?" tanya Pria itu yang sudah berada di tepi ranjang. Ia berdiri tegak dengan kedua tangan dilipatkan di depan dada serta jangan lupakan tatapan tajam seakan menusuk hingga menembus ke dalam otak.

"Aku habis mimpi buruk," jawab Fiki pelan. Ia lebih baik menunduk melihat motif doreamon dengan berbagai ekpresi daripada menatap langsung sosok di depannya.

"Kepalaku juga terasa sakit sekali seperti tertusuk puluhan jarum," lanjut Fiki.

"Hahaha... lebih baik kamu lanjutkan tidur nyenyakmu saja dan lupakan kejadian malam ini," ucap pelan Pria itu disertai tawa kecil. Ia menepuk pundak kanan Fiki.

Tatapan kedua mata Fiki menjadi seakan kosong. Ia menganggukkan kepala kecil, lalu perlahan mengambil posisi tidur seperti awal.

"Hmmm... sihir yang kutanamkan ke Fiki seperti mulai memudar. Aku harus melakukan ritual segera dan menjadi penguasa sepenuhnya. Aku tak boleh lengah. Kemampuan Fiku masih sangat berguna untuk misiku."

Setelah perkataan yang lumayan panjang itu, Fiki sudah kembali tidur. Sosok siluet Pria itu perlahan menghilang di kegelapan malam lampu yang dimatikan di kamar Fiki tertidur.

__08__

Fajri sudah berada di rumah sakit tepatnya di ruang IGD. Ekspresi penuh rasa kekhawatiran dan takut terlihat jelas di wajahnya.

Sudah satu jam lamanya Fajri harus menunggu kabar Lia yang terbalik lemah di dalam IGD. Ia tak diperbolehkan masuk setelah membawa Lia dikarenakan kondisi Lia bisa dibilang sangat kritis.

"Lia... Aji takut," ucap Fajri pelan.

Fajri berjalan mondar mandir bagaikan setrikaan. Ia tak suka berada di sini terlalu lama karena seperti mengingatkan kembali beberapa kejadian yang dialami sahabat-sahabatnya mulai hampir kehilangan sang saudara Ricky, lalu kini Zweitson masih terbaring lemah tak berdaya di ruang ICU. Entah bagaimana nasip Zweitson sekarang, ia selalu berdoa untuk kesembuhannya.

"Ya Allah... tolong selamatkan Lia. Aji nggak mau terjadi apa-apa dengannya," ucap Fajri berdoa kepada sang Maha Kuasa.

"Aamiin."

Fajri reflek menolehkan kepala ke belakang. Di sana dua sosok sahabatnya berdiri membawa beberapa botol air mineral.

"Ji, gue yakin pasti Lia kuat kok," ujar Fenly menepuk pundak Fajri pelan. Ia memberikan kekuatan untuk Fajri bisa lebih tenang.

"Iya Ji. Kita harus terus berdoa dan yakin atas kesembuhan Lia," sambung Gilang. Ia yang mengucapkan kata 'Aamiin' tadi saat Fajri tengah berdoa.

"Thanks ya Fen, Bang Lang," ucap Fajri tersenyum tipis, namun tak menghilangkan raut wajah sedihnya.

Kini ketiga sahabat itu memilih duduk di bangku dekat pintu IGD yang telah disediakan. Fenly memberikan sebotol mineral untuk Fajri agar perasaannya lebih tenang.

Lalu dimana sosok Shandy saat ini. Sebelum kejadian Shandy bersama Fenly dan Gilang berada di salah satu kafe tempat mereka tak sengaja bertemu dengan Fajri.

"Bang Lang, Kak Shandy kemana?" tanya Fenly belum melihat sosok senior bertubuh kurus itu.

"Dia sih tadi katanya mau ke tempat Zweitson dirawat. Tiba-tiba dia punya perasaan nggak enak gitu sih," jawab Gilang. Ia melanjutkan memakan kentang goreng yang tertunda di kafe tadi.

"Oh gitu. Semoga Zweitson cepat sembuh ya. Gue kangen lihat dia tersenyum polos mirip anak kecil," ucap Fenly sambil menatap botol mineral di tangan.

"Tenang Fen. Ada Farhan di sana yang selalu menjaga Zweitson. Gue jadi sedih kalau lihat muka Farhan. Dia itu kurang istirahat dan selalu dihantui rasa bersalah setelah kejadian Zweitson ditabrak lari."

Semuanya pun terdiam mendengar perkataan dari mulut manis Gilang. Gilang juga tak sadar mengutarakan kalimat tersebut. Jujur mereka semua kangen dengan momen kecil mulai dari acara nongkrong, candaan garing serta kekonyolan lainnya.

Drrtt!

Sebuah nada dering panggilan masuk keluar dari HP milik Fajri. Fajri yang melamun akhirnya tersadar. Ia melirik nama yang tertera di layar ponsel yaitu "Bi Inah".

"Siapa yang telepon Ji?" tanya Gilang penasaran.

"Bi Inah. Tapi tumben banget Bi Inah telepon gue kalau nggak ada hal yang penting," jawab Fajri cepat.

"Coba aja angkat dulu Ji." Fenly memberikan saran.

"Oke," jawab Fajri kembali.

Fajri mengeser gambar gagang telepon berwarna hijau. Suara panggilan Bi Inah pun terdengar dari balik layar.

"Assalamualaikum Den Aji," ucap Bi Inah mengawali dengan salam.

"Waalaikum salam. Ada apa Bi Inah?" Tanya Fajri. Ia mendengar ada nada kecemasan di balik suara Bi Inah.

"Den Iky tadi habis makan tiba-tiba mengeluh dadanya sakit dan sekarang tak sadarkan diri," jawab Bi Inah sedih.

Degh!

"Ada apa lagi ini Ya Allah?" batin Fajri bertanya-tanya.

Helaan napas berat keluar dari lubang hidung Fajri. "Sekarang Bang Iky dimana Bi?"

"Den Iky di bawa Pak Joko ke kamarnya. Bi Inah juga sudah menghubungi dokter Arka untuk datang ke rumah." Bi Inah menjawab. Suara tangisan akhirnya keluar. Bi Inah sangat khawatir, cemas dan takut akan keadaan Ricky yang sudah dianggap anak kandung sendiri.

"Ok Bi. Aji saat ini meluncur ke rumah!" seru Fajri.

"Baik Den Aji. Hati-hati di jalan ya," ucap Bi Inah, lalu menutup panggilan setelah mengucapkan salam.

"Ji, ada apa?" tanya Fenly dan Gilang berbarengan.

"Bang Iky nggak sadarkan diri. Gue harus ke rumah, tolong jaga Lia ya. Kalau ada apa-apa kabarin gue ajah," jawab Fajri berusaha tegar.

Fenly dan Gilang saling berpandangan. "Ji, biar gue yang anter."

"Iya Ji. Biar gue sendiri yang menunggu Lia di sini," ujar Fenly menepuk pundak Fajri pelan.

Fajri hanya tersenyum tipis. Hati dan perasaannya saat ini campur aduk tak karuan. "Bang Iky," ucapnya lirih.

Gilang dan Fajri pun pergi menuju ke parkiran mobil. Tersisa Fenly seorang diri di depan ruang IGD. Tak lama kepergiaan kedua sahabatnya itu, pintu IGD akhirnya terbuka.
.
.
.
.
.

{02/05/2023}


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro