06 ~ Pandawa's Caffe

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Denting akan mengisi ruang.
Begitu juga dengan sepi yang berubah menjadi riuh.
Meski nanti akan ada perubahan.
Biarlah yang pergi tetap pergi.
Semoga yang bertahan mampu untuk menetap.
Namun, jika yang menetap hanya singgah sesaat,
aku bisa apa?
(Hanggara Syauqi)


🍂🍂🍂


Ada hal yang harus dikorbankan saat dua berjalan bersamaan. Satu harus dilepas demi yang lainnya. Hidup adalah pilihan, sedangkan pilihan itu adalah pengorbanan.

Angga yang memang memiliki tanggung jawab atas J.A Express dan Pandawa's Caffe harus mampu menjalankan keduanya meski di waktu yang bersamaan. Pada akhirnya skala prioritas diperlukan.

Secara tidak langsung, sebagai penyandang dana dari berdirinya Pandawa's Caffe, Angga ditetapkan sebagai pemilik utama. Itu adalah hasil kesepakatan bersama empat teman lainnya. Mereka saling mengisi dan bermusyawarah terutama dalam penentuan nama kafe.

Pandawa merupakan istilah dalam bahasa Sanskerta, yang secara harfiah berarti anak Pandu, yaitu seorang Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Para Pandawa terdiri dari lima orang: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Dalam hal ini, nama Pandawa diambil karena para pendiri kafe ini terdiri dari lima orang. Diharapkan juga kelima pendiri dan pemilik ini bisa memiliki sifat-sifat dari tokoh wiracarita Mahabharata tersebut.

"Kita udah bahas konsep kafe ini jauh-jauh hari. Nggak usah masalahin konsep lain-lainnya. Incaran pengunjung kita sudah jelas adalah para milenials," ujar Angga saat membahas pembukaan kafe.

"Konsep penataan ruang sudah lunas dibahas. Kalau soal makanan kita ambil makanan kekinian yang banyak peminatnya saja. Boleh juga bawa menu ala Korea yang sudah disesuaikan dengan lidah kita." Hisyam yang memiliki ide soal makanan dan minuman menambahkan.

"Makanan oke, minum udah." Rafka mencatat setiap poin yang dibahas saat itu.

"Bang, kalau kita ngadakan live music dan ditaruh di bagian depan, bisa nggak?" usul Raden sambil menunjuk bagian teras yang lumayan luas.

"Musik akustik oke juga, tuh. Kalau nggak bisa juga misal sediakan request corner buat mereka yang ingin memutar lagu khusus, gimana?" imbuh Angga menyetujui usul Raden.

"Ngohkey, masuk juga idenya!" Bang Satya mengacungkan jempol tanda setuju.

"Persiapan pekerja juga udah oke, untuk chef juga sudah kita beri tahu. Sementara kalau sekadar goreng hottang, french fries, nugget, dan cemilam macem tahu walik dan atau sosis kita juga bisa handle sendiri. Selebihnya untuk makanan berat, barulah chef yang ngatasi." Rafka membacakan hasil dari catatannya.

"Deal. Gue cek isi dapur dulu. Besok semuanya harus ready 'kan?" tanya Angga sambil beranjak menuju dapur.

Keempat teman lainnya membubarkan diri dan bergabung dengan para pekerja yang sudah menata kafe untuk persiapan pembukaan esok hari. Rafka menemani Angga memeriksa persediaan bahan masakah.

Sekaligus mengecek bahan baku utama yang dibutuhkan untuk Coffee Station dari Pandawa's Caffe. Salah satu yang ditonjolkan dari kafe ini tidak hanya tempat yang estetik dengan tatanan shabby yang kekinian, tetapi juga tentang produk kopi yang dihasilkan.

Beberapa olahan kopi dari minuman sampai makanan manis berbahan kopi juga tersedia. Seperti roti dengan isian kopi yang dipadu dengan cokelat, puding susu dengan vla berwarna cokelat pekat beraroma kopi.

Selain itu, ada juga produk kopi yang tersedia untuk perawatan kulit yang berupa sabun dan scrub dari ampas kopi. Semua tersedia lengkap di salah satu sudut Pandawa's Caffe bernama Coffe Station.

Saat tengah berkeliling, Angga mendapati ponselnya menampakkan nama Agis di layar. Dua kali berdering Angga menolak panggilan tersebut. Hingga panggilan ketiga, lelaki itu baru mengangkatnya dan menyingkir dari hadapan Rafka sambil menunjukkan ponsel penanda dia akan menerima panggilan tersebut.

"Sori, gue sibuk, Gis!"

"Maaf kalau gue ganggu waktunya. Enggak maksud," tukas si penelepon

"Besok kita ketemu di pembukaan kafe, bisa?"

"Bisa. Rencana gue mau nemenin Ibu Ayu sampai sore hari ini. Sekalian mau ngajakin lo buat makan siang, tapi kayaknya lo nggak bisa diganggu."

"Gue sibuk ngurusin kafe dulu. Ini gue udah bolos di kantornya ayah. Sampai ketemu besok, Gis. Ini masih banyak yang belum beres. Titip salam buat Ibu, ntar gue pulang telat."

"Siap! Jangan lupa makan dan salatnya."

"Hm," jawab Angga dengan pelan dan langsung menutup sambungan teleponnya.

"Siapa, Ga?" tanya Rafka yang berdiri di belakang Angga."

"Agis." Angga hanya menjawab singkat pertanyaan sahabatnya.

Keduanya berlanjut membahas mengenai pembagian tugas untuk kafe dan kantor J.A Express. Berusaha adil dalam mengatur waktu sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Rafka yang menyesuaikan dan mengatur jadwal yang sudah dipersiapkan oleh Angga.

Beberapa disetujui, tetapi sisanya Rafka menolak. Sebab dengan jadwal yang diajukan oleh Angga sangat tidak manusiawi. Bahkan di hari libur, Angga menyelipkan kegiatan untuk mengunjungi cabang di luar kota.

"Biar gue yang atur jadwalnya, lo nggak usah ikutan, Ga."

"Nggak bisa, gue yang mau ngejalanin."

"Lo bisa mati muda kalau kayak gini caranya."

"Itu amanah Ayah, Raf!"

"Om Ahsya juga nggak bakal suka kalau anaknya gila kerja kayak gini."

"Gue nggak gila kerja, itu sudah sesuai dengan yang dimauin Ayah Ahsya, Raf!"

"Lo mau nurut apa mau gue mundur dari kesepakatan kita?"

"Serah lo, dah!" Angga berlalu dengan wajah kesalnya.

Rafka tahu betul di mana letak kelemahannya. Berdebat dan memilih untuk mundur. Itu adalah kelemahan dari seorang Angga karena dia terlalu khawatir untuk menghadapi pekerja ayahnya sendirian.

Belum lima menit Angga menghilang dari hadapan Rafka, si lelaki 21 tahun itu tiba-tiba saja datang dan menyeret Rafka. Dia membawa sahabatnya ke motor. Memakaikan helm cadangan yang ada di motor trailnya dan melajukan motor itu dengan cepat.

"Lo mau bawa gue ke mana, kunyuk!"

"Kantor lagi dalam masalah. Kak Ardi nelpon ada customer yang nuntut ganti rugi dalam jumlah besar ke kantor."

Setelah penjelasan singkat itu mereka hanya diam hingga pelataran kantor J.A Express yang berlantai tiga itu tampak di dahapan mereka. Angga melemparkan kunci dan meminta satpam memarkirkan motornya ke tempat yang benar.

Dengan langkah yang lebar Angga menuju ruangannya. Di sana sudah ada Ardi, seorang kurir pengantar barang, koordinator kurir beserta seorang lagi yang bisa dipastikan sebagai kurir.

Ardi menjelaskan duduk permasalahannya. Masalah utamanya adalah keterlambatan si kurir saat mengantarkan berkas penting milik customer. Berkas tersebut rupanya sebuah kontrak yang bernilai lebih dari seratus juga.

Si kurir sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa itu kesalahannya. Namun, si customer tidak puas karena kerugian yang dideritanya sangat besar. Dengan membungkukkan badannya, Angga meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan si kurir.

Tanpa meminta saran dan masukan dari Ardi ataupun Rafka, Angga memutuskan untuk mengganti 50% dari kerugian si customer. Meski tidak puasa, akhirnya si pentuntut mau menerima ganti rugi tersebut meski tidak penuh.

Setelah mencapai kesepakatan dan mengantar si customer hingga pintu keluar, Ardi menyeret Angga kembali ke ruangannya.

"Mas, kenapa begitu mudahnya mengeluarkan uang sejumlah itu? Apakah kurir ini bisa mengganti rugi pada perusahaan?"

"Jangan membebaninya sebagai tagihan utang. Kak Ardi tahu alasan dia terlambat?"

"Membuka jalan dan mengawal ambulans sampai ke rumah sakit!"

"Benar! Dia sudah menyelamatkan satu nyawa yang tidak ternilai harganya. Uang bisa dicari lagi, tetapi nyawa manusia? Jangan lagi permasalahkan itu. Masukkan tagihan itu sebagai tanggung jawab saya saja."

"Kalau kurir lainnya meniru bagaimana?" kilah Ardi dan meminta jawaban dari Angga.

"Tidak akah. Saya sudah punya rencana baru untuk mengembangkan sekaligus membuat J.A Express lebih berkembang lagi."

Ardi pamit undur diri dan menyisakan Rafka dan Angga di ruang kerja Ayah Ahsya. Angga merebahkan tubuhnya di sofa. Keringatnya mengucur deras. Saat baru sampai di halaman kantor, Angga sudah menahan serangan panik yang tiba-tiba saja datang.

Sangat tidak mungkin baginya menunjukkan sisi lemah di hadapan banyak orang. Sehingga saat hanya berdua, tubuhnya sudah terlanjur lemas menahan serangan tersebut. Tangannya gemetar dengan napas yang memburu dan memberat.

"Are you okay?" tanya Rafka dan mendapat gelengan dari Angga.

Akibat dari tekanan yang tiba-tiba, asam lambungnya naik. Seketika saja rasa pahit dan asam menyebar di mulut Angga. Rasa mual dan perih juga menghantam bersamaan. Dirasa tidak mampu menahan gejolak di perutnya Angga beranjak dan berlari menuju toilet.

Rafka menuggu di luar toilet dan mendengarkan bagaimana Angga menuntaskan rasa mualnya dengan memuntahkan seluruh isi perutnya. Begitu keluar, air menetes dari wajah dan rambut Angga.

"Asam lambung gue nggak aturan naiknya, panas sampe dada," ujar Angga sambil mengelus dadanya.

"Biasanya minum apa biar ga makin mual?" Rafka bertanya sembari menuntun Angga kembali ke sofa di tengah ruangan.

"Minta air jahe hangat aja, minta bikinin sama OB di pantry."

Rafka langsung berlari menuju pantry. Sementara itu, perih di perut Angga semakin menjadi dan membuatnya meringkuk. Menekuk kakinya hingga lutut menyentuh dada sambil mendesisi menahan sakit. Sensasi panas dari perutnya kembali menyebar sampai dada berikut dengan rasa nyeri menusuk di ulu hati.

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 6

Bondowoso, 09 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro