07 ~ Berulah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dia datang tiba-tiba.
Mengacaukan bahkan meremukkanku seketika.
Meski menolak, meski mengabaikan, dia selalu datang.
Dengan pongah dia menjatuhkanku, lalu menepis kenang tentangmu.
Aku mencoba melupa, tetapi tidak bisa.
Hingga kau hadir kemudian berulah sekali lagi.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Rafka menggantikan Angga memacu si biru dengan kecepatan sedang. Setidaknya dia bisa membawa seorang yang tampak sekarat itu dengan aman. Padalah biasanya dia enggan membawa motor karena dinilai kurang mahir.

Sepanjang jalan Rafka mengumpat pada pengendara yang menyalip dan memotong laju motornya. Beberapa kali lelaki itu menginjak pedal rem dalam-dalam untuk menghindari kecelakaan.

Angga yang berada di boncengannya tertawa pelan saat sahabatnya itu mengumpat. Sumpah serapah yang sangat jarang Rafka ucapkan itu ternyata lumayan menghibur dikala sakit melandanya.

"Lo kalau nggak sabaran gini bisa bikin gue mati mendadak, Raf!" ujar Angga.

"Bacot lo diem dulu. Tahu sendiri gue emang nggak mahir beginian, lo malah pakai acara sakit segala."

"Takdir, Raf."

"Takdir nggak dibuat manusia! Ini lain cerita karena lo sakitnya dibikin sendiri."

"Nggak sengaja lupa makan, Raf."

"Heh, lupa makan itu pagi ke sore, itu lupa. Lo mah kagak, lupanya dari kemarin malam ke sore ini."

"Sumpah nggak ada niatan."

"Diem atau gue turunin di sini?"

Angga melipat bibirnya sambil mengeratkan pelukan pada perutnya yang semakin perih. Rasa mual setelah meminum wedang jahe hanya sedikit berkurang. Setelah beberapa saat, rasa mual itu kembali lagi.

Dia menepuk bahu Rafka berkali-kali hingga motor yang membawanya berhenti dan menepi. Lelaki itu melesat turun dan berjongkok di tepi jalan. Angga memuntahkan isi perutnya lagi dan hanya air saja yang dia keluarkan.

"Langsung UGD ae, gimana? Ini nggak bakal masuk makanan, kudu diinfus, Ga!"

Angga bangkit dari jongkok dan berpegang pada bahu Rafka. Dia menggeleng dan dan berbalik lagi saat perutnya kembali bergejolak. "Ba-balik ke kafe, Raf!" lirihnya.

Rafka hanya mengangguk dan memastikan temannya itu sudah dalam posisi aman barulah dia melajukan si biru. Sepanjang perjalanan hanya semilir angin dan senja yang menemani.

Tidak ada sepatah kata pun mengisi keheningan antar dua sahabat itu. Si kepala batu hanya menahan ringisan dan menggigit bibirnya kala nyeri kembali menyerang. Sedangkan satunya sedang fokus menyetir.

"Bang Satya, bantuin!" teriak Rafka.

Bang Satya menoleh dan berlari mendekati motor yang baru saja terparkir di depan kafe. Rafka yang berteriak nyaris saja oleng saat tubuh sahabatnya bertumpu pada punggungnya.

"Lah, semaput nih anak?"

"Embuh, mati paling, Bang!"

Tangan yang tadinya terkulai dan tubuh yang bersandar di punggungnya sontak menegak. Angga mendorong punggung Rafka supaya menjauh saat dia menuruni motor birunya.

"Mulut asal jeplak. Gue mati beneran lo nangis paling kenceng!"

"Najis. Ogah gue nangisin lo, Ga." Rafka kemudian berlari menuju kafe dan meninggalkan Angga bersama Bang Satya.

"Kalian berantem? Terus, lo kenapa, Ga?"

Angga menggeleng. "Nggak berantem, Bang. Si Rafka marah karena gue lalai, Bang."

"Ya udah, ke dalem dulu. Bisa sendiri?"

Angga mengangguk dan mulai berjalan perlahan. Sampai mendekati tangga dia tidak langsung naik melainkan berhenti sejenak dan menghela napas. Dia menatap anak tangga terbawah hingga teratas.

Merasa tidak mampu untuk melangkah, dia menoleh pada kursi panjang yang mengisi sudut kafe. Dia memilih untuk merebahkan tubuhnya di sana.

🍂🍂🍂

Mata yang terpejam itu bergerak dan terbuka secara tiba-tiba. Warna langi-langit putih dan silau dari cahaya lampu langsung menyapanya. Lelaki itu menoleh ke samping kanan dan kirinya. Hanya gorden berwarna hijau terang yang terlihat.

Angga mencoba bergerak dan mengernyit saat tangannya terasa kebas. Dia mendudukkan tubuhnya sambil menghirup aroma alkohol dan obat-obatan yang menyapa indera penciumannya.

Setelah mendapati tangannya tersambung dengan selang infus, selimut polos senada dengan seprai lelaki itu mendesah kesal. Dia hendak bangkit dan turun dari brankar, tetapi urung karena mendengar suara tarikan gorden.

"Dah sadar, nih? Puas bikin kita panik?" tanya Rafka.

Lelaki itu membuka gorden diikuti oleh ketiga teman lainnya. Raden, Hisyam dan Bang Satya mengerubungi brankar tempat tidur Angga. Keempatnya menatap intens pada si pasien dengan sorot mata tajam.

"Ke-kenapa gue ada di sini? Kalian nggak ngurusin kafe? Hayuk pulang, yuk."

"Dehidrasi, kekurangan nutrisi, asam lambung naik, kelelahan, dan lo minta pulang?"

Rafka berucap dengan nada mencemooh lalu pergi begitu saja meninggalkan ruangan tempat Angga dirawat. Melihat dari caranya berbicara dan raut wajahnya mereka sudah bisa menebak bahwa lelaki itu marah.

"Pembukaan kafe nggak bisa kita lanjut kalau lo belum sehat betul, Ga," ujar Hisyam.

"Lanjut sesuai rencana meski tanpa gue, biarkan gue pulang dan istirahat di rumah. Diem di sini gue makin setres!"

Setelah melihat kekacauan di wajah Angga, Bang Satya memberi sinyal pada Hisyam dan Raden untuk keluar. Lelaki yang lebih tua itu ingin berbicara berdua saja dengan Angga. Keduanya paham dan memilih untuk keluar.

Orang lain banyak yang salah menilah persahabatan mereka. Ada yang mengatakan pertemanan palsu, pertemanan dengan bumbu kebohongan, persahabatan saling memanfaatkan, dan masih banyak lagi lainnya.

Meski begitu, apa yang sudah mereka lewati bersama adalah kunci awetnya persahabatan mereka. Meski tidak melewati belasan atau puluhan tahu, tetapi manis dan pahitnya persahabatan ini sudah bisa ditaklukkan.

"Ga, gue tahu, lo banyak banget kerjaan, tapi apa lo ngerti gimana paniknya kita ketika lo demam tinggi sampai nggak sadar?"

"Maaf, Bang."

"Lo boleh kerjain semua yang lo mau asal jangan lupa sama kebutuhan badan. Jujur gue berasa gagal jagain lo, Ga."

"Bang, pulang! Makin lama di sini gue ngerasa makin sakit."

"Gue tanya Tante Ayu dulu, kalau diizinin nganter balik, gue tanda tangan surat pulang paksa, dengan catatan lo bedrest total di rumah."

Angga hanya tersenyum menanggapi ucapan Bang Satya. Lelaki itu tidak menolak juga tidak menerima permintaan yang diucapkan lelaki yang lebih tua darinya. Meski begitu, Bang Satya beranjak dan mengusap rambut Angga—sosok yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri.

Setelah melewati drama perdebatan dengan pihak rumah sakit akhirnya Angga bisa pulang paksa. Si pasien tersenyum bahagia bisa keluar dari rumah sakit.

Angga sering mengeluhkan bahwa konsep nama rumah sakit itu tidak bisa memberikan sugesti positif. Lelaki itu berdalih bahwa rumah sakit justru membuat pasien di sana semakin sakit.

Ditambah lagi dengan pelayanan yang kadang membuat emosi naik. Entah dari perawat yang berwajah masam, melayani dengan cemberut, atau berujar dengan nada ketus. Angga merasa setiap menjadi pasien dia teraniaya mendapat perawat yang judes.

Padahal kenyataannya, tidak semua seperti itu. Semua kembali pada amal dan perbuatan, Angga tidak seberuntung pasien lainnya yang mendapat perlakuan super baik dari perawat dan dokternya.

"Coba perawatnya baik, telaten, ramah. Dokternya murah senyum, menenangkan,, pasiennya pasti cepet sehat. Terus nama rumah sakit diganti dengan rumah sehat pasti vibes positifnya langsung nyebar," celoteh Angga.

"Asal pasiennya nggak kayak lo yang cerewet, suka ngebantah, nggak mau nurut, minta pulang terus, mereka juga nggak akan gedek banget lah!" timpal Rafka.

Suasana di dalam mobil berubah menjadi arena adu argumen antara Rafka dan Angga. Raden dan Bang Satya sudah meminta Rafka untuk mengalah, tetapi lelaki itu masih terus meladeninya.

Hisyam yang sedang menyetir menjadi tidak konsentrasi dan nyaris saja menabrak kucing yang sedang menyeberang. Di menginjak pedal rem dalam-dalam sampai para penumpang terlonjak dan berteriak.

Sang sopir memilih untuk menepi. Dibukanya pintu mobil dan dia berjalan ke sisi pintu sebelah kanan. Pintu depan dan belakang dibukanya lebar-lebar.

"Kalau kalian masih mau debat konyol mending turun di sini. Gue mau pulang!"

"Syam, kok tega bener, sih? Gue masih sakit, loh!" Angga memelas.

"Lakban aja tuh si pasien biar nggak banyak bacot!" balas Rafka.

Hisyam menutup pintu mobil dengan keras dan beralih ke depan kemudi lagi. Semua terdiam dan betah dengan hening yang menjadi sekat diantara kelimanya. Sampai di halaman rumah Angga, kelimanya turun bersamaan.

Pintu rumah itu terbuka, Uti, Akung dan Ibu Ayu bahkan Agis sudah menunggu kepulangan Angga. Mereka mempersilakan sahabat Angga untuk terus naik ke kamar. Begitu sampai di kamar, mereka berpamitan untuk pulang.

"Gue mundur jadi sekretaris lo, Ga!"

Suara Rafka membuat empat pasang mata yang mengisi ruangan itu menatap padanya dengan pandangan penuh tanya. Angga tertegun begitu juga dengan ketiga teman lainnya.

"Serius, Raf?" tanya Angga.

Rafka hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan kamar Angga.

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 7

Bondowoso, 10 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro