08 ~ Membuat Kesal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bagaimana seorang pemimpin harus bersikap?
Adil! Sama rata dalam memperlakukan rekan kerja.
Bijak! Tidak menghujat pun menjatuhkan rekan kerja.
Itu semua sudah melekat pada sosok Ayah Ahsya.
Bagaimana aku bisa mengimbanginya?
Bagaimana aku bisa seperti beliau?
Sebab buah jatuh tak jauh dari pohonnya,
maka mereka membuatku setidaknya mirip dengannya.
Apa aku bisa?
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Suasana kamar meredup bersamaan dengan cahaya matahari yang terhalang mendung untuk menembus jendela kamar Angga. Dia masih bergelung dengan tidak nyaman karena sekujur tubuhnya banjir keringat.

Ini masih sangat pagi, tetapi awan hitam sudah bergelayut manja. Selepas salat Subuh tadi, Angga kembali bergelung dalam selimut. Meminta sang ibu untuk membangunkannya kembali sebelum pukul delapan pagi.

Ibu Ayu belum sampai di kamar, Angga sudah bergerak dan menyibak selimutnya. Lelaki itu mengusap keringat di kening dan lehernya. Saat duduk di tepi ranjang, dia mengangkat tangannya.

Punggung tangannya membengkak dan di bekas infusan semalam berwarna keunguan. Dia menggerakkan tangannya dan langsung meringis. Tak ingin berlama-lama, Angga memilih untuk mandi dan segera bergabung untuk sarapan.

"Tan, ini Agis tata di meja dulu."

"Boleh, setelah itu kamu bisa bangunkan Angga biar sarapan, minum obatnya dan lanjut istirahat lagi."

Suara gaduh dari arah dapur dan meja makan membuat Angga menghentikan langkahnya menuruni tangga. Lelaki itu sudah berpenampilan rapi dengan kemeja berwarna navy polos dan celana jeans membuatnya tampak lebih segar meski warna pucat masih bertengger di wajahnya.

"Loh, kok sudah rapi, Ga? Mau ke mana?" tanya Agis.

"Kafe buka hari ini, masa iya gue nggak datang."

"Bukannya kamu masih sakit, Mas? Sudah kuat?" Ibu Ayu mendekati Angga dan meraba keningnya. Wanita itu mengernyit saat sensasi hangat menjalar di indera perabanya. "Masih panas gini, loh!"

"Nggak apa-apa, Bu. Mas bawa obatnya yang semalam. Nanti juga nggak lama-lama."

"Lo yakin? Itu wajah sama tembok udah sama warnanya, Ga." Agis menyindir kasar supaya kekasihnya itu sadar akan kondisi badan yang buruk.

"Gue dah sehat! Mas pamit dulu," kilah Angga.

"Lo nggak bisa seenaknya aja, Ga! Lo pikir kita nggak khawatir pas dapat kabar kayak semalam? Lo nggak tahu gimana paniknya Tante Ayu semalam. Mikir yang bener, Ga!" Agis menumpahkan segala kekesalannya pada Angga.

Lelaki itu terpaku saat mendengar gadis yang selama ini lemah lembut ternyata bisa berteriak lantang. Angga berbalik dan menatap tajam pada Agis.

"Nggak usah banyak omong. Lo betah? Silakan stay sampai lo bosen. Kalau lo bosen? Selesaikan semua ini. Gue nggak mau ada ikatan yang ngebebanin lo, Gis."

Secara tidak langsung, Angga memutuskan Agis secara sepihak. Gadis itu hanya mampu tersenyum kecut. Hatinya remuk hingga membisukan mulut yang biasanya enggan berhenti mengoceh.

"Ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk kurang ajar dan melukai hati perempuan. Ibu juga perempuan, Ga!"

Angga mengusap wajahnya kesal. Kenapa pula ibunya itu malah membela Agis. Dia melihat ibunya berjalan sambil memeluk bahu Agis. Angga juga tidak menyangka dia bisa melontarkan kata-kata seperti itu pada Agis, gadisnya.

"Maaf, Bu."

"Ngomong sama tembok, sana!" ujar Ibu Ayu. Wanita yang tampak awet muda itu semakin mengeratkan rangkulan pada bahu Agis dan membawanya ke kamar.

🍂🍂🍂

Seorang lelaki tampak membolak-balik kertas ditangannya. Dibaca dengan teliti kata demi kata dan selalu saja berakhir dengan decakan. Gelengan kepala juga beberapa kali dia lakukan seolah tak percaya dengan apa yang dia baca.

Lelaki dengan bahu bidang itu berjalan di antara rindangnya tanaman yang menghias taman Panti Asuhan Ar-Rahman. Rumah masa kecil yang tak pernah dia lepaskan meski sudah menjadi orang yang sukses.

Ardi Rusman tak sendirian, dia ditemani dengan wanita berparas ayu yang menuntun gadis mungil berusia hampir dua tahun. Di tengah mengamati berkas di tangan, sesekali Ardi menjawab ocehan putri kecilnya.

"Apa dia masih sering menyita perhatianmu, Mas?" tanya Raras, istri Ardi.

"Dia terlalu sempurna. Aku masih saja tak menyangka bocah gembul yang selalu menemani masa kecilku sudah beranjak menjadi pemuda tampan, cerdas, juga berjiwa sosial tinggi. Aku yakin dia bisa seperti ayahnya. Aku ingin menyapanya dengan benar. Bukan seperti kemarin yang hanya menyapa lalu pergi begitu saja saat dia kesusahan.

"Segera temui dia, katakan bahwa kau merindukannya. Hanya mengagumi dan memendam rindu tak akan menyelesaikan semuanya. Lebih baik menjaganya secara terang-terangan daripada bersembunyi seperti ini." Raras menimpali sambil menyuapkan biskuit ke mulut putrinya.

"Dia bahkan lupa padaku, biarlah seperti ini dulu, Dik. Untuk saat ini, biarlah aku berdiri di garis terluar penjagaannya. Mungkin dia lupa padaku, tapi aku tidak akan pernah melupakannya. Meski sudah tak ada yang percaya padanya, aku akan menjadi yang paling mempercayainya."

Raras hanya tersenyum menanggapi ucapan suaminya. Ardi seolah tak pernah kehabisan bahan untuk membahas bocah gembulnya. Si kecil yang menemani masa kesepian di panti, bocah gembul yang selalu memanggilnya Kak Didi. Si kecil itu kini menjelma menjadi atasan di tempat dia bekerja.

Sosok Ardi Rusman yang menjadi kepercayaan dari Ahmad Syauqi juga tidak berbeda jauh prosesnya seperti kedekatan Rafka, Raden dan Bang Satya dengan Angga. Semua semata-mata karena kebaikan seorang Ahmad Syauqi.

"Dik, mau ikut nggak? Dia mau ngadakan peresmian kafe barunya siang ini. Tempatnya enak, bisa dijadikan tempat nongkrong, nih," ajak Ardi pada istrinya.

🍂🍂🍂

Lantai atas Pandawa's Caffe mendadak heboh saat melihat Angga tiba di sana. Bang Satya sudah memberikan instruksi tanpa suara untuk membawa Rafka menjauh dari Angga. Raden mengangguk dan langsung menyeret Rafka untuk turun dan mengecek persiapan pembukaan kafe.

"Lo gila, Ga? Udah sehat banget?" ujar Hisyam sambil mendekat dan mencoba merada kening Angga, tetapi lelaki itu menepisnya dengan keras.

"Udah, lah! Kalau nggak mana bisa gue nyampe sini dengan sehat wal afiat, selamat dan damai kek begini."

"Bang Sat, adek lo yang satu ini badungnya kebangetan. Keras kepala banget kalau dibilangin." Hisyam menggeleng dan berdecak kesal melihat wajah tengil Angga.

"Lo yakin dia keras kepala? Kalau kepala dia sama aspal, lebih keras mana?"

"Lebih keras kepala dia, Bang!" jawab Hisyam.

"Gue udah sehat, Bang. Lo nggak lihat ini muka udah glowing, shining, shimering macem porselen?"

"Ga, Rafka itu marahnya lama. Kemarin dia marah besar, dan sekarang lo malah nyari mati datang ke sini. Kalau misal nanti nih kafe nggak jadi dibuka, semua gara-gara lo sendiri."

Angga hanya menampilkan jejeran gigi putihnya lalu beranjak meninggalkan Bang Satya dan Hisyam kemudian berlari menuruni tangga.

Di lantai bawah, beberapa tamu undangan sudah hadir. Semua bersiap pada posisinya. Kelima pemilik Pandawa's Caffe berdiri dengan pita melati melintang. Kelimanya memegang gunting dan tepat di hitungan ketiga, kelimanya memotong pita yang dilingkari rangkaian melati.


🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 8

Bondowoso, 11 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro