09 ~ Sejajar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Katanya, skala prioritas itu penting.
Berurusan dengan yang penting dan genting.
Penting, tetapi tidak genting.
Tidak penting, tapi genting
Tidak penting, juga tidak genting.
Namun, bagaimana jika semuanya penting & genting?
Bolehkah egois dan meletakkannya sejajar?
Mereka hanya tertawa dan berkata,
"Kau berniat bunuh diri?"
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Waktu menunjukkan tengah malam. Pengunjung Pandawa's Caffe mulai berkurang. Sejak pembukaan siang hari, semua sibuk menemui pengunjung. Saling menyapa tamu dan undangan yang hadir.

Beberapa pengunjung yang tertarik dengan penawaran dan promo hari itu juga tidak kalah ramainya. Para owner fokus untuk memberikan pelayanan terbaik pada pengunjung. Mereka memegang teguh dengan prinsip 'Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.'

Bahkan kata-kata itu terbingkai di salah satu sudut yang strategis supaya semua pengunjung bisa membacanya. Belum lagi dengan quotes menarik yang menghiasi beberapa dinding di dalam kafe.

Pekerja dan pemilik kafe sama-sama terlihat lelah, tetapi melihat binar mata pengunjung dan senyum serta ucapa terima kasih, rasa lelahnya terbayar lunas. Mereka menghela napas lega saat membalik gantungan bertulis 'open' menjadi 'close'.

"Alhamdulillah. Selesai juga pembukaan hari ini. Terima kasih untuk semuanya, kalian terbaik," ujar Angga.

Suarah riuh tepuk tangan dari para pekerja dan teman-temannya mengisi keheningan malam. Angga merasa puas dengan pencapaiannya kali ini. Setidaknya dari penghasilan kafe nanti dia bisa membantu beberapa temannya supaya memiliki penghasilan.

"Kalian bisa pulang setelah membereskan semua ini. Jangan lupa, kita mulai beroperasi jam sepuluh pagi. Persiapan dimulai jam sembilan. Saya harap tidak ada yang terlambat."

"Siap, Bang!" ujar para pekerja serempak.

Mereka membubarkan diri dan hanya menyisakan para pemilik kafe. Angga duduk di sofa dan menyandarkan kepalanya yang mulai memberat. Begitu juga dengan Hisyam dan Raden.

Bang Satya memilih untuk mengikuti para pekerja dan ikut serta merapikan beberapa sudut kafe. Tidak berapa lama, dia kembali berkumpul dan mengajak keempat lainnya untuk pindah ke lantai atas.

"Raf, lo bisa tarik kata-kata lo, nggak? Gue benar-benar butuh lo di kantor ayah. Gue nggak sanggup ngurus sendirian." Angga memelas berharap temannya itu berubah pikiran.

"Kan ada Kak Ardi? Dia udah lebih dari cukup buat jadi tangan kanan lo!"

"Gue masih belum bisa percaya sepenuhnya ke dia. Ada rasa canggung, ayolah, Raf!"

"Syarat gue satu, lo mau nurut apa nggak?" tantang Rafka.

"Iyaa, deh! Gue nurut,"

"Satu lagi, lo harus bikin skala prioritas. Nggak bisa yang asal dan dikerjain semuanya."

"Kuliah, kantornya Ayah Ahsya, kafe, semua itu sama, Raf. Nggak ada yang gak penting. Semuanya penting, sejajar, sama."

Geram mendengar ucapan Angga, Raden yang biasanya pendiam dan menerima setiap keputusan dengan santai tiba-tiba melemparkan bantal ke wajah Angga. Dahinya merengut dengan alis yang nyaris beradu.

"Heh! Emangnya lo amoeba yang bisa membelah diri? Atau lo bisa pakai jurus seribu bayangan punya Naruto buat kerjain semuanya sekaligus?" bentak Raden pada Angga.

"Mau gimana lagi? Semua emang udah telanjur ada di pundah gue, Den."

"Pertanyaan gue satu, lo sanggup nggak, Ga? Jangan hanya karena beban itu terus lo abai sama Tante Ayu, Uti, Akung, Agis, dan kita-kita. Lo pinter, tapi bego!"

Raden beranjak dan langsung berpamitan pada teman-temannya begitu selesai menumpahkan uneg-unegnya pada tempat yang tepat. Angga hanya memandang sendu pada sahabatnya itu.

Lelaki 21 tahun itu menoleh pada Rafka dan Hisyam. "Kenapa Raden pergi?"

Keduanya kompak mengangkat bahu dan menggeleng tanda tidak paham dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kayaknya dia takut lo kayak bapaknya yang meninggal karena kerja mati-matian sampai lupa anak-istri."

Angga manggut-manggut dan tidak berkomentar apa-apa lagi. Hingga sebuah suara persetujuan dari Rafka untuk kembali menemaninya di J.A Express, barulah Angga beranjak dan merangkul sahabatnya itu.

"Pokoknya makasih banget, selanjutnya nggak ada acara ngambek lagi, kek bocah lo, Raf!"

Setelah menemukan titik terang, Angga pulang, perasaannya sedikit lebih lega karena Rafka sudah bersedia kembali. Namun, dia masih menyisakan satu rasa tidak enak tentang Agis.

Merunut pada kejadian belakangan ini, Angga sadar bahwa dia seringkali mengabaikan Agis. Padahal sang gadis selalu saja ada untuknya. Rasa bersalah menyusup mengisi relung hatinya.

Belums sampai di rumahnya, dia menepi di tempat yang sedikit ramai. Dibukanya ponsel pintarnya yang berlatar foto dirinya dan Agis. Diusapnya gambar itu perlahan sembari mengenang kembali tawa saat foto itu dihasilkan.

Tangannya menggulir layar ponsel hingga menemukan nomor sang kekasih. Setelah beberapa kali berdering, akhirnya suara serak menyapa indera pendengaran Angga.

"Hm, ada apa, Ga?" tanya suara dari seberang

"Sori, ganggu tidur lo malam ini. Gis, boleh nggak kalau kita melepas status pacaran kita? Gue takut malah makin ngebebanin lo."

"Gue nggak ngerasa terbebani. Apa harus gue bilang kalau gue tulus? Apa gue perlu bilang juga kalau gue memberi tanpa berharap?"

"Gue yang sakit ngelihat lo kayak gitu. Tanpa lo bilang, gue sudah tahu kalau lo tulus dan ikhlas jalani ini semua sama gue. Sayangnya, beban pikiran gue lagi nggak baik-baik saja."

"Istirahat, menjauh sekalian kalau lo mau. Ambil waktu sebanyak yang lo mau. Pas kembali nanti, lo bakal tetap nemuin gue di situ, di tempat lo kembali."

"Gis, sori! Kita break dulu, ya?"

"Nggak apa-apa. Gue selalu siap misal lo butuh bantuan, yang break hanya status kita, tapi lain-lainnya masih sama seperti sebelumnya."

Angga menghela napas berat begitu salam dan sambungan telepon diakhiri. Lelaki itu menengadah dan menatap gelapnya langit yang bertabur bintang. Ada keindahan meski gelap menyelimuti.

Setetes bulir bening menetes, bukan karena perasaannya yang terluka, melainkan rasa rindunya yang menyiksa. Angga berandai-andai, jika saja ayahnya masih ada, tentu dia tidak akan seperti ini. Sayangnya, semua sudah terjadi. Sebab takdir kembali menunjukkan kuasanya. Mempertemukan yang terpisah, lalu memisahkan temu yang sudah berjalan.

Hari berganti, sesuai dengan kesepakatan semalam, Rafka benar-benar muncul di ruang kerja Angga. Keduanya tengah sibuk memeriksa dan mencocokkan laporan keuangan yang diterima dari Ardi.

Dua buah laptop terbuka di atas meja, beberapa kertas berisikan data berserak. Belum lagi tabel dan neraca keuangan yang terpampang di layar laptop dengan kombinasi angka yang bervariasi cukup membuat Angga sakit kepala.

Dia menatap Rafka yang fokus memeriksa laporan tersebut sambil mengacak-acak rambutnya. Berantakan dan sangat tidak rapi. Angga menyerah untuk mengikuti pergerakan Rafka.

Angga memilih pasrah dan percaya pada Rafka yang merupakan sarjana Akuntansi. Dia sudah tidak sanggup memeriksa lagi. Meski dia suka Matematika, tetapi jika berurusan dengan laporan, dua tangannya terangkat ke udara dengan bendera putih yang berkibar.

"Lo yakin ini laporan udah semuanya? Sepertinya ada selisih dan ada beberapa poin di sini yang nggak jelas peruntukannya," kata Rafka.

"Maksudnya?"

"Lo coba cek di situ yang sudah gue blok beda warna. Beberapa kali pengeluaran itu hanya menyebutkan nama Kak Ardi sebagai perima, tapi peruntukannya untuk apa nggak ada keterangan."

"Terus ini untuk apa? Kenapa keterangannya hanya transfer Ar-Rahman?" tanya Angga."

"Iya, itu juga salah satunya yang nggak jelas hanya nominal dan tujuan, tanpa keterangan untuk apa uang tersebut ditransfer."

"Mencurigakan nggak, Raf?"

Rafka mengangguk dan membuka laporan lainnya berharap menemukan sesuatu yang berbeda. Sementara itu Angga justru tenggelam dalam lamunann dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas temuannya ini.


🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 9

Bondowoso, 12 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro