14 ~ Sejujurnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka melihat aku menerima dan mampu.
Namun, sebenarnya aku lelah dan ingin menyerah.
Semua yang aku lakukan adalah keterikatan.
Terikat pada janji, tertambat pada ucapah yang disepakati.
Itu setimpal, serupa bayaran yang aku terima
atas pilihan yang aku tetapkan.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Bagi teman dan keluarganya, sosok Hanggara Syauqi adalah lelaki yang bertanggung jawab. Sosok anak lelaki satu-satunya yang mampu mengambil alih dan menjalankan usaha keluarga sepeninggal ayahnya.

Angga juga terlihat mampu untuk menjadi pemimpin bagi teman-temannya dalam menjalankan usaha bersama. Meski semua yang dilakukannya adalah untuk bersama, tetapi Angga lebih banyak meluangkan waktu untuk bisa bersama dan terlibat langsung.

Banyak yang mengira Angga adalah orang yang terbuka. Namun, sedikit yang menyadari banyak hal yang dia sembunyika di balik wajah ceria. Kadang tingkah konyolnya sering membuat orang salah persepsi mengenainya.

Lelaki itu masih menempati brankar di salah satu kamar rawat. Perlahan kesadarannya kembali bersamaan dengan guncangan di tubuhnya. Suara familiar dari Rafka memenuhi indera pendengarannya.

"Ga, bangun!"

Cahaya silau masuk dan membuat matanya sedikit sakit. Manik mata yang tadinya tertutup mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan pencahayaan dari luar. Angga mendesah sambil meletakkan sebelah tangan untuk menutupi wajahnya.

Setelah beberapa saat, dia baru menyadari bahwa ruangan yang ditempati itu bukan kamarnya. Dia berusaha untuk bangkit dari tidur, tetapi gagal karena pening menyerang kepalanya.

"Tiduran aja, Ga. Jangan maksain diri." Suara Bang Satya memperingatkannya.

Angga masih berusaha mengumpulkan puing kesadarannya yang tercecer. Dia meraba kedua matanya yang terasa sembab. Tidak lupa menghapus jejak air mata yang terisa. Entah mengapa, rasa sedih melingkupi hatinya.

Ada rasa nyeri mencubit hatinya. Seketika itu juga mendung kembali menghias di wajahnya. Menahan sesak yang tiba-tiba saja hadir. Ingatannya kembali pada masa di mana sang ayah masih hidup.

"Ga, kalau lo udah ngerasa capek jangan lanjut ngapa-ngapain. Rehat bentar," ujar Bang Satya. "Kita peduli sama lo, jadi jangan pernah sungkan kalau mau cerita."

"Bang, bisa tinggalin gue sendiri dulu?" pinta Angga.

Suaranya serak dan lemas terdengar sangat menyedihkan di telinga kedua sahabatnya. Tanpa banyak bertanya, Bang Satya dan Rafka beranjak dan meninggalkan ruangan itu.

"Kita di luar kalau lo butuh apa-apa. Bentar lagi Tante Ayu datang." Bang Satya berujar sesaat sebelum menutup pintu.

Suasana hati Angga benar-benar buruk. Sedetik sebelumnya bahkan dia berpikir untuk pergi dari ruang rawatnya. Sempat juga memikirkan untuk menyudahi semua dan pergi untuk menemukan bahagianya yang lain.

Semakin lama dia merasa ingin egois untuk sebentar saja. Hingga bulir bening kembali jatuh membasahi pipinya. Barulah lelaki itu menarik napas dan melepaskannya dengan keras. Bergumul dengan pikiran disaat tubuh tidak sehat sangat menguras tenaganya.

Dia melirik nakas dan menemukan ponselnya tergeletak di sana. Angga mengambilnya dan mencoba menghubungi seseorang."

"Asalamualaikum, Kak Ardi?"

"Wa alaikum salam, maaf saya harus pergi sebelum kamu sadar," jawab penerima telepon dari seberang.

"Saya yang harus minta maaf. Saya lalai dan ...."

"Jangan pikirkan pekerjaan dulu, pikirkan kondisimu," potong Ardi sebelum Angga melanjutkan pembicaraan lebih jauh.

"Maaf, saya mengacaukan semuanya."

"Tidak ada yang mengacaukan. Allah sedang menunjukkan perhatiannya dan memintamu untuk beristirahat. Cepatlah pulih dan segera kembali ke kantor."

"Terima kasih, Kak."

"Kembali kasih, bocah!"

Angga menurunkan tangannya dengan perlahan. Dia tertegun dengan ucapan terakhir Ardi Rusman sebelum menutup telepon. Ada gelenyar aneh yang memenuhi perasaannya. Sekali lagi, dadanya sesak seperti ada yang menekannya.

Degup jantungnya menggila. Pelan. Lelaki itu mencoba membuka dan memilah kenangan masa lalunya. Dia ingat, ada sosok yang sering memanggilnya bocah, hanya saja wajah yang diingatnya mengabur.

Lelaki dengan pakaian pasien itu menunduk dalam ketika kepalanya memberat dan pening menyerang. Demam yang semula sedikit menurun kembali naik dan membuatnya menggigil.

Derit pintu menarik perhatiannya untuk mengangkat kepala. Dengan pandangan yang tidak jelas, dia melihat dua orang wanita masuk dan terburu-buru menghampirnya.

"Ada yang sakit, Mas?" tanya Ibu Ayu.

Sang ibu menampakkan raut wajah khawatir. Ibu Ayu berpindah ke sisi sebelah kanan Angga dan melanjutkan memeriksa anaknya. Dirabanya kening dan leher Angga meski lelaki itu menggeleng menanggapi pertanyaannya.

"Tangan Ibu dingin. Tetap begini, ya!" Angga meletakkan lengan Ibu Ayu di bawah lehernya.

Ibu Ayu menurut dan memeluk tubuh putra semata wayangnya dengan tangan kiri di bawah leher dan tangan kanannya mengelus punggung Angga. Sesekali kecupan mendarat di kepala Angga.

"Demamnya tinggi, Mas. Ibu mintakan kompres saja, ya?"

"Biar Agis yang bilang sama petugasnya, Tan." Wanita yang pernah berstatus menjadi pacar Angga itu lantas beranjak dan meninggalkan ruangan.

Angga menikmati setiap perlakuan sang ibu. Dia juga menikmati setiap nyeri di persendiannya karena demam sialan. Lelah yang selama ini ditahannya seperti tumpah dan menghajarnya bersamaan.

Di detik berikutnya, Angga meraba hidungnya saat merasakan sesuatu mengalir di sana.

"Bu, Mas mimisan," ujar Angga lirih.

Ibu Ayu langsung meraih tisu di nakas dan menundukkan kepala Angga. Dipijatnya perlahan pangkal hidungnya untuk menghentikan perdarahan. Tidak ada kata yang terucap lagi selain sorot mata khawatir melihat putranya kesakitan.

Bang Satya dan Rafka masuk ke kamar rawat Angga bersamaan dengan Agis yang kembali membawa kompres. Keduanya memilih untuk kembali ke kafe dan berjanji akan kembali lagi saat malam.

Beberapa jam tinggal di rumah sakit, saat visite tiba. Dokter akan mengunjungi pasiennya satu persatu, memeriksa catatan kesehatan pasien dan memberikan peringatan untuk pasiennya.

Angga menunduk seperti kehilangan muka saat dokter menjelaskan soal sakitnya. Lagi, kelelahan akut dan dehidrasi yang menjadi penyebab tumbangnya kali ini. Ditambah dengan stres berkepanjangan yang menjadi pendukungnya.

Ibu Ayu sesekali melirik ke arah putranya saat dokter menjelaskan semuanya. Hingga saat dokter meninggalkan ruangan, dia mendekat dan mengecup kening sang putra.

"Ibu nggak tahu yang Mas pikirkan. Ayah pasti nggak suka kalau anaknya terbebani. Lepaskan saja kalau semisal ini terlalu berat untuk Mas."

"Nggak ada yang berat, Bu! Mas hanya butuh istirahat, itu saja."

"Jangan pernah menyembunyikan sesuatu. Ibu akan tahu cepat atau lambat. Cepat sehat, Mas."

Angga mengangguk pelan dan menyembunyikan wajahnya supaya sang ibu tidak melihat matanya berkaca-kaca. Bukan perasaan lega yang Angga dapat, melainkan rasa bersalah karena membuat ibunya khawatir padanya.

Air mata sang ibu yang menetes karenanya semakin membuat hati Angga teriris. Padahal dia berjanji untuk tidak membuat ibunya meneteskan air mata lagi setelah kepergian sang ayah.

Janji itu kini diingkari, sebab yang menjadi penyebab menetesnya air mata itu adalah dirinya sendiri. Baru beberapa saat yang lalu dokter memperingatkannya untuk tidak banyak berpikir, tetapi kalau situasi seperti itu, bagaimana caranya untuk tidak berpikir?

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 14

Bondowoso, 17 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro