17 ~ Entahlah!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Di saat semua sudah mulai melelahkan.
Di saat waktu mulai terasa lama untuk dilewati.
Di saat yang mendekat sudah menjauh pergi.
Ah, entahlah!
Mengapa semua terasa ..., yah, begitulah!
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Detik yang berlalu mungkin tidak akan pernah kembali. Namun, detik yang akan datang masih bisa kita rencakan. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin hingga hari ini lebih baik dari sebelumnya.

Tepat sehari setelah kedatangan tamu perwakilan dari kantor cabang, Angga mulai meninjau hal yang harus dilakukan sesuai saran Ardi Rusman. Sangat bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan tindakan korupsi.

Herannya, orang yang dipercayai sebagai pimpinan cabang itu termasuk salah satu kepercayaan Ahmad Syauqi. Hal ini disampaikan oleh Ardi Rusman. Entah mengapa, Ardi Rusman juga tidak menyangka dia bisa lalai dalam memenuhi kesejahteraan karyawan.

Angga akhirnya mengerti dan mulai memahami bagaimana ayahnya memimpin J.A Express. Salah satunya adalah kekeluargaan. Meski banyak mengeluarkan biaya, sang ayah masih saja terus membantu mereka yang membutuhkan.

Dari cerita Ardi Rusman juga Angga mengerti bahwa segala yang ayahnya berikan itu bukanlah berupa materi. Melainkan pekerjaan yang menjamin kesejahteraan mereka ke depannya. Sebut saja salah satu OB yang dulunya adalah pemulung di sekitar kantor.

Melihat anak muda yang bekerja menjadi pemulung, ayahnya langsung menemui dan menawarinya untuk bekerja menjadi OB. Ternyata, hampir separuh dari karyawan di sana adalah mereka yang awalnya pengangguran dan bertemu tanpa sengaja dengan ayahnya.

"Kak, apa ini bisa diselesaikan dengan segera tanpa mempengaruhi perusahaan pusat?" tanya Angga.

Lelaki itu memijat keningnya setelah mengusap wajahnya kasar. Wajah lelahnya sangat kentara. Lingkar hitam di bawah matanya sudah cukup memberitahukan bahwa tidurnya kurang. Belum lagi dengan penampilan kuyu, seperti tanaman yang belum disiram berhari-hari.

"Kita bisa menyelesaikannya. Nggak usah khawatir sama hal itu. Dek, kamu percaya saya?"

Angga mengangguk. "Saya mencoba percaya dengan orang yang ayah percaya. Kalau Kak Ardi bisa bertahan hingga sepuluh tahun dengan Ayah, lantas apa alasan saya untuk tidak mempercayai?"

"Kalau begitu, untuk apa mencari tahu soal panti asuhan dan saya?"

"Entahlah, saya merasa ada yang janggal dengan Kakak. Karena beberapa pengeluaran perusahaan tiba-tiba tertuju pada panti asuhan itu."

Sosok lelaki yang lebih tua itu hanya tersenyum. "Nanti Adek akan tahu dengan sendirinya," ujar Ardi Rusman sambil beranjak meninggalkan ruangan Angga. "Hey, bocah! Jangan lupa istirahat. Rehat sehari untuk refreshing nggak akan bikin perusahaan bangkrut!"

Angga tersenyum kaku mendengar ucapan Ardi Rusman. Sementara itu, Rafka yang sedari tadi hanya menjadi penonton memilih mendekat ke arah Angga. Ditepuknya bahu si bos sambil menyodorkan ponselnya.

"Seriusan? Alhamdulillah. Akhirnya bisa juga gue lanjut skripsweet yang nggak ada sweet-nya sama sekali ini," ujar Angga.

Di tengah kabar buruk yang menimpa perusahaannya, dia menerima kabar baik dari dosen 'tersayangnya', Bu Agnes. Beliau memberi kabar melalui Agis mengenai judul yang sudah direvisi dan siap dieksekusi.

Agis yang paham kesibukan Angga akhirnya memilih memberi kabar mengenai hal itu pada Rafka. Ada sedikit lega yang melingkupi Rafka. Setidaknya, satu langkah Angga sudah terbuka.

🍂🍂🍂

Hari-hari berlalu, Angga semakin tenggelam dengan kesibukannya. Dia kerap kali pulang larut malam dan berangkat lebih pagi, bahkan saat sang ibu belum selesai menyiapkan sarapannya.

Rutinitasnya semakin memadat. Seperti pusat ibu kota negara di pagi hari. Padat merayap tanpa celah.

Pagi hari dia sempatkan mengunjungi kafe, mengecek beberapa persediaan dan mengkonfirmasi pada bagian gudang dan pengadaan barang. Saat matahari sudah mulai merangkak naik, dia sempatkan untuk ke kampus.

Meski hanya satu atau dua jam, dia pasti hadir di kampus untuk mencari referensi, berdiskusi dengan beberapa teman, atau dosen pembimbing. Harapannya untuk segera lulus sangatlah besar.

Sebelum memasuki waktu salat Zuhur, si putra tunggal itu meluncur ke kantor pusat J.A Express. Rupanya, peluncuran tim khusus memiliki kendala terkait dengan izin dari pihak kepolisian, dan berujung pada penundaan peluncuran tim khusus tersebut.

"Raf, iced espresso-nya satu, ya!" pinta Angga begitu memasuki ruangannya.

"Tante Ayu nggak kasih izin buat lo ngopi, Ga. Soalnya lo belum sarapan!"

"Udah! Gue sarapan di kafe. Lo aja yang nggak tahu," kilah Angga.

"Lo sarapan apaan? Di kafe tadi pagi adanya kopi sama roti kering, gitu!"

"Itu kan sarapan, Raf!"

"Sarapan pala lu? Perasaan seharian kamarin lo nggak ada nyentuh makanan, Ga. Kopi aja yang lo minum. Serius itu lambung nggak kenapa-kenapa?"

"Gue cari kopi dulu. Lo di sini aja. Bawel banget, si?" ujar Angga.

Angga berlalu meninggalkan ruangannya. Lelaki memilih pergi dan menghindari ocehan dari sahabatnya. Lelaki itu paham bahwa sang ibu sudah memberi tahu Rafka soal dirinya yang berangkat pagi dan melewatkan sarapannya.

Selang setengah jam berlalu, Angga kembali membawa satu cup besar berisi iced espresso, dan satu lagi berisi es teh. Di tangan kanannya, satu buah kresek berisi makanan berat untuk dirinya dan Rafka.

"Makan, Raf!"

"Lo juga butuh makan. Kenapa ini rice bowlnya satu doang? Buat lo aja, dah! Gue mau rujak manisnya," tunjuk Rafka pada wadah mika berisikan berbagai macam buah dan bumbu kacang yang kental.

"Ogah! Lo itu, ini buat gue. Gue nggak bisa makan nasi, Raf."

Rafka mengernyitkan keningnya. "Sejak kapan? Kenapa gitu? Ada yang salah sama nasi?"

Angga menggeleng lantas memasukkan buah mangga berselimut bumbu kacang. Lelaki itu berkonsentrasi untuk makan dan menelan makanannya.

"Gue mual sama muntah abis makan nasi, Raf!"

"Terus lo makan apaan?" Rafka mulai menaikkan intonasi biacaranya.

"Nggak usah ngegas, kali. Gue masih bisa makan biskuit, buah, sama kopi atau jus."

"Heh, lo butuh karbo juga, Ga. Itu nggak coba kentang, ubi, atau apaan gitu? Emang minum aja kenyang? Ke dokter aja dah!"

"Nggak usah, meski nggak makan nasi kita juga masih bisa hidup."

Rafka kehilangan kata-kata. Dia lebih khawatir lagi saat melihat wajah sahabatnya yang sudah mulai tampak lelah itu. Beberapa kali lelaki itu memang lalai dalam urusan makan.

"Ga, bisa nggak lo kurangin kegiatan atau minggirkan satu kegiatan? Misal urusan kafe kita serahkan ke Bang Satya, Raden, sama Hisyam. Untuk urusan cek barang atau urusan lain gue rasa mereka bisa ngatasinnya."

Angga menggeleng. Lelaki itu menyeruput minumannya sampai tersisa setengah. Diletakkannya cup es tersebut ke meja. Lantas disandarkan tubuhnya ke sofa.

"Mereka udah jaga tiap hari. Ngatasin pelanggan, masalah di kafe pas gue nggak di sana. Kerjaan mereka udah banyak, Raf."

"Kerjaan lo juga banyak, kunyuk! Lo nggak bisa mikir bener apa? Emosi gue ngadepin keras kepala lo ini!"

"Kalau lo nggak kuat, gue bisa bebasin lo dari kerjaan di sini, Raf," ujar Angga lirih.

Rafka terdiam, dia merutuki dirinya yang berkata serampangan dan membuat Angga memasang wajah sendunya. Sahabatnya itu tampak benar-benar pasrah pada apa yang akan diucapkannya sebentar lagi.

Angga memandang Rafka dengan wajah memohon belas kasihan. Hingga Rafka berdiri, Angga juga ikut berdiri. Namun, tidak ada interaksi lagi dari keduanya.

Rafka mengemasi beberapa barangnya, memasukkan laptop ke dalam tas, merapikan berkas di meja, dan memakai jaketnya. Sementara Angga hanya berdiam diri dan mengamati sahabatnya itu mondar-mandir di hadapannya.

"Gue cari angin dulu, kerjaan dah beres. Istirahat. Ntar gue sampein ke Kak Ardi biar nggak ada yang ganggu untuk hari ini."

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 17

Bondowoso, 20 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro