18 ~ Terlalu Aneh!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Katanya, saat lelah aku harus beristirahat.
Nyatanya, aku tidak memiliki waktu untuk itu.
Katanya, saat aku bosan harus mencari penyegaran.
Nyatanya, lagi-lagi aku tidak memiliki waktu.
Waktu begitu jahat membatasi segalanya.
Padahal, manusialah yang lalai.
Tidak bisa mengatur dan meluangkan waktu.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Banyak yang mengatakan bahwa manusia adalah makluk serakah. Semua ingin dilakukan, ingin dicapai, ingin ditaklukkan. Namun, apalah daya? Keinginan itu tidak selaras dengan kenyataan.

Ada yang berusaha mati-matian, ternyata dipatahkan dalam sekejap. Ada yang tidak berusaha apa-apa, nyatanya mampu meraih yang diinginkan. Mereka yang berusa mati-matian kalah dengan takdir yang berperan.

Menerima lalu mengikhlaskan adalah cara untuk berdamai. Mereka yang tidak melakukan apa-apa, tetapi bisa melanjutkan dan meraih keinginannya anggap saja bahwa takdir sedang berpihak padanya.

Sosok Hanggara Syauqi salah satunya. Di balik sengsara permasalahan kantornya, ada nikmat lain yang dia dapat. Satu pintu rezeki dibuka. Judulnya skripsinya mendapat persetujuan.

"Jangan menghujat Allah. Dia tidak akan pernah salah dalam memberikan rezeki. Sebab soal jodoh, maut, dan rezeki sudah diatur-Nya dengan baik. Syukuri yang Mas dapat karena segala kebaikan itu pasti datangnya dari Allah. Apa yang terjadi padamu, berarti itu yang terbaik menurut Allah. Paham, Mas?" kenang Angga

Lelaki itu duduk termenung di balkon kafe yang terletak di lantai dua. Dia menghentikan sejenak tarian tangannya di keyboard. Secangkir kopi lagi-lagi menemani malamnya bersama dengan sebuah laptop yang menyala.

Tangannya merogoh saku jaket yang disampirkan di kursi. Diambilnya sebungkus rokok beserta pemantiknya. Jari telujuk mengapit sebatang rokok yang baru saja dia bakar dengan pemantik.

Dihisapnya rokok itu dalam-dalam sampai paru-parunya penuh asap lantas meniupkannya di udara. Bersamaan dengan kepulan asap yang mengudara, beban pekerjaan, masalah yang ada terasa terangkat sebagian.

Lelaki itu menoleh saat melihat pergerakan. Matanya menangkap sosok yang dihormatinya sebagai yang tertua di Pandawa's Caffe tengah berdiri dan menatap tajam ke arah tangan yang memegang rokok.

"Iseng aja, Bang. Lumayan ngurangin penat," ujar Angga menjawab tanya di wajah Bang Satya.

"Gue nggak tanya. Gue mau tanya satu, kenapa lo sampai segitu marahnya sama karyawan. Salah dia apa?"

"Nggak becus kerjanya. Numpahin minuman ke pelanggan."

"Lo bisa negur baik-baik 'kan? Nggak harus tarik urat leher di depan orang-orang. Lo kenapa sih, Ga?"

"Namanya juga orang salah, Bang. Emangnya nggak boleh negur gitu?"

"Lo salah kalau pakai cara begitu. Lo bukan negur, tapi malah bikin malu karyawan," ucap Bang Satya ketus. Baru dua langkah berbalik untuk pergi, Bang Satya memutar badannya lagi. "Ngapain lo bakar tuh rokok kalau nyatanya asapnya lo buang-buang. Harusnya simpan aja di paru-paru lo biar nggak nambah-nambahin polusi bumi."

Angga mengangkat sudut bibirnya dan mematikan rokok yang tersisa setengah. Dia tersindir sekaligus tersadar. Kenikmatannya menghisap rokok hanyalah semu. Mungkin dia mendapat tenang, tetapi dia menyumbang penambahan polusi udara bumi.

Setelah kafe tutup, Angga merapikan semua barangnya dan menuju lantai bawah. Dia menenteng tas dan menyampirkan jaket di pundaknya. Begitu sampai di lantai dasar, dia menemukan keempat temannya sedang duduk bersama di salah satu meja.

"Mo ke mana? Kita butuh nambah karyawan. Cowok yang lo permalukan tadi berhenti," ucap Rafka.

"Balik," sahut Angga.

Angga sadari dirinya menjadi pusat perhatian. Sahabatnya yang lain juga menatapnya dengan pandangan kesal. Hisyam beranjak dan menarik Angga untuk duduk bersama.

"Duduk dulu. Ini masalah bersama, jangan pulang!" Hisyam mendudukkan Angga di sebelah Rafka.

Namun, Angga memilih untuk berontak dan meninggalkan teman-temannya. Langkah kakinya membawa dia menuju ke pintu.

"Bagus, habis bikin masalah malah minggat! Mana tanggung jawabnya sebagai owner?"

Angga berbalik dan langsung menggebrak meja karena tersinggung dengan ucapan Rafka. Matanya memerah, ditatapnya Rafka dengan penuh amarah.

"Nggak usah kayak anak kecil gini, lah! Kalau kalian mau adu jotos di luar sana. Aset di sini terlalu berharga dibanding sikap kekanakan kalian." Bang Satya berujar sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Lelaki yang lebih tua itu menunggu, begitu juga dengan Raden yang sedari tadi hanya menatap pergerakan Angga. Raden bangkit dan menepuk pundah Angga perlahan.

"Balik, lo kelihatan capek banget. Gue nggak tahu apa yang lo kerjakan seharian ini. Suasana hati lo lagi nggak baik," ujar Raden sambil menggiring Angga dan membawanya ke luar. "Gue pinjem mobilnya, Syam." Raden berteriak setelah menyambar kunci mobil Hisyam di laci meja kasir.

Raden memang terlalu ajaib bagi mereka. Terkadang saat yang lainnya sudah jenuh dan mulai teracuni penat, lelaki itu bisa menjadi penenang. Kemudian, di saat yang lainnya memanas, dia bisa menjadi penengah sehingga pertengkaran tidak berlanjut.

Sepeninggal Angga dan Raden, Rafka menghela napasnya. Begitu juga dengan Bang Satya dan Hisyam. Ketiganya terjebak hening. Meski hanya sebentar, suasana yang memanas itu rupanya berpengaruh juga pada suasana kafe.

"Seharian ini dia ngapain, Raf?"

"Kerja, Bang!"

"Iya, gue paham kalau kerja. Maksudnya apa yang dia kerjakan sampai kayak gitu?"

Rafka lantas membuka suara dan bercerita panjang lebar mengenai Angga. Mulai dari permasalahn kantor yang bersiap merugi karena ulah pimpinan cabang, sampai kabar mengenai kelanjutan skripsinya. Setelah itu Rafka berlanjut tentang kebiasaan Angga yang bisa dibilang terlalu berbahaya untuk tubuhnya sendiri.

Lelaki itu juga bercerita bahwa sahabatnya itu lebih sensitif. Bahkan beberapa kali Rafka mendapati Angga tengah memarahi OB yang salah membelikan pesanan atau salah membawa berkas.

"Dia mulai di luar kendali, Bang. Ini kayak maniak kerja banget. Semua dia kerjakan, dia handle sendiri. Biasanya tuh anak sering cerita soal Tante Ayu atau Agis, nyaris sebulan lebih setelah terakhir kali opname, dia nggak pernah lagi cerita soal mereka."

"Lo bisa nggak ngebatasin waktu kerjanya? Atau kita perlu cerita ke Tante Ayu?"

"Gue udah coba buat ngatur jadwal, eh, malah dicorat-coret sama dia, dipadatkan se-padat-padatnya. Biar lebih cepat selesai. Asli gue pengin nonjok dan bikin dia pingsan biar tidur rada lama."

"Emangnya sejauh mana gangguan tidurnya?" tanya Hisyam.

"Nyaris nggak tidur. Tidur pun paling setelah subuh sampai jam setengah enam. Lo yakin itu tidurnya bener?"

"Apa perlu kita konsul ke psikolog?" tawar Bang Satya.

"Angga kan nggak gila, Bang!"

"Nyaris! Lo pikir dengan kegiatan kayak gitu, insomnia parah, terus dengan tekanan dari kanan-kiri sejak ayahnya meninggal nggak bisa bikin Angga gila? Kalau lo lihat benar-benar Angga yang tadi, lo yakin itu temen lo?"

Rafka menggeleng. "Ngeri ngadepin dia kayak tadi. Udah macem ngadepin zombie aja."

Sementara ketiga sahabat bertukar pikiran tentang Angga di kafe. Raden membawa Angga tanpa perlawanan. Dia membawa Angga ke mobil Hisyam dengan tenang. Biasanya, Angga keberatan jika harus meninggalkan si biru. Namun, kali ini berbeda. Angga sudah seperti sapi dicocok hidungnya. Mengikuti ke mana Raden membawanya.

"Kalau capek istirahat, jangan maksain diri. Kalau jenuh cari penyegaran."

"Gue ngga ada waktu, Den!"

"Bukan nggak ada waktu, Ga. Lo aja yang nggak meluangkan waktu."

"Sori, gue ngerepotin."

"Lo tahu? Gue selalu keinget sama ayah kalau lihat lo kerja keras mati-matian. Ayah gue gitu. Kerja mati-matian sampai mati beneran. Padahal apa yang dia dapat nggak bisa dibawa mati."

"Sori, Den."

"Gue nggak butuh maaf lo, Ga. Lo menjelma jadi Angga yang berbeda. Nyadar nggak, sih?"

Angga mengangguk lalu memalingkan wajahnya. Ditatapnya pepohonan dan lampu jalan di samping kirinya. Remang-remang jalanan terasa begitu mempengaruhi dan membuat dirinya semakin larut dalam lamunan.

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 18

Bondowoso, 21 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro