19 ~ Terima Kasih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah memaksa siapapun 'tuk bertahan.
Yang pergi akan kembali, jika mereka mau.
Yang pergi akan tetap pergi, meski aku memintanya.
Teruntuk engkau yang sudi bertahan hingga akhir, terima kasih!
Teruntuk engkau yang mau menemani sampai selesai, terima kasih!
Terima kasih dan maaf belum menjadi yang berguna.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Sebuah mobil memasuki halaman keluarga Ahmad Syauqi. Dua orang membuk pintu secara bersamaan. Raden mengikuti Angga hingga depan pintu rumahnya.

Tidak seperti biasanya saat Angga sampai, lampu ruang tengah masih menyala dan terlihat dari luar. Belum juga Angga menyentuh gagang pintu, pintu itu terbuka. Dilihatnya sang ibu sudah berdiri di sana bersama Uti dan Akung.

Ketiga anggota keluarganya itu manatap cemas. Akung menuntun Angga untuk masuk, sementara Ibu Ayu mengucap terima kasih pada Raden. Uti dan Ibu Ayu lantas menyusul.

"Kenapa pada begadang?"

"Ibu kangen sama Mas. Sudah lama nggak nungguin Mas pulang. Mau makan nggak? Ibu sudah masakin bubur sop, nih!"

"Boleh. Mas juga lapar."

Ibu Ayu lantas menuju dapur dan membawa semangkuk bubur dengan taburan abon ayam dan siraman kecap sambal. Perpaduan yang sangat disukai oleh putra semata wayangnya.

Angga menerima mangkuk itu dengan mata berbinar. Dipegangnya mangkuk itu dan ditatapnya dengan penuh nafsu. Angga melahapnya dengan perlahan. Dia khawatir jika terlalu terburu-buru lambungnya akan berontak dan muntah.

Uti dan Akung diam-diam memandang cucunya dengan tatapan penuh belas kasih. Gurat-gurat kelelahan benar-benar menghilangkan aura tampan dari cucu kesayangannya.

Sebenarnya sebelum Angga sampai di rumah, sejak siang mereka sudah mendapat kabar tentang putra tunggal Ahmad Syauqi itu. Hanya saja, Ibu Ayu melarang untuk menghubungi Angga dan memintanya pulang.

Laporan yang mereka terima seputar pekerjaan dan kegiatan Angga di kantor dan di kafe. Entah mengapa, kali ini kabar datang bersamaan.

Ardi Rusman memberi tahu tentang kondisi perusahaan yang mulai menurun pendapatannya ditambah dengan masalah yang dihadapi saat ini. Lelaki itu sengaja memberi tahu supaya Ibu Ayu bisa membantu Angga untuk tenang dalam mengambil keputusan.

Sedangkan Rafka menelepon sesaat setelah Angga pergi meninggalkan kafe, dia menceritakan semuanya. Bukan bermaksud mengadu, tetapi kalau bukan keluarganya sendiri yang membantu, lantas siapa lagi yang bisa membuat si kepala batu itu menurut.

Nyatanya, keluarga Angga tidak lantas mencecar dengan banyak pertanyaan. Mereka hanya menemani dan menunggu hingga Angga terbuka dengan sendirinya.

"Bu, kalau Mas nggak sanggup gimana?" tanya Angga setelah menandaskan isi mangkok dan meletakkannya di meja makan.

Uti dan Akung kompak menatap Angga lalu beralih pada Ibu Ayu.

"Nggak sanggup gimananya?"

"Mas capek, Bu."

Ibu Ayu terlapau paham dengan kata capek yang diucapkan putranya. Bukan lelah yang setelah istirahat lantas hilang, melainkan lelah yang menelusup hingga batinnya.

"Nggak apa-apa, Mas. Rehat dulu, yuk! Ayah juga nggak akan suka lihat anak kesayangannya kerja sampai lupa waktu. Lupa Ibu dan pacarnya, lupa sama sahabat dan keluarga lainnya."

Angga beranjak lalu menghampiri ibunya yang baru saja berdiri hendak meletakkan mangkok bekas makannya. Dia memeluk Ibu Ayu dari belakang, pelukan erat yang sudah lama tidak pernah dia lakukan.

"Mas sayang Ibu, tetap sehat dan terus temani Mas sampai kapanpun."

"Ada apa? Kenapa jadi melow begini?"

Angga menggeleng dengan posisi masih memeluk erat. "Kangen Ibu banget. Rasanya sudah lama nggak manja-manja sama Ibu, Uti juga Akung."

"Dasar, anak manja. Jangan pernah menyembunyikan apa pun dari Ibu. Ibu akan tahu semuanya cepat atau lambat."

"Angga ke kamar dulu, Bu."

Angga langsung melepaskan pelukannya begitu perutnya bergolak. Sepertinya bubur yang baru saja melewati kerongkongannya itu akan berakhir di closet. Lelaki itu langsung berlari menuju kamar mandi dekat kamarnya.

Tas dan jaket diletakkan di depak pintu kamarnya, lalu ditutupnya pintu kamar mandi dengan keras hingga menimbulkan debum keras dan membuat keluarganya di lantai bawah terlonjak kaget.

Benar saja, Angga memuntahkan semua isi perutnya. Sementara itu, sang ibu menyusul ke lantai atas dengan langkah terburu-buru. Diketuknya pintu kamar mandi dengan keras. Firasat seorang ibu memang terlalu tajam.

"Mas, kenapa?" tanyanya dengan tangan terus mengetuk pintu kamar mandi.

Tidak butuh waktu lama, Angga membuka kamar mandi dan menampilkan cengiran di bibirnya. "Bu, maaf, buburnya nggak awet. Sudah keluar semua."

Ibu Ayu menyentuh kening Angga yang basah dengan keringat. "Nggak apa-apa, nanti ibu ambilkan bubur sama teh hangat biar nggak mual lagi."

"Air hangat saja, Bu. Sayang buburnya kalau nanti keluar lagi."

"Harus diisi, Nak. Biar nggak makin sakit."

Angga mengangguk dan membiarkan ibunya melakukan apa yang diinginkan. Setelah sang ibu pergi ke dapur, lelaki semester akhir itu memilih untuk mandi dan membaluri tubuhnya dengan minyak kayu putih supaya lebih hangat. Doanya hanya satu, semoga tubuhnya bisa diajak kompromi dan istirahat dengan baik.

🍂🍂🍂

Pagi menjelang, Angga tetap melanjutkan rutinitasnya seperti biasa. Namun, kali ini dia tidak bisa melewatkan sarapan paginya. Meski dia meminta sang ibu untuk membuatkan oats dengan buah segar di dalamnya.

Rupanya, permintaannya itu cukup ampuh untuk perutnya yang menolak nasi. Mual juga ternetralisir dengan segarnya buah jeruk, strawberi, dan apel yang dicampurkan di dalam oats.

Angga menepuk jidatnya saat teringat si biru dia parkirkan di kafe. Sesuai dengan usul sang ibu, dia memilih menggunakan jasa gojek. Akhirnya, tujuan utamanya berubah. Dia memilih untuk ke kafe terlebih dahulu untuk mengambil motor kesayangannya dan baru ke kantor J.A Express.

"Bang, sori buat yang semalam. Gue hilang kendali."

Angga langsung mencari Bang Satya begitu sampai di Pandawa's Caffe. Dia mendapati abangnya itu duduk di balkon yang berada di lantai dua sambil menikmati secangkir kopi yang mengeluarkan uap panas.

"Nggak apa-apa. Kita juga paham lo udah banyak hadapi masalah. Gue minta, jangan pernah sungkan untuk cerita ke kita. Kita bakal selalu ada buat lo."

"Thank's, Bang. Gue ke kantor dulu. Gue pesan kopi robustanya, mau buat bekal ke kantor. Nanti tagihannya masukkan atas nama gue, ya!"

Angga beranjak dan meninggalkan Bang Satya di balkon lantai dua. Dia berhenti sejenak ketika berada di ujung tangga. Mendadak, anak tangga di hadapannya itu seperti berbayang. Angga mengerjapkan matanya beberapa kali hingga pandangannya kembali fokus.

Setelah pesanannya diselesaikan oleh pekerja yang datang lebih awal, Angga memacu si biru untuk sampai ke kantornya. Setelah memarkir motornya, dia berjalan memasuki lobi.

Tadi pandangannya berbayang, kini kakinya yang terasa melayang. Dia seperti menjejak angin, tidak terasa bahkan nyaris oleng. Angga berhenti sejenak dan menegakkan tubuhnya dengan harapan topangan kakinya lebih kuat.

"Saya sudah menunggu dari tadi. Ada beberapa yang perlu saya sampaikan," ujar Ardi Rusman yang duduk di sofa ruang kerja Angga dengan beberapa berkas di tangannya.

"Soal apa, Kak?" Angga mendekat dan duduk di seberang lawan bicaranya.

"Pendapatan perusahaan menurun, ditambah dengan kasus kemarin, kita banyak kerugian disamping kantor cabang yang terbakar, juga gaji karyawan yang belum seratus persen bisa kita lunasi."

"Lalu, rencana Kak Ardi gimana?"

"Mungkin kita bisa taruh satu sertifikat ke pegadaian untuk mendapat dana, atau mencari rekan kerja untuk berinvestasi. Gimana?"

Angga mengangguk tanda setuju. Keduanya terlibat percakapan serius sambil sesekali Angga menyeruput kopi yang sudah menghangat itu. Aromanya sangat menggelitik indera penciumannya. Sensasi hangat langsung memenuhi lambungnya.

Diantara percakapan keduanya, Rafka datang dan lansung menuju meja kerjanya. Dia melirik sekilas ke arah kopi yang tersaji di meja.

"Dek, percaya sama Kakak 'kan? Kakak nggak akan berkhianat sama keluarga Syauqi. Kakak nggak bisa membalas budi baik dari Om Ahsya bahkan dengan nyawa sekalipun."

Angga mengangkat tangan kanannya dan menepuk dadanya saat debaran jantungnya meningkat. Dia mengusap dada sebelah kirinya sambil terbatuk.

Ah, apa-apaan ini? Kenapa datangnya bersamaan? batin Angga.

Dia menahan ringisannya saat tiba-tiba pening menghampirinya. Ardi Rusman yang ada di hadapannya seperti kembar. Angga juga membungkukkan tubuhnya saat perutnya juga berulah.

"Kenapa, Dek?"

"Di sini nggak nyaman, Kak," ujar Angga sambil menunjuk dadanya. Tangannya mengepal kuat kemudian memukul dada kirinya. "Lebih cepat, nggak enak."

"Kopi teros! Kebanyakan kafein, Kak. Dari kemarin-kemarinnya kopi terus yang diminum," ujar Rafka saat mendekat dan duduk di salah satu tempat kosong di samping Angga.

Begitu Rafka duduk, ganti Angga yang beranjak.

"Mau ke mana?" ujar Ardi Rusman dan Rafka bersamaan.

"Toilet," jawab Angga.

Keduanya lantas melanjutkan pemeriksaan pada berkas yang ada. Namun, bunyi debaman membuat Rafka dan Ardi menoleh. Mereka beranjak dan berlari menghampiri tubuh yang terbaring di lantai.

"Ga! Hey, bangun!" Rafka panik melihat si bos terkapar dengan nafas tersengal.

Keringat dingin mengucur dari kening Angga. Lelaki itu masih sadar, hanya saja debar jantungnya membuat dia lemas dan tidak berdaya. Mereka membawa Angga yang setengah sadar itu ke sofa. Rafka berlari memanggil dokter tugas yang ada diklinik dekat kantor J.A Express.

Sementar itu, Ardi Rusman membuka beberapa kancing pakaian Angga, melonggarkan ikat pinggangnya, dan membuka sepatu yang membalut kakinya.

"Dek, tetap sadar, yaa, tetap sadar!" pinta Ardi.

Angga mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia lantas memiringkan kepalanya ketika isi perutnya merangkak naik ke tenggorokan. Kopi yang diminumnya tadi keluar dan mengenai celana Ardi.

"Maaf Kak Di!" ujarnya pelan.

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 19

Bondowoso, 22 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro