20 ~ Bukan Akhir (Selesai)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akhir tidak selalu berakhir.
Selesai belum berarti lunas.
Masih ada yang tersisa, masih ada yang tertinggal.
Sebab, tiada akhir yang benar-benar berakhir,
sebelum semuanya sampai pada akhir segala akhir.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Hidup itu seperti perjalanan. Ada awalnya ada tujuanya. Ketika semua bermula, maka akan ada akhir yang menyapa. Mustahil tidak bermula lalu tidak berakhir.

Saat perpisahan nyatanya menjadi piliha akhir, maka jangan disesali. Sebab perpisahan itu juga satu jalan untuk kehidupan lainnya. Bertemu dengan semangat dan teman baru.

Angga kembali pada masanya di panti asuhan bersama anak-anak yang terlahir tidak diinginkan, dibuang oleh orang tua kandung mereka, bahkan sengaja akan dihilangkan nyawanya.

Langkah kaki kecilnya berlarian di sekitar panti. Hingga tanpa sengaja dia menabrak seorang anak lelaki yang berdiri mematung.

"Maaf, Kak. Nggak sengaja!" ujar Angga kecil dengan mata berkaca-kaca.

"Kak Di nggak apa-apa. Jangan nangis! Kakak nggak ada yang luka."

Sejak pertemuan pertama itu, keduanya menjadi akrab. Kak Di yang memang menempati panti asuhan sejak bayi seperti memiliki adik kandung. Begitu juga Angga yang terlahir sebagai anak tunggal merasa tenang saat bermain bersama.

Mereka senang bermain dan berlarian. Kadang Ahmad Syauqi yang menjadi donatur tetap itu ikut serta dalam permainan anak-anak. Sementara sang istri sibuk menyiapkan cemilan untuk penghuni panti.

Kak Di yang melihat Angga berlari cukup kencang itu merasa bahwa adik angkatnya itu akan terjatuh. Jadi cepat-cepat dia berlari sejajar dengannya. Dan tepat saat tubuh kecil Angga oleng, Kak Di menangkapnya dan melindungi kepalanya yang nyaris terantuk pada batu.

Akibatnya, tangan Kak Di yang terluka karena tergores batu runcing di bawah lengannya. Darah mengucur deras dari lengan Kak Di. Hal itu membuat Angga menangis histeris.

"Kak Di berdarah! Ayah, Kak Di berdarah!" tangis bocah berusia enam tahun itu.

"Sudah jangan nangis, nanti ini makin sakit kalau Adek nangis,"

"Ayaah!" teriak Angga sekali lagi. Matanya melirik ke arah luka dan darah yang teruh menetes. Hingga tangisnya kembali pecah.

Para penghuni panti bergegas menghampiri. Mereka membawa Kak Di ke klinik terdekat. Lukanya lumayan dalam sehingga membutuhkan penanganan khusus. Kak Di mendapat tujuh jahitan di lukanya.

🍂🍂🍂

Angga mengerjap beberapa kali saat silau tiba-tiba saja menusuk matanya. Dia mengedarkan pandangan dan hanya menemukan sosok laki-laki yang biasa dipanggilnya Kakak.

Dia mencoba mendudukkan tubuhnya hingga bunyi derit ranjang membuat Ardi Rusman mengangkat kepala dan beradu pandang dengannya.

"Ada yang bisa dibantu?"

"Haus."

Ardi Rusman mengambil gelas di nakas dan menyodorkan padanya. Seketika itu juga Angga meringis kala perih menyapa perutnya.

"Anak nakal! Kamu kerja seolah nggak ada yang bisa membantu. Apa enaknya menjadi workaholic? Mau mati muda? Nggak baik seperti itu, Dek. Jangan diulangi. Kasihan Tante Ayu."

"Ibu sudah ke sini? Sekarng jam berapa?"

Ardi Rusman menunjuk jam dinding yang berada di hadapan Angga. Jarum jam menunjukkan angka dua.

"Dini hari. Kamu tidur lama banget. Kakak suruh Tante Ayu pulang. Setelah ini jangan harap kamu bisa lolos dari peraturan yang Kak Di buat."

"Kak Di?" tanya Angga

Otaknya berpikir keras berusaha mengumpulkan kembali keping-keping ingatan yang samar-samar hinggap di kepalanya. Lambat laun dia menemukan kepingan puzzle yang hilang saat kecil.

"Kak ...," ujar Angga sekali lagi

"Apa? Masih tak percaya? Apa kau tak ingat dengan ini?" Ardi menggulung lengan baju dan menunjukkan bekas luka memanjang di lengannya.

"I-itu? Luka itu? Kak, Kak Di ..., setelah lama kenapa baru bilang sekarang? Kenapa baru bilang saat ayah sudah tidak ada?"

"Ini semua karena ayahmu, beliau memintaku untuk menjagamu. Beliau yang memintaku untuk selalu ada disampingmu. Meski kau tak kunjung sadar akan keberadaanku, tak mengapa, tapi aku tahu segala tentangmu. Aku salut kau bisa melalui ini semua dengan baik."

Angga memandang Ardi Rusman dengan mata berkaca-kaca. Setetes bening lolos dari matanya. Ardi mendekatinya dan mengusap lembut puncak kepalanya.

"Hei, kau bukan bocah ingusan lagi. Hapus air matamu, pantang bagi seorang Hanggara Syauqi menangis. Wajahmu bak Rambo, tapi sayang hatimu Rinto yang selalu mellow! Padahal aku selalu memujamu sebagai sosok yang gagah di hadapan Raras, istriku."

Angga mengusap kasar air matanya. "Mata kelilipan!" elak Angga.

"Aku bukan lagi anak kecil yang bisa kau bohongi, bocah! Terima kasih untuk semua yang keluargamu lakukan untukku, untuk Panti Asuhan Ar-Rahman. Jika tanpa ayahmu, mungkin aku bukan siapa-siapa. Andai kita tak pernah berjumpa, mungkin akhirnya tidak seperti ini. Tetaplah menjadi Hanggara Syauqi yang selalu rendah hati. Tidur! Karena kami akan membuat perhitungan denganmu, besok!"

🍂🍂🍂

Betapa malang nasib Angga, sudah berstatus pasien, masih juga didakwa dan dihakimi habis-habisan. Kelima sahabatnya, Agis, Ardi Rusman dan keluarga kecilnya, tidak lupa Ibu Ayu tercinta hadir bersamaan. Mereka datang untuk membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan demi orang yang sayangi.

Keluarga dan sahabat Angga bukannya tidak panik mendapat kabar dia tumbang kembali. Hanya selang beberap bulan saja, Angga sudah kembali lagi menjadi tahanan rumah sakit.

Setelah Ardi Rusman banyak berbicara dengan Ibu Ayu, akhirnya mereka sepakat untuk membuat Angga menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu dan baru boleh masuk kantor setelah mendapat gelar sarjana.

Begitu juga untuk pengurusan kafe. Mereka memilih untuk melarang Angga mengambil alih soal kafe sampai ijazah sudah benar-benar di tangannya.

Namun, begitu kesepakatan disampaikan padanya, lelaki itu mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa jahat semua, sih?"

"Nggak ada yang jahat sama Mas. Kalau nggak gini Mas bakal jahatin diri sendiri dan itu lebih nggak boleh. Sudah cukup ibu kecolongan, ibu nggak mau ada kejadian kedua kalinya."

"Lo mau nurut nggak? Kalau nggak silakan aja urus semuanya tanpa bantuan kita. Kita emang kejam, tapi bakal lebih kejam lagi kalau nggak nurut!" Bang Satya menunjukkan aura seramnya di hadapan Angga.

"Kak Di, tolong." Angga memelas.

"Nggak ada. Kak Ardi juga masuk bagian kekejaman kita," jawab Rafka.

"Agis, tolong!"

"Hilih, giliran gini aja minta tolongnya sama Agis. Jadi cowok kok menye-menye!"cibir Hisyam.

"Mending gue menye-menye, dari pada lo? Beraninya keroyokan! Mana yang dikeroyok masih status pasien pula!" Angga memundurkan tubuhnya dan berbaring.

Ditariknya selimut sampai menutupi setengah dadanya. Mendadak dia ingin menjerit karena semua orang tidak ada yang berpihak padanya.

"Om, nangisnya jangan, yaa! Nanti ayamnya juga nangis," bujuk putri kecil Ardi Rusman.

Angga menoleh dan mendudukkan tubuhnya. Setelah memastikan infusnya aman, dia mengangkat gadis kecil itu kepangkuannya.

"Om nggak nangis, tapi itu om-om yang di sana jahat semua."

Sontak saja mata keempat sahabatnya itu melotot.

"Anak kecil jangan diracuni, Ga. Ingatannya kuat," ujar Agis.

Agis menggendong gadis kecil putri Ardi Rusman dan membawanya keluar untuk bermain. Sementara di dalam ruangan, mereka masih betah menjadikan Angga sebagai objek perundungan.

Mereka berhenti kala Angga meringis dan memegangi perutnya lagi. Keringat kembali menetes dan membasahi keningnya.

"Istirahat lagi, ya, Mas. Nanti baru main lagi sama teman-temannya."

Ibu Ayu memperlakukan Angga seperti anak kecil yang kurang masa bermainnya. Lelaki itu mengangguk dan menutup matanya kembali. Pengaruh obat mulai terasa. Kantuk menyapanya dan membawanya kembali ke alam mimpi.

Keempat sahabat Angga dan keluarga Ardi Rusman memilih untuk pulang dan membiarkan si pemilik kamar untuk beristirahat. Suasana kamar kembali hening. Hanya bunyi detak jam dinding yang terdengar nyaring.

Belum juga dua jam mata yang tertutup itu terbuka kembali. "Bu," panggilnya.

"Hm? Kenapa? Ada yang sakit?"

Angga menggeleng. "Didatangi Ayah Ahsya. Baunya wangi banget, pas senyum juga cakep. Kayaknya kalau Ibu Ayu lihat bisa jatuh cinta lagi."

"Ayah emang cakep. Ayah bilang apa?"

"Disuruh jaga diri baik-baik, sama jagain Ibu."

"Jadi kesimpulannya?"

"Mas ngantuk. Mau tidur lagi!"

Ibu Ayu tersenyum melihat kelakuan anaknya. Diusapnya kepala Angga dengan lembut. Ada lega di relung hatinya melihat sorot mata putranya kembali bersinar. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat putranya terkapar seperti itu.

Meski tidak terucap, semua yang peduli akan menunjukkan sikapnya. Meski tidak menunjukkan sikap peduli, setidaknya ada doa yang dilantunkan teruntuk mereka yang tersayang.

Terima kasih kepada kalian yang sudah membaca sampai akhir.
Terima kasih atas segala bentuk dukungan yang diberikan.
Mungkin naskah ini jauh dari kata baik, tetapi semoga apa yang disampaikan bisa memberikan nilai positif untuk dipelajari.
Terima kasih, sampai jumpa di lain kesempatan. 😍😘🥰

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 20

Bondowoso, 23 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro