🧉49: Pingsan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Edel memeluk kedua kakinya erat di atas kasur. Sesekali mengembuskan asap rokok yang baru saja ia isap ke udara.

Air matanya sudah aktif lagi, bahkan terus keluar secara bergantian. Ia sudah tidak peduli dengan pertanyaan wali kelas mengapa tidak masuk ke sekolah selama beberapa hari. Tapi yang jelas ia hanya ingin menenangkan diri.

Bayang-bayang wajah Daun dan Regan masih berputar dengan setia, bahkan suara teriakan Ariyanto dari depan pun sama sekali tak menggubrisnya. Biarlah, mau diperlakukan bagaimanapun oleh sang ayah, ia tidak peduli.

Fokusnya masih mengarah pada sebatang rokok yang menyelip di tengah apitan jarinya. "Mungkin sebentar lagi aku bakal dibunuh papa."

Seketika senyumnya terukir. Tak apa asal semua rasa sakit hati bisa melenggang pergi dan ia bisa membuat orang-orang yang sudah memendam rasa kecewa bisa ikut mengukir kebahagiaan saat mendengar berita kematian atas nama Samantha Edelweiss Nadhivea.

Dor ... dor ... dor ...!

"Tata! Buka pintunya! Woi, anak jalang! Nggak usah sok berani ngelawan gue lo!" teriak Ariyanto dari depan kamar Edel. Pria itu sangat malas walau hanya untuk membuka pintu sendiri. Di matanya, Edel itu adalah seorang pelayan yang harus memperlakukan dirinya bagai raja.

Edel hanya menoleh ke sumber suara tanpa bergeming. Biarlah sang ayah semakin emosi, tak ada lagi rasa takut yang menghantui perasaannya sekarang.

Brak!

Pintu kayu itu sukses menghantamkan diri ke tembok di belakangnya. Mungkin jika bisa mengeluh kesakitan, pasti ia sudah berteriak dan memaki Ariyanto dengan penuh emosi.

Ariyanto berhasil masuk dengan napas yang terengah-engah. Kedua matanya terbelalak lebar saat menyaksikan Edel yang sedang menikmati benda berasap itu. Ternyata anak itu masih juga tidak kapok dengan akibat yang terjadi andai tetap merokok.

Isaknya terdengar semakin jelas di kuping Ariyanto. Namun hal itu nyatanya tidak memantik rasa simpati sama sekali, melainkan sebuah hasrat untuk menghajar semakin tinggi.

"Masih mau hidup kamu, Ta?!" pekik Ariyanto yang sudah berdiri di samping ranjang Edel, kemudian merebut rokok yang masih diapit oleh putrinya.

"Terserah Papa aja," balas Edel datar.

"Cepat kamu bayar utang saya ke gedung tua deket perapatan!"

Edel menggeleng tak peduli sembari berbisik, "Tata nggak mau."

"Oh, jadi udah berani nantangin saya, ya, kamu?!" Ariyanto dibuat semakin geram. Tangannya segera melayang ke udara dan menarik sejumput rambut Edel kuat hingga terangkat ke atas.

"Masih berani nantang saya kamu?!"

Sakit, ya ... ia dapat merasakan itu. Tapi apa boleh buat? Bukankah begini lebih nikmat dibandingkan harus melihat orang lain tersakiti secara mental oleh dirinya sendiri?

Edel masih terdiam. Sibuk menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Tata nggak peduli mau disiksa kayak gimana lagi sama papa."

Astaga ... apa ia tak salah mendengar? Karena semakin merasa tertantang, dengan semangat pria itu menarik Edel hingga terjatuh ke atas lantai dalam keadaan meringkuk. Menikmati berbagai rasa pilu yang sudah merekat kuat, dan berlian bening yang sudah tak lagi tahu harus berbuat apa.

"Asal kamu tau, kehidupan saya jadi hancur gara-gara kamu!" Ariyanto berjongkok, lalu menatap mata Edel penuh emosi. Andai bisa membuang gadis ini ke laut, sudah dapat dipastikan sejak belasan tahun lalu ia lenyapkan. Sayang, kalau bukan karena Edel, ia tak lagi bisa bermain judi.

"Iya, emang Tata itu sumber masalah dari hidup Papa." Edel mengakui akan hal itu, sejak kepergian Tiara, pikirannya terus didoktrin seperti ini oleh ayahnya sendiri. Bukankah itu semakin nyata jika terus diulang dan terucap melalui hati yang paling dalam?

Tangan sang ayah kembali menarik sejumput rambut hingga putrinya bisa berubah menjadi posisi duduk. Sebuah tamparan langsung mendarat dengan kencang. Perih rasanya, tapi tak apa. Sudah biasa.

"Lanjutin, Pa."

Ariyanto menghela napasnya kasar seraya mendegus ke sembarang arah. Kenapa anak ini tak juga menyerah dan pergi ke tempat ia berjudi untuk melunasi semua utang? Apakah ia lebih memilih 'tuk menahan rasa kebas seperti ini?

Pria itu segera bangkit. Terdiam sebentar—membiarkan sang putri bisa mengistirahatkan rasa perih walau hanya beberapa detik. Tangannya kembali beraksi, menarik kaos putih polos yang dengan mudahnya mengikuti gerakan Ariyanto. Kepala gadis itu masih tertunduk walau tak lagi menangis.

"Kenapa kamu nggak mati aja dan pergi dari hidup saya selamanya!" bentak Ariyanto persis di depan wajah Edel. Secara otomatis matanya pun ikut terpejam sebentar—tak kuat memaksa kedua bola matanya untuk merasakan betapa kejamnya kehidupan.

"Ya udah, silahkan kalau Papa mau bunuh Tata sekarang. Daripada disiksa terus, kenapa nggak sekalian ditusuk aja?" Sesak semakin menjulang di dalam dada. Semakin sempit rasanya rongga pernapasan yang ia miliki. Masih terisak dengan wajah yang tak layak lagi dilihat.

Semakin kesal dengan ucapan Edel, puntung rokok yang masih menyala segera diculik dari tempat ia berbaring. Membuka paksa kaos yang dikenakan oleh sang putri, lalu menyundutnya ke area hati.

Edel menggigit bibirnya kencang. Rasa panas sudah menjalar di kulit mulusnya.

"Masih berani lo sama gue?! Hah?!" Dengan sengaja pria berengsek itu menekan puntung rokok itu lebih kencang.

"Ayo, Pa. Kenapa nggak langsung potong aja urat nadi Tata?"

Ariyanto langsung membuang puntung rokok itu ke sembarang arah. Lalu segera menarik kain putih yang perlahan bersimbah darah, dan menendangnya hingga terpental ke besi kasur.

Brak!

Setelah puas dengan apa yang sudah ia lakukan, bayangan dirinya segera menghilang dan kembali melanjutkan nikmatnya sabu yang sudah ia beli.

Edel masih sempat tertawa sinis. Rasa pilu yang biasanya menjalar ke seluruh tubuh kini terasa berpuluh-puluh kali lipat.

Gue bakal selalu ada demi keselamatan hidup lo. Kalau sampe lo mati di tangan Ari, jangan harap gue bakal maafin diri gue sendiri!

Kalimat ini kembali terbayang di tengah kondisi kepalanya yang tak lagi bisa digambarkan seperti apa. Apakah ini masih berlaku di saat keadaan hancur seperti ini?

Baiklah, untuk terakhir kali, walau tak tahu apa yang akan ia temui selanjutnya, Edel harus menghubungi Daun, serta Regan untuk meminta maaf.

Segera diraihnya ponsel yang tergeletak di atas kasur, walau sulit untuk bangkit. Tapi tak apa, setidaknya jika ia pergi sekalipun, semua berada dalam keadaan damai tanpa dendam.

Tut ... tut ... tut ....

Sebuah durasi waktu kini tampil di layar ponselnya tanpa iringan suara operator. Apakah itu artinya Daun sudah mengangkat walau tak bersuara?

"K-kak, Daun. Aku udah ngga-nggak ku-kuat la-la-gi. Aku cum-cuman ma-mau minta maaf." Tak lagi kuat mendengar balasan apa dari seberang sana, tapi yang jelas mata Edel langsung terpejam. Ponselnya tergeletak begitu saja di atas kasur. Meninggalkan Daun yang baru saja berniat menikmati hari liburnya menjadi panik karena suara seorang gadis yang tak lagi berdaya.

"Edel? You okay?" Keningnya seketika mengerut. Baiklah, kalau sudah seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa kondisi sedang tidak baik-baik saja.

Ya ... ia harus melupakan semua yang telah terjadi kemarin, dan bergegas menuju rumah Edel sebelum penyesalan datang terlambat. Kalau sudah seperti ini, rasanya ia semakin ingin melenyapkan Ariyanto dalam hitungan detik. Tak akan ada lagi rasa peduli pada ketakutan Edel, tapi yang jelas semua sudah tidak berlaku di matanya.


Maaf kalo typo🥺, ngga kuat ngerevisinyaaa 😭😭

Masa baru baca paragraf pertama aja udah sedih duluan pdhl lagi ngga ad pikiran tau kelanjutannya😭😭😭😭😭

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro