🧁50: Rawat Inap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dirinya tak lagi peduli dengan kondisi Ariyanto yang sedang tak jelas. Walau sempat menghentikan langkah sebentar karena bingung dengan ucapan yang melantur, ia langsung berlari ke arah kamar Edel yang terbuka.

Kedua matanya terbelalak lebar saat menyaksikan sang sepupu yang terbaring tak berdaya bersama darah yang sudah meresap.

Segera digendong bagai pengantin, kemudian membawanya masuk ke dalam mobil, dan menginjak pedal gas kencang agar semakin cepat keduanya sampai di rumah sakit.

Kondisi Edel benar-benar sudah tak bisa ditoleransi. Sudah lemas tak berdaya, bahkan hanya suara napas yang terdengar. Gadis itu masih terpejam dalam kegelapan yang mungkin saja kembali bertemu dengan sejuta mimpi menyakitkan.

Setelah akhirnya sampai di rumah sakit, Edel langsung diletakkan di atas brankar yang dibawa berlari oleh para suster dengan cepat ke dalam IGD. Daun ikut berlari mengikuti jejak para manusia berpakaian serba putih dengan topi di atasnya.

Jantung Daun terus berdebar dengan cepat, apalagi saat seorang wanita paruh baya dengan jas memasuki ruang pemeriksaan, lalu menutupnya dengan kain.

Entahlah, rasanya sudah tidak karuan jika harus menyaksikan seperti ini. Langkahnya terus bergerak maju dan mundur. Sesekali menggaruk kepalanya secara kasar karena dibuat panik dengan kondisi Edel saat ini. Untung saja tadi ia menggerakkan hati untuk mengangkat telepon. Jika sampai ia masih mengabaikan, tak akan tahu lagi bagaimana nasib Edel sekarang.

Sampai akhirnya salah seorang suster keluar dari bilik pemeriksaan. "Pasien boleh didaftarkan dulu untuk ruang rawat inap."

Daun hanya mengangguk pelan. Masih ditemani oleh keringat yang bercucuran, cowok itu segera mendaftarkan Edel ke kamar kelas VVIP. Tak peduli dengan biaya yang harus dikeluarkan, yang terpenting adalah Edel bisa dirawat penuh kenyamanan.

Entahlah, rasanya semua pikiran negatif bercampur aduk menjadi satu. Bagaimana jika Edel lumpuh? Kalau sampai Edel memiliki luka dalam, akan ia bunuh Ariyanto detik itu juga.

Tak lama, akhirnya wanita berambut keriting dan panjang keluar dari bilik. Menghela napas lembut, lalu menatap Daun yang masih dihiasi oleh raut wajah panik.

"Selamat siang, Anda keluarga pasien?"

Daun mengangguk cepat. "Saya sepupunya. Dia baik-baik aja, 'kan, Dok?"

"Dia siapa? Dia itu banyak. Pasien yang bernama Dia?" Wanita tua itu berusaha menghibur di tengah kepanikkan yang ada sembari tertawa kecil.

Daun menghela napasnya kasar. Sudah di situasi seperti ini, tapi mendapat dokter yang membuat tensinya naik begitu saja. Ia bukanlah orang yang senang diajak bercanda saat keadaan sedang serius, jadi dapat dipastikan bahwa orang yang sudah merawat Edel berhadapan dengan orang yang salah.

"Boleh Anda to the point?" Mata Daun sedikit memicing, kedua alisnya pun ikut mengikis jarak. Sudah malas menanggapi celotehan receh seperti ini. Lagi pula, apa hebatnya membuat lelucon di situasi tidak pantas seperti ini?

Wanita itu akhirnya mengangguk pelan, baru kemudian berucap, "Pasien hanya mengalami cedera kepala ringan. Pingsan adalah hal yang wajar setelah mengalami benturan."

Daun sedikit menghela napas lega. Akhirnya dokter ini bisa diajak kerja sama. Kenapa tidak seperti ini saja sedari tadi dan justru hobi membuang-buang waktu?

"Luka-lukanya sudah kami obati. Mungkin akan terjadi beberapa bekas, apalagi yang sundutan rokok di bagian perut. Biasanya pasien akan mengalami vertigo dan juga muntah-muntah setelah sadar. Jadi, sangat disarankan untuk dirawat inap sampai semuanya membaik."

Baiklah, kalau begitu ia tak perlu repot-repot membunuh Ariyanto walau dapat dipastikan setelah Edel keluar dari rumah sakit, pria itu akan mendekam di dalam penjara. Tak ada lagi pengampunan, sebab yang ia lakukan sudah melampaui batas.

"Sudah, Anda tidak usah panik. Pasien akan baik-baik saja."

Sekilas senyum tipis perlahan tampak. Namun, sang dokter justru semakin menjadi agar manusia di hadapannya ini tak lagi kaku saat melakukan konsultasi di esok hari.

"Anda senyum karena membaca nama saya, 'kan? Tem-pu-ra." Tangannya menunjuk ke arah rangkaian huruf yang menempel di seragam bekerjanya.

Daun menggeleng cepat. "Saya sudah boleh masuk?"

Dokter Tempura mengangguk pelan, lalu segera melenggang pergi karena sang target tidak tertawa sama sekali. Baiklah, daripada semakin garing, lebih baik ia pergi dan bergurau dengan pasien lain yang kondisinya tampak baik-baik saja.

🍼🍼🍼

Edel sudah dipindahkan ke dalam kamar rawat inap. Di telapak tangan kanannya pula sudah disangkutkan selang penghubung ke cairan infus yang menggantung di sampingnya.

Setelah akhirnya lelah berdiri di samping brankar dan menunggu Edel yang tak kunjung membuka mata, cowok itu akhirnya mendaratkan bokong di atas sofa berwarna hitam yang terletak di sudut ruangan bercat putih itu.

Segera mengeluarkan ponsel dan menghungi nomor dengan kode +65 (Singapura), hingga akhirnya suara lembut dari ujung sana menanggapi panggilan dari ponsel bermerk Apple tersebut.

"Iya, kenapa Nak Daun?" tanya Tiara dari negara tetangga. Wanita itu masih sibuk memasak di dapur untuk kebutuhan perutnya sendiri. Sang suami yang kerap bekerja di kota lain dan jarang sekali pulang membuatnya menjadi lebih hemat.

"Tante bisa pulang ke Indonesia hari ini?" Mata Tiara seketika terbelalak lebar. Ada apa sampai disuruh ke Indonesia? Apakah ada sesuatu yang berbahaya sampai ia dipaksa untuk pulang?

"Ada apa, Nak?" tanya Tiara yang mulai panik dan langsung mematikan kompor. Segera melangkah ke arah meja makan dan terduduk kaku di atas sana. Biasanya Daun tak pernah menelepon, lalu kenapa tiba-tiba ia dihubungi?

"Edel dirawat di rumah sakit, dan dia butuh Tante."

Seolah ikut merasakan kondisi hatinya yang gundah gulana, wanita itu terus menggigiti bibir. Apakah ia harus kembali dan bertemu dengan orang yang sudah berusaha ia lupakan selama bertahun-tahun? Memang, sih, masih ada anak yang harus ia biayai, tapi bagaimana jika mantan suaminya justru ikut hadir?

"Aduh, gimana, ya, Nak Daun?" tanya Tiara bingung.

Daun yang masih duduk diam pun jadi mengernyi. Astaga ibu macam apa yang masih menolak untuk mengurus anaknya sendiri di kala keadaan darurat seperti ini? Ya ampun, sungguh miris pula nasib sepupunya ini.

"Kalau Tante masih punya hati nurani dan anggep Edel sebagai anak, tolong pulang. Saya tunggu!" Daun segera mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia yakin dan akan berdoa dengan khusyuk agar Tiara mau datang dan tinggal di sini. Setidaknya wanita itu bisa menjaga sang anak dari kekerasan ayah kandungnya sendiri.

Tiara yang masih terduduk diam di kursi meja makan sebelah kaca apertemennya tampak berpikir keras. Haruskah ia mendahulukan rasa egois atau menelan pil pahit saat mengingat konsekuensi yang terjadi?

Ini brankar tuh kayak giniii KWKWKWK

furadantin terima gaji eyang tantik yang udah mau dijadiin tempat riset. Maapkan cucu eyang yang nistain nama eyang sampe cantik kek di atas :V. Pokoknya Bong-Bong sayang eyang. ❤️❤️❤️. Btw eyang, itu visualisasi tante dokternya udah sesuai sama foto eyang di ig sama karakter eyang di gen kan KWKWKWKWK

Buat bebsky piranha, gimana bab iniw? Mwehehe iyaw udah mau end. Kira-kira bab 55.

Happy reading yawch!

Love u,

Bong-Bong❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro