Bingkai Rasa oleh Queen-nera

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bingkai Rasa
Penulis: Queen-nera


Ruangan yang didominasi oleh warna cokelat pastel itu memang tidak begitu luas. Di dalamnya hanya ada 350 kursi berbusa, berderet layaknya bangku bioskop. Panggung beralaskan ubin kayu serta lampu sorot yang tergantung di atapnya membuat tempat itu terlihat semakin hidup.

Gadis berparas cantik yang tengah duduk di salah satu kursi hijau toska menghela napas panjang. Hari ini akan jadi momen yang tak akan ia lupakan. Dirinya memang terbiasa mondar-mandir menuruti perintah Hamzah, tapi entah kenapa malam ini ia merasa sangat kewalahan dan sedikit jengkel. Terlebih mengingat perkataan ketua OSIS itu, membuatnya tambah kesal.

Bagaimana bisa seorang pemimpin tidak menghadiri acara yang ia adakan sendiri? Alasannya sibuk lagi! Airin memang lebih sering diam, tapi ada kalanya ia ingin protes dan mengutarakan ketidakadilan yang ia dapatkan. Jika ruangan ini tidak dilengkapi dengan AC, mungkin kepala gadis itu sudah meledak sejak tadi.

"Minum dulu, Rin." Seorang gadis berhijab muncul, menyodorkan sebotol Aqua.

Airin menoleh, mendapati tubuh tinggi Fiona berdiri di belakangnya. Senyum lebar segera merekah di bibir Airin. Ia menerima Aqua itu lalu meminta sahabatnya duduk. "Makasih, Ukh."

"Jangan panggil 'Ukh'. Namaku itu Fiona, panggil Fio dong!" Sepertinya gadis itu sudah tidak tahan dengan kebiasaan Airin menyebut semua teman cewek dengan sebutan 'Ukhty'. Tidak masalah memang, tapi Fiona tak menyukai itu.

Setelah meneguk minumannya, Airin baru menjawab, "Iya, iya, maaf, Fiona cantik."

Fiona menatap Airin lega. Akhirnya gadis itu bisa sedikit melepas penat. Terlebih mendengar panggilan Airin padanya, membuat gadis itu tersenyum makin lebar.

"Udah salat magrib belum? Kebetulan aku enggak salat, kamu enggak papa ke masjid sendiri?" tanya Airin dengan tatapan teduh.

Tak menunggu lama, Fiona pun langsung mengangguk. "Aku tahu kamu pasti capek banget, jadi enggak usah nemenin aku. Nih aku bawain makanan." Fiona merogoh kantong plastik lalu menyerahkan sebungkus nasi kepada Airin.

Fiona memang sahabat yang sangat perhatian. Mengenal gadis itu selama satu setengah tahun, membuat Airin tahu persis perangainya. "Makasih banyak, Cantik. Tapi maaf, aku masih kenyang. Mungkin aku makan nanti."

Tanpa berpikir dua kali, Airin menerima bingkisan itu lalu beranjak dari duduknya. "Aku tinggal dulu ya, Beb. Tenang, satu jam lagi konser bakal dimulai, Kalo aku jadi kamu, aku udah milih bangku paling depan dari tadi," tutur Airin dengan lemah lembut, sangat cocok dengan wajah manisnya.

"Itu gampang. Yang penting kamu makan nasi itu," jawab Fiona mengalihkan pembicaraan, membuat Airin mengangguk mantap.

"Itu juga gampang nanti. Jangan lupa salat, Fio. Aku tinggal ya?" pamit Airin bersamaan dengan langkahnya meninggalkan ruang auditorium.

Tak bisa dipungkiri, Airin sangat lapar. Namun, kode-kode panggilan yang sedari tadi menggetarkan handie talkie-nya membuat gadis keturunan Arab itu tak bisa menuruti rengekan cacing di perut. Mungkin nanti setelah acara selesai. "Sabar ya," batin Airin seraya mengusap beberapa kali perutnya yang keroncongan.

Airin memutuskan untuk memasukkan nasi dan Aqua ke dalam tasnya di ruang OSIS. Begitu sampai di ruangan itu, Airin mendapati Randy tengah mondar-mandir seraya meluncurkan panggilan padanya lewat handie talkie. Gadis itu mematung. Setelah tersadar, ia buru-buru meletakkan nasi dan Aqua-nya di atas meja.

Setelah menyadari kedatangan Airin, cowok bertubuh jangkung itu mendekat. "Airin, gawat!"

Airin pun memangkas jarak mereka dengan kening berkerut. "Kenapa, Ren?" Gadis bermata bulat itu sama sekali tak mengerti arah pembicaraan Randy.

"Tadi kamu kenapa enggak jawab panggilanku?" Randy yang sudah panik sedari tadi menyeka keringat.

Gadis yang ditanya terdiam beberapa saat, jujur ia tak enak hati dengan Randy. "Iya, maaf. Tadi lagi istirahat bentar."

"Thoriq mana? Aku butuh dia karena bakal bahaya kalo kamu yang ikut ke sana."

"Ke mana maksudmu, Ren?"

"Ayolah, Thoriq di mana, Rin?!" tanya Randy sedikit menaikkan intonasi bicara. Pikirannya sedang kalap, ia tak ingin teman-temannya makin banyak yang terluka.

"Hamzah enggak ada," jawab Airin akhirnya. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan bulir yang bisa kapan saja mengalir dari kedua matanya. Sedari tadi ia menahan sesak. Ia hanya tak percaya jika semua kendali pada acara besar ini dibebankan padanya.

"Dia manfaatin kamu lagi?" Randy tampak mengatur napas, emosi sudah berada di ujung tanduk. "Sampai kapan sih kamu mau diperbudak sama dia? Kamu itu wakil ketua, enggak seharusnya nge-handle ini semua sendiri."

Mendengar omelan Randy membuat Airin semakin pusing. Air matanya sudah ia lenyapkan, berganti dengan tatapan tajam yang ia arahkan pada mata lelaki di hadapannya. "Cukup, Ren! Kamu bahas ini di saat yang enggak tepat. Ada masalah apa? To the point, please..."

"Ada anak STM di depan gerbang."

Mendengar hal itu, mata Airin mendelik. Tanpa menunggu komando, gadis bertubuh langsing itu segera berlari ke gerbang. Lima menit lagi pengecekan tiket akan segera dilakukan, tapi ada apa dengan anak-anak STM ini?

Ternyata keadaan di gerbang tak sesuai dengan bayangan Airin. Sangat jauh dari kata kondusif. Anak-anak STM itu bahkan melempar batu ke dalam lingkungan sekolah. Banyak dari mereka yang memanjat pagar. Airin syok bukan main.

Zidan, salah satu anggota OSIS, terlihat bingung. Sepertinya anak itu berusaha menghubungi dirinya. Terlihat juga banyak anggota Paskibra yang berusaha menghentikan aksi anak-anak STM, tapi terluka hingga akhirnya dibopong menggunakan tandu menuju UKS.

"Zidan!" panggil Airin seraya berlari ke arah lelaki itu.

Zidan menoleh, wajahnya terlihat kesal. "Lo kemana aja sih, Rin? Dihubungi berkali-kali enggak bisa!" omel salah satu anggota OSIS itu seraya mencebik kesal.

"Maaf. Security belum datang juga?" tanya Airin memilih untuk berusaha menyelesaikan masalah. Jika saja ia tipe orang yang tak mudah menerima omelan orang, pasti sudah terjadi masalah baru.

"Belum, gue bingung nih. Anak Paskib enggak sekuat TNI. Jumlah mereka banyak, tapi banyak juga yang tumbang tadi."

"Hah?!" Airin syok mendengarnya. Airin mengaku salah. Wajah Airin memucat begitu mendengar jawaban itu. Baru beberapa menit lalu, sebelum ia menghilangkan letih di ruang auditorium, ia menelepon satpam. Ia lupa sore tadi untuk menghubungi pihak security.  Ia pun menatap mata Randy yang sudah bergabung, seolah menanyakan bagaimana penyelesaiannya.

"Tenang aja, mungkin bentar lagi tim security sampai," rayu Randy agar Airin bisa sedikit tenang.

"Masalahnya siapa yang bakal jadi pengawal artis kalo anak buah lu pada tumbang?!" tanya Zidan yang lebih terdengar seperti mengintimidasi. "Tim security aja enggak bakal cukup." Lelaki itu juga merasa frustrasi karena dihadapkan pada situasi saat ini.

Airin menggigit bibir bawah. Ia tak tahu harus berbuat apa. "Sebenernya anak STM itu kenapa sih? Emang SMA kita pernah buat masalah sama mereka?"

"Kayaknya mereka fans fanatiknya ES," jawab Zidan seadanya. "Mereka mau ikut event ini sebenernya, tapi karena tiket dibatasi hanya untuk anak-anak dari SMA kita, jadi mereka brutal. Mereka bersikeras mau ikut konser."

Gadis berjilbab hitam itu memijat pelipis. "Terus gimana ini, Ren?" Airin bingung bukan main. Ia memang baru pertama kali menjadi ketua tim pelaksana untuk acara sebesar ini. Dari awal mendapat perintah itu, ia sudah ragu.

"Harusnya elo bisa ambil keputusan cepet saat keadaan genting kayak gini." Suara berat itu berhasil membuat Airin, Randy dan Zidan menoleh bersamaan. "Bawa sini!" Lelaki itu menyodorkan tangannya pada Airin.

"Apa?" tanya gadis yang diajak bicara dengan tatapan nanar.

"HT!" ucap lelaki itu dengan intonasi tinggi. Spontan Airin langsung memberikan handie talkie yang bertengger di bahunya. "Kalo enggak bisa mimpin ngomong dari awal. Jadinya kan enggak akan berisiko kayak gini."

"Ma—maaf." Hanya kalimat itu yang bisa Airin utarakan. Gadis berwajah pucat itu ingin sekali berdalih, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Ia paling tidak bisa berhadapan langsung dengan lelaki yang sering dipanggil Hamzah olehnya itu.

"Elo juga kalo enggak bisa mimpin enggak usah nyalon jadi ketos dari awal!" ketus Randy menuruti amarahnya.

Tak mengindahkan omelan Randy, Hamzah melangkah begitu saja mendekati gerbang. Ia terlihat berkomunikasi lewat HT. Tangan kanannya menggenggam sebuah TOA.

Airin yang merasa sangat bersalah membuntuti. Pada jarak sekitar setengah meter, gadis itu mendapati sebuah batu yang dilemparkan ke arah lelaki yang masih sibuk berbicara lewat HT. "Awas, Hamzah!" Kontan dirinya berlari mendekat lalu melompat dan melayang di udara beberapa detik. Untung saja batu besar itu bisa ia tangkis.

Bruk!

Tubuhnya jatuh hampir bersamaan dengan bunyi berdebam keras batu itu saat bertubrukan dengan lantai ubin. Airin mengaduh sesaat, memegangi pinggangnya yang ngilu, ditambah telapak tangan kananya yang berdarah.

Hamzah menunduk heran. Keningnya mengerut melihat Airin berusaha berdiri seraya menyeimbangkan tubuh. "Lo ngapain panggil gue Hamzah?! Gue Thoriq, ngerti?! Udah kerja enggak becus pake teriak-teriak segala! Kalo aja elo enggak ceroboh pasti semuanya enggak bakal kayak gini! Dari awal emang gue enggak percaya elo bisa jadi wakil gue!"

Kali ini, Airin memilih untuk diam. Ia hanya berlalu begitu saja masih memegangi tangannya yang berdarah.

"Lu apa-apan sih?! Enggak lihat tadi Airin ngapain?" Randy tak kalah emosi dari Hamzah, kedua lengan lelaki itu sudah bersedekap. "Oh, dari kecil enggak diajarin cara berterima kasih ya? Dia itu cewek dan seharusnya dilindungi bukan melindungi. Dia nolongin elo itu karena dia peduli! Ngerti enggak sih?!" Randy meninggikan suara di ujung kalimat. "Duh! Kayaknya percuma gue ngomong sama elo!"

Randy melangkah lebar menyusul Airin. Gadis itu jauh lebih penting daripada Hamzah. Kaki lelaki itu menuju taman, tadi Airin berlari ke sana. Benar saja, Airin duduk di kursi taman. "Rin!"

Gadis itu buru-buru mengusap pipinya yang basah.

"Ke UKS!" perintah Randy sambil meraih lengan kiri Airin yang tidak terluka. Dalam keadaan emosi, ia tak akan mampu berpikir jernih.

"Ren, lepas!" teriak Airin dari balik tubuh kekar milik Randy. Gadis dengan tinggi seukuran bahu lelaki itu masih mencoba berontak dan menarik keras tangannya. Ia tetap berusaha walau ia tahu, Randy akan terus menggenggam jemarinya. "Ren, aku bukan mahram kamu!"

Teriakan kalap itu keluar begitu lancar dari mulut Airin, membuat Randy tiba-tiba menghentikan langkah. Ia memutar kepala lalu menyejajarkan wajahnya dengan milik Airin hingga gadis itu bisa melihat dengan jelas mata merah Randy.

"Dengan kamu nangis, merengek sama Allah minta disembuhin, tanganmu enggak akan bisa sembuh. Ayo ke UKS!" gertak Randy, namun gadis itu bergeming. "Aku enggak suka kamu ngorbanin keselamatan kamu buat Thoriq. Sejak kapan kamu peduli sama cowok?!"

"Cukup, Ren. Aku dari awal udah bilang sama kamu, tolong jauhin aku. Aku enggak mau keberadaanku jadi fitnah buat kamu. Aku udah bilang berulang kali, aku enggak suka berinteraksi sama cowok yang bukan mahramku. Aku ...," jeda Airin pada kalimatnya. "Aku enggak bisa ngebiarin siapa pun berdosa karena aku. Begitu pula sebaliknya. Jadi aku mohon, Ren. Aku mohon jauhin aku."

Randy memutar bola matanya yang sedikit berair. Ia hanya tak percaya jika Airin menyuruhnya untuk menjauh. "Oh, jadi kayak gini balasan kamu? Kamu bisa aja perhatian sama Thoriq. Kamu bisa muasin suara hati kamu, tapi aku enggak? Ini yang namanya cewek alim? Rela nyakitin hati lain untuk kepentingan hatinya sendiri? Kamu ingat? Ada banyak cowok yang kamu tolak dengan alasan yang sama. Tapi apa? Kamu meruntuhkan sendiri alasan itu. Kamu deket sama Thoriq, kamu tiap hari ketemuan sama dia, chatting-an sambil senyum-senyum. Kam—"

"Terserah kamu mau ngomong apa," potong Airin cepat. Air mata tak bisa ia bendung. Ia mulai sesenggukan. Perkataan Randy terlalu menyakitkan. "Yang pasti aku enggak ada niatan selain diskusi tentang OSIS sama Hamzah."

"Alah!"

Suara teriakan Randy berhasil membuat Airin terlonjak. Sontak gadis itu menunduk takut.

"Itu cuma alasan klise seseorang untuk bisa PDKT." Berkat emosinya itu, tangan kanan ia gunakan untuk mengangkat dagu Airin. Gadis itu gemetaran saat matanya tepat menangkap tatapan tajam Randy. Ia kenal betul cowok satu ini yang tidak akan bisa mengendalikan emosi.

"Yuk ke UKS!" sergah suara berat seseorang, memecahkan ketegangan kala itu. Tanpa menyentuh kulit putih Airin, lelaki pemilik suara itu menarik ujung lengan seragam milik gadis itu untuk dimasukkan ke saku jaketnya.

Randy tampak kesal. Tatapannya sinis meluru pada lelaki kurang ajar yang tengah menarik lengan Airin menjauh darinya.

Gadis itu kebingungan. Tak ada pilihan lain, ia mengikuti langkah lebar Hamzah karena tangannya ada pada saku jaketnya. "Ini kamu?" tanya Airin berusaha menangkap raut wajah Hamzah.

"Iya, tadi aku tiba-tiba ingat kamu, Rin." Sesampainya di UKS, ada empat siswa yang tengah berjaga. Ada Dini dan Bayu, teman satu kelas Airin dan yang lain adik kelas, namanya Lita dan Mey kalau Airin tak salah ingat. Mungkin karena Airin jarang ke UKS. Terlihat juga beberapa anggota Paskibra yang sedang dirawat.

"Ini kenapa?" Dini dengan cekatan berdiri lalu mengamati luka Airin yang lumayan parah. "Karena keributan di depan?" tebak Dini yang tepat sasaran.

Melihat semua anggota PMR sibuk, membuat Hamzah segera buka mulut. "Biar aku yang obat—"

"Enggak usah, Hamzah," potong Airin cepat.

Tanpa disuruh, Lita berjalan mendekat lalu melihat luka Airin. Selepas itu ia menyibak gorden yang ranjangnya masih kosong. Ia stand by di sana sambil memangku kotak P3K.

"Sini, Rin," pinta Dini seraya merangkul lengan gadis itu, mengarahkannya ke ranjang tempat Lita duduk.

Setelah memberikan kode kepada Lita, gadis itu kembali sibuk mengurusi anggota Paskibra yang membutuhkan pertolongan.

Merasa bingung menghadapai suasana riuh di UKS, Hamzah memilih duduk di samping gadis yang tengah membersihkan luka Airin. "Dek," panggil Hamzah lembut. "Biar aku yang obatin," lanjut lelaki itu dengan senyum tipis.

Merasa sungkan untuk menolak, Lita mempersilakan Hamzah untuk mengurus Airin. Ia pun segera bangkit dan menyerahkan kotak P3K kepada kakak kelasnya itu. "Itu tinggal dikasih Betadine terus diperban, Kak," ucapnya takzim, Hamzah mengangguk seraya mengulas senyum.

"Kamu bisa bantuin Kak Dini sama Kak Bayu."

Gadis itu sepertinya agak heran dengan sikap Hamzah yang berubah sangat drastis, dilihat dari wajahnya dengan tautan kedua alis. "I- iya, Kak Thoriq. Terima kasih." Lita langsung beranjak ke ranjang lain.

"Hamzah, biar aku lakuin sendiri."

"Enggak usah, ini kan karena aku."

"Iya, tapi kita bukan—"

"Ini untuk balas budi, enggak ada maksud lain."

Perkataan terakhir Hamzah berhasil membungkam mulut Airin. Setelah itu, mereka terdiam beberapa menit. Hanya tersisa suara riuh di dalam ruang kesehatan malam itu.

"Makasih ya. Kamu udah bikin aku sadar. Maaf, karena Thoriq selalu nyakitin kamu," ucap Hamzah memecah kecanggungan di antara mereka berdua.

"Aku enggak papa kok. Tadi kamu sadar kalo ada anak STM?" tanya Airin berusaha mengerti akan kondisi Hamzah.

"He'em, setelah Randy bahas soal kamu, kepalaku berdenyut kayak biasanya, terus tiba-tiba aku kembali dan lihat keributan itu. Enggak sengaja aku lihat Randy jalan nyamperin kamu. Aku lihat kamu sedang adu mulut dengan Randy dan akhirnya aku samperin."

Airin mengangguk. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di otaknya, ia sungkan bertanya.

"Kenapa, Rin? Tanya aja," pinta lelaki yang dengan telaten membungkus luka Airin dengan perban.

Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya gadis itu bersuara. "Kenapa harus aku yang nyadarin kamu?"

Hamzah terhenti sesaat. Matanya bertatapan dengan milik Airin. Tiba-tiba atmosfer di dalam ruangan ber-AC itu menjadi panas. Ia menelan ludah sekali. "Mm ..., sebenernya aku suka kamu, Rin."

Mendengar hal itu, Airin hanya tersenyum tipis. Itulah kelebihan Airin, selalu bisa bersikap bijak pada lelaki yang menyatakan perasaan padanya. "Maaf, Hamzah. Kalo sekarang aku enggak bisa apa-apa. Kan tahu sendiri dalil tentang hubungan dengan lawan jenis?"

"Iya, Airin, aku tahu. Tapi apa enggak bisa kita bareng-bareng terus? Bukan karena status pacaran, tapi karena aku butuh kamu buat jad—"

"Itu sama aja, Hamzah. Afwan, aku bener-bener enggak bisa," jelas gadis itu masih dengan pembawaannya yang lembut, berhasil membuat lidah Hamzah kelu.

Selesai membalutkan perban pada luka Airin, Hamzah berdiri. "Yaudah, aku tinggal dulu ya. Masih banyak yang harus aku urus di depan. Sekali lagi makasih dan maaf, Rin."

Airin hanya mengangguk sambil menunjukkan senyum tipis. Lelaki itu pun melangkah menuju pintu. Baru beberapa detik Hamzah menghilang dari pandangan, seorang lelaki menyibak gorden di samping Airin. Sepertinya lelaki itu sudah berada di sana sejak beberapa menit yang lalu. Dia Randy, tengah menggenggam sebuah botol Aqua. Kakinya perlahan mendekat. Begitu sampai di depan Aurin, ia menyerahkan minuman itu dengan tatapan bersalah.

Airin menundukkan wajah. Ia belum bisa melupakan kejadian beberapa menit yang lalu. Randy keterlaluan, hati Airin sudah telanjur terluka. Botol itu pun tak berpindah ke tangannya, ia enggan menerima.

"Maafin aku, Rin. Aku udah tuduh kamu yang enggak-enggak."

Airin bungkam. Ia hanya memandangi ujung sepatu Randy.

"Sejak kapan kamu tahu Thoriq sakit?"

Tetap tak ada jawaban.

"Rin, tolong jawab pertanyaanku. Sejak kapan kamu tahu kalo ada dua kepribadian di diri Thoriq?"

Akhirnya Airin menatap mata Randy. Mata gadis itu tampak sayu. "Sejak aku ditunjuk sebagai wakilnya."

"Kalo sejak awal kamu ngomong, pasti aku akan dukung kamu. Maaf, aku emang terlalu egois."

Airin tersenyum tipis. "Enggak papa, Ren. Lagian aku juga salah karena terlalu pengin bantuin Hamzah sampai akhirnya ngebuat aku berantem sama kamu."

"Aku sadar, Rin. Insya Allah aku bakal perbaiki diri. Karena sekeras apa aku mencoba, kamu akan tetap teguh di jalan Allah."

Melihat senyum Airin, Randy segera menyerahkan botol Aqua serta secarik kertas.

Airin menerima keduanya, tapi sedikit heran saat melihat kertas itu. Ia ingin bertanya, tapi memilih untuk mengurungkan niatnya.

"Aku janji enggak akan bahas perasaanku lagi. Sekarang, aku harus pergi." Lelaki itu memasang wajah serius, membuat Airin ikut menganggap serius perkataannya.

"Eh, mau ke mana?"

"Ke toilet," jawab Randy dengan senyum jail.

Airin cekikikan mendengar jawaban konyol Randy. Setelah lelaki itu hilang ditelan pintu, Airin segera membuka surat dan membacanya perlahan.

Maaf, Rin. Aku tahu, caraku mencintaimu itu salah. Kamu bukan cewek bermuka dua seperti yang aku tuduhkan beberapa menit lalu. Sekarang aku sadar, cinta itu bukan tentang memiliki, tapi tentang mengikhlaskan. Sama seperti yang sering kamu bilang, cinta itu fitrah. Cukup jadikan cinta sebagai bingkai rasa sayang kita kepada Allah SWT. Aku pamit, bukan untuk pergi, tapi untuk menunggu waktu itu datang dan mempersatukan kita berdua. Aku akan memperbaiki diri, demi rasa cintaku pada Allah dan juga padamu.

Airin tersenyum lebar usai membaca surat itu. Tak sadar matanya telah basah. Ia tahu, Randy lelaki yang baik dan ia akan berusaha jadi perempuan baik, karena laki-laki baik untuk perempuan-perempuan baik. Selama ini, ia diam-diam menginginkan hati Randy, tapi ia tak bisa egois. Dalam setiap doa pun, ia tak pernah menyebut nama Randy. Masalah jodoh, ia sepenuhnya mempercayakan kepada Allah. Begitu pula Allah, Dia sangat mengerti isi hati dan perasaan Airin. Percayalah, semuanya akan berakhir indah jika dibingkai dengan rasa cinta kita kepada Tuhan, Allah SWT.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro