Takdir yang Menentukan oleh Ari Usman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Takdir yang Menentukan
Penulis: Ari Usman

"Kak, bisa minta waktunya sebentar?" tanya seorang lelaki jangkung itu kepada perempuan berhijab yang sedang duduk di perpustakaan membaca novel.

Lelaki bernama Fahmi itu kelihatan bersungguh-sungguh ingin bicara sesuatu kepada kakak kelasnya yang bernama Yunita.

"Kenapa, Fahmi?" tanya Yunita serius.

"Gak, kak. Cuma ..." Lelaki itu menggigit bibirnya. "Aku ingin berbagi waktu dengan kak Yunita untuk sekadar curhat."

Yunita mengernyitkan dahi. Ada apa sebenarnya dengan Fahmi? Belakangan ini, sejak Yunita masuk kelas 12, ia tak pernah diganggu oleh lelaki manapun. Bahkan satupun tidak ada. Sejak kehadiran Fahmi membuatnya merasa bahwa terjadi sesuatu padanya. Sehingga mendesak dirinya untuk terus bicara dengannya. Bahkan sekarang ini. Dan dia baru memberikan kesempatan buat lelaki iu.

"Fahmi. Tahu gak? Sejak awal, aku gak sreg sama apa yang kamu lakuin ke aku. Sah-sah aja kamu begitu. Yah, apa kamu selalu mendekatiku karena melihatku memuji teater yang kamu tampilkan," ucap Yunita beropini disusul Fahmi yang duduk di hadapannya.

Yunita melanjutkan ucapannya. "Dengar sini. Aku puji teater kamu karena memang aku suka. Kamu saat itu mengambil banyak peran besar. Lalu, pandanganmu yang berarti kalau aku suka atas cinta, kamu berpikir kalau aku mudah menerima cinta sama kamu?"

Fahmi menunduk ketika dirinya belum siap melihat wanita yang disukainya itu. Fahmi memang gugup segugup-gugupnya pada Yunita. Sementara Yunita memaklumi sikap Fahmi yang terus-terusan mendekatinya.

"Pikirmu ... kamu suka sama aku, gitu?" tanya Yunita serius.

Fahmi menggeleng masih menundukkan kepala.

"Oke, gini deh. Aku tahu kamu ada maksud. Pasti karena mau ikut belajar? Iya, kan?"

Fahmi mencoba membuka mulut meski rasa gugup masih menggerogotinya.

"Aku mau masuk kedokteran," ucapnya jujur. "Tapi, ayahku gak ngizinin gitu. Secara, aku keluarga dari seniman teater. Makanya, dari sejak masuk sekolah ini, aku disuruh ikut ekskul Teater."

"Terus, apa hubungannya?" tanya Yunita enteng.

"Aku mau kakak ngajarin segala hal atau cara gimana aku bisa masuk kedokteran dengan mudah. Aku gak mau ada yang membujukku untuk kuliah seni. Apalagi nanti ayahku berencana memasukkanku di kampus seni."

Yunita menarik napas dengan pelan, mencoba menanggapi perkataan Fahmi. Memang selama ini fokusnya di sekolah hanya belajar, belajar, dan belajar. Namun dirinya belum pernah memotivasi orang lain, bahkan pada adik kelasnya sendiri.

"Kalau kamu mau masuk kedokteran dengan mudah, ya fokuslah belajar. Jangan sia-siakan diri kamu, Fahmi. Apalagi kamu mau naik kelas 12. Jaga nilai kamu baik-baik jika mau lolos SNMPTN. Paham?"

Fahmi tak menjawab dan hanya menatap wajah oval Yunita yang tertutupi oleh jilbab putih yang dipakainya.

"Aku juga sekarang lagi fokus untuk menentukan jurusan kuliah. Ya, tolong dong, hargai waktu aku ini. Kamu juga demikian."

"Tapi ... aku hanya mau minta kakak berikan rahasia untuk tembus kedokteran aja. Hanya itu, kok," desak Fahmi sekali lagi.

"Dengerin, ya. Dan aku gak ngulangi lagi. Mau berapa kali kamu membujuk kakak memberikan motivasi atau pelajaran kek segala macam, aku gak punya waktu. Aku punya segambreng ujian yang mungkin tahun depan juga kamu akan merasakannya. Ujian Praktek, USBN, UAS, UNBK, UTBK, SNMPTN, Ujian Mandiri, dan lainnya. Aku gak mau kalau sampai terjadi sesuatu. Aku mau fokus ke satu titik aja. Gak mau yang lainnya."

Setelah berbicara panjang lebar pada Fahmi, ia bangkit dari kursi dan mengambil buku novel yang hanya dipegangnya itu untuk meminjamnya dari perpustakaan. Ia segera menuju petugas perpustakaan untuk melakukan pendataan dari buku yang ia pinjam.

Sementara Fahmi juga bangkit dari kursinya karena jam istirahat juga hampir habis. Ia buru-buru memakai sepatunya yang ia tanggalkan di depan pintu perpustakaan dan segera menuju lantai dua gedung yang merupakan kelas XI MIPA 1 tempat dirinya belajar.

"Yunita, si anak emas SMA Cakrawala? Gila ya lo. Masa lo tanggalin semua kebolehan kamu di teater? Bahkan lo udah dapat penghargaan karena teater? Masa lo nyerah?" ucap Dody nyaring pada Fahmi.

Saat istirahat kedua, tepatnya jam 12 siang, Fahmi menyempatkan ke sanggar teater untuk curhat pada Dody tentang yang ia alami. Namun Dody tentu menolak jika Fahmi akan mundur dari ekskul teater demi cita-citanya sebagai dokter.

"Tapi itu kemauan gue. Toh, gue masuk teater cuma karena bokap."

"Ckckck. Lo itu juga anak cemerlang. Lo penyelamat ekskul teater, tau. Eh, lo tahu tidak? Ekskul teater ini mau diruntuhkan sama pak kepsek karena reputasinya yang menurun. Dan rencana pak kepsek ini luruh saat melihat lo menyinari ekskul teater. Terus, lo mau mundur seenaknya demi si anak emas itu?" Setelah berceloteh, Dody memegang pundak sahabatnya dan merangkul lehernya. "Hei. Lo bakal ngulang dari nol lagi, tau gak. Dan juga, seminggu lagi kita bakal tampil teater. Lo tuh jangan mundur sekarang. Eh, bukan, bukan. Jangan mundur aja. Pokoknya jangan mundur dari teater. Paham?"

Dody mungkin tidak mau kehilangan Fahmi si anak emas di bidang teater. Fahmi memang hebat jika soal teater. Berbagai peran sudah ia lakoninya. Bahkan saat kelas 10 dulu, ia memerankan seorang kakek dengan baik. Bahkan dialog yang diberikannya pun banyak. Dan kini di kelas 11, ia harus tampil teater lagi. Bukan di sekolah, melainkan di aula Diknas. Ia akan tampil di situ, dan ia akan dilihat oleh pengamat teater. Bukan sekadar tampil melainkan lomba. Apakah Fahmi bisa?

Istirahat kedua dimanfaatkan oleh Yunita untuk makan di kantin. Di SMA Cakrawala, kantinnya sangat bagus dan higienis. Bahkan menunya beragam. Ada seblak, cimol, bakso, nasi goreng, dan lain sebagainya sesuai kesukaan murid SMA Cakrawala. Namun yang paling disukai Yunita adalah semangkuk bakso dan susu pisang. Tentu saja ia juga pesan air putih botol.

Setelah memesan di mbak-mbak penjual bakso juga susu pisang di toko sebelah penjual bakso, ia duduk di meja yang terhubung melalui jendela. Ia tak tahu kenapa ia menyukai pemandangan di luar sekolah. Sembari makan bakso, ia juga sesekali melihat pemandangan di luar.

"Sangat bagus," ucapnya memuji.

Lalu nampan yang membawa semangkuk bakso komplit pun datang dan mengantarnya dengan sigap ke meja Yunita. Ia menelan salivanya ketika melihat kepulan aroma yang ada di mangkuk baksonya itu. Tampaknya tangannya tak tahan untuk diam lagi dan segera meraih sendok dan garpu untuk menyantap baksonya.

Favorit Yunita saat makan bakso adalah ia suka air jeruk limau ke baksonya minimal dua potongan. Juga kecap satu sendok dan sambal tumis dua sendok. Setelah semua ia taruh, ia mengaduknya perlahan dan menyantap bakso miliknya.

Dody dan Fahmi tak ketinggalan untuk makan siang di kantin dan beruntung mereka mendapat kursi setelah nyaris ketinggalan karena semuanya penuh oleh murid-murid.

"Fahmi. Lihat tuh." Sorot mata Dody terfokus pada cewek cantik berjilbab putih yang sedang makan bakso dekat jendela kantin. Dody mencolek lengan Fahmi ketika sedang menyantap nasi gorengnya.

"Yunita. Tauk ah," timpal Fahmi setelah melihat cewek itu lalu kembali menyantap makanannya.

"Bukannya lo suka sama dia? Lo pernah cerita saat awal masuk teater. Lo bilang suka sama dia karena dia pintar dan menjadi jalan pintas kamu saat masuk kedokteran. Lo sendiri yang bilang.".

Fahmi mengernyitkan dahi setelah aktivitas makannya terhenti oleh celotehan Dody, temannya.

Fahmi mengingat saat dirinya memilih ekskul teater sebagai ekskul utamanya. Bukan neko-neko, tapi itu hanya semacam teguran dari ayahnya untuk memilih teater, alih-alih ekskul PMR atau jurusan Biologi untuk kelasnya. Tapi yang ada, ia masuk MIPA, bahkan sampai kelas 11 sekarang ini. Memang ayahnya tahu kalau ia masuk MIPA, tapi yang ayahnya mau hanyalah target kuliah di jurusan seni. Itu saja.

Dan ia pernah keceplosan menyebut Yunita sebagai panutannya dalam belajar. Ia menyukai Yunita pada pandangan pertama, meskipun Fahmi lebih muda dari Yunita. Ia tak pernah kepikiran untuk pacaran dengan Yunita, apalagi jarak umur mereka yang hanya setahun saja. Ia hanya mau untuk lebih dekat dengan anak pintar itu.

"Tuh, tuh, dari ekspresi lo, pasti kan? Iya kan?" goda Dody.

"Ish, lagi makan juga. Jangan ganggu lo," ketus Fahmi lalu menyantap nasi gorengnya kembali sesendok.

"Eleh, gak asik lo," ledek Dody lalu ia juga kembali menyantap seblaknya.

"Aish, gue lupa beli susu. Tunggu bentar ya, gue ambil susu dulu. Lo juga mau?" tawar Dody bangkit dari kursinya.

"Hooh," gumamnya biasa.

"Lo yang bayar, ya." Dody mengucap spontan lalu lari menjauh dari Fahmi yang membuat Fahmi telanjur kesal.

"Dasar. Emangnya gue punya banyak duit apa?" ujar Fahmi geram lalu kembali duduk di kursinya setelah sempat berdiri.

Hening. Itu yang dirasakan Fahmi di sekitaran kantin. Banyak murid yang berhamburan pergi dari kantin karena jam pelajaran berikutnya akan segera dimulai. Lain halnya dengan Fahmi, ia memilih menunggu temannya untuk mengambil susu. Tapi, sudah sepuluh menit tapi Dody masih belum kembali juga. Apa jangan-jangan karena seblak ia bersahabat dengan toilet dulu?

"Lama bener deh si Dody." Fahmi menyilangkan kedua tangannya ke dadanya dan menunggu Dody. Makanannya juga sudah telanjur habis.

Tiba-tiba, sebotol teh tarik ditaruh di meja Fahmi. Bukan Dody, melainkan seorang cewek yang tidak asing bagi Fahmi.

"Yun ... Yunita?" panggil Fahmi agak grogi.

Yunita berdiri tepat di mana Fahmi duduk.

"Fahmi. Kakak dengar kamu mau tampil di ekskul pekan depan, kan? Semangat, ya. Semoga sukses."

Kata itu terasa singkat namun bermakna. Dan itu baru pertama kalinya Fahmi mendengar kata-kata penyemangat itu dari Yunita.

Setelah mengucapkan itu, Yunita melangkah pergi dari kantin dan meninggalkan Fahmi yang sendirian masih menunggu temannya.

Di kelas 12 MIPA 3, Yunita segera memasuki kelasnya. Matanya tertuju pada wali kelasnya yang masuk dalam ruang kelasnya. Dengan cepat, ia memasuki kelas dan duduk di barisan pertama pojok kiri untuk mendengar pengumuman dari Bapak Radi.

"Selamat siang, anak-anak."

"Siang, pak."

"Oh iya, hari ini bapak mau mengumumkan sesuatu. Yang sangat penting, terutama buat kalian anak-anak kelas 12 yang menanti siapa yang lolos SNMPTN. Tepat jam 1 siang ini, bapak menghimbau kalian untuk membuka masing-masing ponsel kalian untuk melihat pengumuman."

Yunita baru teringat kalau hari ini tepatnya di hari Selasa, adalah pengumuman SNMPTN. Di situlah Yunita menjadi deg-degan apakah ia lolos SNMPTN atau tidak.

Ia membuka perlahan ponselnya sesuai perintah dari Bapak Radi, dan membuka web pengumuman SNMPTN.

Pengumuman yang akhirnya terbuka itu membuat Yunita tercengang. Bahkan dirinya sempat melotot di depan ponselnya.

* * *

Sepulang sekolah, Fahmi sempat kelelahan setelah sejam latihan untuk pementasan teater. Ia berjalan kaki dekat rumahnya tidak berdaya.

Ia sampai di rumah sederhana miliknya dan mendapati semua buku-buku Biologi dan buku yang berkaitan dengan kedokteran berada di luar rumah.

Dan tentu saja ada kegaduhan lagi hari ini. Setelah sempat beberapa kali kena marah oleh ayahnya karena tak mendengarkan nasihatnya, Fahmi kali ini tak berkutik saat dirinya ketahuan oleh ayahnya karena belajar kedokteran diam-diam.

Ia perlahan masuk ke rumahnya dan melihat ayahnya yang sedang menyeruput kopi.

"Fahmi. Kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan?" Ayahnya bersuara dengan nyaringnya.

"Ti--Tidak, Yah."

"Kenapa kamu masih ceroboh begitu, sih? Sudah ayah bilang untuk fokus teater, fokus teater. Masih gak denger-denger juga."

"Itu ... pekan depan Fahmi akan tampil kok, Yah. Gak bermaksud apa-apa."

"Terus, kenapa masih saja belajar biologi, anatomi, dan lainnya? Hah?" ucap ayahnya geram.

Fahmi menunduk ketika berbicara. "Aku cuma ..."

Ayahnya sontak berdiri lalu mendekati anaknya yang kini menunduk.

"Ayah cuma minta kamu untuk fokus ke teater. Ayah gak mau kamu masuk kedokteran biar kamu bisa nerusin sanggar teater yang ayah punya. Dan ayah muak kamu melihat belajar hal semacam itu. Kalau kamu masuk kedokteran, siapa yang bakal teruskan sanggar teater itu? Ayah mana sanggup."

Ucapan ayahnya tulus. Membuat Fahmi tak sengaja meneteskan air matanya. Ia tak tahu jika kegaduhan yang diperbuat ayahnya itu rupanya tidak membuatnya terluka. Fahmi malah tersentuh melihat ayahnya yang tidak marah besar kali ini.

"Fahmi ... akan pastikan untuk tampil yang baik pekan depan," ucapnya bertekad pada ayahnya.

Pria tinggi itu melebarkan tangannya dan memeluk anak satu-satunya dengan tulus. Mungkin ayahnya juga merasa bersalah karena sempat memukuli anaknya. Dan kali ini ia benar-benar mendukung anaknya untuk tampil dengan baik. Meski, sudah pasti anaknya akan masuk kuliah di mana. Setahun lagi.

* * *

Pekan depan. Itu terlalu cepat buat Fahmi dan juga latihan-latihan untuk pementasan teaternya. Dan ia sudah mantap untuk perannya sebagai dokter. Mungkin itulah yang membuat Fahmi berani mendekati Yunita, karena ingin mendalami perannya tersebut.

Tak menyangka juga ia mendapat peran sebagai dokter dan dialognya juga banyak. Ia juga berani mengatakan ke ayahnya kalau ia mendapatkan peran dokter dan ayahnya setuju-setuju saja.

Dan, hari H. Ia dan teman-temannya yang lain berada di aula Diknas dan mereka sudah mendapat kostum teater mereka masing-masing.

Fahmi yang berseragam dokter ini malah murung di pojok belakang panggung. Sejam sebelum tampil, Fahmi malah lesu dan kurang bersemangat.

Ia mendengar kabar buruk dari Yunita hingga membuat gadis itu tak masuk sekolah selama hampir sepekan. Entah apa kabar buruk itu, yang jelas itu membuat Fahmi down.

Dody yang memakai kostum pasien itu menghampiri sahabatnya yang lesu bagaikan tak bertenaga itu.

"Fahmi. Napa lo? Kok lesu gitu?"

Lelaki itu berusaha menyeka air matanya. "Gak kok, cuma ... kak Yunita."

"Kenapa kak Yunita? Bahkan sejak latihan, masih saja lo mikirin dia. Lo sebaiknya lupain deh. Memang sudah takdirnya kok dia begitu." Dody menyarankan.

"Tapi ..."

"Kita tampil sejam lagi. Prepare diri lo dulu."

Dody tak mau membuang-buang waktu dan meminta Fahmi untuk bersiap karena giliran tampilnya akan segera dimulai.

Dan sejauh acara itu dibuka dari jam 8 pagi sampai sekarang jam 10 pagi, ia harus tampil jam 11 pagi dengan pementasan spesial ekskul teater pada durasi satu jam.

Fahmi berusaha mengendalikan dirinya dan tidak menangis memikirkan kakak kelasnya itu. Ia tak mau matanya terlihat bengkak saat pentas. Bahkan ayahnya juga bakal menontonnya. Ia tak mau pengamat teater juga mengkritik dirinya.

Ia mengepalkan kedua tangannya dan seraya mengucapkan kata semangat dan pengharapan.

Kini, giliran perwakilan SMA Cakrawala yang tampil untuk mementaskan teater.

Semua pemeran sudah siap, termasuk Fahmi. Ia bertindak seolah semuanya kuat dari apa yang terjadi.

Teringat saat di sela-sela latihannya, ia mendengar kabar bahwa Yunita putus kontak setelah mendapatkan berita buruk untuk Yunita. Dan membuatnya drop saat itu.

Fahmi tahu kalau anak emas SMA Cakrawala itu tidak lulus SNMPTN. Padahal Yunita nomor satu bahkan selalu menjadi rangking satu di kelasnya. Bahkan Fahmi juga pernah bernasihat pada Yunita sebelum benar-benar putus kontak kalau Yunita harus bersemangat bahkan tidak lulus SNMPTN sekalipun. Fahmi mengerti kondisi Yunita. Fahmi menyarankan pula untuk hanya fokus SBMPTN pada Yunita.

Itu terjadi saat ia baru saja selesai latihan dan melihat Yunita yang pulang sekolah dalam keadaan matanya yang bengkak.

Fahmi sangat ingin memeluk Yunita saat itu, namun apalah daya jika Fahmi hanya cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin nanti. Ia bisa melakukannya. Atau jika dirinya ditakdirkan mendapat cewek lain yang lebih baik dari Yunita, itu juga bisa.

Pementasan teater pun dimulai dan membuka dengan narasi. Fahmi yang mendapat Babak 1 dalam teaternya sedang berdiri tepat di atas panggung dan melakukan aksinya sesuai peran yang dimainkannya.

Ayah Fahmi yang keren dengan outfit warna putihnya mencoba mengapresiasi apa yang dimainkan anaknya dalam teater tersebut.

Peran dokter yang dilakoni Fahmi sungguh membuat dirinya seperti dokter sungguhan. Meski hanya teater, tetapi tekad Fahmi untuk masuk kedokteran masih dikatakan bulat. Walau ia harus bimbang antara ikut keinginan hatinya atau keinginan ayahnya.

* * *

Sudah kurang dari satu jam mereka tampil dan Fahmi beserta teman-temannya kembali ke belakang panggung untuk istirahat.

Setelah semua acara rampung di jam 1 siang, para pemain teater dari berbagai sekolah itu pun berhamburan keluar dari aula namun mereka belum pulang karena mereka masih ingin mencari makan. Sementara Fahmi berada di sebuah ruangan tepat di samping kiri panggung yang hanya diperuntukkan bagi para pemain teater yang ingin beristirahat karena masih ada penilaian setelah istirahat.

Fahmi sedang memakan bekal yang ia bawa dari rumah. Meski sudah mendingin, namun ia tetap memakannya karena ia hanya makan roti sebelum tampil tanpa menyentuh bekalnya.

Di sela-sela makannya, tiba-tiba Dody memanggilnya dengan membawa minumannya.

"Fahmi. Ada orang tuh, manggil lo."

"Siapa, sih?" tanya Fahmi saat makanannya masih memenuhi mulutnya.

"Yah ... lo tahulah siapa. Temui ajalah," kata Dody meminta lalu berbalik keluar dari ruangan.

Fahmi tentunya penasaran siapa orang yang dimaksud Dody itu.

Dengan kostumnya yang belum ia lepas sejak pementasan itu, ia buru-buru menuju pintu keluar aula dan melihat siapa orang yang disebut tadi.

Ia tak melihatnya dan berbalik memutar. Fahmi nyaris menyerah karena orang itu belum juga ia temukan.

"Fahmi!"

Seruan itu membuat Fahmi terhenti mencarinya. Sumber suara itu tepat di belakangnya. Ia berbalik dan melihat sesosok gadis biasa dengan tampilan hijab biru navy-nya yang modis serta outfit yang santai juga tas selempang yang ia bawa membuat Fahmi mengenal siapa gadis itu.

Ya, selama seminggu atau nyaris dua minggu itu tak pernah ia temui sosok itu, dan hari ini ia baru bertemu dengan gadis itu.

Tak menyangka jika ia melihat wajah gadis itu sangat bersinar. Tak seperti sebelumnya, bahkan sejak pertama kali melihatnya.

"Kak ... Yunita," panggil Fahmi tergagap-gagap yang membuat Yunita menyunggingkan senyum.

"Aku melihat kamu tampil. Bagus, kok. Tapi, tidak seperti yang pernah aku lihat sebelumnya, penampilan teater kamu hari ini sangat bagus. Sekaligus ... membuatku terharu juga." Yunita memuji penampilan Fahmi di teater yang membuat Fahmi tak berpaling.

"Makasih, kak," ucap Fahmi singkat. "Kudengar, kakak gak mau ngambil SBMPTN, ya?"

"Siapa bilang?"

"Kak Randy yang kasih tahu," ujar Fahmi menyebut nama teman satu kelas Yunita.

"Ah, itu cuma bohong, kok. Siapa bilang aku gak ngikut SBMPTN?" ucap Yunita terkekeh. "Oh iya, aku juga mau ngasih tahu, kalau ... aku dapat beasiswa full di universitas swasta."

"Wah, beneran, kak?" tanya Fahmi takjub.

"Iya, beneran."

Mungkin ini biasa di telinga Fahmi, tapi apa salahnya untuk mengucapkan selamat kepada Yunita yang dapat beasiswa. Feeling Fahmi sudah pasti semua kegagalan Yunita akan terganti dengan yang lebih baik.

"Oh iya, kak. Maaf ya ... jika selama ini membuat kakak terganggu. Bukan apa-apa memang, tapi ... aku minta kakak untuk mengajariku supaya bisa lebih konsen belajar lagi," kata Fahmi merasa tidak enak.

"Kebetulan aku juga punya sesuatu."

Yunita merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Ia merogoh sebuah buku catatan yang tebal untuk diberikan pada Fahmi.

"Ini buku catatanku selama kelas 11. Kamu baca-baca aja. Dan juga ...  aku mau kamu tahun depan bisa lolos SNMPTN, ya. Mungkin itu kesalahanku karena aku ceroboh saat mendaftar SNMPTN. Makanya aku gak lulus. Jadi, aku minta kamu itu, ya."

Fahmi mengangguk.

"Juga ... kamu 'kan pintar. Mana mungkin kamu nyia-nyiakan apa yang kamu punya? Jadi, berusaha lebih keras, ya, Fahmi."

Fahmi sekali lagi mengangguk mendengar saran dari kakak kelasnya.

Mereka berdua tersenyum. Dan Fahmi merasa bahwa itu adalah patokannya untuk mencapai impiannya.

Meski Fahmi sempat terus mengganggu Yunita dan akhirnya bisa bicara empat mata dengannya juga Yunita tahu gerak-gerik Fahmi, itu membuat mereka berdua termotivasi atas kelemahan mereka berdua. Dan sekali lagi itu menjadi takdir dan nasib mereka. Karena menjadi sukses itu tidak instan, butuh usaha yang keras untuk mendapatkannya.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro