Sandi Hati oleh Icha Rizfia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sandi Hati
Penulis: Icha Rizfia

Jika mendung tanda hujan, bolehkan Arum artikan bahwa rindu tanda sayang? Seperti yang ia alami saat ini. Merindukan dalam diam, padanya yang tak lagi di depan mata.

"Nglamun wae ya ampun," tegur Melani, teman sekelas Arum di MIA 2. Mangkuk bakso berada di hadapannya, karena baru saja pesan. Ia lantas duduk di dekat Arum.

"Mikir apaan sih?" Arum yang tadinya melamun, ganti menyesap susu jahe hangatnya. Cuaca memang panas, tapi Arum tetap memilih yang hangat sebagai peneman. Ia butuh kondisi fisik yang prima, karena sebentar lagi akan ada latihan gabungan Pramuka Penggalang se-kota Bandung. Sementara baru seminggu lalu ia dan anak-anak pramuka selesai kemah Wirakarya di luar kota. Jadi, ia tak boleh egois memilih es di siang terik demi kondisi fisik yang tetap terjaga.

"Kak Awan."

Melani yang hendak menelan bakso langsung berhenti. Ia toleh ke sebelah. "Kak Awan pembina?"

Arum mengangguk sambil tersipu-sipu malu.

"Kenapa sama dia?"

"Kayaknya .... hati ini jedag-jedug mikirin dia terus."

"Orang kayak Kak Awan emang bagusnya di mana sih? Oke, cakep sih emang. La ilah ... dia galaknya nggak ketulungan gitu. Masa kemah kemarin gue lupa taruh pasak langsung diomelin, mana di depan anak-anak lain. Gue lupa, harus gimana dong. Pusing aing mah."

Arum terkikik. "Jelas dimarahin lah. Kalau pasak nggak ada, lo mau dirikan tenda pakek apaan?"
Disentilnya hidung pesek Melani hingga gadis itu meringis.

"Eh, kita duduk sini ya?"

Arum mendongak. Ada Firda anak paskibra yang datang bersama temannya. Tempat duduk depan Arum memang kosong. Lagipula sebentar lagi Arum juga hendak ke sanggar sebelum jam istirahat berakhir. "Duduk aja, Fir. Gue udah mau cabut juga kok. Temenin Melani aja kalian."

Melani mengangguk tanpa suara karena ia masih mengunyah tahu.

"Gue tinggal dulu ya, semua. Mau ke sanggar bentar."

Arum lekas pergi, setengah berlari ia menuju gedung ekstrakulikuler yang terletak dekat dengan kantin.

***

Memasuki sanggar, ia segera mengambil buku anggaran yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Kerani atau bendahara.

"Cari apa, Kak? Cari pacar nggak ada loh di sini."

Arum menoleh. Rupanya ada Satya yang sudah masuk sanggar tanpa Arum sadari. Laki-laki yang menjadi Pradana atau ketua itu masih menggenggam kantung es dalam tangan. Sesekali ia sedot untuk melepas dahaga. Cara menyedotnya pun berisik tapi lucu. Arum sudah hafal dengan ketuanya yang kadang norak dan aneh itu.

"Eh, ini, Kak, ambil buku anggaran. Ada nota yang keselip di saku tas. Jadi mau taruh di pengeluaran kemah kemarin. Lagian ya, Kak, masa gue cari pacar di sini. Harusnya mereka yang nyariin gue buat jadi pacar," balas Arum kemudian terbahak.

"Oh. Harus banget minta ditemuin. Emang ada yang mau aduh!"

Arum memukulkan buku anggaran ke lengan Satya hingga pemuda itu mengaduh. "Gitu amat sih. Ih, tega!"

"Elah, sewot. Udah, lanjut aja."

Satya berlalu menuju lemari. Ia mengambil sepatu yang dibungkus kresek hitam. Ia membawanya dan hendak pamit pada Arum untuk kembali ke kelas. Namun sebelum itu, Satya menawari bendahara yang juga teman sekelas sejak keduanya masuk SMA Cakrawala untuk kembali ke kelas bersama. "Udah selesai belum lo, Kak? Mau ke kelas bareng nggak? Ntar gue tinggalin mewek lagi."

Arum menoleh. "Enak aja mewek. Gue seterong kali, Kak."

"Iya nggak? Buruan!"

Keduanya berjalan sambil mengulas kisah lucu perkemahan Wirakarya minggu lalu di luar kota, tepatnya di Bogor. Sekolah mereka ikut serta selama enam hari di kota hujan tersebut. Selain kemah, juga ada lomba yang diikuti.

"Yakali, gue mau ninggalin Sultan sendirian. Dia digigit awewe kayak apa?" Arum terbahak jika mengingat salah seorang anggotanya yang terjebak di kamar mandi dengan pintu rusak. Kebetulan Arum sedang ingin buang air, malah mendengar gedoran minta tolong dari kamar mandi laki-laki. Karena saat itu malam, jelas saja keadaan sepi. Arum sedang bersama Melani saat itu.

"Biarin aja udah. Paling dia capek gedor terus ketiduran. Lagian, dedemit mana yang doyan sama dia. Alot semua."

"Ih, tega amat sih lo, Kak. Pradana masa jiwa Satya Dharma lo nggak diterapin. Kumaha iye?"

Keduanya masih saja tertawa hingga sampai di depan kelas. Bel tanda masuk pun kemudian berbunyi. Arum melirik kresek yang dibawa Satya penasaran. "Betewe, Kak, lo bawa apaan sih?"

Satya ikut melirik benda yang ia bawa. "Sepatunya Kak Awan. Ketinggalan ternyata. Gue disuruh bawain, soalnya nanti kita ketemu mau bahas Latgab."

Mendengar nama Awan disebut, mata Arum mendadak berbinar. Jelas, ia tahu persis siapa pemilik sepatu yang dimaksud. Dialah pencuri hatinya. Cinta diam-diamnya. Cinta yang tumbuh di hati Arum sejak seorang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional semester empat itu datang ke sekolahnya menjadi pembina. Tumbuh semakin suburlah rasa cinta itu kala beberapa kali Arum terlibat interaksi saat kemah atau latihan di lapangan. Terlebih Arum punya posisi bendahara yang mana banyak dicari anggota dan atasan guna laporan keuangan, nota pembelian atau minta dana.

"Eh, kalian deket emang?"

Satya menggaruk pelipisnya. "Ya ... nggak juga kalau dikata kita deket sampek mau ke kantin aja gandengan. Biasa aja. Lagian kan, Kak Awan pembina kita. Sering koordinasi atau ngajak gue kalau ada acara. Kadang gue diajak ke kampusnya juga."

"Salamin ya, Kak, dari gue."

Agak bingung, Satya pun mengangguk. "Dikira gue ini tukang pos apa? Iya deh ntar gue salamin. WA aja beres padahal lo mah. Ngrepotin."

Arum melesat ke bangkunya yang berseberangan dengan Satya sambil terkikik geli. Meski Satya adalah teman seangkatan, sudah menjadi kewajiban dalam tradisi di kepanduan bahwa sesama anggota memanggil dengan sebutan 'Kak' dalam lingkup sekolah atau acara kepanduan.

Di tempatnya, Satya memperhatikan Arum yang membuka tas dan memasukkan buku anggaran ke dalamnya. Plastik es dalam genggaman Satya sudah habis isinya. Ia berjalan ke luar guna membuang. Begitu masuk lagi, Arum meneriakinya dari jendela.

"Kak, aku WA. Buruan dibaca!"

Melihat sekeliling belum terlihat guru yang akan mengajar di kelasnya, Satya mengangguk. Ia kembali ke bangku dan membuka pesan pada ponsel yang ia senyapkan di dalam tas. Membuka, rupanya pesan permintaan Arum soal informasi Awan.

"Hadeh, ini anak ngrepotin mulu."

***

Dermawan Aditya, mahasiswa di salah satu kampus negeri di Bandung. Selain menjadi mahasiswa, ia menjadi pembina di SMA Cakrawala sejak semester pertama ia kuliah. Terhitung hampir dua tahun ia berada di tengah-tengah siswa SMA berseragam cokelat di hari Jumat dan Sabtu. Kecintaannya pada kepanduan membuatnya menjadi sosok yang disiplin dan tegas. Meski pembawaan dingin, ia bisa sangat akrab jika bertemu lawan yang cocok.

Memperhatikan hasil arahannya membuat tandu, Awan ditegur perempuan yang ia kenal sebagai bendahara ambalan. "Kak?"

Awan menoleh. Masih dengan posisi jongkok, ia melepas pandang dari jalinan tali-temali salah satu kelompok. "Ya?"

"Kakak kemarin ada barang yang dibeli dadakan? Biar sekalian saya nota dan ganti uangnya."

Awan berpikir sejenak. Kemarin yang dimaksud Arum pastilah kemah di Bogor. Kadang, tak jarang ia memang membeli barang kebutuhan ambalan dengan uang pribadi. "Ah iya, Kak. Ada, tapi sedikit. Sebaiknya tidak usah saja."

"Tidak apa-apa, Kak. Nanti kami ganti. Kakak bisa ke sanggar setelah latihan selesai."

Berbalik badan, Arum mengulum senyum. Akhirnya, ia punya waktu ngobrol berdua dengan Awan. Semua anggota tahu, bahwa Awan tipe orang yang susah diajak bercanda. Berbeda jauh dengan pembina utama yang juga guru olahraga di SMA Cakrawala. Usianya terbilang masih muda, mungkin juga tak jauh beda dengan Awan. Hanya Satya dan anak laki-laki lain yang akrab dengan Awan.

"Kumaha senyum-senyum?" Melani menghampiri Arum di sanggar. Sabtu ini jadwal tekpram untuk kelas X dan ujian SKU untuk kelas XII. Jadi, Arum dan Melani lebih santai karena sudah setor ujian.

"Ada deh, mau tahu aja."

"Yah ... gitu amat sih pakek acara main rahasia sama gue."

Arum nyengir. "Biarin. Sekali-sekali biar gue punya secret."

****

"Ya, Kak, sama-sama."

Arum menyerahkan uang ganti belanja pada Awan yang ditanggapi laki-laki itu dengan anggukan. Awan memang tak biasa tersenyum ramah atau basa-basi. Bukan karena sombong, namun memang seperti itu orangnya. Sopan saat berbicara, tegas saat memimpin, dan bijak saat memberi masukan.

"Kalau gitu saya pamit."

"Iya, Kak."

Awan memasukkan uang dari Arum ke saku jaket yang sudah ia pakai. Kegiatan latihan sudah usai setengah jam lalu. Siswa SMA Cakrawala pun sudah banyak yang pulang karena hari makin sore.

Saat memasukkan uang, Awan memegang sebatang cokelat Tobleron 50 gram. Dikeluarkan kemudian melihat Arum yang tengah membereskan tas. "Kak Arum?"

"Ya?" Arum sontak menoleh. "Ya, Kak. Ada apa?"

Awan mendekat. Diletakkannya cokelat tadi ke atas meja dekat tas Arum. "Buat kamu."

Kemudian Awan balik badan dan pergi meninggalkan Arum yang jantungnya berdetak tak karuan. Ia ingin pingsan saking terkejutnya. Dielus-elus cokelat pemberian Awan yang berharga diiringi tangis bahagia. Menempelkannya di pipi baru memasukkannya ke tas. Sore itu, Arum melangkah pulang meski mendung mengintai dengan perasaan berbunga. Sampai-sampai ia tak memperhatikan gerbang sekolah yang dibuka setengah meter saja.

"Awas jidat!"

DUGH.

***

Lusa adalah hari ulang tahun Awan. Tahun lalu, anak-anak membuat kejutan perayaan saat acara latihan. Tahun ini, sepertinya tidak bisa memberi kejutan dekat hari H. Pasalnya, jadwal kuliah Awan ada yang dipindah ke hari Sabtu. Hari di mana anak-anak pramuka hendak memberi kejutan tepat saat kegiatan latihan rutin. Sementara ulang tahun Awan jatuh pada hari Jumat.

"Nunggu minggu depannya lama ya?" Neneng, yang menjabat sebagai sekretaris itu pun angkat suara.

"Tapi masih di bulan yang sama. Nggak papa kali, ya?" Arum usul.

"Jadi, tetep apa nggak? Kalau jadi, awas kalo iuran pakek ngaret segala. Gue tagih pakek TOA!"

Semua terpingkal dengan ancaman Satya. Meski sering bercanda dan terkesan anak yang konyol, percayalah bahwa pribadi Satya bisa berubah drastis saat memimpin pasukan. Mungkin ia punya kepribadian ganda. Bahkan, Satya yang sehari-hari sering melempar receh unfaedah, ide gila, kelakuan kelebihan micin, bisa menjadi garang saat anggotanya membuat kesalahan. Dulu saja Arum pernah dihukum berguling, push-up, dan berkeliling lapangan karena terlambat setengah menit saat briefing panitia. Hal tersebut masih biasa, ada yang lebih parah lagi.

"Iya, iya. Ya udah, kita deal brati ya."

Semua mengangguk. Kemudian rencana dan barang apa saja yang dipersiapkan pun dirembukkan. Arum yang ikut diskusi, diam-diam membuat rencana. Diliriknya Satya yang duduk bersila di pojokan dengan tatapan penuh arti.

Selesai diskusi, semua kembali ke kelas karena bel berdentang. Melani, Satya dan Arum tidak ke kelas, melainkan menuju ruang laboratorium yang berada di depan gedung ekskul. Jam pelajaran kali ini ada praktek Kimia. Mereka bertiga juga sudah membawa alat tulis sejak masuk sanggar. Menghemat waktu, menurut mereka.

"Kak?"

Satya yang disapa Arum dengan tepukan bolpoin pun menoleh. "Apaan? Lo mau bilang makasih karena jidat lo gue bantu kempesin?"

Merengut sebal, Arum berdecak. Ia memang berhutang budi pada Satya karena jidatnya segera dikompres oleh Satya dengan air es dari termos kantin. Sisa-sisa, tapi lumayan untuk mengobati bengkak di jidat Arum yang lekas Satya ajak ke UKS. Belum lagi telapak tangan Arum yang mencium aspal saat terduduk setelah jidatnya terbentur. Untung masih ada Lita di UKS yang tengah mengunci ruangan tersebut dan hendak pulang. Setelahnya, Satya mengantar Arum pulang meski arah rumah keduanya berbeda.

"Ilah, gila apresiasi banget sih. Tapi, iya ... makasih buat bantuan sama ojekannya ke rumah."

Menaikkan sudut bibir. "Nah, gitu dong. Lo main nyelonong masuk aja nggak pakek makasih ke gue. Sopan dikit kek, dah ditolongin. Lagian, ngapain juga sih lo nyipok gerbang."

"Ih, apaan sih." Sabar. Arum harus sabar kalau ngobrol dengan Satya. Kadang-kadang teman sekelasnya itu bisa enak, kadang bisa menyebalkan. Ia harus manis-manis pada Satya karena Arum butuh bantuan.

"Makanya, jalan jangan merem lo."

"Iya. Betewe, Kak, lo bilang pernah ke kampusnya Kak Awan kan?"

"Ho'oh. Kenapa? Lo ada rencana mau nyipok pager kampus juga?"

Mengabaikan sindiran Satya. "Hari Jumat temenin gue ke sana yuk!"

Kaki Satya berhenti melangkah. "Ngapain? Wah, parah lo. Beneran mau nyipok gerbang kampus juga karena gerbang sekolah kita kurang gede?"

"Ah, tahu deh. Gimana? Bisa nggak, Kak?"

"Ya deh. Gue lihat jadwal dulu."

***

Lepas salat Jumat, Satya yang tak tahu menahu tujuan Arum menemaninya ke kampus Awan pun sudah bersiap. Sementara bagi Arum, mengajak Satya bisa membuatnya punya alasan bertemu Awan di kampus, selain karena Satya juga lebih tahu lokasi. Arum enggan mengajak Melani, karena takut mulut teman sebangkunya itu bocor ke mana-mana. Apalagi ke anak-anak pramuka. Bisa canggung nantinya.

Membawa black forest ukuran sedang, Arum mengirim pesan ke Satya. Tak berselang lama, Satya datang mengendarai sepeda motor. Arum mengenakan helm dan naik ke jok motor. Perjalanan siang yang panas tak membuat tekad Arum pudar. Ia makin bersemangat bertemu Awan di hari pentingnya. Bentuk perhatian kecil kala itu, ingin dibalas Arum saat ini.

Tiba di kampus dengan masih memakai seragam pramuka, Arum hati-hati memegangi kotak kuenya. Seragam yang dikenakan Arum dan Satya tak terlihat aneh di lingkungan kampus di hari itu, karena di kampus sendiri memang ada kegiatan latihan rutin tingkat Pandega. Awan pun sudah pasti tengah latihan. Keduanya berhenti di parkiran yang berada di belakang gedung.

"Lo ngapain sih minta ke sini?" tanya Satya yang heran kenapa Arum membawa kotak di tangan dengan kerepotan.

"Ehm, anu. Anterin ke tempat Kak Awan latihan dong. Kan Kak Awan selalu bilang kalau Jumat pasti latihan di kampusnya."

Memperhatikan dari atas ke bawah, Satya menghela napas. "Jangan bilang lo bawa gue ke sini buat ngasihin itu kotak ke Kak Awan?"

Arum mengangguk sambil meringis. "Anda betul sekali, Kak. Hehehehe."

"Lo ngapain juga repot bawa ginian. Nggak malu apa, ntar dilihatin orang?"

Arum mencebik. "Yah ... makanya gue minta bantuan lo, Kak. Lo ajak Kak Awan ke sini apa ke mana yang nggak banyak orang. Terus gue kasihin kue ini buat ulang tahun dia. Plis, Kak, gue minta bantuan lo. Gue itu pingin bales kebaikan dia."

"Emang apa yang dia lakuin sampek lo repot gini? Lo beli kue juga mahal pasti. Bikin sendiri, nggak mungkin. Lo bisanya masak pas kurve doang kan?"

"Dia ... ada deh pokoknya. Plis, ya, Kak, bantuin gue. Soalnya ... gue suka sama dia."

Satya makin menghela napas. Tak menyangka dengan perempuan yang mejadi temannya sejak SMP tapi beda kelas ini. Menyukai laki-laki dingin yang nggak mau senyum itu apa enaknya? "Gue telepon dia aja."

Arum girang bukan kepalang. Bodo amat ada mahasiswa yang sedang mengambil motor dan melihatnya duduk bersila di dekat motor Satya. Parkiran tidak begitu penuh juga siang itu.

"Eh, ada apa, Sat?" Suara Awan membuat Arum segera berdiri dan menampakkan diri.

"Ini, ada yang mau ketemu." Awan mendekat ke arah Arum yang tersenyum. Arum pun memberi kode agar Satya pergi memberi waktu berdua dengan Awan.

"Oh, Kak Arum. Ada apa, Kak?"

"Gue ke kamar mandi ya. Dari tadi kebelet." Satya balik badan dan melesak pergi tanpa menunggu Awan yang hendak menjawab dan menunjukkan kamar mandi terdekat. Padahal diam-diam ia mendengar dari balik gerbang.

"Kak, kumaha ini ngomongnya." Arum gugup tiada guna. Membuka kotak di tangan hingga tampaklah kue ulang tahun dengan tulisan 'Selamat Ulang Tahun Kak Awan' dengan krim putih. "Mau kasih kue ini. Selamat ulang tahun, Kak."

Arum menyalakan lilin dengan terlebih dulu menaruh kotak di atas jok motor Satya. "Silakan, Kak, ditiup."

Awan yang merasa canggung pun segera meniup lilin tersebut. "Terima kasih."

"Sama-sama, Kak."

"Sebenarnya tidak harus bawa kue ke sini juga tidak apa-apa. Seperti ini malah membuat repot anak-anak lain dan kamu."

"Tidak apa-apa, Kak. Betewe, ini dari aku kok, Kak, dan nggak merasa repot."

Awan agak terkejut. "Dari kamu? Pribadi?"

Arum mengangguk malu-malu.

"Kenapa?"

"Karena--"

"Bukan karena kamu suka saya 'kan?"

Skak mat. Arum membeku di tempat. Kepalanya menunduk saat Awan menelisik bola matanya dengan tatapan tajamnya.

"Maaf kalau saya sudah terlalu percaya diri. Hanya saja saya tadi dapat pernyataan cinta teman sekelas sambil membawa kue seperti ini. Tapi saya tolak. Maaf kalau sudah mengira seperti itu."

Arum menggigit bibirnya resah. Ia tahu ia tak bisa jujur sekarang soal perasaannya. Sudah ada perempuan lain yang memperlakukan Awan dengan cara sama, dengan akhir yang menyedihkan. Apakah ia juga akan berakhir sama?

"Ehm ... kenapa ditolak?" Meski terkesan lancang, Arum kepo juga. Namun segera ia sadar diri bahwa hal tersebut tak sopan. "Eh, maaf, Kak, bukan maksud mau ikut campur."

"Sekali lagi, terima kasih untuk kuenya. Ini boleh saya bawa ke sanggar? Kebetulan kami sedang ada rapat."

"Iya, Kak, sama-sama. Kue ini bukan untuk menyatakan perasaan kok. Kak Awan pernah beberapa kali menolong saya saat kemah dan memberi saya cokelat. Jadi, kue ini sebagai balasan saja, tidak lebih."

Awan mengulas senyum singkat sambil mengangguk dan pamit. Selepas kepergian Awan, Arum terduduk di paving. Air matanya tumpah setelah ia tahan. Bohong jika ia memberikan kue itu tak lebih sebagai ungkapan terima kasih semata. Bohong, mungkin lebih baik jika ia mengatakan yang sesungguhnya. Tapi, ia kemudian berpikir, apa bedanya juga jika ia tetap mengatakannya? Toh akhirnya juga sama-sama terluka dan menyedihkan.

"Nggak usah mewek juga kali. Bangun sini. Lo dilihatin satpam tuh." Satya ingin menenangkan Arum yang menangis dengan tangan membekap wajahnya. Sayang, ia tak bisa basa-basi atau bermanis ria.

"Gue kira, hiks, kode-kode dia bantu gue, kasih cokelat itu dia juga ada rasa sama gue. Ternyata gue salah. Kode yang gue baca salah, huhuhu."

Isakan Arum makin menjadi. Satya ikit bersila di dekat Arum. "Ya kali, Rum ... tiap kode masa lo samain kayak sandi rumput, sandi A-Z, sandi morse yang bisa lo pecahin habis dipelajari. Ini soal perasaan. Soal hati. Nggak anda sandi yang pasti untuk mecahinnya."

"Iya, hiks. Tapi tetep aja nyesek."

"Awan nggak bakal mau pacaran Rum. Dia mau fokus kuliah cepet dan dapetin beasiswa S2 ke luar negeri. Dia mau buktiin ke ortu kalau dia bisa lebih baik, karena dulu dia anak yang tertutup dan nilai akademiknya buruk. Sejak SMA dia mulai bangkit. Apalagi sejak kepergian Mama." Satya mengabaikan panggilan 'Kak' seperti biasanya. Ia tak peduli. Lagipula sudah tidak di lingkungan sekolah juga.

Arum melepaskan tangan dari wajah dan menoleh pada Satya. "Kok lo tahu Kak Awan? Katanya kalian nggak deket? Brati dia sering curhat sama lo dong."

"Dia kakak gue, Rum. Kita emang nggak deket kayak makan sepiring berdua. Kita emang sodara, tapi deket biasa aja. Makanya gue tahu dia bakal nolak lo. Lagian ya, Awan itu alergi cokelat. Ngapain juga lo bawain kue black forest. Lo juga bilang tadi Awan ngasih lo cokelat? Mungkin itu dikasih cewek yang naksir dia, karena nggak bisa makan jadinya apes dikasih lo. Gue di rumah sering makan cokelat dari dia kok."

"Masa sih?"

"Hem. Udah deh, pulang aja kita. Lo udah basah kek gini juga. Ngrepotin tahu nggak. Ayo!"

Arum menurut. Ia berdiri lalu menepuk pantatnya. Menunggu Satya mengeluarkan motor, ia berjalan di belakangngnya. Setelah siap, Arum naik ke boncengan. Motor pun berjalan pelan melewati gerbang kampus.

"Rum?"

"Hem."

"Gue nggak punya sandi apa pun buat lo pecahin. Makanya gue mau langsung bilang, kalau gue udah suka lo dari kita satu SMP."

Di antara jejeran ruko kota Bandung, macetnya jalan raya di siang hari menjelang sore, dan tiupan angin yang menerbangkan helai rambut, Arum mengulas senyum di sisa isakan dan air mata yang mengering. Bahwa sandi hati, kadang rumit untuk dipecahkan. Tak semua orang bisa meski dipelajari berkali-kali.

Arum menempelkan kepalanya ke pundak Satya, sambil melingkarkan kedua lengan di pinggang laki-laki yang memboncengnya membelah siang di kota Bandung. Rupanya, ia buta pada seseorang yang dekat dengannya, malah fokus pada lautan di seberang.

[Tamat]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro