HAPPINESS CAFÉ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happiness Café
☕☕☕

Sesekali mataku memandang keluar jendela kafe yang terletak di Gwanghwamun Square ini. Orang-orang bilang, semua masalah mereka teratasi hanya karena duduk dan meminum kopi di sini. Terdengar sangat tidak masuk akal memang, tetapi bagiku, seorang remaja yang sangat mendambakan kebahagiaan, ini harus dicoba.

"Selamat datang di Happiness Café, Jung Raewoo-ssi," seorang pelayan pria, umurnya mungkin 30-an tahun, memakai turtleneck biru dongker, berwajah tampan, dengan tinggi sekitar 1.73 meter berambut hitam sedikit keabu-abuan berdiri di samping mejaku. Aku menghela napas dan kembali menatap meja, menyembunyikan wajah dari si pelayan.

"Ada yang bisa saya bantu?" Banyak, sahutku dalam hati, itu pun kalau kau benar-benar dapat membantu.

"Menu apa saja yang ada di sini?" tanyaku lirih.

"Menu? Minuman kami hanyalah sampingan. Menu utama kami adalah kebahagiaan untuk para pelanggan. Saya benar-benar bertanya apa yang bisa saya bantu, Agasshi pasti memiliki masalah bila berkunjung kemari," pria itu tersenyum.

"Aku perlu membayar untuk bercerita denganmu?" tanyaku lagi. Ia menggeleng dan kembali tersenyum. Baiklah, kafe yang aneh, tidak mematok sepeserpun uang dan bertanya tentang masalah, bukan apa yang ingin di pesan.

"Kau tahu namaku dan aku tidak tahu namamu, mari saling berkenalan," aku berbicara panjang untuk pertama kalinya.

"Baiklah, perkenalkan namaku Gijeok, pemandu dan teman ceritamu mulai saat ini," pria itu menjawab dan membungkuk di hadapanku.

"Gijeok? Itu benar-benar namamu?" aku mengerutkan kening, nama yang aneh karena jarang digunakan di Korea, walau memiliki arti yang bagus, keajaiban.

"Bukan, itu nama samaranku saat bekerja. Nah, sekarang, bolehkah aku menggenggam tanganmu?" dengan ragu-ragu aku mengulurkan tangan kiriku. Bukan kebiasaanku untuk mempercayai orang baru tetapi Gijeok-ssi memberikan harapan. Sekilas ia tersenyum miris, sepertinya pria itu bisa melihat luka-luka di pergelangan tanganku, beberapa lebam dan sayatan. Kemudian, ia menggenggam telapak tanganku lalu memejamkan mata. Tak sampai 10 detik ia kembali membuka mata dan tersenyum padaku, "Aku tahu sekarang." Gijeok menjentikkan jari, dalam satu detik, mereka sudah berpindah tempat. Hawa dingin udara luar menyambut mereka yang berdiri di pinggir jalan.

"Jembatan Mapo, kau ingin pergi ke sini dengan tujuan terjun ke Sungai Han sebelum memutuskan pergi ke Happiness Café. Benar?" Gijeok menatapku dengan lembut, tidak ada penghakiman di sana. "Benar, ah, itu mengerikan," aku melepas genggaman dan beringsut mundur, "Bagaimana kau bisa tahu? K-kau penguntit!"

Ia menggeleng, masih ada ketulusan di wajahnya, "Bukan. Aku bisa mengetahui isi pikiranmu di masa lampau dengan sentuhan dan juga bisa berteleportasi kemari."

"Tidak mungkin! Itu semua hanya kemampuan fiksi. Tidak ada manusia yang memilikinya," bantahku masih mencoba menerima sesuatu yang di luar logika, "Dan ini semua Virtual Reality atau Augmented Reality 'kan?"

"Ini sungguh-sungguh Jembatan Mapo," Gijeok membelai pembatas jembatan itu. Dengan sedikit takut, aku menyentuh pagar pembatas itu. Dingin, benar-benar pembatas Jembatan Mapo.

"Jadi, kita baru saja benar-benar melakukan teleportasi?" tanyaku masih tidak percaya. Pria itu menggangguk antusias.

"Ini keren, tetapi juga menyeramkan. Kau tahu isi pikiranku tentang itu juga'kan?"

"Ya dan jembatan ini sudah melarangmu untuk melakukan itu, 'hajima' Raewoo-ya." Gijeok berjalan menyusuri jembatan itu dan aku membuntutinya.

"Aku tidak bahagia di dunia ini. Tidak dinginkan oleh siapapun. Tidak seharusnya hidup. Seharusnya aku mati dari lama," kabut di sungai Han bergerak-gerak, seakan mendengar keluh kesahku.

"Begitukah pikirmu?"

"Ya, aku sudah menyadarinya. Bahkan orang tuaku, ah, tidak. Sebenarnya hanya ayahku yang tidak menyukaiku. Lucu dan menyedihkan di saat yang sama."

"Maka aku akan membantumu menemukan kebahagiaan. Jadi, apa yang kamu inginkan?" Aku diam dan berpikir sebentar. Sudah lama aku tidak menemukan sesuatu yang aku sukai, apalagi menginginkan sesuatu. Selama ini aku hidup, belajar, bersosialisasi sebagai robot, memenuhi keinginan mereka. Hampa. Tidak ada satupun yang tersisa dari diriku yang asli. Semua yang ada di sana adalah ekspetasi mereka.

"Tidak ada. Aku selalu menjalani apa yang orang lain sukai. Bukan diriku. Apa yang aku sukai tidak mereka sukai," kataku berterus terang. Ia hanya menggeleng-geleng, berhenti berjalan, dan menunjuk kalimat lain yang ada di pembatas jembatan Mapo.

'사람들의 시선' (Pandangan orang-orang)

Lalu ia menunjuk kalimat setelah itu.

'그리 중요한가요' (Apakah sepenting itu)

"Itu penting, aku pernah kesepian karena menjadi diriku sendiri." Jawabku lirih.

"Sekarang kau akan melepaskan topeng itu dan menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan dirimu lebih penting dari pandangan mereka. Aku akan menerimamu apa adanya. Jadi, katakan, hal apa yang kamu impikan dan sukai? I'm genie for your wish." Aku meraih pundak Gijeok dan membisikkan nama suatu tempat dengan malu-malu. Ia mengangguk, meraih tanganku, kemudian menjentikkan jari.

***

Deburan ombak menyambut kedatangan mereka yang secara tiba-tiba. "Pilihan yang bagus, Raewoo-ya," pria yang berdiri di samping gadis berseragam SMA elite itu tersenyum dan menatap hamparan laut.

"Mokpo ... ini benar-benar pantai Mokpo!" Raewoo berseru setelah mencium bau pantai yang khas.

"Bahkan lebih baik lagi," pria itu menunjuk kanvas, cat, kuas, beserta stand kanvasnya.

"Wah, terima kasih banyak Gijeok ...."

        "Ssi, panggil saja aku Gijeok-ssi. Kedekatan tidak didasarkan pada panggilan, benar?" Gijeok tersenyum, begitu pula Raewoo.

"Terima kasih banyak, Gijeok-ssi." Gadis itu berlari menuju peralatan melukis itu dan mulai sibuk.

"Tidak bermaksud untuk mengganggu kebahagiaanmu Raewoo-ya. Tetapi ingat, kau hanya punya waktu bersamaku sampai pukul 8 malam nanti. Setelah itu waktu kembali waktu pertama kita bertemu." Gijeok memperingatkan batas waktu mereka pada Raewoo. "Dan sekarang sudah pukul lima, sebaiknya aku menyelesaikan dengan cepat."

             "Tidak perlu, nikmati saja. Hasilkan karya terbaikmu." Pria itu bersandar pada pegangan jembatan, tepat di sebelah kanan Raewoo.

"Ini kedua kalinya aku kemari, sejak aku lahir."

Pandangan Gijeok yang tadinya berada di lautan Mokpo kini teralih kepada Raewoo, "Jadi kunjungan pertama adalah ketika kau lahir?" Gadis itu mengangguk, tetapi matanya tetap pada kanvas yang mulai terisi beberapa warna, "Ya, aku lahir di Mokpo. Ibuku orang Mokpo dan ayahku orang Seoul. Banyak hal terjadi membuat ayahku benci sekali pada ibu juga tempat ini sehingga aku tak pernah bisa kemari. Aku senang bisa ke Mokpo dan melakukan hobi terlarangku."

"Uh ... hobi terlarang?" kini Gijeok memandang Raewoo dengan heran.

      "Ya. Terlarang, bagi ayahku. Aku hanyalah investasi masa depannya. Penghasil uang dengan otak cemerlang. Ia hanya menghargai kepintaran akademis dan harta. Aku adalah pewaris takhtanya, bukan anak yang dapat menentukan jalan sendiri." Gadis itu mandesah kemudian melanjutkan kegiatan melukisnya.

Gijeok menepuk punggung Raewoo lembut dan tersenyum, "Tidak ada bakat yang tidak dapat dihargai. Beliau hanya belum tahu caranya. Tetapi denganku, kau bisa melakukan hobimu ini. Lagi pula karyamu bagus."

"Rasanya masih seperti mimpi, bertemu denganmu."

       "Dan rasanya seperti mimpi bertemu denganmu yang dapat melukisku dengan bagus dan cepat. Ah, benar-benar indah. Haruskah aku membelinya?"

"Kau bercanda Gijeok-ssi? Ini memang untukmu, gratis," kata Raewoo ceria, "Tentu aku tidak dapat membawa ini pulang. Ayahku bisa menghajarku sampai mati karena aku ketahuan melukis. Nah, begitulah aku mendapat semua luka ini, selain self harm," Senyum itu luntur seketika, Gijeok tahu, kalimat itu bukanlah gurauan.

      "Ah, keadaan bisa menjadi lebih baik suatu saat nanti, Raewoo-ya. Jika kamu disakiti, pergilah padaku. Mulai sekarang aku sahabatmu," Gijeok kembali menepuk punggung gadis itu.

"Terima kasih banyak. Ah, matahari hampir terbenam," ia meninggalkan kanvasnya yang sudah terisi lukisan dan berfokus pada matahari terbenam. Gadis itu menelusuri setiap warna yang terpancar dan mencatatnya dalam memori, ia tidak ingin kehilangan momen indah ini.

"Ini indah sekali," gumam Gijeok sambil mengulas senyuman.

                  "Sekarang jam 6, benar 'kan Gijeok-ssi?" tanya Raewoo tanpa menoleh. Pria itu mengangguk, "Dua jam lagi waktumu. Sekarang kau ingin apa? Makan sesuatu atau pergi ke suatu tempat?" 
   
   "Ah, dengan merasakan ini saja aku sudah bersyukur. Kalau soal makanan sih, aku selalu makan enak. Tetapi apakah si burung bahagia di dalam sangkar emasnya? Hm, aku menemukan apa keinginanku selama ini, bebas. Ini sudah lebih dari cukup Gijeok-ssi," Raewoo menatap Gijeok dengan senyuman, ia benar-benar bahagia kini.

       "Waktumu masih dua jam, kalau ada tempat, barang atau hal lain yang kamu inginkan, katakanlah." Saat matahari terbenam seluruhnya, lagi-lagi gadis itu membisikkan sesuatu pada pria itu diikuti jentikkan jari oleh si pria. Mereka sudah sampai di tempat lain dalam hitungan detik, beruntungnya tidak ada orang-orang yang sadar akan kehadiran mereka yang muncul entah dari mana. Raewoo mengedipkan mata mencerna semua warna yang masuk ke retinanya.

"Everland! Ah, akhirnya!" Raewoo berseru senang dan tersenyum, "Terima kasih, Gijeok-ssi." Gijeok ikut tersenyum, "Ternyata kebahagiaanmu benar-benar sederhana."

           "Teman-teman sekolahku menjulukiku anak kecil hanya karena aku menyukai tempat ini. Belajar terus-menerus membuat otakku kurang istirahat. Aku menyukai warna-warni Everland," gadis itu kini berterus terang.

"Jadi, kau menyembunyikan kesenangan ini dari teman-temanmu?" pria itu bertanya padanya.

"Ayahku juga," Raewoo mendesah dan kembali menunduk.

              "Untuk hari ini kau bebas menaiki semua wahana di sini. Anggap saja satu Everland sudah aku sewa," kata-kata Gijeok membuat mata Raewoo kembali bersinar.

             "Sungguh, Gijeok-ssi? Ah, ini hanya mimpi lagi, pasti," gadis remaja itu tampak tidak percaya dengan apa yang ia hadapi sekarang.

"Tidak, tidak, aku yang mentraktirmu. Anak remaja sudah seharusnya bersenang-senang. Tetapi ingat, kau hanya punya waktu bersamaku sampai pukul 8 malam nanti," Gijeok memperingatkan batas waktu mereka pada Raewoo.

"Dan sekarang sudah pukul 6.30."

        "Nikmati saja waktumu, Raewoo-ya. Itu kebih dari cukup." Gadis itu berlarian di area Everland dan selalu menggandeng Gijeok. Tujuan pertama mereka adalah Four Sesason Garden, taman yang penuh bunga serta bangunan bernuansa kota tua Belanda. Lampu-lampu yang berada di sana membuat instlasi itu makin indah pada malam hari.

"Kau tahu Gijeok-ssi," Raewoo menatap tiap kumpulan bunga dengan rasa antusias, "Ini pertama kalinya aku merasa sebebas ini sejak aku lahir."

"Belajar memang bagus, tetapi kau butuh bebas sejenak juga. Kehidupan bukan hanya tentang akademis," Gijeok tersenyum pada Raewoo.

"Gijeok-ssi, andaikan saja kau ayahku, lalu aku mendapat nilai matematika 80. Apakah kau akan mengurungku di kamar dan menyuruhku belajar lebih keras padahal sebelum ulangan aku sudah belajar dengan sangat keras?" kini mata gadis itu tertuju pada Gijeok, menunggu jawaban.

"Aku akan memintamu belajar lebih," sorot mata itu menunjukkan kekecewaan, "Tetapi, tidak berarti harus hari itu juga dan mengurungmu di kamar 'kan? Jika saja aku sekaya ayahmu mungkin malam itu aku akan mentraktirmu makanan terenak atau memintamu beristirahat saja."

Raewoo kembali tersenyum, "Aku berharap kau selalu bersamaku." "Sayangnya itu tidak dapat terjadi ...."

"Yah, aku harus memanfaatkan waktu dengan baik. Ayo naik T-Express!"

"T ... Apa?"

"T-Express, apakah kau takut ketinggian?" lagi-lagi Raewoo menatap Gijeok, meminta jawaban. Pria itu menggeleng, lalu tersenyum.

"Kalau begitu, ayo!" gadis itu menarik Gijeok dalam antrean menuju wahana T-Express dan membuatnya duduk di roller coaster itu.

"Uh, sepertinya aku harus turun dan menjaga lukisanmu."

"Jangan konyol Gijeok-ssi, kau sudah menitipkannya pada penjaga tadi."

    "Baiklah." Dengan pasrah, pria itu mengikuti kemana T-Express membawanya pergi. Sesekali ia berteriak karena takut, tetapi gadis di sampingnya malah kegirangan. Tak apa, lagi pula tawanya membuat wahana ini terasa lebih baik, pikir Gijeok. Setelah beberapa jalan naik, turun, dan berputar, T-Express akhirnya berhenti. Gijeok menghela napas lega begitu turun dan Raewoo menunjukkan wajah puas.

"Pengalaman yang menyenangkan, terima kasih kau sudah mau menemaniku. Kau lucu juga waktu berteriak," gadis itu tertawa kecil, Gijeok berhasil membuat sore dan malam harinya bahagia.

"Sekarang aku ambil lukisanmu dan kita naik Sky Cruise, setuju?" Raewoo mengangguk, tanda setuju. Tak lama kemudian, mereka sudah duduk di dalam gondola yang membawa mereka berkeliling di atas Everland.

"Kemarikan tangan kirimu lagi," kata Gijeok. Kali ini Raewoo mengulurkan tangannya tanpa ragu dan pria itu segera menggenggam telapak tangannya.

            Ia menarik napas dan memejamkan mata, tangan kirinya mengeluarkan cahaya yang menyelubungi pergelangan tangan Raewoo, "Sembuh." Kilatan itu memudar, Gijeok melepas genggamannya dan membiarkan gadis itu melihat pekerjaannya.     

       "Tidak ada bekas luka ... kau benar-benar makhluk ajaib!"

       "Hm, ingatlah kata-kataku di Mokpo jika kau disakiti lagi dan jangan menyakiti dirimu lagi. Kau adalah bunga yang spesial dan layak untuk dihargai."

     Gadis itu mengangguk. Gijeok melirik pada arlojinya, "Sayang sekali waktu sudah habis, Raewoo-ya. Maafkan aku tidak bisa benar-benar menyelamatkanmu."

"Kau sudah mewujudkan keinginan terbesarku nomor 2. Seorang sahabat. Aku tidak tahu bagaimana aku harus membayarmu selain dengan kata terima kasih yang sangat tulus. Terima kasih banyak," Raewoo tersenyum dan mereka bertatapan untuk terakhir kalinya hari itu.

***

Bau kopi kembali menyeruak, jam dinding masih menunjukkan pukul 5 sore, tetapi lukisan pantai Mokpo di kanvas yang tergantung di dinding café dan surat kecil ini bukti tidak terbantahkan kalau aku pernah menjadi burung yang bebas di realitas hidupku.

+82xxx-1106-xxxx

Kemari setiap hari, keajaiban selalu menantimu. Jika kau butuh bantuan dan tidak dapat kemari, call.

-기적

"Terima kasih banyak, Gijeok-ssi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro