LONG DIMENSION RELATIONSHIP

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Long Dimension Relationship
By kireiskye
🍀🍀🍀

Akan kubagi kisahku tentang satu kunci dunia. Sebuah konspirasi alam semesta yang sayangnya baru dapat kupahami belakangan ini.

Tentang energi yang kekal dan lingkaran waktu tak berjeda. Tentang ruang-ruang transisi yang terselip dalam lipatan antar-dimensi. Tentang aku yang bermutasi seumpama makhluk amfibi dan merambat di antara celahnya.

Langit kelam terlihat tak biasa sore ini. Kilat cahaya berjuta voltase dari arus listrik di awan beberapa kali menyambar, menerangi ibu kota yang meringkuk kedinginan. Sesekali terselip guratan kasar di antaranya, membelah angkasa raya dengan pendar menyilaukan.

Aku merapatkan jaket dan bergidik untuk mengimbangi angin yang bertiup rendah. Jejak-jejak noda serupa pola artistik yang kudapati di bagian lengan membuatku menautkan alis, mengingat-ingat bagaimana corak tersebut bisa terlukis di sana. Nihil. Aku tidak menemukan kepingan memori untuk noda ini sama sekali. Akses ke ruang penyimpanan ingatan di otakku memang selalu bermasalah. Jangankan untuk noda yang sudah tampak pudar tersebut, sejarah kerajaan Majapahit yang baru kurangkum pagi tadi sudah tersamarkan dalam ingatanku.

Setelah meratapi jaket kesayanganku itu, aku kembali berkutat pada cuaca yang makin suram. Tak apalah, noda tersebut juga tidak terlalu kentara. Sekarang yang paling penting aku bisa pulang ke rumah dan mengistrirahatkan diri. Badanku terasa pegal sehabis mencoba beberapa variasi gerakan baru.

Sekilas kulayangkan pandanganku pada pekarangan sanggar seni yang mulai sepi. Hanya beberapa orang yang bersiap-siap pulang sambil memasang mantel. Air muka mereka menyiratkan rasa keberatan dengan limitasi alam yang akan terjadi. Padahal aku ingin sekali bermandi hujan, bila saja besok bukan hari spesial yang harus kepersiapkan dengan baik.

"Belum pulang, Miza?"

Aku menoleh begitu suara lembut menyapa dari balik punggungku. Kulihat kak Tirta dari divisi acara berjalan mendekat sambil memainkan kunci mobil di tangannya.

"Mmm ... menunggu Nico, Kak," jawabku malu-malu. "Kakak sendiri kenapa belum pulang?"

"Biasa, ada rapat mendadak dengan panitia."

Kak Tirta tersenyum, tapi aku bersumpah melihat sekilas ekspresi sedih di wajahnya.

"Kenapa, Kak? Apa ada kendala dengan festival seni minggu depan?" tanyaku spontan.

"Tidak sama sekali. Acaranya berjalan dengan lancar." Kak Tirta terhenyak sesaat sebelum menepis udara dengan tangannya. "Maksudku rapat untuk acaranya berjalan lancar."

Aku menarik sudut bibir dan bernapas lega. "Kak Tirta tenang saja, ya. Aku akan berlatih keras dan memberi penampilan terbaik!"

"Terima kasih." Kak Tirta menepuk bahuku, matanya tampak berkaca.

Oh, apa dia terharu dengan kata-kataku barusan?

"Kamu yang kuat ya, Miza."

"Eh? I-iya, Kak." Aku mengangguk ragu. Mungkin kak Tirta bermaksud untuk mengingatkanku untuk menjaga kesehatan agar tampil prima di pementasan nanti. Akhir-akhir ini tumitku memang selalu sakit, padahal baru tiga kali latihan.

"Besok jangan lupa datang, ya, Kak. Tidak usah repot menyiapkan kado, kehadiran Kakak lebih berarti." Aku menyatukan kedua tanganku di depan dada.

"Tentu!" Kak Tirta mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, undangan pesta ulang tahunku yang ketujuh belas di hari minggu besok. "Ah, jadi kusut begini. Maaf, ya."

Aku terkekeh saja dan mengangguk maklum. Saat sudut mataku menangkap keberadaan Nico di depan gerbang, aku berpamitan pada kak Tirta yang juga bersiap pulang dengan mengeluarkan jas hujan berbahan linen dari ranselnya.

Perasaan gugup yang menyelimutiku--saat memikirkan kemungkinan Nico akan cemburu-- sirna seketika saat pacarku yang tampan itu menganggukkan kepalanya membalas senyuman kak Tirta. Sikap Nico yang dewasa itulah yang membuatku tidak bisa berhenti mencintainya.

Aku berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Nico yang menyambutku dengan merentangkan kedua tangan. Tumben sekali hari ini ia tidak membawa bola basket. Sehabis latihan biasanya Nico memainkan bola basketnya sepanjang jalan. Kadang menjahiliku dengan menantang merebut bolanya.

"Hati-hati, nanti jatuh." Nico melepas pelukannya dan berdecak kecil. "Besok pakai sepatu santai saja. Kakimu jangan diberi beban lebih, nanti makin sakit."

"Siap, Tuan Nicholas." Aku terkikik. "Nearly Headless Nick!"

Nico menarik hidungku dan memasang eskpresi kesal yang dibuat-buat. Aku senang sekali melihatnya mengerutkan dahi seperti itu. Wajahnya jadi makin tampan saat kedua alisnya yang tertekuk menukik turun membentuk cekungan tajam.

Kami kemudian menyusuri jalan sambil bercanda. Sanggar seni dan lapangan basket hanya berjarak satu blok dari perumahanku dan basecamp Nico. Kami selalu pulang bersama dengan jalan kaki.

Begitu titik-titik air berjatuhan dari langit untuk memulai kembali siklus hidrologi, Nico merengkuh tubuhku dan mempercepat langkah menuju halte bus terdekat. Tekanan udara yang menurun seharusnya membuatku menggigil kedinginan, namun dekapan Nico terasa sangat nyaman.

Nico menyeka pipiku yang basah kemudian menarik ritsleting jaketku sampai sebatas dagu hingga aku merasa sedikit tercekik.

"Jangan sakit, ya," kata Nico meraih tanganku dan meniupnya beberapa kali. Embusan napasnya begitu hangat dan menenangkan.

Aku mengamati detail wajah Nico yang terlihat lelah. Sepertinya ia berlatih terlalu keras menjelang turnamen basket. "Kamu juga. Akhir-akhir ini kamu pucat sekali," balasku dengan menautkan jari di sela genggamannya.

Nico menunduk, mengecup punggung tanganku. Bibirnya bergetar seperti menahan tangis. "Maafkan aku, Miza ...," lirihnya.

"Kenapa minta maaf? Aku baik-baik saja, kok!"

"Bukan apa-apa." Nico menggeleng lalu menarikku mendekat. "Kemarilah!"

Dengan senang hati aku menyambut uluran tangan Nico dan bersandar di pundaknya. Tidak ada hal yang lebih romantis dibanding menunggu hujan reda dalam dekapan orang yang dicintai. Jika boleh, aku ingin mengulang momen manis ini setiap hari.

Kami berbicara banyak hal untuk membunuh waktu. Nico yang cerdas selalu punya topik menarik yang membuatku tidak pernah bosan, bahkan mungkin bila kami harus terjebak selamanya di tempat ini. Beberapa pengendara motor yang melintas melemparkan tatapan aneh. Barangkali mereka cemburu menyaksikan kemesraan kami. Sisi terdangkal dalam hatiku menyimpulkan seperti itu.

"Aku jadi pesimis." Aku mendongak pada Nico yang baru saja menjelaskan padaku perihal tegangan antar-muka yang membuat tetesan air hujan berbentuk butiran bola.

Nico menegok pada wajahku yang kusembunyikan dalam dekapannya. "Karena?"

"Karena aku tidak pintar seperti kamu."

"Jangan berpikir begitu." Sambil berdecak, Nico mengelus rambutku yang masih setengah basah. "Setiap orang punya kecerdasan masing-masing. Coba lihat ini."

Nico tiba-tiba berdiri dan melakukan tarian dengan gerak patah-patah. Aku lantas tergelak menyaksikannya menari kaku seperti robot. Parahnya lagi, itu tarian yang akan kupentaskan.

"Sekarang paham? Kamu pintar menari, di mana tidak semua orang bisa melakukan itu." Nico menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. "Tuhan yang Maha Adil menciptakan sel otak yang sama untuk setiap manusia, dengan spesialisasi yang berbeda-beda. Albert Einstein sekalipun tidak bisa menggeser posisi Eminem sebagai rapper tercepat di dunia, atau melakukan kick serve yang keren seperti Roger Federer. Jadi, jangan pernah pesimis lagi. Oke, Miza?"

Aku tertawa renyah lalu menggangguk penuh haru. Nico adalah orang kedua setelah ayah yang menerima dengan baik bakat yang kumiliki.

Saat hujan mereda, aku beranjak dari dudukku mengikuti Nico dan kami meneruskan perjalanan pulang. Tiba di depan rumah aku memeluknya sekali lagi sebelum berpisah. Perasaanku mendadak kecut, padahal malam nanti kami akan bertemu kembali.

"Jangan berdandan yang cantik, nanti banyak yang melirik!" Nico mengecup keningku. "Masuklah. Aku pergi dulu. Sampai bertemu nanti malam."

Ada getar yang merambat lemah dari suara Nico. Lagi, kuperhatikan ekspresinya seperti ingin menangis. Saat pintu rumah terbuka dan ayah keluar menyambutku, dengan berat hati aku berbalik masuk. Kulihat ayah tersenyum pada Nico yang membungkukkan badan padanya sebelum berlalu.

Begitu Nico menghilang di balik lorong, tanpa sadar air mataku mengalir tak terkendali. Ketakutan tak berdasar menyergap hatiku yang tiba-tiba sesak. Aku merasa seperti akan kehilangan Nico selamanya.

Aku menggeleng kuat, menepis praduga negatif dalam pikiranku. Aku pasti terlalu lelah sehingga berpikir yang tidak-tidak begini.

Dengan gontai aku pun menuju kamar dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Kupandangi gaun berwarna marun yang tergantung di lemari. Gaun yang akan kukenakan saat makam malam bersama Nico nanti sebagai pembuka hari ulang tahunku.

Sesaat sebelum terpejam, suara guntur membuatku mengingatkan diri agar tidak lupa mengenakan jaket malam nanti. Tentu, aku akan mengenakan jaket kesayanganku yang baru saja kusampirkan di gantungan, salah-satu hadiah dari Nico untuk ulang tahunku yang lalu.

Aku menarik selimut dan memperbaiki posisi tidurku. Kira-kira Nico menyiapkan kejutan apa lagi tahun ini?

Gemuruh di langit terdengar jauh dan tidak nyata. Bias cahaya matahari melukiskan pelangi berlatar lapisan awan kelabu yang mulai meluruh, menyita perhatian beberapa insan yang kebetulan mendongak untuk membaca gelagat cuaca. Aku menatap kosong dan tersenyum hambar saat kudapati diriku perlahan kehilangan atensi untuk dunia ini.

"Nico!"

Seseorang menyerukan namaku. Satu-satunya frekuensi gelombang suara yang terdengar familier bagiku saat ini.

Aku menoleh dan menjumpai seorang perempuan cantik melambaikan tangan padaku dengan girang. Dia lah Miza, pemilik binar mata teduh dan penuh ketulusan yang lagi-lagi membuatku eksistensiku meragu.

Aku mengupayakan senyum saat ia berlari mendekat dan dengan ajaibnya merengkuh tubuhku. Sungguh sangat menyiksa. Tapi mau bagaimana lagi? Aku terlanjur candu pada sensasi menyakitkan yang manis ini.

"Perhatikan langkahmu, Miza." Aku memberi peringatan pada Miza yang hampir tersandung kerikil. Kuperhatikan kakinya yang sedikit bengkak dan memerah. Ia terlalu keras berlatih, bila tidak boleh disebut terlalu sering. Aku jelas tidak tahu-menahu perihal busana perempuan, tetapi akan kupastikan besok-besok alas kakinya lebih nyaman dibanding sepatu dengan sol tebal yang katanya untuk mengimbagi tinggiku.

"Siap, Tuan Nicholas! Nearly Headless Nick!"

Aku mengerutkan wajah dan menarik hidung Miza dengan gemas. Dia selalu merecokiku dengan panggilan itu bila sedang jengah. Tidak masalah bagiku, apapun dari Miza selalu bisa kuterima. Walau sekarang terdengar makin aneh sebab kepalaku tidaklah nyaris putus, seperempat bagian dari tulang tengkoraknya hancur. Atau setidaknya seperti itulah yang kuingat.

Sesekali kuperhatikan Miza yang bercerita dengan semangat soal pentas yang akan diselenggarakan sanggar seninya. Hatiku tersayat sembilu melihat ekspresinya yang adaptif dengan narasi, kadang diiringi dengan gerakan tangan dan tawa kecil. Tingkah manis yang di mata orang-orang justru tampak sebagai sebuah kejanggalan yang nyata, sebab sejatinya perempuan yang kusayangi sampai mati ini hanya berceloteh seorang diri.

Kisah kasih tak biasa kami berawal pada suatu kejadian tragis pada malam menjelang hari ulang tahun Miza. Di perjalanan menuju lokasi yang sudah kupersiapkan sedemikian rupa untuk acara makan malam kami, seorang pengendara motor menyalip dengan kelajuan tinggi. Motor yang kukendarai oleng, aku tersungkur ke trotoar sementara Miza diboncengan jatuh tersentak ke belakang pada sisi jalan raya yang ramai kendaraan.

Waktu seakan melambat untuk memberiku kesempatan menyelamatkan Miza yang meringis karena kepalanya terbentur aspal pejal. Sayangnya maut adalah ketetapan yang tidak bisa dihindari. Kulentingkan tubuhku untuk mendorong Miza tanpa sempat mengucapkan maaf, sebab badan mobil yang datang dari arah berlawanan rupanya lebih dulu menyapaku.

Aku tidak ingat lagi bagaimana sensasi terinjak ban kendaraan roda empat, tetapi wajah histeris Miza yang menyaksikanku remuk masih tergambar jelas sampai saat ini. Sungguh menyedihkan menyadari penyebabnya gemetar ketakukan seperti itu adalah karena diriku sendiri.

Perlahan, darahku mulai menggenang menutupi permukaan aspal, sebagian membekas pada jaket Miza yang dengan susah payah merangkak, berbaring di sisiku untuk memberi pelukan terakhir. Panorama langit malam yang hanya dihiasi beberapa bintang adalah hal terakhir yang kulihat sebelum dunia terasa berputar cepat, mengulang seluruh ingatanku dalam sekejap. Lalu ketika diriku terjaga, tahu-tahu wujudku sudah berganti menjadi gelombang tak kasat mata.

Miza berhasil selamat dengan beberapa luka jahitan di bagian kepala. Cedera dan trauma psikis membuatnya mengidap anterograde amnesia. Miza tidak mampu menciptakan memori baru setelah peristiwa kecelakaan tersebut. Ingatannya hanya sampai pada momen sebelum hari ulang tahunnya di malam itu dan terus berulang tiap hari.

Bagi Miza, setiap hari adalah hari sabtu, jadwalnya berlatih di sanggar seni untuk mempersiapkan pentas yang sebenarnya sudah lewat beberapa bulan yang lalu. Miza percaya besok adalah hari ulang tahunnya, malam nanti kami akan makan malam bersama, dan aku dalam keadaan baik-baik saja. Entah harus menyebut ini dengan bangga atau sedih, sosokku masih hidup dalam ingatannya.

Kejanggalan yang Miza temui setiap hari karena ketidakhadiranku dan semua bukti tentang kecelakaan kami membuatnya tertekan hingga mengalami depresi. Ironisnya, kerusakan otak yang dialami Miza sampai saat ini belum mampu ditangani, bahkan oleh neurologis profesional. Ada banyak kendala yang ditemui. Membuka ruang penyimpanan ingatan seseorang memerlukan kunci pengalaman yang bersifat privasi. Singkatnya, hanya Tuhan dan pribadi yang bersangkutan yang tahu.

Hari demi hari pun dilalui Miza dengan kesedihan tak berujung. Menyaksikannya menderita tanpa bisa melakukan apapun selain menunggu malam tiba dan membiarkan memorinya kembali tereset adalah alasan keberadaanku di sini. Rasa bersalah menahanku untuk kembali ke tempat yang seharusnya.

Sebuah keajaiban kemudian terjadi saat aku mencoba melawan tekanan ruang dan mendekati Miza yang dengan sangat tidak terduga bisa menyadari kehadiranku. Miza seketika kembali normal layaknya sedia kala. Berinteraksi denganku seperti dulu meski orang-orang mulai menduganya kehilangan akal.

Dokter yang menangani Miza menyebutnya mengalami gangguan jiwa yang bersifat delusional. Satu-satunya jalan untuk membuatnya tidak kembali tertekan adalah dengan menuruti skenarionya. Mengikuti anjuran psikiater, ayah Miza, Tirta, dan teman-teman sanggarnya yang lain pun bertindak seakan setiap hari adalah hari sabtu tepat sehari sebelum ulang tahunnya.

Maka di sinilah kami menunggu hujan reda di pengulangan hari yang sudah kesekian kali. Ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku mendengar nasehat tulus dari Miza agar aku menjaga kesehatan. Aku mungkin terpesona pada parasnya yang indah, namun disaat afeksiku untuk kehidupan dunia mulai memudar, perlahan kusadari bahwa aku terpikat lebih jauh oleh kebaikan hatinya.

Miza menunjuk butiran air yang terperap di pinggiran atap halte bus tempat kami berteduh sambil bertanya dengan kuriositas tingkat tinggi. Kudekap tubuhnya penuh kasih sembari menjelaskan dengan pelan. Sungguh, aku merasa tidak keberatan mengulang momen ini setiap hari.

Di depan rumah Miza, kami berpisah dalam sebuah pelukan hangat. Denyut di dadanya yang merambat seolah membagi energi bagi jantung semu dalam diriku untuk berdetak kembali. Satu hal yang membuatku resisten dengan rasa sakit akibat melanggar aturan lintas dimensi adalah senyumannya yang masih mampu menghadirkan perasaan yang sama, di saat segalanya sudah tidak lagi berarti.

Gemuruh di langit mengiringi langkahku yang tak bertujuan. Menunggu hari esok saat Miza terbangun dan memamerkan senyumnya yang secerah mentari pagi. Entah sampai kapan lingkaran waktu ini terus berputar.

Kisahku dengan Miza tampaknya terlalu rumit untuk dijelaskan dengan tutur kata sederhana. Eksistensiku yang tidak seharusnya ada di dunia ini mungkin menjadi penyebab utama bagi dokter menegakkan diagnosa penyakit gangguan jiwa pada Miza. Sebaliknya, ketidakmampuanku menembus pintu langit terjadi karena rasa khawatirku pada keadaan Miza yang harus kutinggal pergi selamanya.

Ketergantungan di antara kami menciptakan simbiosis saling menguntungkan layaknya ikan remora dan hiu. Aku adalah suar hidup untuk Miza, sementara cinta Miza memberiku kekuatan untuk bisa bertahan melawan relativitas waktu dalam ruang sempit yang memperantarai dua dimensi ini.

Sepertinya aku keliru dalam menafsirkan hukum pertama termodinamika. Energi terbesar yang mampu melampaui batasan ruang dan masa sesungguhnya adalah jiwa suci dan kasih sayang yang tulus. Sebab untuk sebuah hati saat aku menemui diriku dalam keadaan tak lagi bernyawa, masih ketemui cinta yang sama. Dan kami pun terperangkap dalam sebuah keabadian yang fana.

SELESAI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro